-->

Di Sebuah Restoran




Oleh : Aqin Jejen

              Setelah ia pindah dari Universitas Sorbonne, Prancis:
Loies mengenal kotaku dengan sebutan, Swiss. Sejak perkenalan singkat saat sama-sama menempuh kuliah di Sorbonne, aku mengenalnya dan pada akhirnya aku jatuh cinta tanpa syarat pada wanita itu. Ia suka aneka ragam Swiss yang termashur dengan berbagai bentuk milka, netsle, dan lindt serta aneka pisau lipat dan jam tangan sekelas Rolex.
              Malam itu, kita berada di sebuah restoran.
              “Aku tidak suka menonton” ucapnya.
              “Kurasa semua kehidupan sebatas opera palsu. Hanyalah permainan Tuhan, satu-satunya film yang kusukai A Portrait of the Artist as a Young Man, kisah cinta wanita korea”ucap wanita yang berambut brunette. Namanya, Loies, kekasihku. Kutatap mata zamrud hijaunya seakan teduh flamboyan.
              “Kau tak boleh buruk sangka pada Tuhan, Sayang. Apa pun yang telah terjadi ini semua sudah takdir,”jawabku. Masih terlihat raut wajahnya tanpak sedih. Bagaimanapun caranya ia harus bersedih dengan sebuah pilihan. Kenapa ia harus bersedih? Sebab Loies memilih hidup dengan pendiriannya sendiri. Loies, memilih pasrah padaku dalam segala hal apa pun, bahkan ia rela diusir dari rumahnya gara-gara perbuatanku. Hong Yin, serta Madam Xin, Ibunya, tidak menerima kehadiranku sebagai menantunya. Aku bukanlah lelaki yang tepat menurutnya, selain kita berbeda agama, keluarga Madam Xin juga dari keluarga kalangan terhormat di Prancis. Aku bukanlah tipikal lelaki yang ideal menurut mereka. Itu sebabnya, Loies kabur bersamaku. Demi aku. Demi cinta ia pertaruhkan segalanya termasuk keluarganya  
              “Takdir kau bilang?, berarti takdir sangat kejam, Jeck” ucap Loies, menanggapi perkataanku.
              “Itu tidak benar. Sudah kukatakan jangan berburuk sangka pada Tuhan”ia mulai diam. Lalu menatapku sejenak. Mencari kebenaran yang aku katakan.
              Betapa luar biasa menurutku rasa cinta, semua sesuatu yang keras bisa terlunakkan dengan adanya cinta. Tak pelak kiranya jika repertoar Romeo end Juliet yang ditulis William Shakespeare (1564-1616) pujangga Ingris, adalah suatu hal yang menarik menurutku, hingga diimajinasikan oleh Tom Stoppard dan Marc Norman dalam film Shakespeare in love (1998). Dan aku pun sadar, aku memang tak seperti raja William, atau Louis XIV raja Prancis dan Navarre, akan tetapi cinta bukan takhta maupun harta atau pun selainnya. Cintaku tidak akan pernah pupus dengan suatu alasan apa pun. Bagiku, ia tetap seorang putri primadona di tengah jutaan wanita menurut versi Prancis, dan aku baginya adalah Tiberius I, pemuda tampan di Swiss yang diangkat sebagai kaisar Romawi sekitar Abad Besi, tahun 450 SM, yang masih kentara dengan peradaban Yunani dan Etruska saat itu.
              Loies masih diam. Kutatap matanya, ada bola api yang berpijar disana. Tidakkah itu menandakan sebuah kemarahan, mungkin hanya sebatas kesal padaku. Atau mungkin hal lain.
              Aku ajak ia menonton film James Bond. Ia tidak terlalu suka flim James Bond “On Her Majesty’s Secret”. Loies hanya bergeming tak ada jawaban, seolah tak ada gairah. Aku pun paham maksudnya, sebab untuk tinggal di kotaku mungkin butuh waktu yang tidak sebentar. Hanya saja ia tidak terbiasa hidup di Swiss, apalagi ia masih tidak banyak tau tentang negeriku. Wanita yang memiliki bentuk leher turtle neck itu menggelengkan kepalanya. Lalu tersenyum tipis dan berkata “Ich lieb di, Jeck1”. Sejenak kami terpaku saling berpandangan, heran.
              Kemudian kutawarkan ia pergi ke The Schilthorn, sebuah pegunungan Alpen Swiss. Yang menjadi latar pengambilan film James Bond. Akhir tahun nanti aku telah sepakat memilih moment tempat lain untuk jadi hiburan spesial. Kutawarkan saja jalan-jalan ke Taman nasional Swiss, di Lucerne. Pasti ia lebih suka melihat air mancur sambil berfose di sekitar taman, menyaksikan kembang api di langit-langit Lucerne. Sudah sangat lama kita tidak merasakan kehangatan bersama di bulan Desember, kehangatan pelukannya dalam gairah percintaan yang tak akan bisa aku ceritakan pada orang lain, seperti saat-saat kita masih di Prancis. Bahkan aku kira, Prancis pertama-tama adalah Terre d’Asile. Selebihnya hanya sungai Seine, toko Shakespeare & Co, atau bahkan bangku-bangku panjang di Ile Sain-Louis tempat pertama kali kami berciuman begitu panjang sampai pada akhirnya kami melebur dalam percintaan yang cukup hebat. Saat itu Loies hanya mengenakan T-shirt, karena musim panas menuntut ia kerap kali bertelanjang, tentu saja membuatku leluasa untuk melakukan hal apa pun. Terlebih tubuhnya sangat menantang, ada dua anggur merah yang masih segar di belahan dadanya. Ia kerap memintaku bercerita sistem demokrasi Swiss. Aku pun bercerita kota yang kaya itu dengan senang hati, semanis bibirnya dan selezat keju Swiss, dan aku pun menyimak gaya Loies bercerita tentang penduduk Nazi yang menyerang negeri Prancis pada tahun 1940-an, sampai akhirnya Adolf Hitler menaiki tangga puncak Eiffel untuk mengibarkan swastika. Kami pun larut dalam cerita berbagai hal tentang negriku, Swiss, dan negri kelahirannya, di Prancis. Bahkan berkali-kali kita larut dalam percintaan yang penuh gairah hingga menciptakan gelora persetubuhan sejati. Hari demi hari kita selalu begitu, menggatikan kisah usang yang lindap pada kalender yang tertanggal sebelumnya.
              “Loies, kita ke Lucerne bulan Desember nanti,”ajakku seraya tersenyum manja padanya. Ia mengedipkan matanya yang sebelah, pertanda setuju.
              Ahk, genit sekali. Gerutuku
              “Oke! Will be happy to Lucerne” jawabnya semangat.
              “Much the same whit me, like New Years at present”
              “This nigh is your birdt day also?” tanyaku, sembari menyandarkan tubuhnya dalam pelukanku. Kupeluk erat sekali. Lalu kubuka kotak kecil berwarnah merah yang terselip di balik saku blue jeans, ia sangat senang sekali melihat kalung gantungan Kastil Chillon, sebuah istana tersbesar di kota ini. Karena aku yakin, hanya pada akhir desember nanti kita bisa jalan-jalan, atau piknik kesana, menikmati perayaan tahun baru di Lucerne sekaligus merayakan ulang tahunya yang ke-19.
               Angin mendesir lirih dari lembah bebukitan di sekitar restoran, ada gelas-gelas yang berisi minuman viksi di depan meja. Musik berdawai mengalun lembut, menghentak-hentakkan hati setiap orang-orang yang duduk di sudut meja. Aku sedikit terlihat romantis bersamanya, aku begitu tertarik melihat senyumnya, karena semakin lama memandang senyumnya aku semakin betah, seakan lebur dengan manis keju Swiss yang tersisa di mulutku. Rambutnya terjuntai,  terhempas angin. Kulitnya putih langsat, bergemerlap bintik-bintik keringat yang disinari cahaya lampu-lampu ornamental. Samar-samar kulihat ada kalung salib melingkar di lehernya. Sejenak aku menatapnya lebih lama. Terpaku, ternyata ia masih enggan berterus terang untuk pindah agama,. Padahal beberapa bulan lalu ia telah berjanji akan meninggalkan agama kristen, meninggalkan ajaran Bibel, tante Yenne telah mengajari bagaimana beragama yang benar. Selama ini Loies menjadi wanita pemberontak yang mempertentangkan ajaran kedua orang tuanya, itu semenjak kenal denganku. Itu sebabnya keluarga Madam Xin tidak suka padaku.
              “Loies, kau masih memakai kalung ini?” tanyaku, sembari kugenggam kalungnya. Ia menepis tanganku lalu berpaling.  Ada air mata yang menetes di pipinya. Aku tidak tega. Lalu kuhapus linangan airmatanya dengan jari-jariku
              “Demi mencintamu, aku rela meninggalkan agamaku, Jeck” jawab, Loies tersedu. Tubuhnya tergoncang-goncang menahan tangisan.
              “Aku mengerti”
              “Kau tak lagi menancapkan lidi-kidi hio sua setelah selesai berdoa kan?”lanjutku. Loies menggelengkan kepalanya.
              “Sekarang aku hanya berdo’a pada Allah. Satu-satunya tuhan yang kutemukan dalam cinta. Bahwa tuhan ada dalam cinta”Aku pun terdiam, aku tidak pandai memahami kata-kata sufiistik yang seperti itu. Aku bukan orang yang begitu bodohnya untuk melarutkan ia dalam kesedihan. Aku mengerti, kenapa Loies, masih diam-diam tanpa sepengetahuan keluargannya, Madam Xin, pindah agama. Tidak gampang memang melakukan itu semua. Aku rasa sudah cukup selama ini ia berkorban untukku, namun pindah agama bukan sebuah pengorbanan menurutku, melainkan sebuah keyakinan. Kita terdiam beberapa menit lamanya, enyah dari percakapan itu--tidak memperpanjang masalah-- Lalu, ia mulai mencicipi menu hidangan di depannya, ada roti matzo, potongan liver dan harring serta bola-bola ikan gefilte, aku hanya mengambil Fondue, keju atau cokelat panas yang dicairkan sedemikian rupa sampai membentuk saus untuk celupan roti atau buah, Gruyere dan Emmental—­sejenis keju Swiss—kue jaffa. Ia suka. Kemudian kita sibut menikmati berbagai hidangan malam itu.
              Malam demi malam, percakapan kita suntuk jauh tak tentu alurnya. Orang-orang sudah sepi, hanya ada beberapa pasangan kekasih muda-mudi di sudut-sudut resto.
              “Kita pulang?” ajakku. Setelah beberapa jam lamanya kita berada di restoran Piz Glori, sebuah restoran berputar yang berada di puncak gunung Alpen. Kita bisa melihat sejuta pemandangan yang indah, semua menghijau di pandang oleh mata. Kupasangkan jaketnya. Kemudian berlalu dari resto Piz Gloria. Sama halnya dengan di Prancis, ada retoran Jules Verne, sebuah restoran gastronomis mahal di tingkat kedua Eiffel, dengan lift khusus. Restoran yang memiliki bintang satu di Michelin Red Guide. Malam itu ada sejuta kisah kenangan yang indah saat ini; bahwa aku telah menjadi lelaki bejat yang sebenarnya pada Loies.
                                                Istana Pres Jncuker, Maret 2014


Note
1.      Bahasa Perancis;  aku sayang kamu.

*I say thanks for my Sister Lilik, for english transliting. End i will study also. With for my fassy frienship tenks, cause you i cand find this one inspirationt

0 Response to "Di Sebuah Restoran"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel