-->

Surat Buat Para Senior Ikstida!



Pada malam Jum’at kemarin (2/11) adalah waktu yang terakhir kalinya bagi saya untuk mengisi acara Masa Orientasi Anggota Baru (Mantab) tahun 2017-2018 M., di organisasi Ikstida. Tahun-tahun berikutnya, saya sudah tak bisa bersama teman-teman Ikstida untuk sekadar bercengkrama, berdiskusi sambil ngopi, bernostaligia masalalu, dan atau bernyanyi saat acara rutinitas—semua berlalu begitu saja selama lima tahun lebih berada dalam barisan organisasi Timur Daya (Mor-Dejhe). Waktu yang sangat panjang untuk ukuran saya berproses.

Kegiatan Mantab hari ini. Sengaja, panitia mengangkat tema yang cukup serius sekaligus radikal, penuh dengan ideologis dan tantangan, sebuah premis yang dilahirkan dari dinamika santri masa kini (Jaman Now), yang katakanlah menurut kaum modernis ada ijtihad dan langkah baru yang sedikit maju, meski barang sejengkal atau lebih. Tertera dalam benner Mantab dengan tema: “Membangun Jihad Santri dalam Berorganisasi,” tema yang menurut saya perlu dimantapkan terutama dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan kepada anggota baru Ikstida. Mereka harus tahu apa dan mengapa harus “Jihad” kenapa bukan Ijtihad?

Ya, saat pertama kali saya tanyakan kepada para peserta, mereka menjawab dengan cara mereka masing-masing, ada yang dengan berdiam diri seperti batu; seolah-olah tak menghiraukan, acuh tak acuh, dan (alhamdulillah) ada yang menjawab meski sekadar asal-asalan, padahal materi sudah disampaikan oleh penyaji sebelumnya, pada studium general atau introductory general studies. Seperti biasa, mereka ada yang mendengar ada yang mencatat, ada yang sekaligus mendengar dan mencatat, ada pula yang tidak sama sekali alias tidur atau bergurau (maklum anggotanya terbagi dari tiga jenjang, baik dari MTs, MA, dan Mahasiswa).

Keadaan ini, secara prinsipil sangat mempengaruhi pengurus Ikstida untuk menciptakan iklim pengetahuan yang tak sebanding dengan awal mula Ikstida bangkit dari para founding fathers, K. Thabrani, K. Shanhaji, dan K. Farasdaq dari Gapura misalkan, pertama kali bermusyawarah berbincang-bincang ingin membentuk organisasi yang dapat mengakomodir santri dari empat kecamatan sekaligus. Kita memiliki satu basis gerakan yang berbeda dalam satu moment dan ruang lingkup yang berbeda. Sudah 33 tahun Ikstida merangkak dari bangunan yang sangat kecil dan rapuh menjadi organisasi yang besar secara kwantitas dan kualitas (di masanya). Mungkin kita harus bangga kepada para pendiri Ikstida bisa mengalahkan satu organisasi brutal (Group Setan) menjadi haluan organisasi Mor Dhaja waktu itu, atau kita mesti bangga karena Ikstida sudah berani menampilkan satu kegiatan Pengajian Umum pertama kali yang sangat besar di Pendopo Gapura dan dihadiri oleh semua santri dari Timur Daya, baik dari PP. Nurul Jadid Painton Probolinggo, PP. Salafiyah Syafi’iyyah, dan PP. Al-Is’af, Kalabaan, Guluk-guluk. Sebab itulah, Ikstida bukan lagi bagian dari organisasi santri yang primitif dan kolot sekaligus konservatif. Namun, di lain sisi kita meski harus gigit jari dengan capaian prestasi yang telah diraih organisasi terbesar ini di Lubangsa.

Kenapa mesti saya katakan gigit jari?

Pada tahun 1991 Ikstida Putri bangkit dengan sendirinya, atas dasar kesadaran adanya organisasi Ikstida yang dianggap peting oleh santri. Menurut Maftuhah Jakfar (Batuputih) ketua pertama Ikstida Putri, dalam rentang sejarahnya Ikstida Putri sudah mampu menyelenggarakan kegiatan seperti Pengajian Umum tanpa bergantung kepada Ikstida Putra. Tentu, secara kwantitas kekuatan Ikstida bertambah, orang-orang hebat di Ikstida bertambah seiring roda waktu berputar, generasai Ikstida bertambah, sistem organisasi bertambah, dan segalanya bertambah, tapi kemana mereka semua hari ini?

Banyak para senior meninggalkan Ikstida untuk berbagai kepentingan yang dapat diterima secara legal-formal, baik boyong dari pondok pesantren melanjutkan kuliah, atau boyong dari pesantren untuk menikah sebagai pilihan akhir. Mereka (para alumni) sudah banyak yang sukses menjadi orang yang diorangkan oleh masyarakat ada yang sukses di bidang karir intelektualnya, semua seakan berlalu begitu saja dari satu fragmen sejarah Ikstida untuk sekadar mengingat dan merindukan organisasi Ikstida dulu, di pesantren.

Kalau saja kalian tahu. Ikstida untuk hari berada dalam satu pusaran yang sangat dilematis untuk menentukan satu pilihan yang idealis, sulit beradabtasi seperti dulu, sulit berkomunikasi dengan para alumni, sulit mendapat sentuhan dan ayoman dari para senior atau alumnni yang sebagian sudah menjadi sukses di negeri orang. “Mereka sengaja melupakan atau mereka merasa dilupakan?” pertanyaan ini beberapa kali tertahan dan baru hari ini saya berani menulisnya dengan bentuk cerita yang, bagi arek-arek Ikstida adalah mengeluh atau mengaduh. Jika Ikstida ibarat sebuah bangunan keluarga, mereka (pengurus dan anggota Ikstida) ditinggalkan oleh seorang Bapak dan Ibu, mereka tidak memiliki orang tua yang peduli, mereka tidak memiliki  orang tua yang sayang kepada anaknya, mereka pantas melakukan kehendak hatinya untuk menuntaskan sebuah kemarahan.

Kadang. Beberapa kali ada senior yang sudah mentang-mentang merasa hebat luar biasa, bahkan untuk sekadar dijadikan pemateri di Ikstida begitu risi dan ogah, merasa Ikstida bukan kelasnya, merasa Ikstida bukan tempat berbagi ilmu pengetahuan untuk ukuran dirinya. Mungkin itulah bagi Foucault manusia berada pada poros post-modernisme yang lebih mementingkan deretan prestasi untuk dipamerkan bukan untuk didedikasikan, punya ilmu untuk dijual belikan bukan untuk diajarkan, memiliki kekuasaan untuk memperkaya barisan bukan untuk kemaslahatan.

Sembari menggigit jari, kita di Ikstida juga merintih, sedih sekaligus senang bercampur seketika saat menemukan senior macam itu. Tak jarang, kita mesti menelan ludah pahit, ketika menemukan kenyataan yang tak terbanding lurus dengan realitas yang ada. Memikirkan Ikstida dikira kurang kerjaaan, menghadiri Ikstida dikira membuang-buang waktu, membesarkan Ikstida dikira tak punya jaringan. Faktor romantisme masalalu dan perkelahian antar otonom di Ikstida menjadi resistansi alasan yang kurang kuat dan terkesan dibuat-buat.

Hari ini, hari di mana pengurus ingin merekonstruksi bangunan Ikstida menjadi organisasi yang benar-benar memiliki tugas dan fungsi (Tupoksi) sesuai dengan organisasi otonom di Ikstida. Kita bukan tidak punya kerjaan memikirkan Ikstida untuk kemajuan santri berproses mencari ilmu pengetahuan, kita bukan tak punya jaringan karena hanya menekuni Ikstida sebagai satu-satunya organisasi yang dibesarkan. Kita lebih dari itu, memikirkan masa depan agama dan negara. Organisasi ini masih perawan dari intervensi politik yang digerakkan untuk kepentingan kelompok tertentu demi mencapai satu keinginan yang terselubung dengan berbagai kepentingan pribadi, organisasi ini bukan mesin  yang kemanapun dapat dikendarai sesuka-suka hatinya. Salam Ikstida!     


*Penulis adalah mantan Sekretaris Jendral (Sekjen) Ikstida 2014-2015 M.     
  

0 Response to "Surat Buat Para Senior Ikstida!"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel