-->

MUHASABAH; Refleksi Hari Ulang Tahun


"Kelahiranku adalah saat diriku menemukan semua yang berarti dan yang tak berarti sekalipun"
Umur manusia setiap saat, setiap waktu; dari hari, bulan ke tahun semakin berkurang—mendekati titik kematian—sebagaimana firman Tuhan dalam al-Qur’an (al-Hijr: 5; al-Mu’minun: 43) Allah menjelaskan bahwa, “tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya,” terlepas dari kepercayaan saya pada ideologi Jabariyah, fatalistik; free-will, yang beranggapan segala kodrat dan iradat terikat kepada Allah Swt., secara intuitif saya tetap percaya jika diri ini memang tidak kuasa untuk memperpanjang umur yang terus merangkak ke depan.

Hari ini tergiang di ingat hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa manusia sudah ditetapkan oleh Allah akan amal, rizki, jodoh, dan ajalnya sejak dalam kandungan. Secara “kuasa” manusia tidak memiliki potensi mengubah, memindah, dan mengatur dirinya sendiri. Namun, dalam agama Islam ada dua dimensi yang perlu diperhatikan; yaitu dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Karena takdir adalah barang abstrak yang sekaligus absolut, maka keterbatasan manusia itu harus menghasilkan implikasi iman, berupa perhitungan, proyeksi, dan perencanaan berupa tindakan yang matang. Dalam (Qs. Ar-Ra’d: 11) Tuhan menjelaskan jika Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali ia mengubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri, maka Tuhan mengindikasikan terhadap manusia untuk berdoa (dimensi ilahiyah), dan berusaha (dimensi insaniyah).

Pada hari ini, sudah seharusnya saya merasa bangga sekaligus bahagia atas karunia nikmat yang diberikan oleh Allah, atas semua “kadar” ukuran, atau meminjam bahasanya Prof. M. Quraish Shihab, yaitu “batas” kemampuan manusia untuk menerima nikmat serta ujian dari Sang Pencipta. Allah memberi sesuatu sesuai dengan ukuran dan kemampuan kita, agar bisa menyeimbangkan diri dalam menjalani “takdir”-Nya.

Pada angka kelahiran saya, bulan Desember ini, yang terpenting adalah introspeksi diri, jika dimuka sudah disebut, bahwa umur tiap waktu  mulai berkurang, maka setidaknya saya bisa memperpanjang umur dengan menyambung tali persaudaraan, selain itu dengan berbuat kebajikan, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah lampau, hingga manusia pada gilirannya, secara kaca mata John Locke (1632), manusia lahir sama persis dengan kertas putih tanpa dosa.
  
Saat ini sudah genap umur saya menjadi dua puluh dua tahun, sejak pertama kali tangis itu pecah pada tanggal 04 Desember 1994, di desa yang penuh dengan ketentraman, tidak lain adalah desa Grujugan. Saya sadar, ibu mungkin lupa jika hari ini saya berulang tahun, karena semenjak saya lahir memang orang tua saya tidak pernah memberi kado ulang tahun atau bahkan untuk sekadar mengucapkan “selamat ulang tahun”. Saya tidak mempersoalkan itu.  

Namun, ibu adalah orang yang paling taat beribadah kepada Allah, ia tidak mungkin mengucapkan selamat ulang tahun tanpa alasan yang logis—karena ibu bukan penganut paham paganisme—ibu bisa menyakini jika tradisi perayaan ulang tahun lahir dari Barat, dari tangan-tangan orang Nasrani Romawi, yang menyalakan lilin sesuai dengan angka usia mereka; (ada yang mengatakan pada masa Herodes di Galilea, Dewi Artemis di Yunani).

Ibu saya lebih memilih berdo’a kepada Allah, ibu akan bangun  tengah malam hanya demi mendo’akan saya, menangis kepada Allah, dan meminta agar saya menjadi anak yang shaleh, bisa berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa. Bagi ibu, mendo’akan orang lain tanpa sepengetahuan orang yang kita do’akan itulah yang lebih afdzal, sebagaimana yang dikatakan Ummu Darda’:

دعوة المسلم لأخيه بظهر الغيب مستحابة عند رأسه ملك موكل كلما دعا لأخيه بخير قال الملك الموكل به امين ولك بمثل

Sebab itu, saya tidak pernah melakukan perayaan hari ulang tahun, tidak ada pernak pernik gemerlap lampu, serta nyala lilin dan kue; semacam kue Holland Bakery, The Harvest Cake, Breadtalk, dll. tidak pernah meniupkan api di batang lilin, dan tidak penah tidak pernah yang lain. Bahkan, nyaris tidak ada yang mengucapkan “selamat ulang tahun” kepada saya di waktu-waktu tertentu.    
  
Pada hari ini, ada suasana yang berbeda dalam diri saya, mungkin kebahagiaan, mungkin perasaan haru-biru, mungkin keadaan yang memberikan tanda-tanda bahwa saya sudah lebih dewasa, seakan ada kalimat yang berbisik di telinga untuk tetap bertahan dengan keterpurukan, “forget your past. Face your future with enthusiasm and do your best. Happy birthday!,” begitulah kalimat yang bisa saya dengar. Suara itu, seakan memberikan kekuatan supranatural yang hanya bisa diucapkan dengan bentuk kalimat puitis; dengan kata-kata yang lebih indah dan lebih sejuk nan luas maknanya.


Kebahagiaan; Cinta dan Kasih Sayang
Kebahagian yang didamba-dambakan dalam hidup saya sebenarnya tidak terlalu muluk-muluk, cukup cinta dan persaudaraan yang tetap terjalin utuh sepanjang masa, sepanjang tidak menyimpang akan syariah Islam, hingga kebahagiaan itu menjadi roman yang terus melahirkan inspirasi kebenaran perenial sepanjang masa.

Kebahagiaan adalah kata yang menimbulkan perspektif yang sangat relatif sekali, menurut Aristoteles, eudaimonia atau kebahagiaan itu seperti sesuatu yang bergerak dan dikejar-kejar semua orang termasuk saya, baik kebahagiaan jasmani dan rohani; semua butuh “makanan” yang bisa memuaskan.

Selama ini, saya sangat bersyukur dilahirkan di tengah keluarga yang sayang kepada saya, hidup dengan kesederhanaan, jauh dari keramaian dan kebisingan hiruk-pikuk kota metropolitan, hidup dalam keluarga miskin yang sangat sederhana; tiap hari hanya bertekur dan menekuni sebagai buruh dan petani—yang menurut Geonawan Muhammad—adalah orang-orang pinggiran yang termarginalkan.

Orang lain mungkin tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sama dengan saya, ada kadar yang berbeda untuk mengatakan sebesar apakah kebahagiaan tersebut, sebabnya kebahagiaan sangat relatif tergantung siapa dan bagaimana yang merasakan. Tidak ada barometer utuh yang dapat mengukur tingkat kebahagiaan seseorang di antara kita.

Sebagai masyarakat pribumi pinggiran, hidup yang paling bahagia tidak lain ketika kita bisa berkumpul dan bercengkerama dengan keluarga, ada kasih sayang dan cinta yang tersembunyi di balik perkumpulan itu. Kebiasaan ini sering dilakukan dalam keluarga, karena saya hidup bergumul dan berlumpul dengan keluarga, rumah kami berdempetan (tanean lanjeng, Red: Madura) kami menyebutnya dengan keluarga besar al-Hasyimi, dalam kesehariannya keluarga kami tidak pernah alfa melakukan shalat berjamaah lima waktu. Dari sanalah saya belajar, berkumpul, bermain, mengaji, membaca alfa-beta makna kehidupan yang terasa sangat keras ini.

Ingatan saya masih terlempar pada sekelumit kisah sewaktu kecil dulu, ketika ibu tiap hari mengantar saya bersekola diniyah di PP. Matla’ An-Nur, saya dibonceng menggunakan sepeda engkol tua yang sudah butut, kaki saya diikat dengan kain di palang sepeda. Sesampainya di sekolah, ibu yang mengajari saya mengaji, anak anak membaca Iqro’ dan belajar menulis arab, ibu akan mengajar menggunakan kapur tulis yang di tempatkan di beranda rumah kiai, karena bangunan sekolah belum ada waktu itu. Anak anak antusias mengaji. Guru guru saya semangat mengajar dan murid murid giat belajar. Tidak jauh berbeda dengan kisah dalam tetralogi novel Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, dimana keadaan sekolah kami yang tidak layak, serta kondisi sosial yang tidak mendukung, sedang anak anak desa tetap punya tekat yang kuat luar biasa.

Sehabis belajar, anak anak biasanya nongkrong di warung Nyai Umar, beli kerupuk dicampur goang di cobek, mereka berkumpul makan kerupuk di sana menghabiskan uang receh sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 1500, ada yang main kelereng dan peta umpet. Kadang jika musim penghujan, anak anak tidak bisa bermain karena kondisi becek, bahkan tidak bisa pulang dari sekolah, seperti saya yang harus menyebrangi gorong gorong.

Akan tetapi itulah kebahagiaan menurut saya, disaat kasih sayang orang tua dan para guru masih menyemai. Di saat orang lain sudah tidak hirau, dan tidak memikirkan pesoalan pendidikan dan masa depan bangsa, dan kita (masyarakat kecil) masih peduli melihat mirisnya pendidikan di Indonesia.[]

0 Response to "MUHASABAH; Refleksi Hari Ulang Tahun "

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel