-->

PLURALISME DARI PESANTREN: Sebuah Wahana Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia



Islam yang lahir membawa misi penyelamat dan perdamaian rahmatan lil alamin adalah bagian etos-epistemologi masyarakat yang makin ternodai dengan praktik ke-agama-an yang menyimpang dari subtansi “perdamaian” itu sendiri. Adanya praktek kejahatan terorisme dan radikalisme yang memasang badan sebagai agama Islam, sebut Islam tans-nasional yang menekankan otentisitas doktrin keagamaan dan eksklusivitas kelompok, anti-tradisi, dan kerap mengusung ide-ide islamisme dengan menarik penafsiran dikotomi terhadap agama adalah bukti rentetan buramnya kesejarahan atas penolakan terhadap negara yang multikultural, multietnis, dan multi agama.[1]
            Fenomena tersebut bisa ditonton pada mutakhir ini yang mana menurut Achmad Zainal Arifin[2], mengatakan bahwa Indonesia berada di atas batas ambang kerawanan terhadap pengaruh fundamentalis-radikalisme dan aksi-terorisme.[3] Sebut saja, kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah yang terjadi sampai 15 kali dari tahun 2010 hingga 2011, kekeraasan terhadap Jama’ah Qiyadah al-Islamiyah Siroj Jaziroh di Padang Sumatra Barat tahun 2007, sampai kekerasan terhap Jemaat Gereja di Bandung Jawa Barat tahun 1995, 1999, 2005 hingga 2007. Selain itu juga tindakan diskriminasi pada penduduk Syi’ah di Sampang tahun 2013, kasus kekerasan terhadap umat katolik di Sleman Yogyakarta, tahun 2014, sampai penyerangan kaum Kristiani terhadap warga Muslim saat dalam suasana Idul Fitri tahun 2015 yang lalu.[4] Sebabnya, hembusan radikalisme agama sampai saat ini menjadi corong terbentuknya kelompok kelompok ekstremisme (tatharrufiyah) dan kekerasan (al-unfiyah) yang merugikan kelompok lain  dan juga merugikan terhadap negara.
            Secara kasar masyarakat mulai buta melihat perbedaan yang itu mencerminkan sebuah nilai rahmatan lil alamin. Kita bukan termasuk masyarakat bodoh yang sama sekali tidak tau bahwa negara Indonesia adalah sketsa atau gambaran riil akan kemajemukan dari berbagai suku bangsanya atas bangunan heterogenitas. Dengan begitu penulis akan menampilkan serpihan dari nilai pluralisme yang lahir dari rahim kesadaran teologis yang menempatkan manusia sebagai mahluk yang sama di sisi Tuhan, sebuah wacana canggih yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan hegemoni doktrin agama, selain itu secara kacamata sosio-politis, “pluralisme” adalah bentuk sistemik yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut; hal itu berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya.

Memahami Hakikat Pluralisme di Pesantren
Agar tidak terlalu rumit dalam memahami makna pluralisme, kita bisa sesekali menghadirkan seorang Gus Dur sebagai bapak pluralis, bapak pembela masyarakat minoritas yang tertindas, bapak yang memperjuangkan hak kemanusian. Dimana pluralisme dibangun atas sikap yang condong pada sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Secara keseluruhan pandangan-pandangan Gus Dur lahir dari kultur pesantren itu sendiri yang menurut Prof. A’la seorang cendikiawan penulis buku ‘Pembaruan Pesantren’ meletakkan bangunan pesantren sebagai produksi awal dari kontekstualisasi agama Islam yang berhasil mengambil pijakan nilai nilia Aswaja.[5]
            Pluralisme yang diusung di pesantren tidak lebih adalah proses akan kesadaran bahwa perbedaan adalah bagian dari rahmat Tuhan yang kerap didengungkan sebagai rahmatan lil alamin. Pluralisme ini tidak jauh menyeret pada persoalan perbedaan agama yang menyakini semua agama-agama di dunia memilki kebenaran yang sama, akan tetapi benar apa yang dikatakan M. Dawam Rahardjo, sebuah loncatan pandangan masa depan, yang menempatkan arus pluralisme sebagai landasan bagi lahirnya keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antarummat beragama. Tanpa pandangan pluralis semacam ini, kerukunan antar-umat beragama tidak mungkin terjadi.[6] Maka sikap Islam sebagaimana pesantren melihat sisi pluralisme sebagai aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak boleh dilanggar dan tak  bisa diingkari.
            Agar lebih menyeluruh memahami hakikat pluralisme, ada beberapa tangga besar yang perlu dinaiki: pertama, kebebasan, dari bentuk “kebebasan” inilah masyarakat mendambakan keberlangsungan hidup sebuah ‘komunitas merdeka’ (community of freedom) dalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen. Komunitas merdeka adalah jaminan bagi entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi hak hidupnya dari intervensi kekuatan eksternal, tapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik. Pesantren sudah memiliki bentuk kemerdekaan itu secara menyeluruh sebagai basis ajaran berideologi terutama pesantren yang memiliki concert dalam urusan sosial atau kemasyarakatan. Kedua, toleransi suatu sikap saling menghargai kelompok atau antar individu tanpa adanya aling-aling dan sekat status sosial.[7] Di dalam pesantren sendiri menurut Zamakhsyari Dhafier dengan sistem asrama terhimpun berbagai santri yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, suku, dan kultur yang berbeda.[8] Di dalamnya bisa hidup rukun dan saling menghargai.[9]  Ketiga, sikap egaliter atau anggapan bahwa manusia memiliki persamaan dan derajat yang sama, serta memiliki hak-hak yang perlu untuk dilindungi  kemudian dirumuskan menjadi Hak Asasi Manusia (HAM). Senada nengan perkataan Nabi “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu.” Ketika diperas gagasan ini memiliki keintiman dengan materi yang diajarkan dalam pesantren, terutama dalam membela kehormatan manusia, perjuangan besar yang diwariskan oleh para Nabi.[10] Keempat, keadilan yang dimaknai suatu rasa empati keberpihakkan kepada yang lemah dan miskin (preferential option for the poor) adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tidak adil. Demi mewujudkan keadilan, pesantren sangat menentang dikotomi mayoritas-minoritas, karena mengandung meaning hirarki.[11] Dengan demikian lengkaplan apa yang ada dalam pesantren itu sendiri sebagai tameng untuk menghadapi berbagai gejolak pemikiran radikalisme yang semakin hari terus dihembuskan oleh beberapa kelompok agama yang mengklaim dirinya sebagai Islam trasnasional dan atau Islam radikalisme.

Sumbu Radikalisme
...But Islam is ambiguous about violence. Like all religions, Islam occasionally allows for force while stressing that the main spiritual goal is one of nonviolenc and peace. (Mark  Juergensmeyer)[12]

            Sejarah  sosial politik  umat Islam membuktikan pada empat dekade terakhir, dimana Islam mengarungi suatu fase “kritis” di tengah kedap kehidupan yang mengalami krisis multi-dimensional. Dalam kurun waktu tersebut umat Islam melewati jalan terjal bernama radikalisasi dan ekstrimisasi, ditandai dengan mengelembungnya wacana “fundamentalisme Islam” sebuah tren gerakan Islam yang sering menelorkan “kejutan” baik di tingkat lokal maupun di tingkat global.
            Secara generalisasi metodologis akar radikalisme memusat pada tiga aspek karakteristik yang melekat, diantaranya: (i) Islam dianggap sebagai bangunan totalitas ideologi yang cenderung skripturalis dalam memehami diskursus agama, sehingga tercipta pemahaman kaku dan “ambigu” teruma dalam persoalan menafsirkan berbagai gerakan epistemologi yang lain, baik persoalan pluralisme itu sendiri, (ii) krisis terhadap modernitas (modern knowledge) perihal resistansi terhadap dominasi Barat, (iii) membolehkan aksi-aksi kekerasan (violent action) dengan cara mengaktifkan “jihat” sebagai suatu gerakan masif yang terorganisir.[13]
            Persoalan religious violence harus ditarik pada konsep khas Islam yang berpotensi akan menjamurnya bentuk kekerasan, baik kekerasan skriptualis dan jihad secara fisik itu sendiri. Dengan begitu, konsep jihad dalam khazana Islam klasik maupun dalam interpretasi modern, penting untuk dicermati karena hingga kini jihad dianggap paling kontroversial, ambigu serta multi-interpretatif, yang berpretensi besar untuk memberi ruang bagi eksploitasi dan mobilisasi massa kekerasan atas nama agama.[14] Dengan begitu isu radikalisme agama telah menyedot perhatian komunitas internasional sejak usai Perang Dingan (the Cold War).
            Pada abad ke-20 dunia kemudian dikejutkan dengan kebangkitan gerakan-gerakan baru di setiap agama besar di dunia. Yang paling dominan ditandai dengan kebangkitan satu pemberontakan kaum “fundamentalisme” agama melawan modernitas. Secara khusus Islam menarik perhatian karena suksesnya Revolusi Iran tahun 1979 yang diikuti dengan melimpahnya kajian mengenai kebangkitan Islam. Menurut Elizabeth Collins, atensi media sengaja ditarik dan ditembakkan secara khusus pada gerakan keagamaan dengan menggunakan bentuk kekerasan dalam mengekpresikan tuntutan mereka. Inilah pada gilirannya menurut Husein Muhammad[15] yang membutuhkan gerakan pencegahan dengan nilai pluralisme pesantren. Pluralisme yang sudah penulis sebut dimuka. 
            Mirisnya, belakangan masih banyak kebutaan masyarakat dalam menafsirkan makna pluralisme. Sedang penyebab utama adalah munculnya faham “liberalisme politik” di Eropa pada abad ke-18, sebagian besar didorong kondisi masyarakat yang carut marut akibat munculnya sikap-sikap intoleran dan konflik etnis, sektarian yang pada akhirnya menyeret pada gelombang pertumpahan darah antar ras, sekte, kelompok dan mazhab pada masa reformasi keagamaan.[16]
            Maka pluralisme itulah yang menancap tegak dalam tubuh NKRI menjadi ruh dan prinsip fundamentum berdirinya persatuan dalam kemajemukan masyarakat plural di Indonesia. Mau tidak mau, harus menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa plural karena terdiri dari suku, agama, ras, yang majemuk sehingga terjalin sebuah lanskap demokrasi berlandaskan Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika.

Pesantren Bingkai Dakwah Kedamaian Untuk Indonesia
Pada hakikatnya, Islam datang dengan cara damai tanpa kegaduhan, tanpa propaganda politik, dan nyaris tanpa pertumpahan darah, para pelopor Islam sangat ihklas memperjuangkan demi menegakkan agama Tuhan di atas bumi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara damai; bertahap dan secara perlahan, mengajarkan sebuah prinsip yang bertoleransi serta persamaan derajat antar manusia—tidak ada sekat dan diskriminasi sosial—yang membedakan manusia di dunia. Kebanyakan hal ini diimplementasikan dalam ajaran tasawuf yang dibawa para pelopor Islam di Nusantara, termasuk Wali Songo itu sendiri, sebagai peletak dasar proyek besar yang bernama pondok pesantren.
            Sebab itu, menurut Haidar Bagir penyebaran Islam di Nusantara pertama kali tidak bisa dilepaskan dari elan vital pondok pesantren itu sendiri.  Pesantren satu satunya yang sanggub mengkomunikasikan kemajemukan kultur masyarakat dengan kompromi, sehingga membentuk simbiosis-mutualisme yang utuh. Pluralisme yang ditandai dengan kemajemukan agama dan kebudayaan yang berkembang sebelum Islam masuk di Nusantara bukan hal yang sulit untuk dirangkul menjadi satu kekuatan strategi dalam berdakwa, justru disinilah letak kelihaian para pelopor Islam bisa meletakkan batu dasar fondasi besar konvensi beragama, bahwa perbedaan adalah rahmat yang benar-benar harus dimanfaatkan sebagai peluang strategi-metodologi dakwa Islam secara totalitas hatta menciptakan humanisme sosial.
            Karena pada hakikatnya, konsepsi salah yang dibentuk oleh opini masyarakat berakibat pada konklusi yang keliru, sebabnya M.C. Ricklefs membahasakan orang Jawa dan Muslim tidak menjadikannya sebagai bentuk sekat problematis, bahkan istilah-istilah lokal tetap diterapkan dalam praktek keagamaan orang Jawa, dengan begitu islamisasi diwarnai dengan perbedaan dan kepelikan corak masyarakat yang plural.[17] Jadi, perbedaan bukan lagi simbol diskriminasi sosial atau musuh yang harus diperangi secara ideologi ataupun senjata, perbedaan adalah fakta genealogi-historis untuk menciptakan oase harmoni di tengah-tengah diferensiasi kemajemukan sosial.
            Di balik fenomena itu, yang perlu diharapkan agama bukan menjadi pembatas sosial, dan memotong gerak laju dinamisasi kebebasan masyarakat untuk berkreasi, keberagaman harus menilik intensifikasi dinamika intelektual dan menjadikan wilayah Nusantara yang semakin menarik dalam entitas sosial, budaya dan intelektual.[18] Dari fenomena masyarakat tersebut pesantren memiliki peran untuk menjungjung tinggi semangat egaliter serta mendorong tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia.[19] Seperti K.H.  Hasyim A’syari yang telah berhasil menjadikan pesantren sebagai lecut untuk menyuarakan nasionalisme dan mengusir penjajah di atas bumi Nusantara.
            Disinilah sumbangsih besar pesantren, ketika telah mengajarkan sikap toleransi dan keadilan yang disebut Gus Dur dengan nafas pluralisme, dengan gerakan seperti ini pesantren sebenarnya menyuarakan dan menentang konsep agama yang kaku dan terlalu beku dalam menafsirkan teks, sehingga banyaknya Islam radikalisme adalah sikap apriori dari agama itu sendiri. Saat  ini mungkin pesantren belum terlambat untuk melakukan dakwah sebagaimana yang telah Wali Songo wariskan sebagai Islam yang membawa kedamaian dan rahmat.
            Wallahua’lam....
           



Daftar Bacaan
            A’la, Abd, Pembaruan Pesantren,  Pustaka Pesantren, yogyakarta, 2006.
Ali-Fauzi, Ihsan, dkk. Demi Toleransi Demi Pluralisme,  Democracy Projec, Jakarta, 2012.
             Dhafier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES Jakarta, 1982.  
Taufiqurrahman, Harmoni di Mata Kaum Muda: Kumpulan Esai Sosial Budaya 2013, Pusat Peneliti dan Pengembangan Kebudayaan, Jakarta, 2013.  
Muhammd, Husein, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012.      
Bamualim, Chaider S, Fundamentalisme  Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004.
            Malik Thoha, Anis, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, GEMA Insani, Jakarta, 2005.
 Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Serambi, Jakarta, 2013.

Sumber Internet:
http://yayasanalkahfi.or.id/index.php, diakses pada tanggal 25 November 2016.
http://www.gusdurian.net/id/article/Gus-Dur-dan-Toleransi, diakses pada tanggal 24 November 2016, pukul 10.13 Wib.





                [1]Inslam transnasional ini muncul seiring bergulirnya reformasi politik di Indonesia tahun 1998, yang ditandai dengan  munculnya kekerasa, pengkafiran sesama Islam, pemaksaan keyakinan. Lebih jelasnya lihat di http://yayasanalkahfi.or.id/index.php, diakses pada tanggal 25 November 2016.
                [2]Adalah Dosen, Ketua PPISH UIN Sunan Kalijaga, tulisannya “Membela yang Lemah: Menggali Ide Pluralisme Gusdur”, disampaikan dalam Dikusi Serial Tokoh Pluralisme Indonesia, di Kampus UIN Sunan Kalijaga, 19 September 2014.              
                [3]Penelitian yang dilakukan PPIM (2011) menunujukkan bahwa sekitar 60,4% responden mendukung tindakan kekerasan dan intoleransi.
                [4]Moh. Royhan Fajar, Ijtihad Melawan Radikalisme Agama Di Indonesia: Post-Tradisionalisme, Formulasi Gerakan Pemuda dalam Merajut Islam Indonesia, diterbitkan oleh Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII), Surabaya.. 
[5]Abd A’la, Pembaruan Pesantren,  Pustaka Pesantren, yogyakarta, 2006, hlm.172.
[6]Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Demi Toleransi Demi Pluralisme,  Democracy Projec, Jakarta, 2012, hlm, 199.
                [7]http://www.gusdurian.net/id/article/Gus-Dur-dan-Toleransi, diakses pada tanggal 24 November 2016, pukul 10.13 Wib.
[8]Zamakhsyari Dhafier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cetakan Pertama (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 149.  
[9]Taufiqurrahman, Harmoni di Mata Kaum Muda: Kumpulan Esai Sosial Budaya 2013, Pusat Peneliti dan Pengembangan Kebudayaan, Jakarta, 2013, hlm. 44.  
[10]Husein Muhammd, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012, hlm. 55-56
                [11]http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan, diakses pada tanggal 24 November 2016.
[12] Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme  Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004, hlm,1
[13]Ibid, Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme..hlm, 2-3.
                [14] Ibid, Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme.. hlm, 3-4. kekerasan atas nama agama terbesar sepanjang masa, dimana terosisme berhasil mengemparkan Amerika Serikat, yaitu aksi terorisme Islam Amrozy dan kawan-kawannya, pada tanggal 12 Oktober 2002, yang ditandai dengan robohnya gedung Word Trade Centre (Pusat Perdagangan Dunia), lihat dalam buku Ridwan al-Makassary, Terorisme Berjubah Agama, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004, hlm, 3.  
                [15]Lihathttp://www.gusdurian.net/id/article/all-categories/Gus-Dur-dan-adikalisme, diakses pada tanggal, 23 November 2016 M.  
                [16]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, GEMA Insani, Jakarta, 2005, hlm, 17.
[17] M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Serambi, Jakarta, 2013. hlm, 30.
                [18] Lihat tulisan Erawadi, Akar Tradisi Integrasi Pengetahuan dalam Naskah Klasik Islam Nusantara, dalam Jurnal  Conference Proceedings Annual International Confrence on Islam Studies (AICIS XII), tanpa tahun, hlm, 3176. Dalam bidang intelektual ia menawarkan dinamika dan pola keilmuan berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Karena semakin besar tantangan dan tuntutan kehidupan, semakin besar pula keinginan dan usaha manusia untuk menghadapinya.
[19]Terbukti banyak pesantren di Nusantara yang ikut mewarnai dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda, diantaranya pesantren Tebu Ireng, Jombang.

0 Response to "PLURALISME DARI PESANTREN: Sebuah Wahana Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel