Di Sebuah Restoran
Sunday, August 31, 2014
Add Comment
Oleh :
Aqin Jejen
Setelah
ia pindah dari Universitas Sorbonne, Prancis:
Loies mengenal kotaku dengan sebutan, Swiss.
Sejak perkenalan singkat saat sama-sama menempuh kuliah di Sorbonne, aku
mengenalnya dan pada akhirnya aku jatuh cinta tanpa syarat pada wanita itu. Ia suka
aneka ragam Swiss yang termashur dengan berbagai bentuk milka, netsle, dan lindt serta aneka pisau lipat dan jam tangan sekelas
Rolex.
Malam itu, kita berada di sebuah restoran.
“Aku tidak suka menonton” ucapnya.
“Kurasa
semua kehidupan sebatas opera palsu. Hanyalah permainan Tuhan, satu-satunya film
yang kusukai A Portrait of the Artist as a Young Man, kisah cinta wanita
korea”ucap wanita yang berambut brunette. Namanya, Loies, kekasihku.
Kutatap mata zamrud hijaunya seakan teduh flamboyan.
“Kau
tak boleh buruk sangka pada Tuhan, Sayang. Apa pun yang telah terjadi ini semua
sudah takdir,”jawabku. Masih terlihat raut wajahnya tanpak sedih. Bagaimanapun
caranya ia harus bersedih dengan sebuah pilihan. Kenapa ia harus bersedih?
Sebab Loies memilih hidup dengan pendiriannya sendiri. Loies, memilih pasrah
padaku dalam segala hal apa pun, bahkan ia rela diusir dari rumahnya gara-gara
perbuatanku. Hong Yin, serta Madam Xin, Ibunya, tidak menerima kehadiranku
sebagai menantunya. Aku bukanlah lelaki yang tepat menurutnya, selain kita
berbeda agama, keluarga Madam Xin juga dari keluarga kalangan terhormat di
Prancis. Aku bukanlah tipikal lelaki yang ideal menurut mereka. Itu sebabnya,
Loies kabur bersamaku. Demi aku. Demi cinta ia pertaruhkan segalanya termasuk
keluarganya
“Takdir
kau bilang?, berarti takdir sangat kejam, Jeck” ucap Loies, menanggapi
perkataanku.
“Itu
tidak benar. Sudah kukatakan jangan berburuk sangka pada Tuhan”ia mulai diam.
Lalu menatapku sejenak. Mencari kebenaran yang aku katakan.
Betapa
luar biasa menurutku rasa cinta, semua sesuatu yang keras bisa terlunakkan
dengan adanya cinta. Tak pelak kiranya jika repertoar
Romeo end Juliet yang ditulis William Shakespeare (1564-1616) pujangga
Ingris, adalah suatu hal yang menarik menurutku, hingga diimajinasikan oleh Tom
Stoppard dan Marc Norman dalam film Shakespeare in love (1998).
Dan aku pun sadar, aku memang tak seperti raja William, atau Louis XIV raja Prancis
dan Navarre, akan tetapi cinta bukan takhta maupun harta atau pun selainnya. Cintaku
tidak akan pernah pupus dengan suatu alasan apa pun. Bagiku, ia tetap seorang
putri primadona di tengah jutaan wanita menurut versi Prancis, dan aku baginya adalah
Tiberius I, pemuda tampan di Swiss yang diangkat sebagai kaisar Romawi sekitar
Abad Besi, tahun 450 SM, yang masih kentara dengan peradaban Yunani dan
Etruska saat itu.
Loies
masih diam. Kutatap matanya, ada bola api yang berpijar disana. Tidakkah itu
menandakan sebuah kemarahan, mungkin hanya sebatas kesal padaku. Atau mungkin
hal lain.
Aku
ajak ia menonton film James Bond. Ia tidak terlalu suka flim James Bond “On
Her Majesty’s Secret”. Loies hanya bergeming tak ada jawaban, seolah tak ada gairah. Aku pun paham
maksudnya, sebab untuk tinggal di kotaku mungkin butuh waktu yang tidak
sebentar. Hanya saja ia tidak terbiasa hidup di Swiss, apalagi ia masih tidak banyak
tau tentang negeriku. Wanita yang memiliki bentuk leher turtle neck itu menggelengkan
kepalanya. Lalu tersenyum tipis dan berkata “Ich lieb di, Jeck1”. Sejenak kami terpaku
saling berpandangan, heran.
Kemudian kutawarkan ia pergi ke The Schilthorn, sebuah pegunungan
Alpen Swiss. Yang menjadi latar pengambilan film James Bond. Akhir tahun nanti
aku telah sepakat memilih moment tempat lain untuk jadi hiburan spesial.
Kutawarkan saja jalan-jalan ke Taman nasional Swiss, di Lucerne. Pasti ia lebih
suka melihat air mancur sambil berfose di sekitar taman, menyaksikan kembang
api di langit-langit Lucerne. Sudah sangat lama kita tidak merasakan kehangatan
bersama di bulan Desember, kehangatan pelukannya dalam gairah percintaan yang
tak akan bisa aku ceritakan pada orang lain, seperti saat-saat kita masih di Prancis.
Bahkan aku kira, Prancis pertama-tama adalah Terre d’Asile. Selebihnya hanya
sungai Seine, toko Shakespeare & Co, atau bahkan bangku-bangku panjang di
Ile Sain-Louis tempat pertama kali kami berciuman begitu panjang sampai pada akhirnya
kami melebur dalam percintaan yang cukup hebat. Saat itu Loies hanya mengenakan
T-shirt, karena musim panas menuntut ia kerap kali bertelanjang, tentu saja
membuatku leluasa untuk melakukan hal apa pun. Terlebih tubuhnya sangat
menantang, ada dua anggur merah yang masih segar di belahan dadanya. Ia kerap
memintaku bercerita sistem demokrasi Swiss. Aku pun bercerita kota yang kaya
itu dengan senang hati, semanis bibirnya dan selezat keju Swiss, dan aku pun
menyimak gaya Loies bercerita tentang penduduk Nazi yang menyerang negeri Prancis pada tahun 1940-an,
sampai akhirnya Adolf Hitler menaiki tangga puncak Eiffel untuk mengibarkan
swastika. Kami pun larut dalam cerita berbagai hal tentang negriku, Swiss, dan
negri kelahirannya, di Prancis. Bahkan berkali-kali kita larut dalam percintaan
yang penuh gairah hingga menciptakan gelora persetubuhan sejati. Hari demi hari
kita selalu begitu, menggatikan kisah usang yang lindap pada kalender yang
tertanggal sebelumnya.
“Loies, kita ke Lucerne bulan Desember nanti,”ajakku
seraya tersenyum manja padanya. Ia mengedipkan matanya yang sebelah, pertanda setuju.
Ahk, genit sekali. Gerutuku
“Oke! Will be happy to Lucerne” jawabnya semangat.
“Much the same whit me, like New Years at present”
“This nigh is your birdt day also?” tanyaku,
sembari menyandarkan tubuhnya dalam pelukanku. Kupeluk erat sekali. Lalu kubuka
kotak kecil berwarnah merah yang terselip di balik saku blue jeans, ia sangat
senang sekali melihat kalung gantungan Kastil Chillon, sebuah istana tersbesar
di kota ini. Karena aku yakin, hanya pada akhir desember nanti kita bisa
jalan-jalan, atau piknik kesana, menikmati perayaan tahun baru di Lucerne
sekaligus merayakan ulang tahunya yang ke-19.
Angin mendesir
lirih dari lembah bebukitan di sekitar restoran, ada gelas-gelas yang berisi
minuman viksi di depan meja. Musik berdawai mengalun lembut, menghentak-hentakkan
hati setiap orang-orang yang duduk di sudut meja. Aku sedikit terlihat romantis
bersamanya, aku begitu tertarik melihat senyumnya, karena semakin lama
memandang senyumnya aku semakin betah, seakan lebur dengan manis keju Swiss yang
tersisa di mulutku. Rambutnya terjuntai, terhempas angin. Kulitnya putih langsat, bergemerlap
bintik-bintik keringat yang disinari cahaya lampu-lampu ornamental. Samar-samar
kulihat ada kalung salib melingkar di lehernya. Sejenak aku menatapnya lebih
lama. Terpaku, ternyata ia masih enggan berterus terang untuk pindah agama,.
Padahal beberapa bulan lalu ia telah berjanji akan meninggalkan agama kristen, meninggalkan
ajaran Bibel, tante Yenne telah mengajari bagaimana beragama yang benar. Selama
ini Loies menjadi wanita pemberontak yang mempertentangkan ajaran kedua orang
tuanya, itu semenjak kenal denganku. Itu sebabnya keluarga Madam Xin tidak suka
padaku.
“Loies, kau masih memakai kalung ini?” tanyaku, sembari
kugenggam kalungnya. Ia menepis tanganku lalu berpaling. Ada air mata yang menetes di pipinya. Aku
tidak tega. Lalu kuhapus linangan airmatanya dengan jari-jariku
“Demi mencintamu, aku rela meninggalkan agamaku, Jeck” jawab,
Loies tersedu. Tubuhnya tergoncang-goncang menahan tangisan.
“Aku mengerti”
“Kau tak lagi menancapkan lidi-kidi hio sua
setelah selesai berdoa kan?”lanjutku. Loies menggelengkan kepalanya.
“Sekarang aku hanya berdo’a pada Allah. Satu-satunya
tuhan yang kutemukan dalam cinta. Bahwa tuhan ada dalam cinta”Aku pun terdiam,
aku tidak pandai memahami kata-kata sufiistik yang seperti itu. Aku bukan orang
yang begitu bodohnya untuk melarutkan ia dalam kesedihan. Aku mengerti, kenapa Loies,
masih diam-diam tanpa sepengetahuan keluargannya, Madam Xin, pindah agama.
Tidak gampang memang melakukan itu semua. Aku rasa sudah cukup selama ini ia
berkorban untukku, namun pindah agama bukan sebuah pengorbanan menurutku,
melainkan sebuah keyakinan. Kita terdiam beberapa menit lamanya, enyah dari
percakapan itu--tidak memperpanjang masalah-- Lalu, ia mulai mencicipi menu
hidangan di depannya, ada roti matzo, potongan liver dan harring serta
bola-bola ikan gefilte, aku hanya mengambil Fondue, keju atau cokelat
panas yang dicairkan sedemikian rupa sampai membentuk saus untuk celupan roti
atau buah, Gruyere dan Emmental—sejenis keju Swiss—kue jaffa. Ia suka. Kemudian
kita sibut menikmati berbagai hidangan malam itu.
Malam demi malam, percakapan kita suntuk jauh tak tentu
alurnya. Orang-orang sudah sepi, hanya ada beberapa pasangan kekasih muda-mudi di
sudut-sudut resto.
“Kita pulang?” ajakku. Setelah beberapa jam lamanya kita
berada di restoran Piz Glori, sebuah restoran berputar yang berada di puncak gunung
Alpen. Kita bisa melihat sejuta pemandangan yang indah, semua menghijau di
pandang oleh mata. Kupasangkan jaketnya. Kemudian berlalu dari resto Piz Gloria.
Sama halnya dengan di Prancis, ada retoran Jules Verne, sebuah restoran gastronomis mahal
di tingkat kedua Eiffel, dengan lift khusus. Restoran yang memiliki bintang
satu di Michelin Red Guide. Malam itu ada sejuta kisah kenangan yang indah saat
ini; bahwa aku telah menjadi lelaki bejat yang sebenarnya pada Loies.
Istana Pres Jncuker, Maret 2014
Note
1. Bahasa Perancis; aku sayang kamu.
*I say thanks for my Sister Lilik, for english
transliting. End i will study also. With for my fassy frienship tenks, cause
you i cand find this one inspirationt
0 Response to "Di Sebuah Restoran"
Post a Comment
Terimkasih...