-->

The Story of Hamzah Fansuri



(Riwayat Hidup, Karya, Pemikran dan Ajarannya)
Oleh: Jamalul Muttaqin[1]
Mengenal tokoh sufi minor Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah salah satu tokoh tasawuf yang sangat penting dalam sejarah pemikiran tasawuf di Nusantara pada umumnya, dan Aceh pada khususnya. Akan tetapi, tidak banyak yang dapat diketahui tentang kehidupan pribadinya. Siapa sebenarnya sosok tokoh Hamzah Fansuri ini, ternyata tidak ada informasi yang pasti mengenai tanggal lahir dan waktu meninggalnya. Sampai saat ini, belum ditemukan manuskrip yang menginformasikan tentang riwayat dan masa hidupnya. Walaupun demikian, sebuah teori yang dikemukakan oleh Karel A. Steenbrink menyebutnya bahwa usaha untuk menemukan gambaran seorang tokoh dapat ditelusuri melalui sumber ekstern, yaitu mencari data dari cerita atau tulisan keturunannya dan orang yang datang kemudian.[2] 
Kalau kita belajar tentang tasawuf Nusantara, maka tidak akan asing lagi di telinga kita dengan nama Hamzah Fansuri. Ulama sufi ini dikenal sebagai salah satu perlopor sastra melayu yang berkembang di Aceh, ketika Kerajaan Aceh telah mencapai puncak kejayaannya pada abad XVII. Pada saat itu, zaman kerajaan Islam Samudera/Pasai diperintah Sulthan Alaiddin Malikussalih (659-688 H/1261-1289 M.)  Aceh banyak dikunjungi para cendikiawan (ulama dan pujangga), baik dari manca negara maupun domestik. Di antara mereka yang datang ini ada yang kemudian menetap di Aceh dan ada pula yang kembali ke negeri asalnya. Selama di Aceh mereka ada yang berprofesi guru sebagai pengajar, khususnya dalam ilmu agama dan ada juga sebagai pengarang buku tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Karena banyaknya guru dan pengarang yang berdomisili di Aceh, sehingga menghantarkan kota itu sebagai “kiblat” peradaban, studi tentang Islam, dan ilmu pengetahuan lainnya di Nusantara pada waktu itu[3]
Banyak ulama besar Parsi yang datang ke sana untuk mengajar pada pusat Pendidikan Islam yang bernama “Dayah”, maupun untuk menyumbangkan tenaganya pada lembaga-lembaga pemerintahan. Salah seorang diantara ulma besar yaitu “nenekmoyangnya” Ali dan Hamzah, yang dipercayakan oleh kerajaan untuk memimpin Pusat Pendidikan yang bernama Daya Blang Pria. Ulama besar tersebut terkenal degan nama Syekh al-Fansuri, hatta keturunannya yang menjadi ulama memakai nama “Fansur” di ujung namanya.[4]
Pada masa Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (997-1011 H/1589-1604 M.), dua orang Ulama turunan Syekh Al Fansuri mendirikan dua buah Pusat Pendidikan Islam di pantai barat Tanah Aceh, yaitu di Daerah Singkel. Ali yang telah menjadi Syekh Ali Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan, sementara adiknya, Hamzah, yang telah menjadi Syekh Hamzah Fansuri mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng.[5]
Dalam tahun (1001 H/1592 M.), Syekh Ali Fansuri dikuruniai seorang putera dan diberi nama Abdurrauf, yang kemudian menjadi seorang Ulama Besar yang bergelar Syekh Abdurrauf Fansuri dan lebih terkenal dengan lakab Teungku Syiahkuala. Abdurrauf Syiahkuala kemudian menjadi lawan terbesar dari “Filsafat Ketuhanan” Wahdatul Wujud yang dianut pamannya, Syekh Hamzah Fansuri, dan Khalifahnya yang terkenal Syekh Syamsuddin Sumatrani. Syek Abdurrauf Fansuri dan Nuruddin Ar Raniri adalah dua tokoh Ulama Besar penganut dan penegak Filsafat Ketuhanan Isnainiyatul Wujud, yang nantinya menentang ajaran Hamzah Fansuri.[6]
Hamzah Fansuri inilah yang kemudian menjadi salah satu tokoh sufi yang cukup dikena dan menjadi bahan studi para ilmuwan dan sastrawan sampai sekarang ini. Syed Muhammad Naquib al-Attas (1965) dan Teuku Iskandar (1966. Diperkirakan ia lahir antara abad ke-16-17 M.
Berkaitan dengan rentang hidup Hamzah Fansuri terdapat belbagai perbedaan pendapat di antara para ahli. Setidaknya ada dua pendapat. Pendapat yang pertama, Abdul Rahim Yunus[7] mengatakan bahwa ia lahir dan hidup pada pertengahan abad ke-16 M., sampai akhir abad ke-16 M., yaitu pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah al-Mukammil (1596-1604 M), sebelum masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), ia sudah wafat.
Pendapat kedua mengatakan dari beberapa tokoh, seperti Kreamer, Doorenbos, Windstedt, Harun Hadiwijoyo, Ali Hasyim, Syed Muhammad Naguib al-Attas, dan Braginsky,[8] bahwa Hamzah Fansuri hidup pada masa akhir abad ke-16 M. sampai awal abad ke-17 M., bahkan hingga tahun 1636 M., enam tahun sesudah Syamsuddin Pasai wafat. Ia diperkirakan hidup pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil sampai pada masa Sultan Iskandar Muda dan menjadi orang yang berpengaruh di Kerajaan Aceh.  
Di perkirakan ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah (1604-1607) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).[9] Dalam sajaknya dijelaskan bahwa beliau hidup pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H/1589-1604 M.):
Hamba mengikat syair ini,
Di bawah hadlarat raja wali.
Syah Alam raja yang adil,
Raja kutub sempurna kamil,
Wali Allah sempurna wasil,
Raja arif lagi Mukammil.[10]  
Dalam Jurnal Terjemahan Alam & Tamadul Melayu, vol. 1, (2009), Claudi Guillot, dalam tulisan Batu Nisan Hamza Fansuri  melakukan penelitian arkeologi yang dilakukan di situs Barus, dalam salah satu nisan terdapat nama Fansur, ia terperanjat  saat mengetahui jika nama makam itu Syakh Hamzah Fansuri, yang meninggal pada 9 Rajab 933, yakni 11 April 1527.[11]
Jika ditanya di manakah gerangan makam Hamzah Fansuri, maka ada beberapa pendapat yang menyertainya. Yang pertama, mengatakan, bahwa makam Hamzah Fansuri terletak di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, sekitar 14 kilometer dari Kota Subulussalam, Aceh Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidikalang, Sumatera Utara, atau sekitar tujuh jam perjalanan darat dari Medan.
Makam satunya lagi berada di Desa Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Namun menurut cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, Hamzah Fansuri pernah tinggal di kedua tempat itu dan meninggalnya pun di klaim berada di kedua tempat itu pula. Makam lainnya, konon berada di Langkawi, Malaysia. Pendapat terakhir mengatakan, makam Hamzah Fansuri berada di Makkah.
Namun, dari berbagai pendapat mengenai letak makam sang Hamzah Fansuri yang mashur itu, konon yang patut dipercaya adalah yang berada di Desa Oboh yang juga terkenal dengan sebutan makam Mbah Oboh. Karena, meski sama-sama tak memiliki bukti kuat berupa catatan sejarah, namun dari kisah 'orang-orang dulu', makam di Desa Oboh kiranya yang lebih diakui oleh pemerintah, dengan bukti pemberian anugerah kebudayaan. Penyair dan ahli tasawuf Aceh abad ke 17 tersebut, Selasa (13/8/2013) lalu mendapat anugerah Bintang Budaya Parama Dharma, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara  penganugerahan Bintang Maha Putera, dan Tanda Jasa di Istana Negara.[12]
Menurut Naquib Al-Attas, untuk melihat tempat kelahiran beliau, kita dapat melihat dari syair-syairnya. Dugaan bahwa ia lahir di Fansur,[13] adalah sebagaimana puisi-puisi berikut:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi[14]
Para ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahr Nawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahr Nawi itu, ada yang mengatakan dengan petunjuk bahwa Syahr Nawi tanah Aceh itu sendiri, ada yang menunjuk bahwa Sayhr Nawi itu tanah Siam[15].
Dalam sajak yang lain, yang diciptakannya waktu Hamzah sedang berada di Kota Quddus (Baital Maqdis/Darussalam) Palestina, dijelaskan bahwa tanah airnya adalah Tanah Aceh:
Hamzah gharib Uanggas Quddusi,
Akan rumahnya Baitul Makmuri,
Kursinya sekalian kapuri,
Di Negeri Fansuri minal asyjari.
Waktu sedang di rantau (Kota Quddus, Palestina), Hamzah menerangkan bahwa rumahnya (tempat lahirnya) di Baitul Makmur, nama lain dari Aceh Darussalam, tegasnya di Kampung Oboh Simpang Kiri (Singkel) yang telah berubah namanya menjadi “Negeri Fansuri”, semenjak Hamzah mendirikan Dayah (Pusat Pendidikan Islam) di kampung tersebut[16].
Pendidikan dasar Hamzah Fansuri diperolehnya di daerah Fansur. Menurut Hasyim yang dikutip oleh Abdul Hadi, bahwa Fansur pada masa itu, selain dikenal sebagai kota perdagangan kapur Barus, dikenal juga sebagai kota pendidikan. Karenanya tidak heran kalau di daerah Fansur, Hamzah Fansuri belajar di masa kecilnya.[17] Kemudian, dengan tujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia mengembara keberbagai negara di dunia, misalnya ke Baghdad yang pada waktu itu dikenal sebagai pusat pengembangan Tarikat Qadiriyah. Hal ini dapat dilihat pada syairnya:
Beroleh Khalifa Ilmu yang Ali
Dari pada Abd Qadir Jailani.[18]
Syair di atas memberi isyarat bahwa Hamzah Fansuri adalah murid Abd Al-Qadir Jailani, dapat pula dikatakan bahwa ia penganut tarekat Qadiriyah.[19]  Hamzah Fansuri menerima tarekat ini sewaktu ia menuntut ilmu di kota Baghdad, pusat penyebaran tarekat Qadiriyah. Di kota inilah ia menerima baiat (bai’at) dan ijazah dari tokoh sufi Qadiriyah untuk mengajar Tarekat Qadiriyah, bahkan pernah diangkat menjadi mursyid (pembimbing spritual) dalam tarikat ini. Dengan demikian Hamzah Fansuri dianggap sebagai orang Indonesia pertama yang dikenal secara pasti menganut Tarikat Qadiriyah.
Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Madinah, dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri.[20] Ajaran tasawuf yang dikembangkan Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn al-Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin Iraqi. Sedangkan karangan-karangan syairnya banyak dipengaruhi Fariruddin al-Athar (w.607 H/1220 M),[21] Jalaluddin Rumi (w. 672 H/ 1273 M),[22] dan Abdurrahman al-Jami (w. 898 H/1494 M).[23]

Hamzah Fansuri sang penyair sufi            
Syeikh Hamzah Fansuri diakui salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya, sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Puisi-puisinya banyak diperbincangkan dan menjadi rujukan sastrawan-sastrawan setelahnya[24].
Dalam sebuah buku pengantar Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh, yang ditulis oleh A. Hasmy, dan dalam pengarang buku “The Mysticism of Hamzah Fansuri”, Prof. Dr. Naguib Alattas, dalam sebuah ceramahnya di depan para sarjana di Darussalam Banda Aceh pada awal tahun 70-an, menerangkan bahwa Hamzah Fansuri adalah Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII, Penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu. Hamzah Fansuri adalah “Jalaluddin Rumi”-nya Kepulauan Nusantara, demikian Naguib Alattas menegaskan, yang selanjutnya mengatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu.
            Tentang Syekh Hamzah Fansuri sebagai seorang Pujangga Melayu dan Penyair Sufi di Rantau Asia Tenggara, adalah suatu kebenaran yang dibuktikan fakta-fakta sejarah. Pengetahuannya yang luas, yang ditimbangnya di Dayah Biang Pria Samudra/Pasai, India, Parsia dan Arabia telah mengangkat beliau ke tempat kedudukan yang tinggi. Penguasaannya akan bahasa Arab, bahasa Urdu dan bahasa Parsia telah membantu beliau untuk memahami dan menghayati tasauwuf/thariqat dan filsafat Ibnu Arabi, Al Hallaj, Al-Bustami, Maghribi, Syah Nikmatullah, Dalmi, Abdullah Jilli, Jalaluddin Rumi, Abdulqadir Jailani dan lain-lainnya.[25]
            Dalam beberapa literasi mengatakan bahwa selain ia sebagai pengarang buku-buku syair sufi, ia juga seorang mengelana yang dalam istilah pesantren disebut “santri kelana” pengembaraannya yang jauh ke negeri-negeri Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Jawa, India, Parsia, Arabia dan sebagainya, telah membuat Hamzah Fansuri mempunyai cakrawala yang sejauh ufuk langit, sehingga beliau menjadi seorang pengarang/sastrawan, yang karya tulisnya berisi padat dan penuh dengan butir-butir filsafat, tetapi halus dan enak dibaca.
            Sebagaimana lazimnya “Penyair Sufi”, maka sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam; rindu kepada Mahbubnya, Kekasihnya, Khaliqnya, Allah Yang Maha Esa. Sedemikian rindunya, hatta dia merasa seperti telah bersatu atau menjadi satu dengan Kekasihnya itu, sehingga Hamzah seakan akan berbicara dengan Lidah Khaliqnya, mendengar dengan Telinga Khaliqnya, melihat dengan Mata Khaliqnya, mencium dengan Hidung Khaliqnya, karena jasadnya telah luluh ke dalam Khaliqnya; Mahbub yang dirindukannya itu.[26]
            Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor bagi perkembangan kebudayaan Islam, sumbangannya sangat besar. Di bidang keilmuan Syeikh telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan-18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri.
Di samping itu Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruh estetika dan puitika yang diasaskan oleh Syeikh Hamzah Fansuri di dalam kesusasteraan Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20. Khususnya di dalam karya penyair pujangga baru seperti Sanusi Pane, dan Amir Hamzah, sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan 70-an Danarto dan Sutardi Calzoum Buchiri berada di dalam satu jalur estetik dengan Syeikh Hamzah Fansuri.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat diingkari apabila kita mau berjujur. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekadar lingua Franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan, di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700 kata ambilan dari bahasa Arab yang bukan saja memperkaya perbendaharaan kita bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya melayu.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya.[27]
Lebih menarik lagi citra-citra yang menghiasi puisi-puisi Hamzah Fansuri, yang tergolong dalam genre syair ciptaannya sendiri-sendiri. Syair-syair Hamzah Fansuri agak singkat dan menampakkan beberapa kemiripan dengan gazal parsi. Syair-yair karya Hamzah Fansuri bisa digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok yang pertama kurang lebih serupa dengan kitab tasawuf, yang secara langsung mendakwahkan ajaran sufi. Kelompok yang kedua mengungkapkan ide-ide yang sama, tetapi secara tidak langsung melalui citra-citra simbolik yang khas sufi.
Biasanya syair-syair dakwah bermula dengan imbauan, Aho, segala kita yang bernama insan. Imbauan ini disusul dengan uraian tentang salah satu konsep tasawuf yang lazimnya sarat dengan kutipan-kutipan dan reminisensi al-Quran, hadits, ucapan-ucapan para sahabat Nabi dan tokoh tasawuf yang berwibawa. Syair-syair simbolik Hamzah fansuri yang jauh berbeda dari syari-syair dakwahnya yang terus terang ini lebih menarik dari segi seni sastra. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa metafisika dan ilmu ilahi hampir tidak terdapat di dalamnya. Kutipan reminisensi dari al-Quran memang sedikit sekali.
Kadang-kadang kutipan itupun tampil dalam versi Melayu, bukannya versi Arab seperti misalnya dalma baris tentang Yang Maha Tinggi; Ia pertipu dan banyak daya, yang bersesuaian dengan ayat-ayat al-Quran. Syair-syair simbolik Hamzah Fansuri tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dan baku ataupun dari guru. Itulah beda syari-syair tersebut dari syair dakwah Hamzah Fansuri.
Estetika sufi berdasarkan cinta (isq), dan cinta adalah tema sentral sastra sufi. Kitab karangan Hamzah Fansuri sendiri berjudul Syarab al-Asikin dan minuman pecinta yang berani ialah anggur tauhid, oleh karena itu tak mungkin membicarakan puisi-puisi penyair sufi tanpa membicarakan isq dan keindahan tertinggi yang menimbulkan isq.
Puisi-puisi Hamzah Fansuri merupakan gema dari dunia yang lebih tinggi, yaitu dunia Ketuhanan Syekh merujuk sabda Nabi yang mengatakan bahwa segala perbuatan seorang mukmin itu mesti disertai dengan kesempurnaan, dan kesempurnaan suatu perbuatan terletak pada adanya puji-pujian kepada Tuhannya, yakni sejauhmana ia merefleksikan sifat-sifat Tuhan. Syair-syair sufi sepenuhnya merupakan doa dan puji-pujian kepada Tuhan atau ajakan kesana kepada para pembacanya.
A.Teeuw menyebutkan paling tidak ada tiga corak puisi Hamzah Fansuri sehingga dapat disebut modern dalam permulaan puisi Indonesia bukan Melayu saja. Pertama, individulitasnya; puisinya tidak anonim seperti biasa terjadi dengan sastra Melayu lama. Hamzah Fansuri dengan tegas mengemukakan dirinya sebagai pengarang syairnya, tidak hanya dalam sebuah kolofon atau pasca kata, tetapi di dalam teks puisinya sendiri, dia menerapadukan namanya dengan kepribadiannya dalam puisinya.
Dengan demikian Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra, sebagai ungkapan seorang individu yang memanisfestasikan kepribadian secara sadar dalam puisi. Inilah justru ciri kemodernan, juga dalam sejarah sastra di Eropa. Seakan-akan dia menonjolkan hak ciptanya secara eksplisit. Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya, dengan istilah Tatengkeng. Hal itu kita lihat kemudian dalam perkembangan puisi Indonesia pada abad ini, misalnya dengan penciptaan soneta oleh penyair tahun 20-an dan 30-an.
Ketiga, menyangkut pemakaian bahasa yang sangat kreatif. Misalnya pemakaian kata-kata Arab yang sangat menonjol dalam puisinya. Mungkin pada penglihatan pertama pembaca menganggap pemakaian kata-kata Arab itu berlebihan dan mengganggu. Pembaca yang suka didendangkan oleh puisi, dan yang menganggap puisi sesuatu yang dapat dinikmati dengan emosi saja, tanpa perlu berpikir, pasti merasa kecewa atau bosan ketika membaca puisi ini untuk pertama kali.[28]
Puisi Hamzah Fansuri memerlukan pengetahuan luas dibidang bahasa dan kebudayaan Arab-Parsi, termasuk pengetahuan tentang agama Islam, khususnya aspek tasawufnya. Tanpa pengetahuan semacam ini puisi Hamzah Fansuri tak terpahami. Tetapi dari segi inipun puisi Hamzah Fansuri sebagai puisi inovatif bukan tak ada kemiripannya dengan puisi Chairil Anwar yang juga pada masa itu mungkin sukar dipahami oleh kebanyakan pembacanya. Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetahuan yang diperlukan itu bukanlah tanda kelemahan atau ketakberhasilan puisi Hamzah Fansuri.
Puisi Hamzah Fansuri juga kaya dengan unsur puitik, diksi puisinya khas, ungkapan-ungkapannya kaya dan orisinil, begitu juga tamsil dan imagenya. Hamzah Fansuri menciptakan karya yang individual, modern, kaya akan kreativitas dan iventivitas bahasa. Dengan memasukkan banyak kata-kata Arab, bahkan ayat-ayat al-Quran, Hamzah Fansuri bukannya menerjemahkan bahan-bahan Arab tetapi mengintegrasikannnya kedalam syair yang diciptakannya, yang dengan itu bahasa Melayu baru dapat dilahirkan.

Pemikiran Tasawuf Hamzah Fansuri
            Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dikategorikan dalam arus pemikiran sufistik keagamaan yang sama. Keduanya merupakan tokoh utama penafsiran sufisme wahdat al-wujud yang bersifat sufistik-filosofis. Secara khusus ia dipengaruhi oleh Ibn Arabi dan al-Jilli.[29] Gagasan monistik Hamzah Fansuri diperluas dan membentuk inti pokok ajaran dan tulisan Syamsuddin al-Sumaterani yang menjadi Syaikh al-Islam, selama masa pemerintahan Iskandar Muda. Hamzah sendiri semula masuk anggota tarekat Qadiriyah di Arabiya yang kemudian diikuti oleh banyak sarjana di Melayu-Indonesia.[30]
Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia lainnya yaitu Abu Yazid al-Busthami, Mansur al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd al-Baghdadi, Ahmad al-Ghazali, Jalal al-Din al-Rumi, al-Maghribi, Mahmud Shabistari, al-Iraqi dan al-Jami.[31] Di antara mereka al-Busthami dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah Fansuri dalam hal cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibn Arabi dan al-Iraqi untuk menopang pemikiran tasawufnya.[32]
Pokok pemikiran Hamzah yang paling dikenal adalah wujudiyah. Wujudiyah adalah suatu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi yang memandang bahwa alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan, yang berarti bahwa yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, yang diciptakan Tuhan (termasuk alam dan segala isinya) pada hakekatnya tidak mempunyai wujud. Paham ini mendapat tantangan keras dari Nuruddin Ar-Raniry karena menurutnya membawa kepada pemahaman bahwa alam sama dengan Tuhan (pantheisme).[33] Hamzah Fansuri dipandang sebagai kaum sufi wujudiyah (gagasan panteistik tentang Tuhan) yang berbeda dengan kaum sufi ortodoks dan praktik sufistik kaum muslim umumnya. Gagasan sufistik Hamzah Fansuri lebih menekankan pada sifat imanensi Tuhan dalam makhluk-Nya daripada sifat transendensi-Nya. Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam
2. Tajalli alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad yang pada hakekatnya adalah Nur Tuhan.
3. Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah (ciptaan Tuhan), yang pada hakekatnya khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
4. Manusia sebagai mikrokosmos harus berusaha mencapai kebersamaan dengan Tuhan dengan jalan tark al-dunya, yaitu menghilangkan keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan kerinduan kepada mati.
5. Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang berilmu sempurna.
6. Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan Tuhan adalah manusia yang telah mencapai ma’rifat yang sebenar-benarnya, yang telah berhasil mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi Allah).     [34]
Konsep-konsep seperti itulah yang membuat lawan-lawan Hamzah Fansuri menuduhnya dan pengikutnya sebagai kaum panteis, dan karenanya telah menyimpang dan sesat dari Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ajaran dan doktrin Hamzah Fansuri sering dianggap sebagai ajaran sufistik bid’ah atau sesat (heterodoks) yang bertentangan dengan ajaran dan doktrin kaum sufi sunni (ortodoks).[35] Terdapat asumsi bahwa Islam sufistik terutama wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani tidak hanya tersebar di lingkungan istana Aceh, tetapi juga berkembang di berbagai daerah Nusantara.
Doktrin dan praktik sufistik-filosofis wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat oposisi kuat dari Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi al-Aidarusi, yang lebih dikenal dengan al-Raniri (w.1068H/1658M).[36]   Nur al-Din al-Raniri datang di Aceh pada 6 Muharram 1407H/31 Mei 1637M,[37] pada masa pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641). Dia ditunjuk oleh Sultan untuk menduduki posisi keagamaan tertinggi sebagai syaikh al-Islam di bawah kekuasaan Sultan sendiri. Untuk memantapkan kedudukannya di istana kesultanan Aceh, dia mulai menyatakan perlawanannya yang kuat terhadap paham wujudiyah. Dalam pandangan al-Raniri Islam di wilayah ini telah dirusak oleh paham sufisme wujudiyah sehingga ia sering berdebat dengan penganut ajaran Hamzah Fansuri dan al-Sumaterani di hadapan Sultan.[38] Di bawah pengaruh al-Raniri Sultan berkali-kali memerintahkan para pengikut faham wujudiyah untuk bertaubat, namun usaha Sultan tidak berhasil.
Al-Raniry menolak ajaran dan ide-ide Hamzah Fansuri yang dipandangnya sesat atau bid’ah. Dia mengajukan beberapa bukti untuk mencap Hamzah sesat atau menyimpang. Ada beberapa pemikrian Hamzah Fansuri yang dianggab menyimpang. Yang pertama adalah, ide-ide Hamzah Fansuri yang menganggap Tuhan, alam, manusia dan hubungan di antara ketiganya adalah identik dengan pemikiran para filosof, orang-orang Zoroaster, ajaran inkarnasi, dan Brahmana Hindu.
Ajaran Hamzah Fansuri adalah panteis dalam pengertian bahwa esensi Tuhan adalah imanen secara sempurna dalam alam, bahwa Tuhan melebur dalam sesuatu yang tampak. Sebagaimana para filosof, Hamzah Fansuri percaya bahwa adalah wujud (being) yang sederhana (simple). Hamzah Fansuri, seperti kaum Qadariyah dan Mu’tazilah, yakin bahwa al-Quran itu diciptakan (makhluk). Hamzah Fansuri juga percaya, sebagaimana filosof, akan kekekalan alam.[39]
Sejumlah tulisan penting karya al-Raniri dicurahkan sepenuhnya pada polemik ini dan menolak apa yang dipandangnya sebagai tulisan-tulisan syirik Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Di antara karya al-Raniri adalah Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum yang di dalamnya ditegaskan secara jelas posisi al-Raniry dan sebuah kritik tajam terhadap ajaran-ajaran pendahulunya. Al-Raniri memusatkan perhatiannya untuk menegakkan suatu kerangka referensi dalam tulisannya yang dapat dipandang sebagai ortodoks.
Dalam tulisan-tulisannya Al-Raniri mengidentifikasi sumber-sumber tertulis penting yang digunakan oleh Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Di antara karya tertulis yang mempengaruhi pemikiran Hamzah adalah Fushush al-Hikam karya Muhyi al-Din Ibn Arabi, Syarh al-Miskat al-Futuhat karya Abd al-Karim al-Jilli, dan tulisan-tulisan Muhammad Fadl Allah al-Burhanpuri. Selain itu, al-Raniry juga menceritakan secara metodologis beberapa pernyataan inti yang dibuat dalam sumber-sumber mereka, dan menunjukkan bagaimana Hamzah Fansuri telah salah menafsirkan sumber-sumber ini.
Sebenarnya al-Raniri tidak menentang semua bentuk penafsiran doktrin wahdat al-wujud. Dia membedakan doktrin ini menjadi dua macam, yaitu wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. Wujudiyyah mulhid yaitu kesatuan wujud ateistik yang dipandang sebagai ajaran sufisme yag bathil. Wujudiyyah muwahhid yaitu kesatuan wujud unitarianistik yang dipandangnya ajaran sufisme yang baik dan benar. Dalam beberapa karyanya al-Raniri dengan terus terang menuduh penganut wujudiyyah mulhid telah berbuat syirik sehingga dia menganjurkan kepada sultan agar para pengikut sufisme wujudiyyah dihukum dan buku-bukunya dibakar.[40] Dalam karyanya Tibyan fi Ma’rifati al-Adyan al-Raniry menulis dalam Bahasa Melayu yang sangat kental sebagai berikut:
“Maka tatkala zahirlah qaum wujudiyyah yang zindiq mulhid lagi sesat daripada murid Syamsuddin al-Sumattrani yang sesat...” Al-Raniry menambahkan “...serta kata mereka itu: Bahwasanya Allah ta’ala diri kami wujud kami, dan kami dari-Nya dan wujud-Nya”. Kata al-Raniry, “...Maka telah kukarang pada membatalkan kata mereka itu yang salah dan i’tiqad mereka itu yang sia-sia itu suatu risalah pada menyatakan da’wah bayang-bayang dengan empunya bayang-bayang... dan kukatakan pada mereka itu bahwasanya kamu mendakwah diri kamu ketuhanan seperti dawah Firaun katanya: Akulah Tuhan kamu yang Mahatinggi, tetapi bahwasanya adalah kamu kaum yang kafir”. Maka masamlah muka mereka itu, serta ditundukkan mereka itulah kepalanya, dan adalah mereka itu musyrik, maka memberi fatwalah segala Islam atas kufur mereka itu dan akan membunuh dia... Dan setengah daripada mereka itu memberi fatwa akan kufur dirinya maka setengahnya taubat dan setengahnya tidak mau taubat. Dan setengah daripada mereka itu yang taubat itu murtad pula ia, kembali ia kepada i’tiqadnya yang dahulu itu jua”.[41]
Dalam bukunya itu al-Raniry tidak menyebut secara terus terang nama Hamzah Fansuri tetapi ia hanya menyebut murid Syamsuddin al-Sumattrani. Dari sini juga dapat diketahui bahwa al-Raniry tidak begitu sukses dalam menghancurkan semua golongan yang difonisnya kufur itu. Ia katakan sendiri sebagian bertaubat dan sebagian menentang, dan sebagian yang lain sesudah bertaubat kembali lagi kepada ajaran Syamsuddin al-Sumatrani.
Al-Raniri berada dalam kekuasaan selama lebih kurang tujuh tahun saat para pengikut wujudiyyah mulhid menerima berbagai bentuk hukuman berat. Dia mampu mempertahankan dukungan istana Aceh sampai 1054H/1644 M. Dan kembali ke kota kelahirannya di Ranir secara mendadak.[42]
Al-Raniry berada di Aceh hingga tahun 1644 M, sekitar lebih kurang tiga tahun setelah Iskandar Tsani wafat. Baik di masa Iskandar Tsani maupun di masa Sultanah Tsafiatuddin ia selalu menempati posisi penting menjadi pendamping sultan dalam bidang agama. Masa Iskandar Tsani posisi al-Raniry tampak begitu penting dengan dukungan Sultan terhadap keputusan al-Raniry menentang dan membakar karya-karya Syamsuddin al-Sumatrani dan Hamzah Fansuri dalam sebuah upacara di depan masjid Baiturrahman.[43] Al-Raniry kembali ke negara asalnya Ranir Gujarat dengan tiba-tiba sehingga karya besar Bustanul Salatin belum selesai ditulisnya. Hal ini dicatat oleh salah seorang muridnya dalam kolofon karya al-Raniry, jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Malum sebagai berikut:
Maka kitab ini selesai dikarang pada hari Senin, waktu zhuhur, 20 Zulhijjah 1076...kitab ini telah dikarang pengarangnya dari awal sampai akhir bab kelima. Setelah selesai bagian ini datanglah takdir yang tak dapat ditolak. Ia berlayar (kembali) ke tanah airnya Ranir pada tahun 1054 H, dan menyuruh salah seorang muridnya untuk menyelesaikannya.[44]
Kejadian ini menarik perhatian di kalangan penulis sejarah Aceh di mana diketahui bahwa Sultanah Safiatuddin masih menghargainya dan masih mempercayakan jabatan penting kepadanya. Salah seorang sarjana Jepang bernama Takeshi Ito membuat tanda tanya pada judul sebuah karangan singkatnya Why did Nuruddin al-Raniry Leave Aceh in 1054H?. Ia mengungkapkan sebuah catatan yang dijumpainya berupa diary dari seorang pembesar perniagaan Belanda bernama Pieter Sourij, yang pernah menjadi Komisaris Kompeni Hindia Timur ke Jambi dan Aceh dalam tahun 1643. Catatan tersebut disimpan dalam Algemeene Rijksarchief Belanda di Den Haag bertanggal 8 Agustus 1643. Dalam catatan itu lebih kurang disebutkan ada seorang ulama yang baru datang dari Surat (India) setiap hari membuka pembahasan dalam menghadapi serangan Nuruddin al-Raniry yang telah mencap pahamnya sesat, yang telah dilontarkan oleh tokoh baru ini di masa sikap al-Raniry tersebut didukung oleh Sultan Iskandar Tsani, tapi rupanya tidak lagi didukung oleh isterinya Sultanah Safiatuddin. Ulama baru itu sudah banyak mendapat pengikut sehingga pengaruh al-Raniry mulai menurun[45].
Pada tanggal 22 Agustus 1643 majelis orang-orang besar dan para bentara telah mengajukan permohonan kepada Ratu Tsafiatuddin supaya menyelesaikan pertikaian antara dua ulama besar tersebut, tapi Sultanah menjawab bahwa ia tidak berwenang bahkan ia tidak memahami soal-soal pelik keagamaan. Sultanah menyerahkan persoalannya supaya ditangani oleh Ulee Balang, nampaknya ada juga efek bagi kelancaran perdagangan. Pada tanggal 27 agustus 1643 dicatat lagi bahwa ulama besar yang baru dan pribumi itu bernama Suffel Rajal (Baca Saiful Rijal), telah diterima menghadap oleh Ratu Safiatuddin dengan penuh kehormatan, yang sekaligus berakibat menurunnya pamor dari kedudukan tertinggi keagamaan yang selama ini diduduki oleh Syekh Nuruddin al-Raniry. Itu menunjukkan dari catatan Pieter Sourij bahwa setelah dua setengah tahun pemerintahun Ratu Safiatuddin muncullah dari pengikut-pengikut Syamsuddin seorang Minangkabau yang baru datang dari Surat, dan dengan serta merta menghunjamkan serangan balasan terhadap lawannya.
Reaksi radikal al-Raniri terhadap ajaran al-Fansuri dan pengikutnya tidak hanya terbatas pada masalah reaksi ortodoks terhadap sufisme filosofis yang tidak ortodoks, tetapi lebih dari itu doktrin wujudiyyah mendapat reaksi dari banyak ulama Timur Tengah dengan cara yang lebih ketat sehingga lebih sesuai dengan pandangan syariat. Kecenderungan radikal al-Raniri sangat dipengaruhi oleh afiliasinya dengan tarekat Aidarusiyah. Tarekat ini didukung oleh para ulama Aidarus yang secara umum sangat berorientasi pada syariat. Tarekat ini dengan akar Arabnya sangat kuat dikenal sebagai salah satu tarekat yang paling ortodoks. Tarekat ini bersikukuh pada keharmonisan antara ajaran dan pengalaman sufistik serta ketundukan total terhadap syariat. Selain itu, tarekat ini juga dikenal dengan sikapnya yang non asketis dan aktivis.[46]
Ulama lain yang mendominasi Kesultanan Aceh selama paruh terakhir abad ke-17 adalah Abd al-Rauf bin Ali al-Fansuri al-Sinkili (1024-1105H/1615-1693 M), lebih dikenal dengan Abd al-Rauf al-Sinkili. Al-Sinkili berbeda dengan al-Raniri dalam menegakkan keharmonisan antara haqiqah dan syariat. Al-Raniri cenderung bersikap radikal dalam menghadapi ajaran dan doktrin wujudiyyah Hamzah Fansuri, sedangkan al-Sinkili merupakan tipe ulama yang moderat, pendamai, dan menjauhi sikap-sikap radikal. Dia lebih memilih untuk merekonsiliasi berbagai pandangan yang berbeda daripada melawannya. Ini dapat dilihat dalam pandangan-pandangannya terhadap wujudiyyah yang lebih bersifat tersirat daripada tersurat, begitu juga sikapnya yang tidak suka dengan sikap al-Raniri yang radikal ditunjukkan dengan cara yang tidak terlalu eksplisit. Tanpa menyebut nama al-Raniry, al-Sinkili secara arif mengingatkan kaum muslim dalam bukunya Daqaiq al-Huruf tentang bahaya menuduh orang lain kafir dengan menyebut sebuah hadits Nabi Muhammad sebagai berikut: “Tidak boleh seorang muslim menuduh muslim lain kafir, sebab tuduhan itu bisa berbalik kepadanya jika tidak benar”.[47] Sebagaimana disebutkan di atas para sarjana dan peneliti menaruh perhatian yang besar terhadap catatan sejarah mengenai pertentangan ar-Raniry terhadap ajaran tasawuf Hamzah Fansuri. Selain sarjana tersebut di atas, ada dua sarjana lain yang mencoba analisa mengenai latar belakang sanggahan ar-Raniry terhadap ajaran Hamzah Fansuri yaitu Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Drewes.
Menurut al-Attas ar-Raniry mempunyai motivasi yang murni untuk mencapai politik bukan untuk pembaharuan agama. Sebagai bukti ar-Raniry sering memutarbalikkan ajaran al-Fansuri atau dia sendiri salah mengerti terhadap ajaran tersebut, tapi walaupun demikian al-Attas tidak menuduh ar-Raniry menyalahgunakan ajaran al-Fansuri walaupun dengan menunjuk murid-muridnya yang mendistorsi ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
Menurut al-Attas ada ketidakjujuran ar-Raniry terbukti ia masuk ke istana Aceh setelah meninggalnya Syamsuddin al-Sumatrani dan ia mencari kekurangan-kekurangan lawannya. Ar-Raniry memasuki istana Aceh pada saat pemerintahan Iskandar Tsani. Al-Attas menagatakn ar-Raniry tidak cukup pintar dalam bahasa Melayu dan karena itu ia tidak cukup memiliki kemampuan dalam memahami hal-hal yan bersifat mistik dan bahasa yang berlawanan (paradoksial).
Sedangkan Drewes menginterpretasikan penolakan al-Raniry dari perspektif interminus keagamaan dan perkembangan politik di Mughal, India. Drewes mengikuti penulis pendahulu lainnya seperti A.H. John yang menganggap al-Raniry melakukan tindakan represif sebagai konsekuensi perkembangan di India walaupun tidak berhubungan langsung. Drewes menyatakan bahwa perkembangan sebelumnya di Aceh dihubungkan dengan tokoh Hamzah al-Fansuri dapat mewakili transmisi doktrin sufi wujudiyah yang merupakan doktrin agama spiritual di India sebelum Ahmad Sirhindi.
            Al-Attas dan Drewes melakukan pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan sejarah (historical approach) yang mendeskripsikan kondisi sosial di Aceh. Kontroversial dipahami sebagai motif dan tendensi politis. Dalam kajian teks keduanya melakukan pendekatan filologi yang tersebar di berbagai negara untuk mendapatkan teks yang akurat sesuai naskah aslinya. Hasil kajian teks ini tidak mengalami perbedaan yang berarti antara kajian yang dilakukan al-Attas dan Drewes. Namun demikian terdapat kelebihan kajian Drewes dibandingkan al-Attas yaitu dalam sisi kontinuitas pemikiran seorang tokoh, di mana ia mampu menarik benang merah antara pemikiran wujudiyah yang menjadi trend di Aceh sebelum al-Raniry dengan pemikiran Ahmad Sirhindi di India, sehingga dalam kajiannya terlihat adanya interplay antara pemikiran al-Raniry dan pemikiran Ahmad Sirhindi.[48] Dari berbagai catatan sejarah yang ditemukan oleh para sarjana dapat ditarik benang merah bahwa kedatangan al-Raniry ke istana Aceh dan keluar dari istana Aceh ada hubungannya dengan situasi politik yang terjadi di Aceh, begitu juga sanggahannya terhadap paham wujudiyah Hamzah Fansuri sangat erat kaitannya dengan politik dalam rangka memperebutkan perhatian Sultan Aceh, terbukti ketika datang ulama lain yang bernama Saiful Rijal ke dalam pemerintahan Aceh, al-Raniry keluar dari Aceh secara tiba-tiba sehingga menjadi tanda tanya besar dari masyarakat ketika itu.

Beberapa Karya Hamzah Fansuri
            Karya Hamzah Fansuri ditulis dalam bentuk syair dan prosa. Syair-syair Hamzah Fansuri dipandang sebagai tonggak perkembangan sastera religius di Nusantara. Penggunaan Bahasa Melayu dalam syairnya membuat bahasa ini menjadi bahasa resmi yang digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan perdagangan yang kemudian ormen jadi bahasa nasional di Indonesia sekarang. Dalam syair-syairnya Hamzah memasukkan ajaran dasar al-Quran dan pengetahuan agama sehingga mendorong masyarakat mempelajari bahasa ini.
Hingga saat ini terdapat tiga risalah tasawuf dan kumpulan syair Hamzah Fansuri yang dipandang asli. Namun demikian masih ada kemungkinan karya Hamzah yang belum ditemukan dan tidak terindikasi yang tersimpan di perpustakaan Tanoh Abee atau naskah-naskah tua yang tersebar di seluruh Aceh di rumah-rumah penduduk. Hal ini disebabkan banyak karya Hamzah yang dilarikan oleh pengikutnya akibat kebijakan Sultan Iskandar Tsani dan al-Raniry yang memerintahkan untuk memusnahkan kitab-kitab yang berisi paham wujudiyyah pada tahun 1637.
Di antara karya Hamzah Fansuri yang berbentuk syair adalah:[49]
1. Syair Burung Pingai
2. Syair Dagang
3. Syair Sidang Fakir
4. Syair Ikan Tongkol
5. Syair Perahu
6. Syair Burung Pungguk
7. Thair al-‘uryan.

1.      Syair Burung Pingai
Syair burung pingai bercerita tentang burung pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga Tuhan. Syair ini mengibaratkan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam syair ini Hamzah mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dan banyak. Yang Esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka ragam. Syair ini sepertinya dipengaruhi oleh mantiq al-thair karangan al-Athar. Hamzah menjelaskan hakikat keberadaan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Dengan pendekatan filsafat sufistik ia mendeskripsikan bagaimana wujud makhluk dalam kebersatuannya dengan Tuhan sehingga tuhan mewarnai keseluruhan wujudnya. Hamzah berkata:   
Mazhar Allah akan rupanya
 Asma Allah akan namanya
Malaikat akan tentaranya
Akulah wasil akan katanya
Lebih jauh Hamzah menyatakan bagaimana wujud Allah itu meliputi wujud makhluk:
 Ruh Allah akan nyawanya
 Sirr Allah akan angannya
 Nur Allah akan matanya
 Nur Muhammad akan daim sertanya.[50]
Di bagian yang lain Hamzah mengungkapkan bahwa setiap orang mampu mendapatkan kedekatan hakiki dengan Tuhan. Hamzah mengatakan:
Dengarkan hai anak jamu
Unggas itu sekalian kamu
 Ilmunya yogya kau ramu
Supaya jadi mulya adamu[51].
Syair di atas menunjukkan adanya pengaruh Insan Kamil al-Jilli dan Nur Muhammad Ibnu Arabi. Sebagaimana diketahui bahwa pengaruh kedua tokoh ini terhadap ajaran sufi Hamzah fansuri sangat menonjol. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan keilmuan yang ditempuh oleh Hamzah di Timur Tengah dan pusat-pusat pengembangan ilmu agama di beberapa negara muslim.
Dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh Zulkarnain Yani, Syair Burung Pingai Karya Hamzah Fansuri (Kajian Analisis Tematik), dijelaskan dengan sangat rinci. Dari judul yang ditulis oleh Hamzah Fansuri, Syi’ru Thair al-‘Uryan li Hamzah Fansuri Dirasah Tahlilliyah Maudhu’iyah, ditegaskan akan batasan-batasanya:
Syi’ir merupakan jenis puisi lama yang terdiri dari empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata.[52]
Jadi puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interprestasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
 Sedangkan unsur-unsur pokok dalam sebuah puisi meliputi tema atau makna, yaitu pokok puisi, rasa (feeling) yaitu sikap sang penyair terhadap obyeknya, nada (tone) yaitu sikap penyair terhadap pembaca dan tujuan (intention) yaitu waktu dan tujuan penyair.[53]
1.       Thair al-‘Uryan: salah satu karya terbaik (masterpiece) Hamzah Fansuri dalam bidang puisi yang menggunakan tamsil burung untuk menggambarkan pengembaraan jiwa atau ruh di dalam mencari kesempurnaan dirinya.[54]
2.      Li: adalah salah satu huruf jar atau adhafah yang berarti kepunyaan, milik dan bagi. Hamzah Fansuri: seorang cendekiawan terkemuka, ahli tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal ke-17. Ia adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa Melayu tinggi dan baku. Syekh ini diakui sulit ditangani oleh ulama sezamannya dan sesudahnya. Syekh juga adalah puisi Islam nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat serta pembaru spiritual pada zamannya.
3.      Dirasah Tahlilliyah Maudhu’iyah: tema adalah gagasan dasar umum yang menompang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, bahwa makna pokok yang menjadi dasar atau gagasan utama cerita disebut tema mayor, sedangkan makna tambahan lainnya dinamakan tema minor. Antara tema mayor dan tema minor tidak dapat berdiri sendiri, melainkan keberadaan keduanya saling menjalin dan saling mendukung. Tema minor berfungsi mempertegas tema mayor yang tidak boleh ada lebih dari satu tema mayor. (Burham: 83).
Demikian gambaran umum tentang diskripsi tema dalam salah satu karya dari Hamzah Fansuri yang berjudul “Thair al-‘Uryan”. Meskipun syair ini ditulis oleh Hamzah Fansuri dalam bahasa Arab Melayu, namun teks puisi ini sudah disunting atau dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.

2.     Syair Perahu
 Syair perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Jika manusia kuat memegang keyakinan la ilaha illa Allah, maka dapat dicapai tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya.
Wahai muda, kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
 Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan Itulah
Itulah jalan membetuli insan.[55]
Pada bagian lain Hamzah mengemukan bahwa makin jauh berlayar perahu ke tengah lautan makin besar pula rintangan yang akan dihadapi seperti ombak besar dan angin kencang akan membuat perahu tenggelam. Oleh karena itu perlu dipersiapkan kemudi yang kokoh perahu yang kokoh dan tahan terhadap badai yang mengancam.
Laut Khulzum terlalu dalam
 Ombaknya muhid (sangat luas) pada sekalian alam
Banyaklah di sana rusak dan karam
Perbaiki naam (ya) siang dan malam
 Ingati sungguh siang dan malam
Lautnya deras bertambah dalam
Anginpun keras ombaknya rencam
Ingati perahu jangan tenggelam.[56]
Seperti perahu di lautan luas jiwa manusia selalu berada dalam tantangan hidup yang sangat dahsyat, tipu muslihat duniawi, dorongan hawa nafsu dan bujukan setan yang sewaktu-waktu dapat menjerumuskan manusia ke lembah kesesatan. Oleh karena itu, manusia perlu mempersiapkan diri untuk dapat bertahan dari bujukan hawa nafsu duniawi dengan jalan menuntut ilmu agama, dan mengokohkan iman kepada Allah SWT. Kira-kira demikianlah maksud yang tersirat dalam Syair Perahu di atas. Inilah cuplikan dari Syair Perahu karya Hamza Fansuri:
Syair Perahu
Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.

Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.

Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.

Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.

Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba’id.

Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.

Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.

Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.

La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.

Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.
Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.

Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.

Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.

Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.

Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.

Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.

Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya.
“Taharat dan istinja'” nama lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.

Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu Akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.


Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.

Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.

Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.

Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.

Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
(baris ini tidak terbaca)

Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?

La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.

La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.

La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da’im dan ka’im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.

La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.

La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.

La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma’rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.

La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.

La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.[57]

3.     Syair Dagang
Syair dagang berbeda dengan dengan syair-syair Hamzah lainnya yang bersifat mistis dan melambangkan hubungan Tuhan dan manusia. Syair dagang menceritakan tentang kesengsaraan seorang anak yang hidup di rantau. Perbedaan ini yang membuat para sarjana meragukan syair dagang ini sebagai karya Hamzah Fansuri. Menurut Abdul Hadi WM., keraguan tersebut karena beberapa alasan, yaitu: pertama, terdapat beberapa kata dari bahasa Minang yang tidak ada dalam karya Hamzah lainnya. Kedua, Isinya terlalu dangkal sehingga tidak mencerminkan karya Hamzah lainnya. Ketiga, Syair dagang diposisikan sebagai syair pelipur lara padahal tidak demikian syair Hamzah lainnya, di mana syair-syair Hamzah lainnya merupakan media penyampaian hikmah dan kebenaran.[58]
 Meskipun demikian ada yang berpendapat syair dagang ini barangkalai dibuat ketika Hamzah belum matang secara spiritual dan pengetahuan sehingga belum mampu mengungkapkan keseluruhan pemikiran tasawufnya. Masuknya Bahasa Minang dapat bisa terjadi pada saat pencatatan ulang syair-syair Hamzah sehingga pada saat ini ditemukan lebih dari lima versi Syair Dagang yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.[59] Di antara bait Syair Dagang karya Hamzah Fansuri adalah:
Jikalau berjalan ingatlah handai
Dengan orang kaya jangan sebanyak
Rupanya elok seperti mempelai
Rupanya kecik seperti sakai
Inilah karangan si tukar hina
Sambil mengarang berhati hiba
Utanglah banyak tiada
Tunggu lah datang batimpo-timpo.
Adapun karya-karya Hamzah fansuri yang berbentuk prosa atau  berbentuk kitab ilmiah antara lain: [60]
1. Asrar al-‘Arifin fi bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tawhid
2. Syarab al-‘Asyiqin
3. Al-Muntari
4. Al-Muhtadi
5. Ruba’i hamzah Fansuri.

1.      Asrar al-‘Arifin fi bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tawhid:
            Karya ini berisi pandangan Hamzah tentang marifat Allah, sifat-Nya dan asma-Nya. Pada dasarnya syariat, hakekat dan marifat adalah sama. “Barangsiapa yang mengenal syariat juga akan mengenal hakekat dan marifat sekaligus”. Lebih jauh dalam kitabnya tersebut hamzah mengumpamakan hubungan alam dan Tuhan laksana matahari dengan cahaya, di mana cahaya dan matahari adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun demikian pada hakikatnya keduanya berbeda.
            Hamzah menulis sebagai berikut:
            “Adapun kepada ulama syariat zat Allah dengan wujud Allah, dua hukumnya, wujud ilmu dengan alim dua hukumnya, wujud alam dengan alam dua hukumnya, wujud alam lain wujud Allah lain. Adapun wujud Allah dengan zat Allah misal matahari dengan cahayanya. Sungguhpun Esa pada penglihatan mata dan penglihatan hati, dua hukumnya matahari lain cahaya lain. Adapun alam maka dikatakan wujudnya lain, karena alam seperti bulan beroleh cahaya dari matahari. Sebab inilah maka dikatakan ulama, wujud alam lain daripada wujud Allah dengan zat Allah lain. Maka ahlu suluk jika demikian Allah Taala di luar alam atau dalam alam dapat dikata atau hampir kepada alam atau jauh daripada alam dapat dikata.
Pada kami zat Allah dengan wujud Allah Esa hukumnya, wujud Allah dengan wujud alam esa, wujud alam dengan alam esa hukumnya seperti matahari dengan cahaya namanya jua lain pada hakikatnya tiada lain. Pada penglihatan mata esa, pada penglihatan hatipun esa.
            Wujud alam demikian lagi dengan wujud Allah Esa, karena alam tiada berwujud sendirinya sungguhpun pada zahirnya ada ia wujud, tetapi wahmi juga bukan wujud haqiqi, seperti bayang-bayang dalam cermin, rupanya dan hakikatnya tiada. Adapun ittifaq ulama dengan ahlu suluk pada zat semata.[61]
            Perumpamaan yang diberikan oleh Hamzah Fansuri seperti halnya Ibnu Arabi mensifati Tuhan dengan dua sifat yaitu tanzih dan tasybih. Dari sisi zat-Nya yang muthlak (martabat ahadiyah) adalah bersifat tanzih (transendence), sedangkan dari segi tajalli baik tajalli zat (a’yan tsabitah) maupun tajalli di luar zat (a’yan kharijiyah) adalah tasybih (imanen). Dari sisi tanzih Hamzah membedakan secara esensial antara Tuhan dengan alam. Meskipun Tuhan dan alam pada lahirnya sama, namun ia memiliki hakikat yang berbeda, di mana Tuhan memilki esensi sendiri yang berbeda dengan alam.
2.     Syarab al-‘Asyiqin
            Kitab ini  berisi tentang perbuatan syariat, perbuatan tarekat, perbuatan hakekat, perbutan marifat, kenyataan zat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Di sini Hamzah memandang Tuhan sebagai yang Maha Sempurna, yang Muthlak dalam kesempurnaan itu, Tuhan mencakup segala-galanya. Jika tidak mencakup segala-galanya, Tuhan tidak dapat disebut Maha Sempurna dan Maha Muthlak. Karena mencakup segala-galanya, maka manusia juga termasuk dalam Tuhan.
            “Adapun Ahlul haqiqat sebagai lagi daim menyebut Allah dan berahi akan Allah dan mengenal Allah tunggal dan mengenal diri-Nya dan menafikan diri-Nya dan mengisbatkan diri-Nya dan berkata dengan diri-Nya dan fana dalan diri-Nya dan baqa dengan diri-Nya dan benci akan zahir diri-Nya dan kasih akan batin diri-Nya dan mencela diri-Nya dan memuji diri-Nya, jika tidur dengan diri-Nya, jika jaga-jaga dengan diri-Nya, tiada ia lupa akan diri-Nya, karena sabda Rasul: man’arafa nafsahu, faqad  arafa Rabbahu, yakni barangsiapa mengenal dirinya maka bahwasanya ia mengenal Tuhannya.”
            Tulisan Hamzah ini dijadikan bukti untuk menuduh Hamzah Fansuri sebagai penganut wujudiyah. Inilah yang dijadikan alasan oleh ar-Raniry untuk menyatakan Hmzah sesat dan buku-bukunya dibakar. Puisi-puisi penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian seperti: faqir, ‘asyiq, dsb. Dalam karya Hamzah terdapat banyak kata-kata sufi tersebut seperti anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti Hamzah miskin, Hamzah gharib, dll. Selain seorang sufi, Hamzah Fansuri juga berperan sebagai seorang sasterawan dan penyair yang sangat berpengaruh dalam memajukan kesusasteraan Melayu di Nusantara.
            Melalui berbagai karyanya para ahli berkesimpulan bahwa Hamzah dapat dinilai sebagai pembaharu, sebagai pelopor sastera sufi dan pemula puisi Indonesia modern. Sebagai pembaharu Hamzah melakukan kritikan-kritikan yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan, dan orang-orang kaya. Dia adalah seorang intelektual yang berani pada zamannya. Oleh karena itu kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Hamzah dan pengikutnya. Akibatnya, baik Hikayat Aceh maupun Bustanul Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebut namanya baik sebagai tokoh spiritual maupun sebagai sasterawan.
            Sebagai pelopor sastera sufi Melayu Hamzah menjadi pertanda lahirnya era Melayu Klasik. Dia tokoh pemula puisi Melayu klasik tertulis, sebagai jenis sastera yang nyata dan mempunyai bentuknya yang tersendiri. Hamzah menyusun uraian semacam trilogi tasawuf dalam Bahasa Melayu, ketiganya berbeda cara dalam mpenyampaian isinya, yaitu:
            1. Syarab al-‘Asyiqin, menjadi kitab pedoman yang sistematis dan agak ringkas serta mudah dipahami bagi para santri baru yang sedang menempuh jalan pengenalan Tuhan.
            2. Prosa Asrar al-‘Arifin adalah karangan ikhtiar tasawuf yang ditunjukkan bagi pembaca yang lebih tinggi pengetahuannya.
            3. Kitab al-Muntari, memberi tafsir atas sebuah hadits terkenal: “ Barangsiapa mengenal diri sendiri, telah mengenal pula Tuhannya”. Al-Muntari dapat dipahami sebagaimana mestinya hanya bagi para ahli tasawuf yang sudah maju dalam jalan marifat.[62]

Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Hamzah al-Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abada ke-16 sampai awal abada ke-17. Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayan Islam, khususnya di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaharu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.
 Hamzah Fansuri sangat banyak meninggalkan karya baik yang berbentuk prosa maupun berbentuk syair-syair sufi. Oleh karena itu tidak berlebihan jika orang menilainya sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan dalam berbagai bidang. Dia berperan sebagai ulama, sufi, sasterawan, dan budayawan. Dia adalah peletak dasar kesusasteraan Melayu klasik tertulis sehingga melalui karyanya Bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar dalam perdagangan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan berkat usahanya di bidang sastera Bahasa Melayu menjadi bahasa nomor empat di dunia Islam pada zamannya setelah Bahasa Arab, Persia, dan Turki.

Saran
Pada tulisan ini, tidak baik kiranya jika mengatakan penulisan biografi tokoh Hamzah Fansuri sebagai bentuk tulisan yang paling final. Maka Tak ada gading yang tak retak,” petuah klasik itu yang penulis sadari—sebagaimana manusia—tentu tak akan pernah lepas dari sifat salah yang akan terus menyertai dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam berkarya.
Oleh karena itu, demi kesempurnaan Tulis Biografi Tokoh ini, penulis akan sangat “legowo” kalau ada koreksi dan kritik konstruksif oleh berbagai pihak tentang isi makalah ini. Penulis menunggu akan hal itu.[]



DAFTAR PUSTAKA

ü  Abdul Hadi W. M,  Tasawuf yang Tertindas, kajian Heurmeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Paramadina, 2001.
ü  Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Jakarta: Prenada Media, 2005.
ü  ______________, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002).
ü  Sri Mulyati, M.A., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet. 3., 2004.
ü  _______________, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi, Terkemuka, Jakarta. 2006.
ü  Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Bandung, 1995. fersi-pdf.
ü  _______________, Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh, LOTKALA, tanpa tahun.
ü  Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Miysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur), tanpa tahun.
ü  Djamaris, Edwar, dkk. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996.
ü  Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, (Jakarta: Libra, 1996).
ü  Hamzah Fansuri, “Burung Pingai,” dalam: L.K. Ara (ed), Selawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas, (Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995).
ü  Prof., Dr. M. Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, CV PUSTAKA, Bandung, 2014.
ü   Djoko Pradopo, Rachmat Pengkajian Puisi, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995).
ü  Suprapto, H. M. Bibit, Inskopedi Ulama Nusantara, Riwayat  Hidup,  Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta.
ü  Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dakam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1983).
Jurnal:
ü  Jurnal Ilmiah Substantia, Vol. 2 No. 1, April 2000, (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin, 2000).
ü  Jurnal Substantia, Vol. 15, No. 2, Oktober 2013.
ü  Jurnal  Kawistara, Vol. 3, No. 1,  21 April 2013.
ü  Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008.
Internet:
ü  http://www. darisrajih.wordpress.com.
ü  ttp://www.tumblr.com/tagged/hamzah-fansuri. diunduh 28 Juni 2012.
ü  Zulkarnainyani.wordpress.com/syair-burung-pingai-karya-hamzah. Diakses pada tanggal 29 Nov 2012.



[1] Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA), Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akhlaq Tasawuf, semester V (lima).  Saat ini tinggal di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Email: jejenaqin@gmail.com
[2] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abd 19, Jakarta, 1985.hlm. 91. Lihat juga Ilham Fauzi, Riwayat Hidup Hamzah Fansrui dan Karya-Karyanya, sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi program Strata 1, Universitas Indonesia  (UI). Tahun 2009.  
[3] Diambil dari sebuah makalah yang ditulis oleh Rusdi Sufi dengan judul “Guru dan Karyanya di Aceh Pada Abad XVII dan XIX”. Lihat juga T. Iskandar, Atjeh dalam Lintasan Sejarah, Suatu Tinjauan Kebudayaan”, Prasaran dalam PKA II, Banda Aceh, 1972, hlm. 9.   
[4] Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh, LOTKALA, tanpa tahun. hlm. 5. 
[5] Prof., Dr. M. Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, CV PUSTAKA, Bandung, 2014. hlm. 246.
[6] Ibid. hlm. 5-6. Karena kepercayaan dan perlindungan Sultan Iskandar Thani, Nuruddin Ar-Raniri mempunyai kesempatan untuk membasmi ajaran wujudiyah  yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Ia merupakan tokoh guru dan pujangga Islam lain yang pernah pula menetap di Kerajaan Aceh Darussalam. Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri al-Quraisyi asy-Syafi'i, keturunan Arab, dilahirkan di Ranir dekat Surat di Gujarat (India). Setelah menjadi ulama, hijrah ke Aceh dan mendapat kedudukan penting dalam badan pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) dan juga pada awal pemerintahan Sultan Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675).  
[7] Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, Jakarta, 1995. Hlm.56. lihat juga Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, Jakarta, 2005.hlm,13.
[8] Rusdi Sufi dengan judul “Guru dan Karyanya di Aceh Pada Abad XVII dan XIX”.
[9] Djamaris, Edwar, dkk. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996. hlm, 01.
[10] Abdul Hadi W.M, Op.cit.,hlm.7
[11] Claudi Guillot, Batu Nisan Hamza Fansuri Jurnal Terjemahan Alam & Tamadul Melayu, vol. 1, (2009).
[12]http://nasional.kompas.com/read/2013/11/02/0712065/Hamzah.Fansuri.Jasadnya.Satu.Makamnya.di.Mana-mana, Makamnya di Desa Oboh hanya berbentuk gundukan tanah bertabur kerikil dan dikungkung kain putih yang sebagian terlihat kusam karena terkena tanah liat. Kain putih itu dipadu kain hijau berisi kaligrafi tulisan asma Allah. Gundukan tanah tadi adalah makam Syekh Hamzah Fansuri, salah satu ulama legendaris Aceh. Makam itu terawat rapi dalam bangunan kecil. Sebuah sungai mengalir tak jauh dari sisi kiri makam. Di tempat itu, tak hanya Syekh Hamzah Fansuri yang dimakamkan. Di sekitarnya ada tiga makam lagi, yakni sahabat dan mertua Fansuri. Suasana tenang terasa di tempat ini. Sesekali angin menyeruak  dari sela barisan pohon sawit di sekeliling makam.
[13] Orang Arab dahulu menyebutnya kota itu Fansur. Terletak di pantai Barat Sumatera Utara, di antara Singkel dan Sibolga.
[14] Syed Muhammad Naquib al- Attas, The Miysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur), hlm.7.  
[15] Syahr Nawi yang dimaksud itu adalah merupakan nama kota baru yang terletak yang tidak jauh daru ibukota Kerajaan Aceh. Kota itu diberi nama Syahr Nawi sebagai peringatan terhadap utusan Raja Siam yang berkunjung ke Aceh pada masapemerintahan Sultan Iskandar  Muda. Lihat Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi, Terkemuka, Jakarta. 2006.hlm, 36.  
[16] Abdul Hadi W.M, Op.cit.,hlm.7-8
[17] Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Bandung, 1995.fersi-pdf. hlm166-167.
[18] Ibd. hlm.,170 
[19] Yaitu tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abd. Al-Qadir Jailani yang memiliki nama lengkat Abu Muhammad Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah al-Jailani, ia dilahirkan pada tahun 471H/1078 M., di Jailan, Tabaristan. Dilihat dari silsilahnya ia masih ada keturunan dari Nabi Muhammad Saw.
[20] Rusdi Sufi dengan judul “Guru dan Karyanya di Aceh Pada Abad XVII dan XIX”.(Universitas Indonesia), hlm. 19-20.
[21] Muahammd Fariruddin al-Attar di lahirkan di Nisyapur sekitar tahun 506H/1119 M., dan  meninggal di Syaikhuhah. Tidak banyak diketahui tentang kehidupannya di masa kanak-kanak sampai pada masa dewasa. Ia sebagaimana kebanyakan anak-anak desa, dimulai dari belajar membaca al-Qur’an, kemudian mengikuti pendidikan agama dan tertarik kepada bidang seni dan sastra. Lihat H.M Laily Mansur,   Ajaran dan Teladan Para Sufi (Jakarta, 1999),hlm. 179.
[22] Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi, lebih dikenal dengan nama Jalaluddin Rumi.  Ia dilahirkan di Blkh (sekarang menjadi Afganistan) pada tanggal 30 September 1207 M.
[23] Op.cit. hlm. 20
[24] Op.cit. hlm. 7.
[25]Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: hlm, 188
[26] Ibid. hlm. 9-10.
[27] Diambil dari http://www.kompas.com/kompascetak/05-04/tanah_air/1552018.htm, lihat pula Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap karya-Karya Hamzah Fansuri, cet.1., Jakarta, 2001.
[28] Disarih dari sumber: darisrajih.wordpress.com., pada tanggal, 5 Desember  2015 M.
[29] Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 119
[30] Peter Riddell, Islam and Malay-Indonesia World: Transmission and Responses, (London: Hurst & Company, 2001), hal. 104
[31] Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013, hlm. 293
[32] Abdul Hadi W. M, Hamzah Fansuri: Risalah tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 20-21.
[33]Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dakam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 3.
[34] T. Ibrahim Alfiyan, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hal. 8
[35] Azyumardi Azra, Islam Nusantara, hal. 119
[36] Ayahnya seorang keturunan Hadramaut dan ibunya seorang perempuan Melayu. Walaupun dia dilahirkan di Ranir, India, tapi dia dianggap sebagai seorang „alim Melayu-Indonesia. Dia pun mencapai puncak kariernya di Kerajaan Aceh Darussalam.
[37] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama..., hal. 212
[38] Ibid. Azyumardi Azra, Islam Nusantara, hal. 121
[39] Syed muhammad Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, hal. 31
[40] Diambil dari Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013, hlm. 295. Lihat juga Tudjimah, Asrar al-Insan fi Ma’rifa al-Ruh wa al-Rahman, (Djakarta: Penerbitan Universitas, t.t), hlm. 5
[41]Lihat Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013, hlm. 296. Karya Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, cet. Ke-2, (Medan: Waspada, 1981), hal. 371.
[42] Ibid. hlm. 296
[43] Op.cit., Mohammad Said, Aceh..., hal. 373
[44] Ibid., hlm. 213.
[45] Ibid., hlm. 213.
[46] Ibid. Azyumardi, Islam Nusantara, hal. 122-123
[47] Ibid. Azyumardi, Islam Nusantara, hal. 128
[48] Jurnal Ilmiah Substantia, Vol. 2 No. 1, April 2000, (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin, 2000), hal. 90
[49] Zulkarnainyani.wordpress.com/…/syair-burung-pingai-karya-hamzah. Diakses pada tanggal 29 Nov 2012 38 Hamzah Fansuri, “Burung Pingai,” dalam: L.K. Ara (ed), Selawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas, (Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995), hal. 11
[50] Hamzah Fansuri, “Burung Pingai,” dalam: L.K. Ara (ed), Selawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas, (Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995), hal. 11
[51] Ibid.
[52] Diambil dari tulisan penelitian Zurkalnain, tentang Syair Burung Pingai,. Lihat juga buku Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jilid II, Yogyakarta; Erlangga, 1993, hal. 201. Dalam puisi terdapat unsur-unsur yang membangun puisi itu, yaitu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, irama, nada, kesan, panca indera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan dan perasaan yang bercampur baur. Disamping itu juga ada tiga hal yang dapat menjadikan sebuah karya sastra dikategorikan puisi. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi, kedua, bentuknya dan ketiga, kesannya.
[53] Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995, hal. 315.
[54] Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf,……, hal. 32.

[55] Hamzah Fansuri, Syair Perahu, hal. 5
[56] Ibid. hlm.7
[57]Jurnal  Kawistara., Volume 3 No. 1,  21 April 2013, halaman 116.
[58] Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas, kajian Heurmeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 179-181
[59]Ibid.
[60] ttp://www.tumblr.com/tagged/hamzah-fansuri. diunduh 28 Juni 2012.
[61] Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, (Jakarta: Libra, 1996), hal. 354-355
[62] Zulkarnainyani.wordpress.com/…/syair-burung-pingai-karya-hamzah. Diakses pada tanggal ,04 Desember 2015 M Pukul 00.12 WIB, di kampus INSTIKA.

0 Response to "The Story of Hamzah Fansuri"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel