-->

FAKHRUDDIN IRAQI: Sebuah Renungan Tentang Filosofi Cinta



Bila ia menyanyikan lagu hubbu Ilahi (cinta ilahi) dalam keindahan ayat-ayat yang agung, itu karena jiwanya telah menjadi lagu Ilahi, sebuah melodi dalam harmoni dengan, dan sebuah nada dari musik yang dilantunkan dari kediaman Yang Tercinta.
(Seyyed Hossein Nasr)[1]
Kalau ditanya tentang tokoh sufi yang hidup pada abad 13 M., yang namanya melambung harum, menyebar semenanjung Persia, berikut kota tua Hamadan, Konya, Toqat (sekarang Turki), dan India, atau bahkan nyaris namanya dikenal seantero dunia dengan label kemasyhuran sebagai raja sastrawan Persia,  tidak lain adalah Fakhruddin Ibrahim (1213 M.) yang dikenal dengan nama “Iraqi”, seorang di antara deretan para sastrawan terbesar di Persia, yang menurut Nasr adalah seniman tertinggi di antara mereka yang telah betul betul mencapai suatu maqam spiritual yang dimuliakan di kalangan sufi.
Kota Hamadan di desa Kamajan adalah saksi sejarah lahirnya seorang bayi mungil. Konon sebelum ia dilahirkan ke dunia, ayahnya telah bertemu dengan Ali Ibn Abi Thalib dalam sebuah mimpi kemudian menyerahkan seorang anak kepadanya, Ali berkata: ”terimalah Iraqi dan besarkan ia dengan baik, karena ia akan menjadi penguasa dunia,” sebab pengalaman (experience) ayahnya tersebut, saat Iraqi lahir ke dunia bagi ayahnya ia nampak seperti anak dalam mimpinya.[2]
 Sebagai anak yang dibesarkan oleh keluarga ilmuan dan budayawan, pada usia lima belas tahun Iraqi telah menghafal keseluruhan al-Qur’an. Pada suatu pagi yang buta pada waktu-waktu tertentu ia senandungkan hafalannya dengan suara yang penuh merdu, siapapun yang mendengar akan terlena dan tergugah hatinya, di balik kemahiran dalam membacakan al-Qur’an Iraqi pernah suatu ketika mengugah dan menggetarkan hati seorang nonmuslim untuk masuk Islam melalui tangan Iraqi sendiri. Pada usia tujuh belas tahun Iraqi sudah melahap habis ilmu pengetahuan baik naqli (transmitted) dan aqli (intellectual). Dengan begitu Iraqi telah mempersiapkan diri untuk mengajar yang lain dan atau mempersiapkan diri dari berbagai serangan.     
Pada waktu itu, nama Iraqi di sejajarkan dengan tokoh besar tasawuf yang juga dikenal dengan kecanggihannya dalam menyampaikan epistemologi tasawuf ke dalam bahasa bahasa simbol (alegoris), tidak sedikit seorang sufi yang menggunakan bahasa perumpamaan ini, sebut seperti Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, Shadruddin Qunawi, Najmuddin Kubram dan Ab al-Hasan al-Syadzili.[3] Di tangan Iraqi dunia sastra tasawuf mendapatkan sentuhan energi cahaya sepanjang sejarah yang kecerdasannya tetap menyilaukan setiap mata memandang hingga tujuh abad kemudian.
Dalam tubuh Iraqi tersimpan kemampuan disiplin ilmu yang meliputi teologi dan sastra, terutama sastra Persia dan Arab, serta berbagai karya-karya sufi awal, selain itu Iraqi tidak meninggalkan asas pengetahuan dasar seperti al-Qur’an dan al-Hadits, yang dikolaborasikan dengan bentuk metafisika tasawuf Ibn Arabi, sebabnya ia sangat terpengaruh dengan ajaran gnostik (ma’rifah), pada masa awal, berikut dari tokoh tokoh yang mempengaruhi cara pikir Iraqi, sebut Bayazid, al-Hallaj, Abu al-Hasan Kharraqani, dan Sana’i.[4]  Guru-guru beliau adalah Shadruddin Qunawi (w. 673/1274) dan Syekh Bahauddin Zakariya Multani (578/1182).
Seorang tokoh sufi dan sastrawan yang mumpuni dan berpengalaman menerjemahkan puisi pusi sufi, Abd al-Rahman Jami (w. 1492) telah memberikan komentar tentang karya besar Iraqi yang cukup fenomenal yaitu Lama’at (Kilau Kemilau Ilahi), bagi Jami siapapun yang punya keinginan kuat untuk mengetahui lebih dalam tentang karya Iraqi, maka perlu untuk membaca lebih dekat filsafat tasawuf (the mystical philosophy), karya ini adalah paling indah dari jenis sastra Persia, hingga pada gilirannya karya Iraqi menjadi satu tumpukan yang melahirkan energi inspirasi bagi lahirnya sejumlah risalah berikutnya.   

Tangga Menggapai Cinta Ilahi
Membaca Iraqi tentu tidak akan lepas dari gubahan tentang cinta. Yang mana Iraqi memulai dari bentuk cinta yang paling rendah menuju muara cinta yang haqiqi. Demikian pula, bagi Nasr itu menunjukkan gradasi keindahan dari titik yang bersifat bentuk (Wujudi), atau keindahan materi hingga mencapai titik keindahan absolut itu sendiri.
Agar kita tidak tersesat dan terjebak dalam rimbun bahasa cinta yang dihadirkan Iraqi dalam bukunya yang fenomenal seperi Lama’at, dan berbagai ungkapan yang bernuansa material, Hodri Ariev[5] mengajak pembaca menarik pada konteks makna-makna spiritualnya. Karena bahasa tasawuflah yang (hanya) mampu dan terlatih untuk menghadirkan hal yang metafisik dan spiritual dengan bahasa-bahasa simbolik/majazi.
Dari pembacaan tersebut kita harus meninggalkan bentuk-bentuk bacaan esoteris kepada eksoterik, menuntut keterlibatan secara aktif dan penghayatan yang mendalam serta kontekstual. Pembaca harus mengetahui pada tatanan apa perbincangan dilangsungkan—fisik atau metafisik—yang nantinya Iraqi berhasil menyingkap pengalaman-pengalaman metafisis dan spiritual pada titik dimana menghadirkan Yang Mutlak menggunakan media yang terbatas.
Dalam Lama’at, ‘Iraqi mengembangkan filsafatnya sendiri tentang cinta, dengan meminjam beberapa terminologi Ghazali dan Ibn Arabi, akan tetapi seluruh konsep dan sintesis adalah miliknya, bukan potongan dari berbagai epistemologi yang melahirkan narasi panjang tanpa pertanggungjawab ilmiah. Secara filosofis cinta yang dibangun Iraqi adalah sebuah bangunan penyatuan hubugan antara pencari (salik/seeker) seorang wujud yang hina dengan yang dicari (masluk/sought) yang sempurnah.
Bagi Iraqi cinta tersebut adalah asal dari setiap sesuatu, seorang pencinta (makhluk) sebagai mumkin al wujud (possible existent) berasal dari tetesan Sang Kekasih atau Allah (Wajib al-Wujud; Necessary Being). Pada dasarnya secara termenologi kata arab pencinta (‘asyiq) dan yang tercinta (masyuq) berasal dari akar kata cinta (‘isyq), menurut Iraqi, Allah adalah cinta. Sebagaimana yang dikatakan oleh William C. Chittick bahwa ada banyak sejumlah sufi dalam hal cinta mengikuti Ghazali, yang mana Ghazali setarikan nafas dengan Iraqi, akan tetapi Iraqi tidak mengikuti detail-detail terminologi metafisika Ghazali hanya lebih pada identifikasi mengenai Allah dengan Cinta, Iraqi menarik pada penglihatan kontemplatif atas setiap realitas sesuatu, yang lebih mendekati pada gurunya yaitu Qunawi.
Sebagai akibatnya cinta harus menorehkan kesadaran seseorang terhadap munasabah (afinitas) sebagaimana Qunawi menulis; “Adalah tidak dapat dibayangkan bahwa sesuatu akan mencintai yang lain dalam hal bahwa sesuatu itu berbeda darinya,” dari sebuah munasabah, akan membimbing kepada dominasi sifat yang menghasilkan ittihad di atas kereta yang membawa pada diferensiasi atau separasi. Yang pada titik klimaksnya Iraqi menghasilkan penyatuan sempurna secara pasti.[6]  Karena bila Cinta pada satu sisi adalah sifat Allah pada sisi yang lain tidak menutupi kebenarannya bahwa ia identik dengan Zat-Nya sendiri—adalah Allah itu sendiri—pendekknya Iraqi menyatukan sebuah diskursus term Wahdat al-Wujud dalam term Cinta.[7]
Kesempurnaah ontologis yang tak terbatas menjadi satu Wujud yang berasal dari karakter itu sendiri, penyatuan yang berasal dari prototipe Ilahi. Dimana prototipe Ilahi diekspresikan oleh kata “Ahbabtu/ Aku Cinta.” Maka alam makhluq sendiri berasal dari sifat-sifat-Nya, karena Dia “ingin” dikenal, sebagaimana dalam Hadits qudsi masyhur “Aku adalah Kanz Makhfy dan Aku cinta  untuk dikenal. Maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dapat dikenal,” . Apa yang Dia cintai adalah kecantikan diri-Nya yang tak terbatas dan kemungkinan manifestasi dhahir yang tak pernah berakhir dan penyebaran yang terpendam di dalamnya atau dalam ungkapan lain kamal al- jala’ wa al-istijla’ (distinct-manifestation and distinct-vision).
Dia ingin kecantikan-kecantikan dan kesempurnaan-kesempurnaan diri-Nya yang tak terbatas disebarkan  dalam sebuah keluasaan dan penyebaran yang tak terbatas sehingga apa yang Dia pandang di dalam diri-Nya pada tataran asma bathin (Kanz Makhfy; Kekayaan Tersembunyi) bisa juga menjadi yang dipandang “tanpa” diri-Nya pada tataran asma dzahir. Tapi pada kenyataannya, tak satupun yang memiliki wujud selain Allah. Entitas-entitas adalah ghoiru maujud. Jadi yang melihat sebenarnya adalah Dia, sebagaimana yang dilihat tak lain adalah Dia. Keduanya saling merefleksikan, mengamati dan mencintai yang lain, dengan demikian membuat asma-asma dan sifat-sifat Allah---kanz makhfy---perwujudan. Akibatnya semua kesempurnaan wujud yang terpendam menjadi diketahui secara zhahir.
Namun, jika kita menjelaskan bahwa Allah memiliki Cinta sama halnya dengan menarik kesimpulan bahwa Allah itu tidak sempurna. Dalam pengertian ini menurut Iraqi kita harus memahami secara signifikan pernyataan Qunawi dan Ibn Arabi bahwa cinta adalah sebuah inklinasi batin terhadap jangkauan sebuah kesempurnaan  yang tersembunyi.  Kesempurnaan duduk masalahnya ada pada perbedaan mendasar antara ketaksempurnaan yang dinyatakan oleh Cinta Allah dan yang dinyatakan oleh manusia.  Maka hanya insan kamil yang dapat mengenal Allah semata, karena hanyalah dialah cermin bagi totalitas asma-asma dan sifat-sifat Allah. Sebagaimana perkataan Qunawi, Allah tidak dapat menjadi yang dipikirkan atau dicintai seorangpun, maka jadilah insan kamil. Karena di dalam manusia dengan jelas Allah melihat Keindahan-Nya sendiri.
Wallahua’lam....



[1]William C. Chittick dan Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau Ilahi), diterjemahkan oleh Hodri Arie, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2001, hlm. X.
                [2]Ibid, hlm. 51.
[3]Ibid, hlm. viii
                [4]Ibid, hlm. viii-ix
                [5]Penerjemah buku Lama’at (Kilau Kemilau Ilahi), sekaran menjadi dosen Ushuluddin di Instika dan pengasuh pondok pesantren di Jember.  
[6]Ibid, hlm. 28.
                [7]Ibid, hlm. 7.

0 Response to "FAKHRUDDIN IRAQI: Sebuah Renungan Tentang Filosofi Cinta"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel