MUHASABAH; Refleksi Hari Ulang Tahun
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
"Kelahiranku adalah saat diriku menemukan semua yang berarti dan yang tak berarti sekalipun"Umur manusia setiap saat, setiap waktu; dari hari, bulan ke tahun semakin berkurang—mendekati titik kematian—sebagaimana firman Tuhan dalam al-Qur’an (al-Hijr: 5; al-Mu’minun: 43) Allah menjelaskan bahwa, “tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya,” terlepas dari kepercayaan saya pada ideologi Jabariyah, fatalistik; free-will, yang beranggapan segala kodrat dan iradat terikat kepada Allah Swt., secara intuitif saya tetap percaya jika diri ini memang tidak kuasa untuk memperpanjang umur yang terus merangkak ke depan.
Hari ini tergiang di ingat hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari
bahwa manusia sudah ditetapkan oleh Allah akan amal, rizki, jodoh, dan ajalnya
sejak dalam kandungan. Secara “kuasa” manusia tidak memiliki potensi mengubah,
memindah, dan mengatur dirinya sendiri. Namun, dalam agama Islam ada dua
dimensi yang perlu diperhatikan; yaitu dimensi ketuhanan dan dimensi
kemanusiaan. Karena takdir adalah barang abstrak yang sekaligus absolut, maka
keterbatasan manusia itu harus menghasilkan implikasi iman, berupa perhitungan,
proyeksi, dan perencanaan berupa tindakan yang matang. Dalam (Qs. Ar-Ra’d: 11)
Tuhan menjelaskan jika Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali ia mengubah
keadaan yang ada pada dirinya sendiri, maka Tuhan mengindikasikan terhadap
manusia untuk berdoa (dimensi ilahiyah), dan berusaha (dimensi insaniyah).
Pada hari ini, sudah seharusnya saya merasa bangga
sekaligus bahagia atas karunia nikmat yang diberikan oleh Allah, atas semua
“kadar” ukuran, atau meminjam bahasanya Prof. M. Quraish Shihab, yaitu “batas”
kemampuan manusia untuk menerima nikmat serta ujian dari Sang Pencipta. Allah
memberi sesuatu sesuai dengan ukuran dan kemampuan kita, agar bisa
menyeimbangkan diri dalam menjalani “takdir”-Nya.
Pada angka kelahiran saya, bulan Desember ini, yang
terpenting adalah introspeksi diri, jika dimuka sudah disebut, bahwa umur tiap
waktu mulai berkurang, maka setidaknya
saya bisa memperpanjang umur dengan menyambung tali persaudaraan, selain itu
dengan berbuat kebajikan, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah
lampau, hingga manusia pada gilirannya, secara kaca mata John Locke (1632), manusia
lahir sama persis dengan kertas putih tanpa dosa.
Saat ini sudah genap umur saya menjadi dua puluh dua
tahun, sejak pertama kali tangis itu pecah pada tanggal 04 Desember 1994, di
desa yang penuh dengan ketentraman, tidak lain adalah desa Grujugan. Saya
sadar, ibu mungkin lupa jika hari ini saya berulang tahun, karena semenjak saya
lahir memang orang tua saya tidak pernah memberi kado ulang tahun atau bahkan untuk
sekadar mengucapkan “selamat ulang tahun”. Saya tidak mempersoalkan itu.
Namun, ibu adalah orang yang paling taat beribadah kepada
Allah, ia tidak mungkin mengucapkan selamat ulang tahun tanpa alasan yang
logis—karena ibu bukan penganut paham paganisme—ibu bisa menyakini jika tradisi
perayaan ulang tahun lahir dari Barat, dari tangan-tangan orang Nasrani Romawi,
yang menyalakan lilin sesuai dengan angka usia mereka; (ada yang mengatakan
pada masa Herodes di Galilea, Dewi Artemis di Yunani).
Ibu saya lebih memilih berdo’a kepada Allah, ibu akan
bangun tengah malam hanya demi
mendo’akan saya, menangis kepada Allah, dan meminta agar saya menjadi anak yang
shaleh, bisa berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa. Bagi ibu, mendo’akan
orang lain tanpa sepengetahuan orang yang kita do’akan itulah yang lebih afdzal,
sebagaimana yang dikatakan Ummu Darda’:
دعوة المسلم لأخيه بظهر الغيب مستحابة عند رأسه ملك موكل
كلما دعا لأخيه بخير قال الملك الموكل به امين ولك بمثل
Sebab itu, saya tidak pernah melakukan perayaan hari
ulang tahun, tidak ada pernak pernik gemerlap lampu, serta nyala lilin dan kue;
semacam kue Holland Bakery, The Harvest Cake, Breadtalk, dll. tidak pernah
meniupkan api di batang lilin, dan tidak penah tidak pernah yang lain. Bahkan,
nyaris tidak ada yang mengucapkan “selamat ulang tahun” kepada saya di
waktu-waktu tertentu.
Pada hari ini, ada suasana yang berbeda dalam diri saya, mungkin
kebahagiaan, mungkin perasaan haru-biru, mungkin keadaan yang memberikan
tanda-tanda bahwa saya sudah lebih dewasa, seakan ada kalimat yang berbisik di
telinga untuk tetap bertahan dengan keterpurukan, “forget your past. Face
your future with enthusiasm and do your best. Happy birthday!,” begitulah kalimat
yang bisa saya dengar. Suara itu, seakan memberikan kekuatan supranatural yang hanya
bisa diucapkan dengan bentuk kalimat puitis; dengan kata-kata yang lebih indah
dan lebih sejuk nan luas maknanya.
Kebahagiaan; Cinta dan Kasih Sayang
Kebahagian yang didamba-dambakan dalam hidup saya sebenarnya
tidak terlalu muluk-muluk, cukup cinta dan persaudaraan yang tetap terjalin
utuh sepanjang masa, sepanjang tidak menyimpang akan syariah Islam, hingga
kebahagiaan itu menjadi roman yang terus melahirkan inspirasi kebenaran
perenial sepanjang masa.
Kebahagiaan adalah kata yang menimbulkan perspektif yang
sangat relatif sekali, menurut Aristoteles, eudaimonia atau kebahagiaan
itu seperti sesuatu yang bergerak dan dikejar-kejar semua orang termasuk saya,
baik kebahagiaan jasmani dan rohani; semua butuh “makanan” yang bisa memuaskan.
Selama ini, saya sangat bersyukur dilahirkan di tengah
keluarga yang sayang kepada saya, hidup dengan kesederhanaan, jauh dari
keramaian dan kebisingan hiruk-pikuk kota metropolitan, hidup dalam keluarga
miskin yang sangat sederhana; tiap hari hanya bertekur dan menekuni sebagai
buruh dan petani—yang menurut Geonawan Muhammad—adalah orang-orang pinggiran
yang termarginalkan.
Orang lain mungkin tidak akan pernah merasakan
kebahagiaan yang sama dengan saya, ada kadar yang berbeda untuk mengatakan
sebesar apakah kebahagiaan tersebut, sebabnya kebahagiaan sangat relatif
tergantung siapa dan bagaimana yang merasakan. Tidak ada barometer utuh yang
dapat mengukur tingkat kebahagiaan seseorang di antara kita.
Sebagai masyarakat pribumi pinggiran, hidup yang paling
bahagia tidak lain ketika kita bisa berkumpul dan bercengkerama dengan
keluarga, ada kasih sayang dan cinta yang tersembunyi di balik perkumpulan itu.
Kebiasaan ini sering dilakukan dalam keluarga, karena saya hidup bergumul dan berlumpul
dengan keluarga, rumah kami berdempetan (tanean lanjeng, Red: Madura)
kami menyebutnya dengan keluarga besar al-Hasyimi, dalam kesehariannya keluarga
kami tidak pernah alfa melakukan shalat berjamaah lima waktu. Dari sanalah saya
belajar, berkumpul, bermain, mengaji, membaca alfa-beta makna kehidupan yang terasa
sangat keras ini.
Ingatan saya masih terlempar pada sekelumit kisah sewaktu
kecil dulu, ketika ibu tiap hari mengantar saya bersekola diniyah di PP. Matla’
An-Nur, saya dibonceng menggunakan sepeda engkol tua yang sudah butut, kaki
saya diikat dengan kain di palang sepeda. Sesampainya di sekolah, ibu yang
mengajari saya mengaji, anak anak membaca Iqro’ dan belajar menulis arab, ibu
akan mengajar menggunakan kapur tulis yang di tempatkan di beranda rumah kiai,
karena bangunan sekolah belum ada waktu itu. Anak anak antusias mengaji. Guru
guru saya semangat mengajar dan murid murid giat belajar. Tidak jauh berbeda
dengan kisah dalam tetralogi novel Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, dimana keadaan
sekolah kami yang tidak layak, serta kondisi sosial yang tidak mendukung,
sedang anak anak desa tetap punya tekat yang kuat luar biasa.
Sehabis belajar, anak anak biasanya nongkrong di warung
Nyai Umar, beli kerupuk dicampur goang di cobek, mereka berkumpul makan kerupuk
di sana menghabiskan uang receh sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 1500, ada yang main
kelereng dan peta umpet. Kadang jika musim penghujan, anak anak tidak bisa
bermain karena kondisi becek, bahkan tidak bisa pulang dari sekolah, seperti
saya yang harus menyebrangi gorong gorong.
0 Response to "MUHASABAH; Refleksi Hari Ulang Tahun "
Post a Comment
Terimkasih...