FAKHRUDDIN IRAQI: Sebuah Renungan Tentang Filosofi Cinta
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Bila ia menyanyikan lagu hubbu Ilahi
(cinta ilahi) dalam keindahan ayat-ayat yang agung, itu karena jiwanya telah
menjadi lagu Ilahi, sebuah melodi dalam harmoni dengan, dan sebuah nada dari
musik yang dilantunkan dari kediaman Yang Tercinta.
(Seyyed Hossein Nasr)[1]
Kalau ditanya tentang tokoh sufi yang hidup pada abad 13
M., yang namanya melambung harum, menyebar semenanjung Persia, berikut kota tua
Hamadan, Konya, Toqat (sekarang Turki), dan India, atau bahkan nyaris namanya
dikenal seantero dunia dengan label kemasyhuran sebagai raja sastrawan Persia, tidak lain adalah Fakhruddin Ibrahim (1213 M.)
yang dikenal dengan nama “Iraqi”, seorang di antara deretan para sastrawan
terbesar di Persia, yang menurut Nasr adalah seniman tertinggi di antara mereka
yang telah betul betul mencapai suatu maqam spiritual yang dimuliakan di
kalangan sufi.
Kota Hamadan di desa Kamajan adalah saksi sejarah
lahirnya seorang bayi mungil. Konon sebelum ia dilahirkan ke dunia, ayahnya
telah bertemu dengan Ali Ibn Abi Thalib dalam sebuah mimpi kemudian menyerahkan
seorang anak kepadanya, Ali berkata: ”terimalah Iraqi dan besarkan ia dengan
baik, karena ia akan menjadi penguasa dunia,” sebab pengalaman (experience) ayahnya
tersebut, saat Iraqi lahir ke dunia bagi ayahnya ia nampak seperti anak dalam
mimpinya.[2]
Sebagai anak yang
dibesarkan oleh keluarga ilmuan dan budayawan, pada usia lima belas tahun Iraqi
telah menghafal keseluruhan al-Qur’an. Pada suatu pagi yang buta pada
waktu-waktu tertentu ia senandungkan hafalannya dengan suara yang penuh merdu,
siapapun yang mendengar akan terlena dan tergugah hatinya, di balik kemahiran
dalam membacakan al-Qur’an Iraqi pernah suatu ketika mengugah dan menggetarkan
hati seorang nonmuslim untuk masuk Islam melalui tangan Iraqi sendiri. Pada
usia tujuh belas tahun Iraqi sudah melahap habis ilmu pengetahuan baik naqli
(transmitted) dan aqli (intellectual). Dengan begitu Iraqi telah
mempersiapkan diri untuk mengajar yang lain dan atau mempersiapkan diri dari
berbagai serangan.
Pada waktu itu, nama Iraqi di sejajarkan dengan tokoh
besar tasawuf yang juga dikenal dengan kecanggihannya dalam menyampaikan
epistemologi tasawuf ke dalam bahasa bahasa simbol (alegoris), tidak sedikit seorang sufi yang menggunakan
bahasa perumpamaan ini, sebut seperti Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi,
Shadruddin Qunawi, Najmuddin Kubram dan Ab al-Hasan al-Syadzili.[3] Di tangan
Iraqi dunia sastra tasawuf mendapatkan sentuhan energi cahaya sepanjang sejarah
yang kecerdasannya tetap menyilaukan setiap mata memandang hingga tujuh abad
kemudian.
Dalam tubuh Iraqi tersimpan kemampuan disiplin ilmu yang meliputi
teologi dan sastra, terutama sastra Persia dan Arab, serta berbagai karya-karya
sufi awal, selain itu Iraqi tidak meninggalkan asas pengetahuan dasar seperti
al-Qur’an dan al-Hadits, yang dikolaborasikan dengan bentuk metafisika tasawuf
Ibn Arabi, sebabnya ia sangat terpengaruh dengan ajaran gnostik (ma’rifah),
pada masa awal, berikut dari tokoh tokoh yang mempengaruhi cara pikir Iraqi,
sebut Bayazid, al-Hallaj, Abu al-Hasan Kharraqani, dan Sana’i.[4] Guru-guru beliau adalah Shadruddin Qunawi (w. 673/1274)
dan Syekh Bahauddin Zakariya Multani (578/1182).
Seorang tokoh sufi dan sastrawan yang mumpuni dan
berpengalaman menerjemahkan puisi pusi sufi, Abd al-Rahman Jami (w. 1492) telah
memberikan komentar tentang karya besar Iraqi yang cukup fenomenal yaitu Lama’at
(Kilau Kemilau Ilahi), bagi Jami siapapun yang punya keinginan kuat untuk
mengetahui lebih dalam tentang karya Iraqi, maka perlu untuk membaca lebih
dekat filsafat tasawuf (the mystical philosophy), karya ini adalah
paling indah dari jenis sastra Persia, hingga pada gilirannya karya Iraqi
menjadi satu tumpukan yang melahirkan energi inspirasi bagi lahirnya sejumlah
risalah berikutnya.
Tangga
Menggapai Cinta Ilahi
Membaca Iraqi
tentu tidak akan lepas dari gubahan tentang cinta. Yang mana Iraqi memulai dari
bentuk cinta yang paling rendah menuju muara cinta yang haqiqi. Demikian
pula, bagi Nasr itu menunjukkan gradasi keindahan dari titik yang bersifat
bentuk (Wujudi), atau keindahan materi hingga mencapai titik keindahan
absolut itu sendiri.
Agar kita tidak tersesat dan terjebak dalam rimbun bahasa
cinta yang dihadirkan Iraqi dalam bukunya yang fenomenal seperi Lama’at, dan
berbagai ungkapan yang bernuansa material, Hodri Ariev[5] mengajak
pembaca menarik pada konteks makna-makna spiritualnya. Karena bahasa tasawuflah
yang (hanya) mampu dan terlatih untuk menghadirkan hal yang metafisik dan
spiritual dengan bahasa-bahasa simbolik/majazi.
Dari pembacaan tersebut kita harus meninggalkan
bentuk-bentuk bacaan esoteris kepada eksoterik, menuntut keterlibatan secara
aktif dan penghayatan yang mendalam serta kontekstual. Pembaca harus mengetahui
pada tatanan apa perbincangan dilangsungkan—fisik atau metafisik—yang nantinya
Iraqi berhasil menyingkap pengalaman-pengalaman metafisis dan spiritual pada
titik dimana menghadirkan Yang Mutlak menggunakan media yang terbatas.
Dalam Lama’at, ‘Iraqi mengembangkan filsafatnya
sendiri tentang cinta, dengan meminjam beberapa terminologi Ghazali dan Ibn
Arabi, akan tetapi seluruh konsep dan sintesis adalah miliknya, bukan potongan
dari berbagai epistemologi yang melahirkan narasi panjang tanpa
pertanggungjawab ilmiah. Secara filosofis cinta yang dibangun Iraqi adalah
sebuah bangunan penyatuan hubugan antara pencari (salik/seeker) seorang
wujud yang hina dengan yang dicari (masluk/sought) yang sempurnah.
Bagi Iraqi cinta tersebut adalah asal dari setiap
sesuatu, seorang pencinta (makhluk) sebagai mumkin al wujud (possible
existent) berasal dari tetesan Sang Kekasih atau Allah (Wajib al-Wujud;
Necessary Being). Pada dasarnya secara termenologi kata arab pencinta (‘asyiq)
dan yang tercinta (masyuq) berasal dari akar kata cinta (‘isyq), menurut
Iraqi, Allah adalah cinta. Sebagaimana yang dikatakan oleh William C.
Chittick bahwa ada banyak sejumlah sufi dalam hal cinta mengikuti Ghazali, yang
mana Ghazali setarikan nafas dengan Iraqi, akan tetapi Iraqi tidak mengikuti
detail-detail terminologi metafisika Ghazali hanya lebih pada identifikasi
mengenai Allah dengan Cinta, Iraqi menarik pada penglihatan kontemplatif atas
setiap realitas sesuatu, yang lebih mendekati pada gurunya yaitu Qunawi.
Sebagai akibatnya cinta harus menorehkan kesadaran
seseorang terhadap munasabah (afinitas) sebagaimana Qunawi menulis; “Adalah
tidak dapat dibayangkan bahwa sesuatu akan mencintai yang lain dalam hal bahwa
sesuatu itu berbeda darinya,” dari sebuah munasabah, akan membimbing kepada
dominasi sifat yang menghasilkan ittihad di atas kereta yang membawa pada
diferensiasi atau separasi. Yang pada titik klimaksnya Iraqi menghasilkan
penyatuan sempurna secara pasti.[6] Karena bila Cinta pada satu sisi adalah sifat
Allah pada sisi yang lain tidak menutupi kebenarannya bahwa ia identik dengan
Zat-Nya sendiri—adalah Allah itu sendiri—pendekknya Iraqi menyatukan sebuah
diskursus term Wahdat al-Wujud dalam term Cinta.[7]
Kesempurnaah ontologis yang tak terbatas menjadi satu
Wujud yang berasal dari karakter itu sendiri, penyatuan yang berasal dari
prototipe Ilahi. Dimana prototipe Ilahi diekspresikan oleh kata “Ahbabtu/ Aku
Cinta.” Maka alam makhluq sendiri berasal dari sifat-sifat-Nya, karena Dia
“ingin” dikenal, sebagaimana dalam Hadits qudsi masyhur “Aku adalah Kanz
Makhfy dan Aku cinta untuk dikenal.
Maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dapat dikenal,” . Apa yang Dia cintai adalah
kecantikan diri-Nya yang tak terbatas dan kemungkinan manifestasi dhahir
yang tak pernah berakhir dan penyebaran yang terpendam di dalamnya atau dalam
ungkapan lain kamal al- jala’ wa al-istijla’ (distinct-manifestation and
distinct-vision).
Dia
ingin kecantikan-kecantikan dan kesempurnaan-kesempurnaan diri-Nya yang tak
terbatas disebarkan dalam sebuah
keluasaan dan penyebaran yang tak terbatas sehingga apa yang Dia pandang di
dalam diri-Nya pada tataran asma bathin (Kanz Makhfy; Kekayaan Tersembunyi) bisa
juga menjadi yang dipandang “tanpa” diri-Nya pada tataran asma dzahir. Tapi
pada kenyataannya, tak satupun yang memiliki wujud selain Allah.
Entitas-entitas adalah ghoiru maujud. Jadi yang melihat sebenarnya
adalah Dia, sebagaimana yang dilihat tak lain adalah Dia. Keduanya saling
merefleksikan, mengamati dan mencintai yang lain, dengan demikian membuat
asma-asma dan sifat-sifat Allah---kanz makhfy---perwujudan. Akibatnya
semua kesempurnaan wujud yang terpendam menjadi diketahui secara zhahir.
Namun,
jika kita menjelaskan bahwa Allah memiliki Cinta sama halnya dengan menarik
kesimpulan bahwa Allah itu tidak sempurna. Dalam pengertian ini menurut Iraqi
kita harus memahami secara signifikan pernyataan Qunawi dan Ibn Arabi bahwa
cinta adalah sebuah inklinasi batin terhadap jangkauan sebuah kesempurnaan yang tersembunyi. Kesempurnaan duduk masalahnya ada pada perbedaan
mendasar antara ketaksempurnaan yang dinyatakan oleh Cinta Allah dan yang
dinyatakan oleh manusia. Maka hanya insan
kamil yang dapat mengenal Allah semata, karena hanyalah dialah cermin bagi
totalitas asma-asma dan sifat-sifat Allah. Sebagaimana perkataan Qunawi, Allah
tidak dapat menjadi yang dipikirkan atau dicintai seorangpun, maka jadilah insan
kamil. Karena di dalam manusia dengan jelas Allah melihat Keindahan-Nya
sendiri.
Wallahua’lam....
[1]William C. Chittick dan
Peter L. Wilson, Fakhruddin ‘Iraqi; Lama’at (Kilau-Kemilau Ilahi), diterjemahkan oleh Hodri
Arie, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2001, hlm. X.
0 Response to "FAKHRUDDIN IRAQI: Sebuah Renungan Tentang Filosofi Cinta"
Post a Comment
Terimkasih...