The Story of Hamzah Fansuri
Tuesday, November 1, 2016
Add Comment
(Riwayat Hidup,
Karya, Pemikran dan Ajarannya)
Oleh: Jamalul
Muttaqin[1]
Mengenal tokoh
sufi minor Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah salah satu tokoh tasawuf yang
sangat penting dalam sejarah pemikiran tasawuf di Nusantara pada umumnya, dan
Aceh pada khususnya. Akan tetapi, tidak banyak yang dapat diketahui tentang
kehidupan pribadinya. Siapa sebenarnya sosok tokoh Hamzah Fansuri ini, ternyata
tidak ada informasi yang pasti mengenai tanggal lahir dan waktu meninggalnya.
Sampai saat ini, belum ditemukan manuskrip yang menginformasikan tentang
riwayat dan masa hidupnya. Walaupun demikian, sebuah teori yang dikemukakan
oleh Karel A. Steenbrink menyebutnya bahwa usaha untuk menemukan gambaran
seorang tokoh dapat ditelusuri melalui sumber ekstern, yaitu mencari data dari
cerita atau tulisan keturunannya dan orang yang datang kemudian.[2]
Kalau kita belajar tentang tasawuf Nusantara, maka tidak
akan asing lagi di telinga kita dengan nama Hamzah Fansuri. Ulama sufi ini
dikenal sebagai salah satu perlopor sastra melayu yang berkembang di Aceh,
ketika Kerajaan Aceh telah mencapai puncak kejayaannya pada abad XVII. Pada
saat itu, zaman kerajaan Islam Samudera/Pasai diperintah Sulthan Alaiddin
Malikussalih (659-688 H/1261-1289 M.) Aceh
banyak dikunjungi para cendikiawan (ulama dan pujangga), baik dari manca negara
maupun domestik. Di antara mereka yang datang ini ada yang kemudian menetap di
Aceh dan ada pula yang kembali ke negeri asalnya. Selama di Aceh mereka ada
yang berprofesi guru sebagai pengajar, khususnya dalam ilmu agama dan ada juga
sebagai pengarang buku tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Karena
banyaknya guru dan pengarang yang berdomisili di Aceh, sehingga menghantarkan
kota itu sebagai “kiblat” peradaban, studi tentang Islam, dan ilmu pengetahuan
lainnya di Nusantara pada waktu itu[3]
Banyak ulama besar Parsi yang datang ke sana untuk
mengajar pada pusat Pendidikan Islam yang bernama “Dayah”, maupun untuk
menyumbangkan tenaganya pada lembaga-lembaga pemerintahan. Salah seorang
diantara ulma besar yaitu “nenekmoyangnya” Ali dan Hamzah, yang dipercayakan
oleh kerajaan untuk memimpin Pusat Pendidikan yang bernama Daya Blang Pria.
Ulama besar tersebut terkenal degan nama Syekh al-Fansuri, hatta
keturunannya yang menjadi ulama memakai nama “Fansur” di ujung namanya.[4]
Pada masa Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil memerintah
Kerajaan Aceh Darussalam (997-1011 H/1589-1604 M.), dua orang Ulama turunan
Syekh Al Fansuri mendirikan dua buah Pusat Pendidikan Islam di pantai barat
Tanah Aceh, yaitu di Daerah Singkel. Ali yang telah menjadi Syekh Ali Fansuri mendirikan
Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan, sementara adiknya, Hamzah, yang
telah menjadi Syekh Hamzah Fansuri mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri
Rundeng.[5]
Dalam tahun (1001 H/1592 M.), Syekh Ali Fansuri dikuruniai
seorang putera dan diberi nama Abdurrauf, yang kemudian menjadi seorang Ulama
Besar yang bergelar Syekh Abdurrauf Fansuri dan lebih terkenal dengan lakab
Teungku Syiahkuala. Abdurrauf Syiahkuala kemudian menjadi lawan terbesar dari “Filsafat
Ketuhanan” Wahdatul Wujud yang dianut pamannya, Syekh Hamzah Fansuri,
dan Khalifahnya yang terkenal Syekh Syamsuddin Sumatrani. Syek Abdurrauf
Fansuri dan Nuruddin Ar Raniri adalah dua tokoh Ulama Besar penganut dan
penegak Filsafat Ketuhanan Isnainiyatul Wujud, yang nantinya menentang
ajaran Hamzah Fansuri.[6]
Hamzah Fansuri inilah yang kemudian menjadi salah satu
tokoh sufi yang cukup dikena dan menjadi bahan studi para ilmuwan dan sastrawan
sampai sekarang ini. Syed Muhammad Naquib al-Attas (1965) dan Teuku Iskandar
(1966. Diperkirakan ia lahir antara abad ke-16-17 M.
Berkaitan dengan rentang hidup Hamzah Fansuri terdapat belbagai
perbedaan pendapat di antara para ahli. Setidaknya ada dua pendapat. Pendapat yang
pertama, Abdul Rahim Yunus[7]
mengatakan bahwa ia lahir dan hidup pada pertengahan abad ke-16 M., sampai akhir
abad ke-16 M., yaitu pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah al-Mukammil
(1596-1604 M), sebelum masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), ia
sudah wafat.
Pendapat kedua mengatakan dari beberapa tokoh,
seperti Kreamer, Doorenbos, Windstedt, Harun Hadiwijoyo, Ali Hasyim, Syed
Muhammad Naguib al-Attas, dan Braginsky,[8]
bahwa Hamzah Fansuri hidup pada masa akhir abad ke-16 M. sampai awal abad ke-17
M., bahkan hingga tahun 1636 M., enam tahun sesudah Syamsuddin Pasai wafat. Ia
diperkirakan hidup pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil
sampai pada masa Sultan Iskandar Muda dan menjadi orang yang berpengaruh di
Kerajaan Aceh.
Di perkirakan ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Muda
Ali Riayat Syah (1604-1607) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).[9]
Dalam sajaknya dijelaskan bahwa beliau hidup pada masa Kerajaan Aceh Darussalam
di bawah pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil
(997-1011 H/1589-1604 M.):
Hamba mengikat syair ini,
Di bawah hadlarat raja wali.
Syah Alam raja yang adil,
Raja kutub sempurna kamil,
Wali Allah sempurna wasil,
Raja arif lagi Mukammil.[10]
Dalam Jurnal Terjemahan Alam & Tamadul Melayu, vol.
1, (2009), Claudi Guillot, dalam tulisan Batu Nisan Hamza Fansuri melakukan penelitian arkeologi yang dilakukan
di situs Barus, dalam salah satu nisan terdapat nama Fansur, ia
terperanjat saat mengetahui jika nama
makam itu Syakh Hamzah Fansuri, yang meninggal pada 9 Rajab 933, yakni 11 April
1527.[11]
Jika ditanya di manakah gerangan makam Hamzah Fansuri,
maka ada beberapa pendapat yang menyertainya. Yang pertama, mengatakan, bahwa
makam Hamzah Fansuri terletak di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota
Subulussalam, sekitar 14 kilometer dari Kota Subulussalam, Aceh Selatan yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidikalang, Sumatera Utara, atau sekitar
tujuh jam perjalanan darat dari Medan.
Makam satunya lagi berada di Desa Ujung Pancu, Kecamatan
Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Namun menurut cerita yang diturunkan dari
generasi ke generasi, Hamzah Fansuri pernah tinggal di kedua tempat itu dan
meninggalnya pun di klaim berada di kedua tempat itu pula. Makam lainnya, konon
berada di Langkawi, Malaysia. Pendapat terakhir mengatakan, makam Hamzah
Fansuri berada di Makkah.
Namun, dari berbagai pendapat mengenai letak makam sang
Hamzah Fansuri yang mashur itu, konon yang patut dipercaya adalah yang berada
di Desa Oboh yang juga terkenal dengan sebutan makam Mbah Oboh. Karena,
meski sama-sama tak memiliki bukti kuat berupa catatan sejarah, namun dari
kisah 'orang-orang dulu', makam di Desa Oboh kiranya yang lebih diakui oleh
pemerintah, dengan bukti pemberian anugerah kebudayaan. Penyair dan ahli
tasawuf Aceh abad ke 17 tersebut, Selasa (13/8/2013) lalu mendapat anugerah
Bintang Budaya Parama Dharma, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam acara penganugerahan Bintang Maha
Putera, dan Tanda Jasa di Istana Negara.[12]
Menurut Naquib Al-Attas, untuk melihat tempat kelahiran
beliau, kita dapat melihat dari syair-syairnya. Dugaan bahwa ia lahir di Fansur,[13]
adalah sebagaimana puisi-puisi berikut:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi[14]
Para ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa
Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahr Nawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka
dalam mengidentifikasikan tanah Syahr Nawi itu, ada yang mengatakan dengan petunjuk
bahwa Syahr Nawi tanah Aceh itu sendiri, ada yang menunjuk bahwa Sayhr Nawi itu
tanah Siam[15].
Dalam sajak yang lain, yang diciptakannya waktu Hamzah
sedang berada di Kota Quddus (Baital Maqdis/Darussalam) Palestina, dijelaskan
bahwa tanah airnya adalah Tanah Aceh:
Hamzah gharib Uanggas Quddusi,
Akan rumahnya Baitul Makmuri,
Kursinya sekalian kapuri,
Di Negeri Fansuri minal asyjari.
Waktu sedang di rantau (Kota Quddus, Palestina), Hamzah menerangkan
bahwa rumahnya (tempat lahirnya) di Baitul Makmur, nama lain dari Aceh
Darussalam, tegasnya di Kampung Oboh Simpang Kiri (Singkel) yang telah berubah
namanya menjadi “Negeri Fansuri”, semenjak Hamzah mendirikan Dayah (Pusat Pendidikan
Islam) di kampung tersebut[16].
Pendidikan dasar Hamzah Fansuri diperolehnya di daerah
Fansur. Menurut Hasyim yang dikutip oleh Abdul Hadi, bahwa Fansur pada masa
itu, selain dikenal sebagai kota perdagangan kapur Barus, dikenal juga sebagai
kota pendidikan. Karenanya tidak heran kalau di daerah Fansur, Hamzah Fansuri
belajar di masa kecilnya.[17]
Kemudian, dengan tujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia mengembara
keberbagai negara di dunia, misalnya ke Baghdad yang pada waktu itu dikenal
sebagai pusat pengembangan Tarikat Qadiriyah. Hal ini dapat dilihat pada
syairnya:
Beroleh Khalifa Ilmu yang Ali
Dari pada Abd Qadir Jailani.[18]
Syair di atas memberi isyarat bahwa Hamzah Fansuri adalah
murid Abd Al-Qadir Jailani, dapat pula dikatakan bahwa ia penganut tarekat
Qadiriyah.[19] Hamzah Fansuri menerima tarekat ini sewaktu
ia menuntut ilmu di kota Baghdad, pusat penyebaran tarekat Qadiriyah. Di kota
inilah ia menerima baiat (bai’at) dan ijazah dari tokoh sufi
Qadiriyah untuk mengajar Tarekat Qadiriyah, bahkan pernah diangkat menjadi mursyid
(pembimbing spritual) dalam tarikat ini. Dengan demikian Hamzah Fansuri
dianggap sebagai orang Indonesia pertama yang dikenal secara pasti menganut
Tarikat Qadiriyah.
Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti
Baghdad, Mekkah, Madinah, dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta
mengembangkan ajaran tasawuf sendiri.[20]
Ajaran tasawuf yang dikembangkan Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi pemikiran
wujudiyah Ibn al-Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin Iraqi. Sedangkan
karangan-karangan syairnya banyak dipengaruhi Fariruddin al-Athar (w.607 H/1220
M),[21]
Jalaluddin Rumi (w. 672 H/ 1273 M),[22]
dan Abdurrahman al-Jami (w. 898 H/1494 M).[23]
Hamzah Fansuri sang penyair sufi
Syeikh Hamzah Fansuri diakui salah seorang pujangga Islam
yang sangat populer di zamannya, sehingga kini namanya menghiasi
lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber
besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Puisi-puisinya banyak diperbincangkan dan menjadi rujukan
sastrawan-sastrawan setelahnya[24].
Dalam sebuah buku pengantar Hamzah Fansuri Penyair
Sufi Aceh, yang ditulis oleh A. Hasmy, dan dalam pengarang buku “The Mysticism of Hamzah Fansuri”, Prof. Dr. Naguib
Alattas, dalam sebuah ceramahnya di depan para sarjana di Darussalam Banda Aceh
pada awal tahun 70-an, menerangkan bahwa Hamzah Fansuri adalah Pujangga Melayu terbesar
dalam abad XVII, Penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu.
Hamzah Fansuri adalah “Jalaluddin Rumi”-nya Kepulauan Nusantara, demikian
Naguib Alattas menegaskan, yang selanjutnya mengatakan bahwa Hamzah Fansuri
adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu.
Tentang
Syekh Hamzah Fansuri sebagai seorang Pujangga Melayu dan Penyair Sufi di Rantau
Asia Tenggara, adalah suatu kebenaran yang dibuktikan fakta-fakta sejarah. Pengetahuannya
yang luas, yang ditimbangnya di Dayah Biang Pria Samudra/Pasai, India, Parsia dan
Arabia telah mengangkat beliau ke tempat kedudukan yang tinggi. Penguasaannya akan
bahasa Arab, bahasa Urdu dan bahasa Parsia telah membantu beliau untuk memahami
dan menghayati tasauwuf/thariqat dan filsafat Ibnu Arabi, Al Hallaj, Al-Bustami,
Maghribi, Syah Nikmatullah, Dalmi, Abdullah Jilli, Jalaluddin Rumi, Abdulqadir Jailani
dan lain-lainnya.[25]
Dalam
beberapa literasi mengatakan bahwa selain ia sebagai pengarang buku-buku syair
sufi, ia juga seorang mengelana yang dalam istilah pesantren disebut “santri
kelana” pengembaraannya yang jauh ke negeri-negeri Semenanjung Tanah Melayu,
Pulau Jawa, India, Parsia, Arabia dan sebagainya, telah membuat Hamzah Fansuri
mempunyai cakrawala yang sejauh ufuk langit, sehingga beliau menjadi seorang
pengarang/sastrawan, yang karya tulisnya berisi padat dan penuh dengan butir-butir
filsafat, tetapi halus dan enak dibaca.
Sebagaimana
lazimnya “Penyair Sufi”, maka sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam;
rindu kepada Mahbubnya, Kekasihnya, Khaliqnya, Allah Yang Maha Esa. Sedemikian
rindunya, hatta dia merasa seperti telah bersatu atau menjadi satu dengan
Kekasihnya itu, sehingga Hamzah seakan akan berbicara dengan Lidah Khaliqnya,
mendengar dengan Telinga Khaliqnya, melihat dengan Mata Khaliqnya, mencium dengan
Hidung Khaliqnya, karena jasadnya telah luluh ke dalam Khaliqnya; Mahbub yang
dirindukannya itu.[26]
Syeikh
Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka,
tetapi juga seorang perintis dan pelopor bagi perkembangan kebudayaan Islam,
sumbangannya sangat besar. Di bidang keilmuan Syeikh telah mempelajari
penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat
ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari
masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di
dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula
penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan
puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun
sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan-18 kebanyakan berada di bawah
bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri.
Di samping itu Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil meletakkan dasar-dasar
puitika dan estetika melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruh estetika dan
puitika yang diasaskan oleh Syeikh Hamzah Fansuri di dalam kesusasteraan
Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20. Khususnya di dalam
karya penyair pujangga baru seperti Sanusi Pane, dan Amir Hamzah,
sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan 70-an Danarto dan Sutardi Calzoum
Buchiri berada di dalam satu jalur estetik dengan Syeikh Hamzah Fansuri.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat
diingkari apabila kita mau berjujur. Pertama, sebagai penulis pertama kitab
keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil
mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekadar lingua Franca menjadi suatu
bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan
demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi
sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk
bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita
membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan
tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi
bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan
kebudayaan, di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700
kata ambilan dari bahasa Arab yang bukan saja memperkaya perbendaharaan kita
bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam
di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya melayu.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah
pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian,
kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar
al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling
berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh
Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis
yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika,
teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah
satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa
Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan
cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri
Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam
isinya dan luas cakrawala permasalahannya.[27]
Lebih menarik lagi citra-citra yang menghiasi puisi-puisi Hamzah Fansuri,
yang tergolong dalam genre syair ciptaannya sendiri-sendiri. Syair-syair Hamzah
Fansuri agak singkat dan menampakkan beberapa kemiripan dengan gazal parsi.
Syair-yair karya Hamzah Fansuri bisa digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok
yang pertama kurang lebih serupa dengan kitab tasawuf, yang secara langsung
mendakwahkan ajaran sufi. Kelompok yang kedua mengungkapkan ide-ide yang sama,
tetapi secara tidak langsung melalui citra-citra simbolik yang khas sufi.
Biasanya syair-syair dakwah bermula dengan imbauan, Aho, segala kita yang
bernama insan. Imbauan ini disusul dengan uraian tentang salah satu konsep
tasawuf yang lazimnya sarat dengan kutipan-kutipan dan reminisensi al-Quran,
hadits, ucapan-ucapan para sahabat Nabi dan tokoh tasawuf yang berwibawa.
Syair-syair simbolik Hamzah fansuri yang jauh berbeda dari syari-syair
dakwahnya yang terus terang ini lebih menarik dari segi seni sastra.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa metafisika dan ilmu ilahi hampir tidak terdapat
di dalamnya. Kutipan reminisensi dari al-Quran memang sedikit sekali.
Kadang-kadang kutipan itupun tampil dalam versi Melayu, bukannya versi Arab
seperti misalnya dalma baris tentang Yang Maha Tinggi; Ia pertipu dan banyak daya,
yang bersesuaian dengan ayat-ayat al-Quran. Syair-syair simbolik Hamzah Fansuri
tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dan baku
ataupun dari guru. Itulah beda syari-syair tersebut dari syair dakwah Hamzah
Fansuri.
Estetika sufi berdasarkan cinta (isq), dan cinta adalah tema sentral
sastra sufi. Kitab karangan Hamzah Fansuri sendiri berjudul Syarab al-Asikin
dan minuman pecinta yang berani ialah anggur tauhid, oleh karena itu tak
mungkin membicarakan puisi-puisi penyair sufi tanpa membicarakan isq dan
keindahan tertinggi yang menimbulkan isq.
Puisi-puisi Hamzah Fansuri merupakan gema dari dunia yang lebih tinggi,
yaitu dunia Ketuhanan Syekh merujuk sabda Nabi yang mengatakan bahwa segala
perbuatan seorang mukmin itu mesti disertai dengan kesempurnaan, dan
kesempurnaan suatu perbuatan terletak pada adanya puji-pujian kepada Tuhannya,
yakni sejauhmana ia merefleksikan sifat-sifat Tuhan. Syair-syair sufi
sepenuhnya merupakan doa dan puji-pujian kepada Tuhan atau ajakan kesana kepada
para pembacanya.
A.Teeuw menyebutkan paling tidak ada tiga corak puisi Hamzah Fansuri
sehingga dapat disebut modern dalam permulaan puisi Indonesia bukan Melayu
saja. Pertama, individulitasnya; puisinya tidak anonim seperti biasa terjadi
dengan sastra Melayu lama. Hamzah Fansuri dengan tegas mengemukakan dirinya
sebagai pengarang syairnya, tidak hanya dalam sebuah kolofon atau pasca kata,
tetapi di dalam teks puisinya sendiri, dia menerapadukan namanya dengan
kepribadiannya dalam puisinya.
Dengan demikian Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra, sebagai
ungkapan seorang individu yang memanisfestasikan kepribadian secara sadar dalam
puisi. Inilah justru ciri kemodernan, juga dalam sejarah sastra di Eropa.
Seakan-akan dia menonjolkan hak ciptanya secara eksplisit. Kedua, Hamzah
Fansuri menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya,
dengan istilah Tatengkeng. Hal itu kita lihat kemudian dalam
perkembangan puisi Indonesia pada abad ini, misalnya dengan penciptaan soneta
oleh penyair tahun 20-an dan 30-an.
Ketiga, menyangkut pemakaian bahasa yang sangat kreatif. Misalnya pemakaian
kata-kata Arab yang sangat menonjol dalam puisinya. Mungkin pada penglihatan
pertama pembaca menganggap pemakaian kata-kata Arab itu berlebihan dan
mengganggu. Pembaca yang suka didendangkan oleh puisi, dan yang menganggap
puisi sesuatu yang dapat dinikmati dengan emosi saja, tanpa perlu berpikir,
pasti merasa kecewa atau bosan ketika membaca puisi ini untuk pertama kali.[28]
Puisi Hamzah Fansuri memerlukan pengetahuan luas dibidang bahasa dan
kebudayaan Arab-Parsi, termasuk pengetahuan tentang agama Islam, khususnya
aspek tasawufnya. Tanpa pengetahuan semacam ini puisi Hamzah Fansuri tak
terpahami. Tetapi dari segi inipun puisi Hamzah Fansuri sebagai puisi inovatif
bukan tak ada kemiripannya dengan puisi Chairil Anwar yang juga pada masa itu
mungkin sukar dipahami oleh kebanyakan pembacanya. Kekayaan daya pikir dan
luasnya pengetahuan yang diperlukan itu bukanlah tanda kelemahan atau
ketakberhasilan puisi Hamzah Fansuri.
Puisi Hamzah Fansuri juga kaya dengan unsur puitik, diksi puisinya khas,
ungkapan-ungkapannya kaya dan orisinil, begitu juga tamsil dan imagenya. Hamzah
Fansuri menciptakan karya yang individual, modern, kaya akan kreativitas dan
iventivitas bahasa. Dengan memasukkan banyak kata-kata Arab, bahkan ayat-ayat
al-Quran, Hamzah Fansuri bukannya menerjemahkan bahan-bahan Arab tetapi
mengintegrasikannnya kedalam syair yang diciptakannya, yang dengan itu bahasa
Melayu baru dapat dilahirkan.
Pemikiran Tasawuf Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dikategorikan
dalam arus pemikiran sufistik keagamaan yang sama. Keduanya merupakan tokoh
utama penafsiran sufisme wahdat al-wujud yang bersifat
sufistik-filosofis. Secara khusus ia dipengaruhi oleh Ibn Arabi dan al-Jilli.[29]
Gagasan monistik Hamzah Fansuri diperluas dan membentuk inti pokok ajaran dan
tulisan Syamsuddin al-Sumaterani yang menjadi Syaikh al-Islam, selama
masa pemerintahan Iskandar Muda. Hamzah sendiri semula masuk anggota tarekat
Qadiriyah di Arabiya yang kemudian diikuti oleh banyak sarjana di
Melayu-Indonesia.[30]
Hamzah Fansuri
langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia lainnya
yaitu Abu Yazid al-Busthami, Mansur al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd
al-Baghdadi, Ahmad al-Ghazali, Jalal al-Din al-Rumi, al-Maghribi, Mahmud Shabistari, al-Iraqi dan al-Jami.[31]
Di antara mereka al-Busthami dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah Fansuri
dalam hal cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga sering mengutip
pernyataan dan syair-syair Ibn Arabi dan al-Iraqi untuk menopang pemikiran
tasawufnya.[32]
Pokok pemikiran
Hamzah yang paling dikenal adalah wujudiyah. Wujudiyah adalah
suatu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi
yang memandang bahwa alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan, yang
berarti bahwa yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, yang diciptakan
Tuhan (termasuk alam dan segala isinya) pada hakekatnya tidak mempunyai wujud.
Paham ini mendapat tantangan keras dari Nuruddin Ar-Raniry karena menurutnya
membawa kepada pemahaman bahwa alam sama dengan Tuhan (pantheisme).[33]
Hamzah Fansuri dipandang sebagai kaum sufi wujudiyah (gagasan panteistik
tentang Tuhan) yang berbeda dengan kaum sufi ortodoks dan praktik sufistik
kaum muslim umumnya. Gagasan sufistik Hamzah Fansuri lebih menekankan pada
sifat imanensi Tuhan dalam makhluk-Nya daripada sifat transendensi-Nya. Ajaran wujudiyah
Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Pada
hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam
2. Tajalli alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran
awal adalah Nur Muhammad yang pada hakekatnya adalah Nur Tuhan.
3. Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah (ciptaan
Tuhan), yang pada hakekatnya khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
4. Manusia sebagai mikrokosmos harus berusaha mencapai
kebersamaan dengan Tuhan dengan jalan tark al-dunya, yaitu menghilangkan
keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan kerinduan kepada mati.
5. Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang
berilmu sempurna.
6. Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan Tuhan
adalah manusia yang telah mencapai ma’rifat yang sebenar-benarnya, yang
telah berhasil mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi Allah). [34]
Konsep-konsep
seperti itulah yang membuat lawan-lawan Hamzah Fansuri menuduhnya dan
pengikutnya sebagai kaum panteis, dan karenanya telah menyimpang dan
sesat dari Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ajaran dan doktrin Hamzah
Fansuri sering dianggap sebagai ajaran sufistik bid’ah atau sesat (heterodoks)
yang bertentangan dengan ajaran dan doktrin kaum sufi sunni (ortodoks).[35]
Terdapat asumsi bahwa Islam sufistik terutama wujudiyah Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin al-Sumaterani tidak hanya tersebar di lingkungan istana Aceh,
tetapi juga berkembang di berbagai daerah Nusantara.
Doktrin dan
praktik sufistik-filosofis wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat oposisi
kuat dari Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi al-Aidarusi, yang
lebih dikenal dengan al-Raniri (w.1068H/1658M).[36]
Nur al-Din al-Raniri datang di Aceh
pada 6 Muharram 1407H/31 Mei 1637M,[37]
pada masa pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641). Dia ditunjuk oleh Sultan
untuk menduduki posisi keagamaan tertinggi sebagai syaikh al-Islam di
bawah kekuasaan Sultan sendiri. Untuk memantapkan kedudukannya di istana
kesultanan Aceh, dia mulai menyatakan perlawanannya yang kuat terhadap paham wujudiyah.
Dalam pandangan al-Raniri Islam di wilayah ini telah dirusak oleh paham sufisme
wujudiyah sehingga ia sering berdebat dengan penganut ajaran Hamzah
Fansuri dan al-Sumaterani di hadapan Sultan.[38]
Di bawah pengaruh al-Raniri Sultan berkali-kali memerintahkan para pengikut
faham wujudiyah untuk bertaubat, namun usaha Sultan tidak berhasil.
Al-Raniry
menolak ajaran dan ide-ide Hamzah Fansuri yang dipandangnya sesat atau bid’ah.
Dia mengajukan beberapa bukti untuk mencap Hamzah sesat atau menyimpang. Ada
beberapa pemikrian Hamzah Fansuri yang dianggab menyimpang. Yang pertama
adalah, ide-ide Hamzah Fansuri yang menganggap Tuhan, alam, manusia dan
hubungan di antara ketiganya adalah identik dengan pemikiran para filosof,
orang-orang Zoroaster, ajaran inkarnasi, dan Brahmana Hindu.
Ajaran
Hamzah Fansuri adalah panteis dalam pengertian bahwa esensi Tuhan adalah
imanen secara sempurna dalam alam, bahwa Tuhan melebur dalam sesuatu yang
tampak. Sebagaimana para filosof, Hamzah Fansuri percaya bahwa adalah wujud (being)
yang sederhana (simple). Hamzah Fansuri, seperti kaum Qadariyah dan Mu’tazilah,
yakin bahwa al-Quran itu diciptakan (makhluk). Hamzah Fansuri juga percaya,
sebagaimana filosof, akan kekekalan alam.[39]
Sejumlah tulisan
penting karya al-Raniri dicurahkan sepenuhnya pada polemik ini dan menolak apa
yang dipandangnya sebagai tulisan-tulisan syirik Hamzah Fansuri dan
pengikutnya. Di antara karya al-Raniri adalah Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf
al-Ma’lum yang di dalamnya ditegaskan secara jelas posisi al-Raniry dan
sebuah kritik tajam terhadap ajaran-ajaran pendahulunya. Al-Raniri memusatkan
perhatiannya untuk menegakkan suatu kerangka referensi dalam tulisannya yang
dapat dipandang sebagai ortodoks.
Dalam tulisan-tulisannya
Al-Raniri mengidentifikasi sumber-sumber tertulis penting yang digunakan oleh
Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Di antara karya tertulis yang mempengaruhi
pemikiran Hamzah adalah Fushush al-Hikam karya Muhyi al-Din Ibn Arabi, Syarh
al-Miskat al-Futuhat karya Abd al-Karim al-Jilli, dan tulisan-tulisan
Muhammad Fadl Allah al-Burhanpuri. Selain itu, al-Raniry juga menceritakan
secara metodologis beberapa pernyataan inti yang dibuat dalam sumber-sumber
mereka, dan menunjukkan bagaimana Hamzah Fansuri telah salah menafsirkan
sumber-sumber ini.
Sebenarnya
al-Raniri tidak menentang semua bentuk penafsiran doktrin wahdat al-wujud.
Dia membedakan doktrin ini menjadi dua macam, yaitu wujudiyyah mulhid dan
wujudiyyah muwahhid. Wujudiyyah mulhid yaitu kesatuan wujud
ateistik yang dipandang sebagai ajaran sufisme yag bathil. Wujudiyyah muwahhid
yaitu kesatuan wujud unitarianistik yang dipandangnya ajaran sufisme
yang baik dan benar. Dalam beberapa karyanya al-Raniri dengan terus terang
menuduh penganut wujudiyyah mulhid telah berbuat syirik sehingga dia
menganjurkan kepada sultan agar para pengikut sufisme wujudiyyah dihukum
dan buku-bukunya dibakar.[40]
Dalam karyanya Tibyan fi Ma’rifati al-Adyan al-Raniry menulis
dalam Bahasa Melayu yang sangat kental sebagai berikut:
“Maka tatkala zahirlah qaum wujudiyyah yang zindiq
mulhid lagi sesat daripada murid Syamsuddin al-Sumattrani yang sesat...”
Al-Raniry menambahkan “...serta kata mereka itu: Bahwasanya Allah ta’ala diri
kami wujud kami, dan kami dari-Nya dan wujud-Nya”. Kata al-Raniry, “...Maka
telah kukarang pada membatalkan kata mereka itu yang salah dan i’tiqad
mereka itu yang sia-sia itu suatu risalah pada menyatakan da’wah bayang-bayang
dengan empunya bayang-bayang... dan kukatakan pada mereka itu bahwasanya kamu
mendakwah diri kamu ketuhanan seperti da’wah Firaun katanya: Akulah Tuhan kamu yang Mahatinggi, tetapi
bahwasanya adalah kamu kaum yang kafir”. Maka masamlah muka mereka itu, serta
ditundukkan mereka itulah kepalanya, dan adalah mereka itu musyrik, maka
memberi fatwalah segala Islam atas kufur mereka itu dan akan membunuh dia...
Dan setengah daripada mereka itu memberi fatwa akan kufur dirinya maka
setengahnya taubat dan setengahnya tidak mau taubat. Dan setengah daripada
mereka itu yang taubat itu murtad pula ia, kembali ia kepada i’tiqadnya
yang dahulu itu jua”.[41]
Dalam bukunya itu
al-Raniry tidak menyebut secara terus terang nama Hamzah Fansuri tetapi ia hanya
menyebut murid Syamsuddin al-Sumattrani. Dari sini juga dapat diketahui bahwa
al-Raniry tidak begitu sukses dalam menghancurkan semua golongan yang
difonisnya kufur itu. Ia katakan sendiri sebagian bertaubat dan sebagian
menentang, dan sebagian yang lain sesudah bertaubat kembali lagi kepada ajaran
Syamsuddin al-Sumatrani.
Al-Raniri berada
dalam kekuasaan selama lebih kurang tujuh tahun saat para pengikut wujudiyyah
mulhid menerima berbagai bentuk hukuman berat. Dia mampu mempertahankan
dukungan istana Aceh sampai 1054H/1644 M. Dan kembali ke kota kelahirannya di
Ranir secara mendadak.[42]
Al-Raniry berada
di Aceh hingga tahun 1644 M, sekitar lebih kurang tiga tahun setelah Iskandar
Tsani wafat. Baik di masa Iskandar Tsani maupun di masa Sultanah Tsafiatuddin
ia selalu menempati posisi penting menjadi pendamping sultan dalam bidang
agama. Masa Iskandar Tsani posisi al-Raniry tampak begitu penting dengan
dukungan Sultan terhadap keputusan al-Raniry menentang dan membakar karya-karya
Syamsuddin al-Sumatrani dan Hamzah Fansuri dalam sebuah upacara di depan masjid
Baiturrahman.[43]
Al-Raniry kembali ke negara asalnya Ranir Gujarat dengan tiba-tiba sehingga
karya besar Bustanul Salatin belum selesai ditulisnya. Hal ini dicatat
oleh salah seorang muridnya dalam kolofon karya al-Raniry, jawahir al-Ulum
fi Kasyf al-Ma’lum sebagai berikut:
Maka kitab ini
selesai dikarang pada hari Senin, waktu zhuhur, 20 Zulhijjah 1076...kitab ini
telah dikarang pengarangnya dari awal sampai akhir bab kelima. Setelah selesai
bagian ini datanglah takdir yang tak dapat ditolak. Ia berlayar (kembali) ke
tanah airnya Ranir pada tahun 1054 H, dan menyuruh salah seorang muridnya untuk
menyelesaikannya.[44]
Kejadian ini
menarik perhatian di kalangan penulis sejarah Aceh di mana diketahui bahwa
Sultanah Safiatuddin masih menghargainya dan masih mempercayakan jabatan
penting kepadanya. Salah seorang sarjana Jepang bernama Takeshi Ito membuat
tanda tanya pada judul sebuah karangan singkatnya Why did Nuruddin al-Raniry
Leave Aceh in 1054H?. Ia mengungkapkan sebuah catatan yang dijumpainya
berupa diary dari seorang pembesar perniagaan Belanda bernama Pieter
Sourij, yang pernah menjadi Komisaris Kompeni Hindia Timur ke Jambi dan Aceh
dalam tahun 1643. Catatan tersebut disimpan dalam Algemeene Rijksarchief
Belanda di Den Haag bertanggal 8 Agustus 1643. Dalam catatan itu lebih kurang
disebutkan ada seorang ulama yang baru datang dari Surat (India) setiap hari
membuka pembahasan dalam menghadapi serangan Nuruddin al-Raniry yang telah
mencap pahamnya sesat, yang telah dilontarkan oleh tokoh baru ini di masa sikap
al-Raniry tersebut didukung oleh Sultan Iskandar Tsani, tapi rupanya tidak lagi
didukung oleh isterinya Sultanah Safiatuddin. Ulama baru itu sudah banyak
mendapat pengikut sehingga pengaruh al-Raniry mulai menurun[45].
Pada tanggal 22
Agustus 1643 majelis orang-orang besar dan para bentara telah mengajukan
permohonan kepada Ratu Tsafiatuddin supaya menyelesaikan pertikaian antara dua
ulama besar tersebut, tapi Sultanah menjawab bahwa ia tidak berwenang bahkan ia
tidak memahami soal-soal pelik keagamaan. Sultanah menyerahkan persoalannya
supaya ditangani oleh Ulee Balang, nampaknya ada juga efek bagi kelancaran
perdagangan. Pada tanggal 27 agustus 1643 dicatat lagi bahwa ulama besar yang
baru dan pribumi itu bernama Suffel Rajal (Baca Saiful Rijal), telah diterima
menghadap oleh Ratu Safiatuddin dengan penuh kehormatan, yang sekaligus
berakibat menurunnya pamor dari kedudukan tertinggi keagamaan yang selama ini
diduduki oleh Syekh Nuruddin al-Raniry. Itu menunjukkan dari catatan Pieter
Sourij bahwa setelah dua setengah tahun pemerintahun Ratu Safiatuddin muncullah
dari pengikut-pengikut Syamsuddin seorang Minangkabau yang baru datang dari
Surat, dan dengan serta merta menghunjamkan serangan balasan terhadap lawannya.
Reaksi radikal
al-Raniri terhadap ajaran al-Fansuri dan pengikutnya tidak hanya terbatas pada
masalah reaksi ortodoks terhadap sufisme filosofis yang tidak ortodoks, tetapi
lebih dari itu doktrin wujudiyyah mendapat reaksi dari banyak ulama
Timur Tengah dengan cara yang lebih ketat sehingga lebih sesuai dengan
pandangan syariat. Kecenderungan radikal al-Raniri sangat dipengaruhi oleh
afiliasinya dengan tarekat Aidarusiyah. Tarekat ini didukung oleh para ulama Aidarus
yang secara umum sangat berorientasi pada syariat. Tarekat ini dengan akar
Arabnya sangat kuat dikenal sebagai salah satu tarekat yang paling ortodoks.
Tarekat ini bersikukuh pada keharmonisan antara ajaran dan pengalaman sufistik
serta ketundukan total terhadap syariat. Selain itu, tarekat ini juga dikenal
dengan sikapnya yang non asketis dan aktivis.[46]
Ulama lain yang
mendominasi Kesultanan Aceh selama paruh terakhir abad ke-17 adalah Abd al-Rauf
bin Ali al-Fansuri al-Sinkili (1024-1105H/1615-1693 M), lebih dikenal dengan
Abd al-Rauf al-Sinkili. Al-Sinkili berbeda dengan al-Raniri dalam menegakkan
keharmonisan antara haqiqah dan syariat. Al-Raniri cenderung
bersikap radikal dalam menghadapi ajaran dan doktrin wujudiyyah Hamzah
Fansuri, sedangkan al-Sinkili merupakan tipe ulama yang moderat, pendamai, dan
menjauhi sikap-sikap radikal. Dia lebih memilih untuk merekonsiliasi berbagai
pandangan yang berbeda daripada melawannya. Ini dapat dilihat dalam
pandangan-pandangannya terhadap wujudiyyah yang lebih bersifat tersirat
daripada tersurat, begitu juga sikapnya yang tidak suka dengan sikap al-Raniri
yang radikal ditunjukkan dengan cara yang tidak terlalu eksplisit. Tanpa
menyebut nama al-Raniry, al-Sinkili secara arif mengingatkan kaum muslim dalam
bukunya Daqaiq al-Huruf tentang bahaya menuduh orang lain kafir dengan
menyebut sebuah hadits Nabi Muhammad sebagai berikut: “Tidak boleh seorang
muslim menuduh muslim lain kafir, sebab tuduhan itu bisa berbalik kepadanya
jika tidak benar”.[47]
Sebagaimana disebutkan di atas para sarjana dan peneliti menaruh perhatian yang
besar terhadap catatan sejarah mengenai pertentangan ar-Raniry terhadap ajaran
tasawuf Hamzah Fansuri. Selain sarjana tersebut di atas, ada dua sarjana lain
yang mencoba analisa mengenai latar belakang sanggahan ar-Raniry terhadap
ajaran Hamzah Fansuri yaitu Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Drewes.
Menurut al-Attas
ar-Raniry mempunyai motivasi yang murni untuk mencapai politik bukan untuk
pembaharuan agama. Sebagai bukti ar-Raniry sering memutarbalikkan ajaran
al-Fansuri atau dia sendiri salah mengerti terhadap ajaran tersebut, tapi
walaupun demikian al-Attas tidak menuduh ar-Raniry menyalahgunakan ajaran
al-Fansuri walaupun dengan menunjuk murid-muridnya yang mendistorsi ajaran-ajaran
Hamzah Fansuri.
Menurut al-Attas
ada ketidakjujuran ar-Raniry terbukti ia masuk ke istana Aceh setelah
meninggalnya Syamsuddin al-Sumatrani dan ia mencari kekurangan-kekurangan
lawannya. Ar-Raniry memasuki istana Aceh pada saat pemerintahan Iskandar Tsani.
Al-Attas menagatakn ar-Raniry tidak cukup pintar dalam bahasa Melayu dan karena
itu ia tidak cukup memiliki kemampuan dalam memahami hal-hal yan bersifat
mistik dan bahasa yang berlawanan (paradoksial).
Sedangkan Drewes
menginterpretasikan penolakan al-Raniry dari perspektif interminus keagamaan
dan perkembangan politik di Mughal, India. Drewes mengikuti penulis pendahulu
lainnya seperti A.H. John yang menganggap al-Raniry melakukan tindakan represif
sebagai konsekuensi perkembangan di India walaupun tidak berhubungan langsung.
Drewes menyatakan bahwa perkembangan sebelumnya di Aceh dihubungkan dengan
tokoh Hamzah al-Fansuri dapat mewakili transmisi doktrin sufi wujudiyah yang
merupakan doktrin agama spiritual di India sebelum Ahmad Sirhindi.
Al-Attas dan Drewes melakukan
pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan sejarah (historical
approach) yang mendeskripsikan kondisi sosial di Aceh. Kontroversial
dipahami sebagai motif dan tendensi politis. Dalam kajian teks keduanya
melakukan pendekatan filologi yang tersebar di berbagai negara untuk
mendapatkan teks yang akurat sesuai naskah aslinya. Hasil kajian teks ini tidak
mengalami perbedaan yang berarti antara kajian yang dilakukan al-Attas dan
Drewes. Namun demikian terdapat kelebihan kajian Drewes dibandingkan al-Attas
yaitu dalam sisi kontinuitas pemikiran seorang tokoh, di mana ia mampu menarik
benang merah antara pemikiran wujudiyah yang menjadi trend di Aceh
sebelum al-Raniry dengan pemikiran Ahmad Sirhindi di India, sehingga dalam
kajiannya terlihat adanya interplay antara pemikiran al-Raniry dan
pemikiran Ahmad Sirhindi.[48] Dari berbagai catatan sejarah yang ditemukan oleh para
sarjana dapat ditarik benang merah bahwa kedatangan al-Raniry ke istana Aceh
dan keluar dari istana Aceh ada hubungannya dengan situasi politik yang terjadi
di Aceh, begitu juga sanggahannya terhadap paham wujudiyah Hamzah
Fansuri sangat erat kaitannya dengan politik dalam rangka memperebutkan
perhatian Sultan Aceh, terbukti ketika datang ulama lain yang bernama Saiful
Rijal ke dalam pemerintahan Aceh, al-Raniry keluar dari Aceh secara tiba-tiba
sehingga menjadi tanda tanya besar dari masyarakat ketika itu.
Beberapa Karya
Hamzah Fansuri
Karya Hamzah Fansuri ditulis dalam bentuk syair dan prosa.
Syair-syair Hamzah Fansuri dipandang sebagai tonggak perkembangan sastera
religius di Nusantara. Penggunaan Bahasa Melayu dalam syairnya membuat bahasa
ini menjadi bahasa resmi yang digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
perdagangan yang kemudian ormen jadi bahasa nasional di Indonesia sekarang.
Dalam syair-syairnya Hamzah memasukkan ajaran dasar al-Quran dan pengetahuan
agama sehingga mendorong masyarakat mempelajari bahasa ini.
Hingga saat ini
terdapat tiga risalah tasawuf dan kumpulan syair Hamzah Fansuri yang dipandang
asli. Namun demikian masih ada kemungkinan karya Hamzah yang belum ditemukan
dan tidak terindikasi yang tersimpan di perpustakaan Tanoh Abee atau
naskah-naskah tua yang tersebar di seluruh Aceh di rumah-rumah penduduk. Hal
ini disebabkan banyak karya Hamzah yang dilarikan oleh pengikutnya akibat
kebijakan Sultan Iskandar Tsani dan al-Raniry yang memerintahkan untuk
memusnahkan kitab-kitab yang berisi paham wujudiyyah pada tahun 1637.
Di antara karya
Hamzah Fansuri yang berbentuk syair adalah:[49]
1. Syair Burung Pingai
2. Syair Dagang
3. Syair Sidang Fakir
4. Syair Ikan Tongkol
5. Syair Perahu
6. Syair Burung Pungguk
7. Thair
al-‘uryan.
1. Syair Burung
Pingai
Syair burung
pingai bercerita tentang burung pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga
Tuhan. Syair ini mengibaratkan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam
syair ini Hamzah mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf,
yaitu hubungan satu dan banyak. Yang Esa adalah Tuhan dengan alamnya yang
beraneka ragam. Syair ini sepertinya dipengaruhi oleh mantiq al-thair
karangan al-Athar. Hamzah menjelaskan hakikat keberadaan manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan. Dengan pendekatan filsafat sufistik ia
mendeskripsikan bagaimana wujud makhluk dalam kebersatuannya dengan Tuhan
sehingga tuhan mewarnai keseluruhan wujudnya. Hamzah berkata:
Mazhar Allah
akan rupanya
Asma Allah akan namanya
Malaikat akan
tentaranya
Akulah wasil
akan katanya
Lebih jauh
Hamzah menyatakan bagaimana wujud Allah itu meliputi wujud makhluk:
Ruh Allah akan nyawanya
Sirr Allah akan angannya
Nur Allah akan matanya
Di bagian yang
lain Hamzah mengungkapkan bahwa setiap orang mampu mendapatkan kedekatan hakiki
dengan Tuhan. Hamzah mengatakan:
Dengarkan hai
anak jamu
Unggas itu
sekalian kamu
Ilmunya yogya kau ramu
Supaya jadi
mulya adamu[51].
Syair di atas
menunjukkan adanya pengaruh Insan Kamil al-Jilli dan Nur Muhammad
Ibnu Arabi. Sebagaimana diketahui bahwa pengaruh kedua tokoh ini terhadap
ajaran sufi Hamzah fansuri sangat menonjol. Hal ini disebabkan karena adanya
jaringan keilmuan yang ditempuh oleh Hamzah di Timur Tengah dan pusat-pusat
pengembangan ilmu agama di beberapa negara muslim.
Dalam sebuah
penelitian yang ditulis oleh Zulkarnain Yani, Syair Burung Pingai Karya Hamzah
Fansuri (Kajian Analisis Tematik), dijelaskan dengan sangat rinci. Dari
judul yang ditulis oleh Hamzah Fansuri, Syi’ru Thair al-‘Uryan li Hamzah
Fansuri Dirasah Tahlilliyah Maudhu’iyah, ditegaskan akan batasan-batasanya:
Syi’ir merupakan
jenis puisi lama yang terdiri dari empat baris, setiap baris mengandung empat
kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata.[52]
Jadi puisi itu
mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi
panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang
penting yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi
kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interprestasi pengalaman manusia yang
penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Sedangkan unsur-unsur pokok dalam sebuah puisi
meliputi tema atau makna, yaitu pokok puisi, rasa (feeling) yaitu sikap
sang penyair terhadap obyeknya, nada (tone) yaitu sikap penyair terhadap
pembaca dan tujuan (intention) yaitu waktu dan tujuan penyair.[53]
1. Thair al-‘Uryan:
salah satu karya terbaik (masterpiece) Hamzah Fansuri dalam bidang puisi
yang menggunakan tamsil burung untuk menggambarkan pengembaraan jiwa atau ruh
di dalam mencari kesempurnaan dirinya.[54]
2. Li: adalah salah
satu huruf jar atau adhafah yang berarti kepunyaan, milik dan bagi. Hamzah
Fansuri: seorang cendekiawan terkemuka, ahli tasawuf, sastrawan dan budayawan
terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal
ke-17. Ia adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya tulis
ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa Melayu tinggi dan baku. Syekh ini diakui
sulit ditangani oleh ulama sezamannya dan sesudahnya. Syekh juga adalah puisi
Islam nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat serta pembaru spiritual
pada zamannya.
3. Dirasah
Tahlilliyah Maudhu’iyah: tema adalah gagasan dasar umum yang menompang sebuah karya
sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang
menyangkut persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu,
bahwa makna pokok yang menjadi dasar atau gagasan utama cerita disebut tema
mayor, sedangkan makna tambahan lainnya dinamakan tema minor. Antara tema mayor
dan tema minor tidak dapat berdiri sendiri, melainkan keberadaan keduanya
saling menjalin dan saling mendukung. Tema minor berfungsi mempertegas tema
mayor yang tidak boleh ada lebih dari satu tema mayor. (Burham: 83).
Demikian
gambaran umum tentang diskripsi tema dalam salah satu karya dari
Hamzah Fansuri yang berjudul “Thair al-‘Uryan”. Meskipun syair ini
ditulis oleh Hamzah Fansuri dalam bahasa Arab Melayu, namun teks puisi ini
sudah disunting atau dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.
2. Syair Perahu
Syair perahu melambangkan tubuh manusia
sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Jika
manusia kuat memegang keyakinan la ilaha illa Allah, maka dapat dicapai
tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya.
Wahai muda,
kenali dirimu
Ialah perahu
tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa
lama hidupmu
Ke akhirat jua
kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi
dengan pedoman
Alat perahumu
jua kerjakan Itulah
Itulah jalan
membetuli insan.[55]
Pada bagian lain
Hamzah mengemukan bahwa makin jauh berlayar perahu ke tengah lautan makin besar
pula rintangan yang akan dihadapi seperti ombak besar dan angin kencang akan
membuat perahu tenggelam. Oleh karena itu perlu dipersiapkan kemudi yang kokoh
perahu yang kokoh dan tahan terhadap badai yang mengancam.
Laut Khulzum
terlalu dalam
Ombaknya muhid (sangat luas) pada sekalian
alam
Banyaklah di
sana rusak dan karam
Perbaiki na’am (ya) siang dan malam
Ingati sungguh siang dan malam
Lautnya deras
bertambah dalam
Anginpun keras
ombaknya rencam
Ingati perahu
jangan tenggelam.[56]
Seperti perahu
di lautan luas jiwa manusia selalu berada dalam tantangan hidup yang sangat
dahsyat, tipu muslihat duniawi, dorongan hawa nafsu dan bujukan setan yang
sewaktu-waktu dapat menjerumuskan manusia ke lembah kesesatan. Oleh karena itu,
manusia perlu mempersiapkan diri untuk dapat bertahan dari bujukan hawa nafsu
duniawi dengan jalan menuntut ilmu agama, dan mengokohkan iman kepada Allah
SWT. Kira-kira demikianlah maksud yang tersirat dalam Syair Perahu di
atas. Inilah cuplikan dari Syair Perahu karya Hamza Fansuri:
Syair Perahu
Inilah gerangan
suatu madah
mengarangkan
syair terlalu indah,
membetuli jalan
tempat berpindah,
di sanalah
i’tikat diperbetuli sudah
Wahai muda
kenali dirimu,
ialah perahu
tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa
lama hidupmu,
ke akhirat jua
kekal diammu.
Hai muda
arif-budiman,
hasilkan kemudi
dengan pedoman,
alat perahumu
jua kerjakan,
itulah jalan
membetuli insan.
Perteguh jua
alat perahumu,
hasilkan bekal
air dan kayu,
dayung pengayuh
taruh di situ,
supaya laju
perahumu itu
Sudahlah hasil
kayu dan ayar,
angkatlah pula
sauh dan layar,
pada beras bekal
jantanlah taksir,
niscaya sempurna
jalan yang kabir.
Perteguh jua
alat perahumu,
muaranya sempit
tempatmu lalu,
banyaklah di
sana ikan dan hiu,
menanti perahumu
lalu dari situ.
Muaranya dalam,
ikanpun banyak,
di sanalah
perahu karam dan rusak,
karangnya tajam
seperti tombak
ke atas pasir
kamu tersesak.
Ketahui olehmu
hai anak dagang
riaknya rencam
ombaknya karang
ikanpun banyak
datang menyarang
hendak membawa
ke tengah sawang.
Muaranya itu
terlalu sempit,
di manakan lalu
sampan dan rakit
jikalau ada
pedoman dikapit,
sempurnalah
jalan terlalu ba’id.
Baiklah perahu
engkau perteguh,
hasilkan
pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras
ombaknya cabuh,
pulaunya jauh
tempat berlabuh.
Lengkapkan
pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak
bertemu musuh,
selebu rencam
ombaknya cabuh,
La ilaha
illallahu akan tali yang teguh.
Barang siapa
bergantung di situ,
teduhlah selebu
yang rencam itu
pedoman betuli
perahumu laju,
selamat engkau
ke pulau itu.
La ilaha
illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras
dan topan ribut,
hiu dan paus di
belakang menurut,
pertetaplah
kemudi jangan terkejut.
Laut Silan
terlalu dalam,
di sanalah
perahu rusak dan karam,
sungguhpun
banyak di sana menyelam,
larang mendapat
permata nilam.
Laut Silan wahid
al kahhar,
riaknya rencam
ombaknya besar,
anginnya
songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi
jangan berkisar.
Itulah laut yang
maha indah,
ke sanalah kita
semuanya berpindah,
hasilkan bekal
kayu dan juadah
selamatlah
engkau sempurna musyahadah.
Silan itu
ombaknya kisah,
banyaklah akan
ke sana berpindah,
topan dan ribut
terlalu ‘azamah,
perbetuli
pedoman jangan berubah.
Laut Kulzum
terlalu dalam,
ombaknya muhit
pada sekalian alam
banyaklah di
sana rusak dan karam,
perbaiki na’am,
siang dan malam.
Ingati sungguh
siang dan malam,
lautnya deras
bertambah dalam,
anginpun keras,
ombaknya rencam,
ingati perahu
jangan tenggelam.
Jikalau engkau
ingati sungguh,
angin yang keras
menjadi teduh
tambahan selalu
tetap yang cabuh
selamat engkau
ke pulau itu berlabuh.
Sampailah ahad
dengan masanya,
datanglah angin
dengan paksanya,
belajar perahu
sidang budimannya,
berlayar itu
dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama
perahunya,
ilmu Allah akan
[dayungnya]
iman Allah nama
kemudinya,
“yakin akan
Allah” nama pawangnya.
“Taharat dan
istinja'” nama lantainya,
“kufur dan
masiat” air ruangnya,
tawakkul akan
Allah jurubatunya
tauhid itu akan
sauhnya.
Salat akan nabi
tali bubutannya,
istigfar Allah
akan layarnya,
“Allahu Akbar”
nama anginnya,
subhan Allah
akan lajunya.
“Wallahu a’lam”
nama rantaunya,
“iradat Allah”
nama bandarnya,
“kudrat Allah”
nama labuhannya,
“surga jannat an
naim nama negerinya.
Karangan ini
suatu madah,
mengarangkan
syair tempat berpindah,
di dalam dunia
janganlah tam’ah,
di dalam kubur
berkhalwat sudah.
Kenali dirimu di
dalam kubur,
badan seorang
hanya tersungkur
dengan siapa
lawan bertutur?
di balik papan
badan terhancur.
Di dalam dunia
banyaklah mamang,
ke akhirat jua
tempatmu pulang,
janganlah
disusahi emas dan uang,
itulah membawa
badan terbuang.
Tuntuti ilmu
jangan kepalang,
di dalam kubur
terbaring seorang,
Munkar wa Nakir
ke sana datang,
menanyakan
jikalau ada engkau sembahyang.
Tongkatnya lekat
tiada terhisab,
badanmu remuk
siksa dan azab,
akalmu itu
hilang dan lenyap,
(baris ini tidak
terbaca)
Munkar wa Nakir
bukan kepalang,
suaranya merdu
bertambah garang,
tongkatnya besar
terlalu panjang,
cabuknya banyak
tiada terbilang.
Kenali dirimu,
hai anak dagang!
di balik papan
tidur telentang,
kelam dan dingin
bukan kepalang,
dengan siapa
lawan berbincang?
La ilaha
illallahu itulah firman,
Tuhan itulah
pergantungan alam sekalian,
iman tersurat
pada hati insap,
siang dan malam
jangan dilalaikan.
La ilaha
illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat
semata-mata,
memandang yang
gaib semuanya rata,
lenyapkan ke
sana sekalian kita.
La ilaha
illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk
ke sana berpindah,
da’im dan ka’im
jangan berubah,
khalak di sana
dengan La ilaha illallahu.
La ilaha
illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam
jangan kau sunyikan,
selama hidup
juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul
juga yang menyampaikan.
La ilaha
illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan
cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan
sekalian musuh,
hendak membawa
dia bersungguh-sungguh.
La ilaha
illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma’rifat
semata-mata.
hapuskan hendak
sekalian perkara,
hamba dan Tuhan
tiada berbeda.
La ilaha
illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim
tempat berdamai,
wujud Allah
terlalu bitai,
siang dan malam
jangan bercerai.
La ilaha
illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan
tauhid jangan berubah,
sempurnalah
jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan
terlalu susah.[57]
3. Syair Dagang
Syair dagang
berbeda dengan dengan syair-syair Hamzah lainnya yang bersifat mistis dan
melambangkan hubungan Tuhan dan manusia. Syair dagang menceritakan tentang
kesengsaraan seorang anak yang hidup di rantau. Perbedaan ini yang membuat para
sarjana meragukan syair dagang ini sebagai karya Hamzah Fansuri. Menurut Abdul
Hadi WM., keraguan tersebut karena beberapa alasan, yaitu: pertama, terdapat
beberapa kata dari bahasa Minang yang tidak ada dalam karya Hamzah lainnya.
Kedua, Isinya terlalu dangkal sehingga tidak mencerminkan karya Hamzah lainnya.
Ketiga, Syair dagang diposisikan sebagai syair pelipur lara padahal tidak
demikian syair Hamzah lainnya, di mana syair-syair Hamzah lainnya merupakan
media penyampaian hikmah dan kebenaran.[58]
Meskipun demikian ada yang berpendapat syair
dagang ini barangkalai dibuat ketika Hamzah belum matang secara spiritual dan
pengetahuan sehingga belum mampu mengungkapkan keseluruhan pemikiran
tasawufnya. Masuknya Bahasa Minang dapat bisa terjadi pada saat pencatatan
ulang syair-syair Hamzah sehingga pada saat ini ditemukan lebih dari lima versi
Syair Dagang yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.[59]
Di antara bait Syair Dagang karya Hamzah Fansuri adalah:
Jikalau berjalan
ingatlah handai
Dengan orang
kaya jangan sebanyak
Rupanya elok
seperti mempelai
Rupanya kecik
seperti sakai
Inilah karangan
si tukar hina
Sambil mengarang
berhati hiba
Utanglah banyak
tiada
Tunggu lah
datang batimpo-timpo.
Adapun karya-karya
Hamzah fansuri yang berbentuk prosa atau
berbentuk kitab ilmiah antara lain: [60]
1. Asrar al-‘Arifin fi bayan ‘ilmu al-Suluk
wa al-Tawhid
2. Syarab al-‘Asyiqin
3. Al-Muntari
4. Al-Muhtadi
5. Ruba’i hamzah Fansuri.
1. Asrar al-‘Arifin
fi bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tawhid:
Karya ini berisi pandangan Hamzah tentang ma’rifat Allah, sifat-Nya dan asma-Nya. Pada dasarnya syariat,
hakekat dan ma’rifat adalah sama.
“Barangsiapa yang mengenal syariat juga akan mengenal hakekat dan ma’rifat sekaligus”. Lebih jauh dalam kitabnya tersebut hamzah
mengumpamakan hubungan alam dan Tuhan laksana matahari dengan cahaya, di mana
cahaya dan matahari adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun
demikian pada hakikatnya keduanya berbeda.
Hamzah menulis sebagai berikut:
“Adapun kepada ulama syariat zat Allah dengan
wujud Allah, dua hukumnya, wujud ilmu dengan alim dua hukumnya, wujud alam
dengan alam dua hukumnya, wujud alam lain wujud Allah lain. Adapun wujud Allah
dengan zat Allah misal matahari dengan cahayanya. Sungguhpun Esa pada
penglihatan mata dan penglihatan hati, dua hukumnya matahari lain cahaya lain.
Adapun alam maka dikatakan wujudnya lain, karena alam seperti bulan beroleh
cahaya dari matahari. Sebab inilah maka dikatakan ulama, wujud alam lain
daripada wujud Allah dengan zat Allah lain. Maka ahlu suluk jika demikian
Allah Ta’ala di luar alam atau dalam alam dapat dikata atau hampir
kepada alam atau jauh daripada alam dapat dikata.
Pada kami zat Allah
dengan wujud Allah Esa hukumnya, wujud Allah dengan wujud alam esa, wujud alam
dengan alam esa hukumnya seperti matahari dengan cahaya namanya jua lain pada
hakikatnya tiada lain. Pada penglihatan mata esa, pada penglihatan hatipun esa.
Wujud alam demikian lagi dengan wujud Allah Esa, karena
alam tiada berwujud sendirinya sungguhpun pada zahirnya ada ia wujud, tetapi wahmi
juga bukan wujud haqiqi, seperti bayang-bayang dalam cermin, rupanya dan
hakikatnya tiada. Adapun ittifaq ulama dengan ahlu suluk pada zat
semata.[61]
Perumpamaan yang diberikan oleh Hamzah Fansuri seperti
halnya Ibnu Arabi mensifati Tuhan dengan dua sifat yaitu tanzih dan tasybih.
Dari sisi zat-Nya yang muthlak (martabat ahadiyah) adalah bersifat tanzih
(transendence), sedangkan dari segi tajalli baik tajalli zat
(a’yan tsabitah) maupun tajalli di luar zat (a’yan kharijiyah)
adalah tasybih (imanen). Dari sisi tanzih Hamzah membedakan
secara esensial antara Tuhan dengan alam. Meskipun Tuhan dan alam pada lahirnya
sama, namun ia memiliki hakikat yang berbeda, di mana Tuhan memilki esensi
sendiri yang berbeda dengan alam.
2. Syarab
al-‘Asyiqin
Kitab ini berisi
tentang perbuatan syariat, perbuatan tarekat, perbuatan hakekat, perbutan ma’rifat, kenyataan zat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Di sini
Hamzah memandang Tuhan sebagai yang Maha Sempurna, yang Muthlak dalam
kesempurnaan itu, Tuhan mencakup segala-galanya. Jika tidak mencakup
segala-galanya, Tuhan tidak dapat disebut Maha Sempurna dan Maha Muthlak.
Karena mencakup segala-galanya, maka manusia juga termasuk dalam Tuhan.
“Adapun Ahlul haqiqat sebagai lagi daim menyebut Allah
dan berahi akan Allah dan mengenal Allah tunggal dan mengenal diri-Nya dan
menafikan diri-Nya dan mengisbatkan diri-Nya dan berkata dengan diri-Nya dan fana
dalan diri-Nya dan baqa dengan diri-Nya dan benci akan zahir diri-Nya
dan kasih akan batin diri-Nya dan mencela diri-Nya dan memuji diri-Nya, jika
tidur dengan diri-Nya, jika jaga-jaga dengan diri-Nya, tiada ia lupa akan
diri-Nya, karena sabda Rasul: man’arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu, yakni barangsiapa mengenal
dirinya maka bahwasanya ia mengenal Tuhannya.”
Tulisan Hamzah ini dijadikan bukti untuk menuduh Hamzah
Fansuri sebagai penganut wujudiyah. Inilah yang dijadikan alasan oleh
ar-Raniry untuk menyatakan Hmzah sesat dan buku-bukunya dibakar. Puisi-puisi
penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian
seperti: faqir, ‘asyiq, dsb. Dalam karya Hamzah terdapat banyak
kata-kata sufi tersebut seperti anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu,
orang uryani, ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan
dengan nama pribadinya seperti Hamzah miskin, Hamzah gharib, dll. Selain
seorang sufi, Hamzah Fansuri juga berperan sebagai seorang sasterawan dan
penyair yang sangat berpengaruh dalam memajukan kesusasteraan Melayu di
Nusantara.
Melalui berbagai karyanya para ahli berkesimpulan bahwa
Hamzah dapat dinilai sebagai pembaharu, sebagai pelopor sastera sufi dan pemula
puisi Indonesia modern. Sebagai pembaharu Hamzah melakukan kritikan-kritikan
yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan, dan
orang-orang kaya. Dia adalah seorang intelektual yang berani pada zamannya.
Oleh karena itu kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Hamzah dan
pengikutnya. Akibatnya, baik Hikayat Aceh maupun Bustanul Salatin dua
sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak
sepatah katapun menyebut namanya baik sebagai tokoh spiritual maupun sebagai
sasterawan.
Sebagai pelopor sastera sufi Melayu Hamzah menjadi
pertanda lahirnya era Melayu Klasik. Dia tokoh pemula puisi Melayu klasik
tertulis, sebagai jenis sastera yang nyata dan mempunyai bentuknya yang tersendiri.
Hamzah menyusun uraian semacam trilogi tasawuf dalam Bahasa Melayu, ketiganya
berbeda cara dalam mpenyampaian isinya, yaitu:
1. Syarab al-‘Asyiqin,
menjadi kitab pedoman yang sistematis dan agak ringkas serta mudah dipahami
bagi para santri baru yang sedang menempuh jalan pengenalan Tuhan.
2. Prosa Asrar al-‘Arifin adalah
karangan ikhtiar tasawuf yang ditunjukkan bagi pembaca yang lebih tinggi
pengetahuannya.
3. Kitab al-Muntari, memberi tafsir atas sebuah
hadits terkenal: “ Barangsiapa mengenal diri sendiri, telah mengenal pula
Tuhannya”. Al-Muntari dapat dipahami sebagaimana mestinya hanya bagi para ahli
tasawuf yang sudah maju dalam jalan ma’rifat.[62]
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Hamzah
al-Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan
terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abada ke-16 sampai awal
abada ke-17. Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan
terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar
bagi perkembangan kebudayan Islam, khususnya di bidang kerohanian, keilmuan,
filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga
seorang pelopor dan pembaharu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku
politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya
sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.
Hamzah Fansuri
sangat banyak meninggalkan karya baik yang berbentuk prosa maupun berbentuk
syair-syair sufi. Oleh karena itu tidak berlebihan jika orang menilainya
sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan dalam berbagai bidang. Dia berperan
sebagai ulama, sufi, sasterawan, dan budayawan. Dia adalah peletak dasar
kesusasteraan Melayu klasik tertulis sehingga melalui karyanya Bahasa Melayu
dijadikan bahasa pengantar dalam perdagangan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Bahkan berkat usahanya di bidang sastera Bahasa Melayu menjadi bahasa nomor
empat di dunia Islam pada zamannya setelah Bahasa Arab, Persia, dan Turki.
Saran
Pada tulisan ini, tidak baik kiranya jika mengatakan
penulisan biografi tokoh Hamzah Fansuri sebagai bentuk tulisan yang paling final.
Maka “Tak ada gading yang tak
retak,” petuah klasik itu
yang penulis sadari—sebagaimana manusia—tentu tak akan pernah lepas dari
sifat salah yang akan terus menyertai dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam
berkarya.
Oleh karena itu, demi kesempurnaan Tulis Biografi Tokoh
ini, penulis akan sangat “legowo” kalau ada koreksi dan kritik
konstruksif oleh berbagai pihak tentang isi makalah ini. Penulis menunggu akan
hal itu.[]
DAFTAR PUSTAKA
ü
Abdul Hadi W. M, Tasawuf
yang Tertindas, kajian Heurmeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri,
Jakarta: Paramadina, 2001.
ü Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Jakarta:
Prenada Media, 2005.
ü ______________, Islam
Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002).
ü
Sri
Mulyati, M.A., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet. 3., 2004.
ü
_______________,
Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi, Terkemuka, Jakarta. 2006.
ü
Abdul Hadi
W.M, Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Bandung, 1995. fersi-pdf.
ü
_______________,
Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh, LOTKALA, tanpa tahun.
ü
Syed
Muhammad Naquib al-Attas, The Miysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala
Lumpur), tanpa tahun.
ü
Djamaris, Edwar, dkk. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, diterbitkan
oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996.
ü
Teuku
Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, (Jakarta: Libra,
1996).
ü
Hamzah Fansuri, “Burung
Pingai,” dalam: L.K. Ara (ed), Selawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas,
(Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995).
ü Prof., Dr. M. Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, CV
PUSTAKA, Bandung, 2014.
ü
Djoko Pradopo, Rachmat
Pengkajian Puisi, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995).
ü
Suprapto, H. M. Bibit, Inskopedi
Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta.
ü
Ahmad Daudy, Allah dan
Manusia dakam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Cet. I, (Jakarta:
Rajawali, 1983).
Jurnal:
ü
Jurnal Ilmiah Substantia,
Vol. 2 No. 1, April 2000, (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin, 2000).
ü
Jurnal Substantia,
Vol. 15, No. 2, Oktober 2013.
ü
Jurnal Kawistara, Vol. 3,
No. 1, 21 April 2013.
ü
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2,
2008.
Internet:
ü http://www. darisrajih.wordpress.com.
ü ttp://www.tumblr.com/tagged/hamzah-fansuri.
diunduh 28 Juni 2012.
ü Zulkarnainyani.wordpress.com/syair-burung-pingai-karya-hamzah.
Diakses pada tanggal 29 Nov 2012.
[1] Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA),
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akhlaq Tasawuf, semester V (lima). Saat ini tinggal di Pondok Pesantren Annuqayah
daerah Lubangsa. Email: jejenaqin@gmail.com
[2] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di
Indonesia abd 19, Jakarta, 1985.hlm. 91. Lihat juga Ilham Fauzi, Riwayat
Hidup Hamzah Fansrui dan Karya-Karyanya, sebuah skripsi yang diajukan untuk
memenuhi program Strata 1, Universitas Indonesia (UI). Tahun 2009.
[3] Diambil dari sebuah makalah yang
ditulis oleh Rusdi Sufi dengan judul “Guru dan Karyanya di Aceh Pada Abad
XVII dan XIX”. Lihat juga T. Iskandar, “Atjeh dalam Lintasan Sejarah, Suatu Tinjauan
Kebudayaan”, Prasaran dalam
PKA II, Banda Aceh, 1972, hlm. 9.
[6] Ibid. hlm. 5-6. Karena
kepercayaan dan perlindungan Sultan Iskandar Thani, Nuruddin Ar-Raniri
mempunyai kesempatan untuk membasmi ajaran wujudiyah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Ia
merupakan tokoh guru dan pujangga Islam lain yang pernah pula menetap di
Kerajaan Aceh Darussalam. Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin
Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri al-Quraisyi asy-Syafi'i, keturunan Arab,
dilahirkan di Ranir dekat Surat di Gujarat (India). Setelah menjadi ulama,
hijrah ke Aceh dan mendapat kedudukan penting dalam badan pemerintahan Sultan
Iskandar Tsani (1636-1641) dan juga pada awal pemerintahan Sultan Tajul Alam Safiatuddin
(1641-1675).
[7] Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem
Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, Jakarta, 1995. Hlm.56. lihat
juga Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di
Indonesia, Jakarta, 2005.hlm,13.
[9] Djamaris, Edwar,
dkk. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, diterbitkan oleh Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996. hlm, 01.
[11] Claudi Guillot, Batu Nisan Hamza Fansuri Jurnal
Terjemahan Alam & Tamadul Melayu, vol. 1, (2009).
[12]http://nasional.kompas.com/read/2013/11/02/0712065/Hamzah.Fansuri.Jasadnya.Satu.Makamnya.di.Mana-mana, Makamnya di Desa Oboh hanya berbentuk gundukan tanah
bertabur kerikil dan dikungkung kain putih yang sebagian terlihat kusam karena
terkena tanah liat. Kain putih itu dipadu kain hijau berisi kaligrafi tulisan
asma Allah. Gundukan tanah tadi adalah makam Syekh Hamzah Fansuri, salah satu
ulama legendaris Aceh. Makam itu terawat rapi dalam bangunan kecil. Sebuah
sungai mengalir tak jauh dari sisi kiri makam. Di tempat itu, tak hanya Syekh
Hamzah Fansuri yang dimakamkan. Di sekitarnya ada tiga makam lagi, yakni
sahabat dan mertua Fansuri. Suasana tenang terasa di tempat ini. Sesekali angin
menyeruak dari sela barisan pohon sawit
di sekeliling makam.
[13] Orang Arab dahulu menyebutnya kota itu Fansur. Terletak
di pantai Barat Sumatera Utara, di antara Singkel dan Sibolga.
[15] Syahr Nawi yang dimaksud itu adalah merupakan nama kota
baru yang terletak yang tidak jauh daru ibukota Kerajaan Aceh. Kota itu diberi
nama Syahr Nawi sebagai peringatan terhadap utusan Raja Siam yang berkunjung ke
Aceh pada masapemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Lihat Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi,
Terkemuka, Jakarta. 2006.hlm, 36.
[16] Abdul Hadi W.M, Op.cit.,hlm.7-8
[17] Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan
Puisi-Puisinya, Bandung, 1995.fersi-pdf. hlm166-167.
[18] Ibd. hlm.,170
[19] Yaitu tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abd. Al-Qadir
Jailani yang memiliki nama lengkat Abu Muhammad Abdul Qadir bin Musa bin
Abdullah al-Jailani, ia dilahirkan pada tahun 471H/1078 M., di Jailan,
Tabaristan. Dilihat dari silsilahnya ia masih ada keturunan dari Nabi Muhammad
Saw.
[20] Rusdi Sufi dengan judul “Guru dan Karyanya di Aceh
Pada Abad XVII dan XIX”.(Universitas Indonesia), hlm. 19-20.
[21] Muahammd Fariruddin al-Attar di lahirkan di Nisyapur
sekitar tahun 506H/1119 M., dan
meninggal di Syaikhuhah. Tidak banyak diketahui tentang kehidupannya di
masa kanak-kanak sampai pada masa dewasa. Ia sebagaimana kebanyakan anak-anak
desa, dimulai dari belajar membaca al-Qur’an, kemudian mengikuti pendidikan
agama dan tertarik kepada bidang seni dan sastra. Lihat H.M Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi (Jakarta,
1999),hlm. 179.
[22] Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad
al-Balkhi al-Qunuwi, lebih dikenal dengan nama Jalaluddin Rumi. Ia dilahirkan di Blkh (sekarang menjadi
Afganistan) pada tanggal 30 September 1207 M.
[26] Ibid. hlm.
9-10.
[27] Diambil dari http://www.kompas.com/kompascetak/05-04/tanah_air/1552018.htm, lihat pula Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang
Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap karya-Karya Hamzah Fansuri, cet.1.,
Jakarta, 2001.
[30]
Peter Riddell, Islam and Malay-Indonesia World: Transmission and Responses,
(London: Hurst & Company, 2001), hal. 104
[32] Abdul
Hadi W. M, Hamzah Fansuri: Risalah tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung:
Mizan, 1995), hal. 20-21.
[33]Ahmad
Daudy, Allah dan Manusia dakam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Cet.
I, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 3.
[34]
T. Ibrahim Alfiyan, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hal. 8
[36]
Ayahnya seorang keturunan Hadramaut dan ibunya seorang perempuan Melayu.
Walaupun dia dilahirkan di Ranir, India, tapi dia dianggap sebagai seorang
„alim Melayu-Indonesia. Dia pun mencapai puncak kariernya di Kerajaan Aceh
Darussalam.
[40] Diambil dari Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober
2013, hlm. 295. Lihat juga Tudjimah, Asrar al-Insan fi Ma’rifa
al-Ruh wa al-Rahman, (Djakarta: Penerbitan Universitas, t.t), hlm. 5
[41]Lihat Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013,
hlm. 296. Karya Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, cet.
Ke-2, (Medan: Waspada, 1981), hal. 371.
[48]
Jurnal Ilmiah Substantia, Vol. 2 No. 1, April 2000, (Banda Aceh:
Fakultas Ushuluddin, 2000), hal. 90
[49]
Zulkarnainyani.wordpress.com/…/syair-burung-pingai-karya-hamzah. Diakses pada tanggal
29 Nov 2012 38 Hamzah Fansuri, “Burung Pingai,” dalam: L.K. Ara (ed), Selawah
Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas, (Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995),
hal. 11
[50]
Hamzah Fansuri, “Burung Pingai,” dalam: L.K. Ara (ed), Selawah Antologi
Sastra Aceh Sekilas Pintas, (Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995), hal. 11
[52] Diambil dari tulisan penelitian Zurkalnain, tentang Syair
Burung Pingai,. Lihat juga buku Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan
Melayu Klasik, Jilid II, Yogyakarta; Erlangga, 1993, hal. 201. Dalam puisi
terdapat unsur-unsur yang membangun puisi itu, yaitu berupa emosi, imajinasi,
pemikiran, irama, nada, kesan, panca indera, susunan kata, kata-kata kiasan,
kepadatan dan perasaan yang bercampur baur. Disamping itu juga
ada tiga hal yang dapat menjadikan sebuah karya sastra dikategorikan puisi.
Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi, kedua, bentuknya dan
ketiga, kesannya.
[53] Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi,
Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995, hal. 315.
[58]
Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas, kajian Heurmeneutik terhadap
Karya-karya Hamzah Fansuri, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 179-181
[61]
Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, (Jakarta:
Libra, 1996), hal. 354-355
[62]
Zulkarnainyani.wordpress.com/…/syair-burung-pingai-karya-hamzah. Diakses pada
tanggal ,04 Desember 2015 M Pukul 00.12 WIB, di
kampus INSTIKA.
0 Response to "The Story of Hamzah Fansuri"
Post a Comment
Terimkasih...