Menuntaskan Rindu Ala Eka Kurniawan
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Siapa yang tak kenal
dengan penulis buku novel yang berjudul “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar
Tuntas,” yang dalam sejarahnya telah menghantarkan seorang novelis menjadi penulis
best seller hatta beberapa novelnya diterjemahkan ke dalam pelbagai
bahasa dunia. Ia adalah alumnus UGM jurusan filsafat, yang memiliki nama Eka
Kurniawan. Sebab pilihan jurusan yang ia tempuh, kata Eka tak mungkin untuk
menarik dirinya menjelma menjadi seorang filsuf sekaliber Maxs dan Plato.
Sebab, spirit belajar
yang tak pernah pupus dalam dunia sastra, meski katanya, saat menghadiri Talk
Show pada kegiatan Lomba Cerpen SM’s Day yang diselenggarakan oleh
Universitas Trunojoyo Madura (UTM) kemarin (28/10) Eka mengaku hampir saja, ia
akan terlempar pada tumpukan kemalasan dan godaan yang melenakan untuk menjadi
seorang entrepreneur yang sekaligus meninggalkan dunia kepenulisan. “Untuk
orang semacam saya. Dulu, untuk menjadi penulis novel memang harus benar-benar
punya kometmen yang lebih dari pada yang lain. Saya memang tak pernah berfikir
mencari uang dengan menulis, karena menulis adalah kebutuhan bagi saya,” akunya
sembari disambut tepuk tangan oleh peserta Talk Show.
Penulis novel Lelaki
Harimau itu, dengan wajah yang ceriah, berkacamata, Eka menlanjutkan monolognya
bahwa untuk menaiki tangga karir seorang penulis sastra mahasiswa harus menjadi
bagian yang berbeda dari pada mahasiswa yang lain. Apalagi, lanjut Eka, sastra
dihubungkan dengan konteks pendidikan di Indonesia masa kini. Secara prinsipil
Eka memang menilai bahwa sastra dipandang tak banyak berpengaruh dalam kancah
pendidikan Indonesia bahkan ada yang menganggabnya sebagai ampas tahu. Tapi,
bukan tak dipandang perlu, karena sastra secara pengertian adalah cara mengajar
atau cara untuk menyampaikan pengajaran berupa pesan-pesan moral terhadap
seseorang. Sehingga sastra yang berasal dari bahasa Sansakerta dari “cas” dan ditambah
“tra”mempunyai makna mengajar. Sastra adalah medium-medium bahasa untuk
mengajarkan moral dan pendidikan terhadap masyarakat denga cara yang enak dan
menarik.
Selaku Juri Lomba
menulis Cerpen dalam kegiatan itu, Eka juga mengomentari bagaimana proses
kretif yang mesti dilakukan seorang penulis dan bagaimana tips-tips menjadi
seorang penulis yang tak berguna bisa mejadi berguna bahkan menjadi penulis hebat seperti dirinya. Sengaja, panitia Lomba
Cerpen SM’s Day UTM mengangkat tema cerpen “Membongkar Stereotip Masyarakat
Madura,” yang menurut Eka sudah ditampilkan dalam segelintir cerpen meski pada
dasarnya sangat sederhana. Eka mencontohkan sebagai seorang cerpenes, untuk
mengatakan bahwa kita bercerita tentang Madura, maka tak usah dalam satu baris
cerpenpun menyebut kata “Madura”. Karena menyebut kata Madura akan menjadi
cerita yang sama dengan kebanyakan cerita yang ditulis oleh seorang cerpenis. Cerita
yang ditulis, kata Eka, tak banyak memberikan informasi tentang ke-Maduraa-an,
karena itu Eka mengaku sudah banyak tahu tentang masyarakat Madura secara umum
tanpa membaca cerpen peserta lomba, seperti; punya tipikal yang keras dengan stetmen—lebih
baik putih tulang dari pada putih mata—yang bagi Eka sudah menjadi wacana
klasik yang tetap diangkat kemuka. “Seharusnya, penulis cerpen mengambil yang
berbeda dari yang lain. Yang tak pernah
orang lain berfikir kita mau menulis apa,” katanya.
Mari Tuntaskan
Rindu;
Berbagi Masalalu,
Tak Perlu Sembilu
Sebagai seorang
mahasiswa tentu, Eka sangat paham apa yang harus dibicarakan kepada mahasiswa
dan mahasiswi yang hadir waktu itu. Ya, salah satunya, kita bernostalgia dengan
masalalu; menuntaskan rindu, mencarikan solusinya, dan tak perlu ada dendam
meski Eka mengangkap rindu bagaikan dendam membara bergejolak yang membawa sembilu.
“Apa semua merasakan
sakit hati?” tentu banyak mahasiswa dan mahasiswi yang tertohok dengan
pertanyaan demikian. Kita sebagai generasi “Jaman Now” meski harus selalu
bertatapan dengan kisah-kisah hubungan percintaan yang meninggalkan jejak luka,
atau kalau meminjam istilah yang beken tergores pisau cinta. Gkgkgk, lebayyy...
Sebab itulah, rindu
selalu mempunyai tempat dan ruang tersendiri untuk dituangkan dalam sebuah
wadah tanpa terikat dengan jarak dan waktu. Inilah kata Eka yang memperpanjang dinamika
kehidupan menjadi deretan berwarna-warni dengan keindahan yang lebih merata.
Maka, tepat pula Eka untuk menuntaskan rindu itu pada mahasiswa dan mahasiswi
yang telah kapok dengan urusan gila-gila-an dalam hal cinta. “Mari tuntaskan
rindunya Mas Eka?” katanya mahasiswi yang memandu kegiatan Talks Show. Sembari
disambut seruan kor “huuuuu....” dari seluruh peserta..
Akhirnya, setelah
membuka pertanyaan dan Eka menjawab dengan santai bagai meneguk kopi, pemandu
acara menutup dengan foto-foto bersama dan meminta tandatanga kepada Mas Eka...Berikut
Fotonya. Hohoho..:D
0 Response to "Menuntaskan Rindu Ala Eka Kurniawan"
Post a Comment
Terimkasih...