Surat Buat Para Senior Ikstida!
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Pada
malam Jum’at kemarin (2/11) adalah waktu yang terakhir kalinya bagi saya untuk mengisi
acara Masa Orientasi Anggota Baru (Mantab) tahun 2017-2018 M., di organisasi
Ikstida. Tahun-tahun berikutnya, saya sudah tak bisa bersama teman-teman
Ikstida untuk sekadar bercengkrama, berdiskusi sambil ngopi, bernostaligia
masalalu, dan atau bernyanyi saat acara rutinitas—semua berlalu begitu saja
selama lima tahun lebih berada dalam barisan organisasi Timur Daya (Mor-Dejhe).
Waktu yang sangat panjang untuk ukuran saya berproses.
Kegiatan
Mantab hari ini. Sengaja, panitia mengangkat tema yang cukup serius sekaligus
radikal, penuh dengan ideologis dan tantangan, sebuah premis yang dilahirkan
dari dinamika santri masa kini (Jaman Now), yang katakanlah menurut kaum
modernis ada ijtihad dan langkah baru yang sedikit maju, meski barang sejengkal
atau lebih. Tertera dalam benner Mantab dengan tema: “Membangun Jihad
Santri dalam Berorganisasi,” tema yang menurut saya perlu dimantapkan
terutama dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan kepada anggota baru Ikstida.
Mereka harus tahu apa dan mengapa harus “Jihad” kenapa bukan Ijtihad?
Ya,
saat pertama kali saya tanyakan kepada para peserta, mereka menjawab dengan
cara mereka masing-masing, ada yang dengan berdiam diri seperti batu; seolah-olah
tak menghiraukan, acuh tak acuh, dan (alhamdulillah) ada yang menjawab
meski sekadar asal-asalan, padahal materi sudah disampaikan oleh penyaji
sebelumnya, pada studium general atau introductory general studies.
Seperti biasa, mereka ada yang mendengar ada yang mencatat, ada yang sekaligus
mendengar dan mencatat, ada pula yang tidak sama sekali alias tidur atau
bergurau (maklum anggotanya terbagi dari tiga jenjang, baik dari MTs, MA, dan
Mahasiswa).
Keadaan
ini, secara prinsipil sangat mempengaruhi pengurus Ikstida untuk menciptakan
iklim pengetahuan yang tak sebanding dengan awal mula Ikstida bangkit dari para
founding fathers, K. Thabrani, K. Shanhaji, dan K. Farasdaq dari Gapura
misalkan, pertama kali bermusyawarah berbincang-bincang ingin membentuk
organisasi yang dapat mengakomodir santri dari empat kecamatan sekaligus. Kita
memiliki satu basis gerakan yang berbeda dalam satu moment dan ruang lingkup
yang berbeda. Sudah 33 tahun Ikstida merangkak dari bangunan yang sangat kecil
dan rapuh menjadi organisasi yang besar secara kwantitas dan kualitas (di
masanya). Mungkin kita harus bangga kepada para pendiri Ikstida bisa
mengalahkan satu organisasi brutal (Group Setan) menjadi haluan organisasi Mor
Dhaja waktu itu, atau kita mesti bangga karena Ikstida sudah berani
menampilkan satu kegiatan Pengajian Umum pertama kali yang sangat besar di
Pendopo Gapura dan dihadiri oleh semua santri dari Timur Daya, baik dari PP.
Nurul Jadid Painton Probolinggo, PP. Salafiyah Syafi’iyyah, dan PP. Al-Is’af,
Kalabaan, Guluk-guluk. Sebab itulah, Ikstida bukan lagi bagian dari organisasi
santri yang primitif dan kolot sekaligus konservatif. Namun, di lain sisi kita
meski harus gigit jari dengan capaian prestasi yang telah diraih organisasi
terbesar ini di Lubangsa.
Kenapa
mesti saya katakan gigit jari?
Pada
tahun 1991 Ikstida Putri bangkit dengan sendirinya, atas dasar kesadaran adanya
organisasi Ikstida yang dianggap peting oleh santri. Menurut Maftuhah Jakfar
(Batuputih) ketua pertama Ikstida Putri, dalam rentang sejarahnya Ikstida Putri
sudah mampu menyelenggarakan kegiatan seperti Pengajian Umum tanpa bergantung
kepada Ikstida Putra. Tentu, secara kwantitas kekuatan Ikstida bertambah,
orang-orang hebat di Ikstida bertambah seiring roda waktu berputar, generasai
Ikstida bertambah, sistem organisasi bertambah, dan segalanya bertambah, tapi
kemana mereka semua hari ini?
Banyak
para senior meninggalkan Ikstida untuk berbagai kepentingan yang dapat diterima
secara legal-formal, baik boyong dari pondok pesantren melanjutkan kuliah, atau
boyong dari pesantren untuk menikah sebagai pilihan akhir. Mereka (para alumni)
sudah banyak yang sukses menjadi orang yang diorangkan oleh masyarakat ada yang
sukses di bidang karir intelektualnya, semua seakan berlalu begitu saja dari
satu fragmen sejarah Ikstida untuk sekadar mengingat dan merindukan organisasi
Ikstida dulu, di pesantren.
Kalau
saja kalian tahu. Ikstida untuk hari berada dalam satu pusaran yang sangat
dilematis untuk menentukan satu pilihan yang idealis, sulit beradabtasi seperti
dulu, sulit berkomunikasi dengan para alumni, sulit mendapat sentuhan dan
ayoman dari para senior atau alumnni yang sebagian sudah menjadi sukses di
negeri orang. “Mereka sengaja melupakan atau mereka merasa dilupakan?” pertanyaan
ini beberapa kali tertahan dan baru hari ini saya berani menulisnya dengan
bentuk cerita yang, bagi arek-arek Ikstida adalah mengeluh atau mengaduh. Jika
Ikstida ibarat sebuah bangunan keluarga, mereka (pengurus dan anggota Ikstida)
ditinggalkan oleh seorang Bapak dan Ibu, mereka tidak memiliki orang tua yang
peduli, mereka tidak memiliki orang tua
yang sayang kepada anaknya, mereka pantas melakukan kehendak hatinya untuk
menuntaskan sebuah kemarahan.
Kadang.
Beberapa kali ada senior yang sudah mentang-mentang merasa hebat luar biasa,
bahkan untuk sekadar dijadikan pemateri di Ikstida begitu risi dan ogah, merasa
Ikstida bukan kelasnya, merasa Ikstida bukan tempat berbagi ilmu pengetahuan
untuk ukuran dirinya. Mungkin itulah bagi Foucault manusia berada pada poros post-modernisme
yang lebih mementingkan deretan prestasi untuk dipamerkan bukan untuk didedikasikan,
punya ilmu untuk dijual belikan bukan untuk diajarkan, memiliki kekuasaan untuk
memperkaya barisan bukan untuk kemaslahatan.
Sembari
menggigit jari, kita di Ikstida juga merintih, sedih sekaligus senang bercampur
seketika saat menemukan senior macam itu. Tak jarang, kita mesti menelan ludah
pahit, ketika menemukan kenyataan yang tak terbanding lurus dengan realitas
yang ada. Memikirkan Ikstida dikira kurang kerjaaan, menghadiri Ikstida dikira
membuang-buang waktu, membesarkan Ikstida dikira tak punya jaringan. Faktor
romantisme masalalu dan perkelahian antar otonom di Ikstida menjadi resistansi
alasan yang kurang kuat dan terkesan dibuat-buat.
Hari
ini, hari di mana pengurus ingin merekonstruksi bangunan Ikstida menjadi
organisasi yang benar-benar memiliki tugas dan fungsi (Tupoksi) sesuai dengan
organisasi otonom di Ikstida. Kita bukan tidak punya kerjaan memikirkan Ikstida
untuk kemajuan santri berproses mencari ilmu pengetahuan, kita bukan tak punya
jaringan karena hanya menekuni Ikstida sebagai satu-satunya organisasi yang
dibesarkan. Kita lebih dari itu, memikirkan masa depan agama dan negara.
Organisasi ini masih perawan dari intervensi politik yang digerakkan untuk
kepentingan kelompok tertentu demi mencapai satu keinginan yang terselubung dengan
berbagai kepentingan pribadi, organisasi ini bukan mesin yang kemanapun dapat dikendarai sesuka-suka
hatinya. Salam Ikstida!
*Penulis
adalah mantan Sekretaris Jendral (Sekjen) Ikstida 2014-2015 M.
0 Response to "Surat Buat Para Senior Ikstida!"
Post a Comment
Terimkasih...