PLURALISME DARI PESANTREN: Sebuah Wahana Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Islam yang lahir membawa misi penyelamat dan perdamaian rahmatan
lil alamin adalah bagian etos-epistemologi masyarakat yang makin ternodai
dengan praktik ke-agama-an yang menyimpang dari subtansi “perdamaian” itu
sendiri. Adanya praktek kejahatan terorisme dan radikalisme yang memasang badan
sebagai agama Islam, sebut Islam tans-nasional yang menekankan otentisitas
doktrin keagamaan dan eksklusivitas kelompok, anti-tradisi, dan kerap mengusung
ide-ide islamisme dengan menarik penafsiran dikotomi terhadap agama adalah
bukti rentetan buramnya kesejarahan atas penolakan terhadap negara yang
multikultural, multietnis, dan multi agama.[1]
Fenomena
tersebut bisa ditonton pada mutakhir ini yang mana menurut Achmad Zainal Arifin[2],
mengatakan bahwa Indonesia berada di atas batas ambang kerawanan terhadap
pengaruh fundamentalis-radikalisme dan aksi-terorisme.[3]
Sebut saja, kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah yang terjadi sampai 15
kali dari tahun 2010 hingga 2011, kekeraasan terhadap Jama’ah Qiyadah
al-Islamiyah Siroj Jaziroh di Padang Sumatra Barat tahun 2007, sampai kekerasan
terhap Jemaat Gereja di Bandung Jawa Barat tahun 1995, 1999, 2005 hingga 2007.
Selain itu juga tindakan diskriminasi pada penduduk Syi’ah di Sampang tahun
2013, kasus kekerasan terhadap umat katolik di Sleman Yogyakarta, tahun 2014,
sampai penyerangan kaum Kristiani terhadap warga Muslim saat dalam suasana Idul
Fitri tahun 2015 yang lalu.[4]
Sebabnya, hembusan radikalisme agama sampai saat ini menjadi corong
terbentuknya kelompok kelompok ekstremisme (tatharrufiyah)
dan kekerasan (al-unfiyah) yang
merugikan kelompok lain dan juga
merugikan terhadap negara.
Secara kasar masyarakat mulai buta
melihat perbedaan yang itu mencerminkan sebuah nilai rahmatan lil alamin. Kita
bukan termasuk masyarakat bodoh yang sama sekali tidak tau bahwa negara Indonesia adalah sketsa atau gambaran riil akan
kemajemukan dari berbagai suku bangsanya atas bangunan heterogenitas. Dengan
begitu penulis akan menampilkan serpihan dari nilai pluralisme yang lahir dari
rahim kesadaran teologis yang menempatkan manusia sebagai mahluk yang sama di
sisi Tuhan, sebuah wacana canggih yang berorientasi pada superioritas akal
(rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan hegemoni doktrin agama,
selain itu secara kacamata sosio-politis, “pluralisme” adalah bentuk sistemik
yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak aspek perbedaan
yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut; hal itu
berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat yang
plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya.
Memahami Hakikat Pluralisme di Pesantren
Agar tidak terlalu rumit dalam memahami makna pluralisme,
kita bisa sesekali menghadirkan seorang Gus Dur sebagai
bapak pluralis, bapak pembela masyarakat minoritas yang tertindas, bapak yang
memperjuangkan hak kemanusian. Dimana pluralisme dibangun atas sikap yang
condong pada sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Secara keseluruhan
pandangan-pandangan Gus Dur lahir dari kultur pesantren itu sendiri yang
menurut Prof. A’la seorang cendikiawan penulis buku ‘Pembaruan Pesantren’
meletakkan bangunan pesantren sebagai produksi awal dari kontekstualisasi agama
Islam yang berhasil mengambil pijakan nilai nilia Aswaja.[5]
Pluralisme yang diusung di
pesantren tidak lebih adalah proses akan kesadaran bahwa perbedaan adalah
bagian dari rahmat Tuhan yang kerap didengungkan sebagai rahmatan lil
alamin. Pluralisme ini tidak jauh menyeret pada persoalan perbedaan agama
yang menyakini semua agama-agama di dunia memilki kebenaran yang sama, akan
tetapi benar apa yang dikatakan M. Dawam Rahardjo, sebuah loncatan pandangan
masa depan, yang menempatkan arus pluralisme sebagai landasan bagi lahirnya
keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antarummat beragama. Tanpa pandangan
pluralis semacam ini, kerukunan antar-umat beragama tidak mungkin terjadi.[6]
Maka sikap Islam sebagaimana pesantren melihat sisi pluralisme sebagai aturan
Tuhan (sunnatullah) yang tidak boleh dilanggar dan tak bisa diingkari.
Agar lebih menyeluruh memahami hakikat pluralisme, ada beberapa
tangga besar yang perlu dinaiki: pertama, kebebasan, dari bentuk
“kebebasan” inilah masyarakat mendambakan keberlangsungan hidup sebuah
‘komunitas merdeka’ (community of freedom) dalam masyarakat
etno-religius Indonesia yang heterogen. Komunitas merdeka adalah jaminan bagi
entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi hak hidupnya dari intervensi kekuatan
eksternal, tapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik. Pesantren
sudah memiliki bentuk kemerdekaan itu secara menyeluruh sebagai basis ajaran
berideologi terutama pesantren yang memiliki concert dalam urusan sosial
atau kemasyarakatan. Kedua, toleransi suatu sikap saling menghargai
kelompok atau antar individu tanpa adanya aling-aling dan sekat status sosial.[7] Di dalam pesantren sendiri menurut Zamakhsyari Dhafier
dengan sistem asrama terhimpun berbagai santri yang terdiri dari berbagai
kelompok etnis, suku, dan kultur yang berbeda.[8] Di dalamnya bisa hidup rukun dan saling menghargai.[9] Ketiga, sikap
egaliter atau anggapan bahwa manusia memiliki persamaan dan derajat yang sama,
serta memiliki hak-hak yang perlu untuk dilindungi kemudian dirumuskan menjadi Hak Asasi Manusia
(HAM). Senada nengan perkataan Nabi “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu,
melainkan perilaku dan hatimu.” Ketika diperas gagasan ini memiliki keintiman dengan
materi yang diajarkan dalam pesantren, terutama dalam membela kehormatan
manusia, perjuangan besar yang diwariskan oleh para Nabi.[10] Keempat, keadilan yang dimaknai suatu rasa empati
keberpihakkan kepada yang lemah dan miskin (preferential option for the poor)
adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tidak adil. Demi
mewujudkan keadilan, pesantren sangat menentang dikotomi mayoritas-minoritas,
karena mengandung meaning hirarki.[11] Dengan demikian lengkaplan apa yang ada dalam pesantren
itu sendiri sebagai tameng untuk menghadapi berbagai gejolak pemikiran
radikalisme yang semakin hari terus dihembuskan oleh beberapa kelompok agama
yang mengklaim dirinya sebagai Islam trasnasional dan atau Islam radikalisme.
Sumbu Radikalisme
...But Islam is ambiguous about violence. Like all
religions, Islam occasionally allows for force while stressing that the main
spiritual goal is one of nonviolenc and peace. (Mark
Juergensmeyer)[12]
Sejarah sosial
politik umat Islam membuktikan pada
empat dekade terakhir, dimana Islam mengarungi suatu fase “kritis” di tengah
kedap kehidupan yang mengalami krisis multi-dimensional. Dalam kurun waktu
tersebut umat Islam melewati jalan terjal bernama radikalisasi dan
ekstrimisasi, ditandai dengan mengelembungnya wacana “fundamentalisme Islam”
sebuah tren gerakan Islam yang sering menelorkan “kejutan” baik di tingkat
lokal maupun di tingkat global.
Secara
generalisasi metodologis akar radikalisme memusat pada tiga aspek karakteristik
yang melekat, diantaranya: (i) Islam dianggap sebagai bangunan totalitas
ideologi yang cenderung skripturalis dalam memehami diskursus agama,
sehingga tercipta pemahaman kaku dan “ambigu” teruma dalam persoalan
menafsirkan berbagai gerakan epistemologi yang lain, baik persoalan pluralisme
itu sendiri, (ii) krisis terhadap modernitas (modern knowledge) perihal
resistansi terhadap dominasi Barat, (iii) membolehkan aksi-aksi kekerasan (violent
action) dengan cara mengaktifkan “jihat” sebagai suatu gerakan masif yang
terorganisir.[13]
Persoalan
religious violence harus ditarik pada konsep khas Islam yang berpotensi
akan menjamurnya bentuk kekerasan, baik kekerasan skriptualis dan jihad secara
fisik itu sendiri. Dengan begitu, konsep jihad dalam khazana Islam klasik
maupun dalam interpretasi modern, penting untuk dicermati karena hingga kini
jihad dianggap paling kontroversial, ambigu serta multi-interpretatif, yang
berpretensi besar untuk memberi ruang bagi eksploitasi dan mobilisasi massa
kekerasan atas nama agama.[14] Dengan begitu isu radikalisme agama telah menyedot
perhatian komunitas internasional sejak usai Perang Dingan (the Cold War).
Pada
abad ke-20 dunia kemudian dikejutkan dengan kebangkitan gerakan-gerakan baru di
setiap agama besar di dunia. Yang paling dominan ditandai dengan kebangkitan
satu pemberontakan kaum “fundamentalisme” agama melawan modernitas. Secara
khusus Islam menarik perhatian karena suksesnya Revolusi Iran tahun 1979 yang
diikuti dengan melimpahnya kajian mengenai kebangkitan Islam. Menurut Elizabeth
Collins, atensi media sengaja ditarik dan ditembakkan secara khusus pada
gerakan keagamaan dengan menggunakan bentuk kekerasan dalam mengekpresikan
tuntutan mereka. Inilah pada gilirannya menurut Husein Muhammad[15] yang membutuhkan gerakan pencegahan dengan nilai pluralisme
pesantren. Pluralisme yang sudah penulis sebut dimuka.
Mirisnya,
belakangan masih banyak kebutaan masyarakat dalam menafsirkan makna pluralisme.
Sedang penyebab utama adalah munculnya faham “liberalisme politik” di Eropa
pada abad ke-18, sebagian besar didorong kondisi masyarakat yang carut marut
akibat munculnya sikap-sikap intoleran dan konflik etnis, sektarian yang pada
akhirnya menyeret pada gelombang pertumpahan darah antar ras, sekte, kelompok
dan mazhab pada masa reformasi keagamaan.[16]
Maka
pluralisme itulah yang menancap tegak dalam tubuh NKRI menjadi ruh dan prinsip
fundamentum berdirinya persatuan dalam kemajemukan masyarakat plural di
Indonesia. Mau tidak mau, harus menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa plural
karena terdiri dari suku, agama, ras, yang majemuk sehingga terjalin sebuah
lanskap demokrasi berlandaskan Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Pesantren Bingkai Dakwah Kedamaian Untuk Indonesia
Pada
hakikatnya, Islam datang dengan cara damai tanpa kegaduhan, tanpa propaganda
politik, dan nyaris tanpa pertumpahan darah, para pelopor Islam sangat ihklas
memperjuangkan demi menegakkan agama Tuhan di atas bumi. Mereka menyebarkan
agama Islam dengan cara damai; bertahap dan secara perlahan, mengajarkan sebuah
prinsip yang bertoleransi serta persamaan derajat antar manusia—tidak ada sekat
dan diskriminasi sosial—yang membedakan manusia di dunia. Kebanyakan hal ini
diimplementasikan dalam ajaran tasawuf yang dibawa para pelopor Islam di
Nusantara, termasuk Wali Songo itu sendiri, sebagai peletak dasar proyek besar
yang bernama pondok pesantren.
Sebab itu, menurut Haidar Bagir
penyebaran Islam di Nusantara pertama kali tidak bisa dilepaskan dari elan
vital pondok pesantren itu sendiri.
Pesantren satu satunya yang sanggub mengkomunikasikan kemajemukan kultur
masyarakat dengan
kompromi, sehingga membentuk simbiosis-mutualisme yang utuh. Pluralisme yang
ditandai dengan kemajemukan agama dan kebudayaan yang berkembang sebelum Islam
masuk di Nusantara bukan hal yang sulit untuk dirangkul menjadi satu kekuatan
strategi dalam berdakwa, justru disinilah letak kelihaian para pelopor Islam
bisa meletakkan batu dasar fondasi besar konvensi beragama, bahwa perbedaan
adalah rahmat yang benar-benar harus dimanfaatkan sebagai peluang
strategi-metodologi dakwa Islam secara totalitas hatta menciptakan humanisme
sosial.
Karena pada hakikatnya, konsepsi
salah yang dibentuk oleh opini masyarakat berakibat pada konklusi yang keliru,
sebabnya M.C. Ricklefs membahasakan orang Jawa dan Muslim tidak menjadikannya
sebagai bentuk sekat problematis, bahkan istilah-istilah lokal tetap diterapkan
dalam praktek keagamaan orang Jawa, dengan begitu islamisasi diwarnai dengan
perbedaan dan kepelikan corak masyarakat yang plural.[17] Jadi,
perbedaan bukan lagi simbol diskriminasi sosial atau musuh yang harus diperangi
secara ideologi ataupun senjata, perbedaan adalah fakta genealogi-historis
untuk menciptakan oase harmoni di tengah-tengah diferensiasi kemajemukan
sosial.
Di balik fenomena itu, yang perlu
diharapkan agama bukan menjadi pembatas sosial, dan memotong gerak laju
dinamisasi kebebasan masyarakat untuk berkreasi, keberagaman harus menilik
intensifikasi dinamika intelektual dan menjadikan wilayah Nusantara yang semakin
menarik dalam entitas sosial, budaya dan intelektual.[18] Dari fenomena
masyarakat tersebut pesantren memiliki peran untuk menjungjung tinggi semangat
egaliter serta mendorong tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia.[19] Seperti
K.H. Hasyim A’syari yang telah berhasil
menjadikan pesantren sebagai lecut untuk menyuarakan nasionalisme dan mengusir
penjajah di atas bumi Nusantara.
Disinilah sumbangsih besar
pesantren, ketika telah mengajarkan sikap toleransi dan keadilan yang disebut
Gus Dur dengan nafas pluralisme, dengan gerakan seperti ini pesantren
sebenarnya menyuarakan dan menentang konsep agama yang kaku dan terlalu beku
dalam menafsirkan teks, sehingga banyaknya Islam radikalisme adalah sikap
apriori dari agama itu sendiri. Saat ini
mungkin pesantren belum terlambat untuk melakukan dakwah sebagaimana yang telah
Wali Songo wariskan sebagai Islam yang membawa kedamaian dan rahmat.
Wallahua’lam....
Daftar Bacaan
A’la,
Abd, Pembaruan Pesantren, Pustaka
Pesantren, yogyakarta, 2006.
Ali-Fauzi, Ihsan, dkk. Demi Toleransi Demi Pluralisme, Democracy Projec, Jakarta, 2012.
Dhafier,
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES
Jakarta, 1982.
Taufiqurrahman, Harmoni di Mata
Kaum Muda: Kumpulan Esai Sosial Budaya 2013, Pusat Peneliti dan
Pengembangan Kebudayaan, Jakarta, 2013.
Muhammd, Husein, Sang Zahid:
Mengarungi Sufisme Gus Dur, LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012.
Bamualim, Chaider S, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan
Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004.
Malik Thoha, Anis, Tren
Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis,
GEMA Insani, Jakarta, 2005.
Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Serambi,
Jakarta, 2013.
Sumber Internet:
http://yayasanalkahfi.or.id/index.php,
diakses pada tanggal 25 November 2016.
http://www.gusdurian.net/id/article/Gus-Dur-dan-Toleransi,
diakses pada tanggal 24 November 2016, pukul 10.13 Wib.
http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan,
diakses pada tanggal 24 November 2016.
[1]Inslam transnasional ini muncul seiring bergulirnya
reformasi politik di Indonesia tahun 1998, yang ditandai dengan munculnya kekerasa, pengkafiran sesama Islam,
pemaksaan keyakinan. Lebih jelasnya lihat di http://yayasanalkahfi.or.id/index.php,
diakses pada tanggal 25 November 2016.
[7]http://www.gusdurian.net/id/article/Gus-Dur-dan-Toleransi,
diakses pada tanggal 24 November 2016, pukul 10.13 Wib.
[8]Zamakhsyari
Dhafier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cetakan
Pertama (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 149.
[9]Taufiqurrahman,
Harmoni di Mata Kaum Muda: Kumpulan Esai Sosial Budaya 2013, Pusat Peneliti dan
Pengembangan Kebudayaan, Jakarta, 2013, hlm. 44.
[10]Husein Muhammd, Sang
Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012, hlm.
55-56
[11]http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan,
diakses pada tanggal 24 November 2016.
[12]
Chaider S. Bamualim,
Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara
Otentisitas dan Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004, hlm,1
[14]
Ibid, Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme..
hlm, 3-4. kekerasan atas nama agama terbesar sepanjang masa, dimana
terosisme berhasil mengemparkan Amerika Serikat, yaitu aksi terorisme Islam Amrozy dan kawan-kawannya, pada tanggal 12 Oktober
2002, yang ditandai dengan robohnya gedung Word Trade Centre (Pusat Perdagangan
Dunia), lihat dalam buku Ridwan al-Makassary, Terorisme Berjubah Agama, PBB
UIN, Jakarta, Cet. II, 2004, hlm, 3.
[15]Lihathttp://www.gusdurian.net/id/article/all-categories/Gus-Dur-dan-adikalisme,
diakses pada tanggal, 23 November 2016 M.
[18] Lihat tulisan
Erawadi, Akar Tradisi Integrasi Pengetahuan dalam Naskah Klasik Islam
Nusantara, dalam Jurnal Conference
Proceedings Annual International Confrence on Islam Studies (AICIS XII), tanpa
tahun, hlm, 3176. Dalam bidang intelektual ia menawarkan dinamika dan pola
keilmuan berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Karena semakin besar
tantangan dan tuntutan kehidupan, semakin besar pula keinginan dan usaha
manusia untuk menghadapinya.
[19]Terbukti banyak
pesantren di Nusantara yang ikut mewarnai dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dari jajahan Belanda, diantaranya pesantren Tebu Ireng, Jombang.
0 Response to "PLURALISME DARI PESANTREN: Sebuah Wahana Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia"
Post a Comment
Terimkasih...