-->

15 Menit Bersama Gus Mus



(Laporan Investigasi The Memoriam Kru Majalah Muara)
Rasanya kurang adil jika tidak mengenang perjalan investigasi ini dalam bentuk narasi panjang. Semua sketsa perjalan yang dilalui kru Majalah Muara akan menjadi inspirasi tersendiri bagi pembaca, mengutip penulis biografi K. Bisri Mustafa, sahabat Ahmad Zainal Huda, mensinyalir bahwa sejarah adalah bagian dari sikap bijaksana untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih maju—agar kesalahan tidak terulang dua kali—justru dengan menulis manusia  bisa menggali secara kritis apa yang baik dari masa lalu (the past). Sebelumnya, kru Majalah Muara (selanjutnya disebut “kami”) sudah mendapatkan asupin gizi berupa masukan dan kritikan halus dari K. Muhammad Sholahuddin, M.Hum, sebagai penasehat Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa,  beliau banyak membimbing kami dalam alur ini lebih tepatnya proses penerbitan Majalah Muara.
Kami punya hasrat kuat untuk sowan ke Mbah Gus Mus dalam rangka wawancara, kendatipun wawancara bisa dilakukan melalui apa saja, bisa lewat telepon, email, WA, atau media sosial lainya. Namun, kami tidak ingin terjebak pada kubangan hiruk-pikuk pragmarisme teknologi yang menurut kami akan semakin jauh dari akar tradisi kearifan masyarakat lokal, sebagaimana tema Majalah kami hari ini, akhirnya dengan beberapa pertimbangan etis kami direstui oleh K. Muhammad Ali Fikri untuk sowan ke Mbah Gus Mus.
Selain wawancara, pada hakikatnya adalah menyambung tali silaturrahim, sebab kesopanan harus benar-benar dijaga, ini menyangkut etika atau moralitas (muruah seorang santri). Berhubung kedekatan keluarga besar Annuqayah dengan pesantren di desa Leteh, Rembang, Jawa Tengah, yang diasuh KH. Musthafa Bisri sangat erat, maka hubungan itu harus dijaga dengan baik, secara tidak langsung invertigasi yang dilakukan kami adalah memupuk sekaligus menyambungkan lidah para masyaikh Annuqayah, agar hubungan emosional dan spritual tetap terawat utuh sepanjang masa.
Memoriam perjalanan investigasi ini dilakukan oleh Dewan Redaksi,  Jamalul Muttaqin dan Pimpinan Redaksi Majalah Muara, Misbahul Munir, berlangsung pada malam hari (20/01/16), pukul 18.55 WIB. Kami diantar naik speda motor Kaza 3267 (speda perjuangan PPA. Lubangsa) ke Prenduan. Sesampainya, kami naik Bus Patas dari Perenduan ke Surabaya. Di Surabaya, kami mencari bus ekonomi, kira-kira perjalanan dari Surabaya menuju Rembang hanya membutuhkan waktu sekitar 12 jam lebih. Setelah melewati Gresik, Tuban, Lasem kemudian sampailah ke Rembang, di ujung Timur Laut Provinsi Jawa Tengah, dan dilalui jalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura), hanya 115 kilometer dari arah timur Kota Semarang setelah Demak-Kudus. 
Malam itu, suasana sangat tenang, sesekali rintik gerimis berjatuhan dari langit, Bus terus melaju dengan kecepatan tinggi, tepat di depan alun-alun kota Rembang, kami berdua turun. Gerimis terus menemani kami, pernak-pernik lampu menjadi samar-samar, kami langsung menuju masjid Agug Rembang, berhubung waktu sudah menjelang subuh. Sehabis mengambil wudhu’, demi menghemat waktu, kami langsung putuskan menuju desa Leteh. Kami tidak tau arah, don’t care. Terus saja mengikuti petunjuk orang menyusuri beberapa belokan lorong kecil, tidak jauh dari alun-alun. Sepanjang lorong yang kami lewati, hampir setiap rumah ada mushallah tempat beribadah, terdengar lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an mengalun merdu, sungguh luar biasa, kami merasakan ketenangan yang tidak terhingga malam itu.
Tepat pada waktu adzan subuh, kami sampai di Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, yang lebih dikenal dengan Taman Pelajar Islam (TPI), desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jl. K.H. Bisri Mustafa No. 1 Leteh Rembang 59217. Terlihat dengan megah bangunan pesantren cat warna biru mudah berlantai tiga, di sebelahnya terdapat mesjid, pesantren itu tidak terlalu besar, lebih kecil dari Annuqayah berdiri sejak tahun 1941 M.
Sehabis sholat subuh kami langsung disambut dengan ramah oleh beberapa santri (mungkin pengurus), kemudian dibawa ke ruang tamu untuk sekadar beristirahat. Sedang Gus Mus tidak bisa ditemui, kita harus menunggu sampai jam 09.00 WIB. Kami menunggu, masih banyak lagi tamu berdatangan waktu itu, kurang lebih sekitar 10 orang sebagian pengurus NU dari Jawa Barat dan Sumatra.  
Siang hari sekitar pukul 09.40 WIB kami baru bisa menemui Gus Mus, dengan para tamu lain kami menunggu di ruangan yang terdapat beberapa koleksi kitab klasik dan bacaan-bacaan buku ilmiah, di beberapa dindingnya terdapat foto Gus Mus, dan K.H. M. Cholil Bisri serta ayahandanya K.H Bisri Musofa. Lima menit kemudian datang khodim membawa teh dan hidangan untuk para tamu, sebelumnya meminta kepada kami agar tidak terlalu berlama-lama dengan Gus Mus. Kami hanya mengangguk dan diam.

Tutur Gus Mus untuk Pesantren Annuqayah
Seorang kiai bersahaja nan karismatik yang sudah berumur 72 tahun ini, dalam kesehariannya masih gigih mengasuh para santrinya di Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, beliau dikenal memiliki sejimbun talenta, di antaranya sebagai penulis buku, novelis, penyair, pelukis, cendikiawan muslim, dan dikenal juga dengan sosok budayawan yang digemari oleh beribu-ribu umat di seantero Nusantara, tidak lain beliau adalah KH. Ahmad Musthofa Bisri, kami menyebutnya dengan bahasa keakraban Mbah Musthofa atau Mbah Gus Mus.
Saat menemui kami, beliau terlihat sudah begitu sepuh, memakai baju putih beserta kopyah putih, rambutnya nyaris dipenuhi dengan uban tidak tersisa. Cucu dari pasangan K. Zainal Mutofa dan Chodijah itu terlihat menampakkan senyuman khasnya pada kami. Setelah kami memperkenalkan diri, beliau menganggukkan kepala seraya memuji Annuqayah sebagai pesantren tua yang konsisten memegang nilai Ahlussunnah Wa al-Jamaah. Selain Annuqayah sebagai pesantren salaf, Annuqayah adalah pesantren yang sangat menyatu dengan masyarakat, pesantren yang menurut Gus Mus lahir dari kiai-kiai Qudus. Beliau sangat kenal Annuqayah bahkan beberapa kali pernah mampir di Annuqayah Guluk-Guluk, beliau menyebut sebagian kiai Annuqayah, K. Basyir dan K. Warits.
“Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi menjaga tradisi yang ada di masyarakat. Artinya, menjaga tradisi itu harus pesantren, selama tradisi tidak bertentangan dengan agama Islam,” tuturnya penuh nasehat. Menurut kiai yang sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap “budaya” yang berkembang dalam masyarakat, mengimpikan agar pesantren lebih terbuka, karena budaya menyitir (Kuntowijoyo,1994:168) harus dikonsepsikan secara holistik berkelindan dengan lapisan sistem segmentasi masyarakat majemuk, dengan kata lain, budaya diartikulasikan sebagai sistem lambang kognitif masyarakat yang bersangkutan dengan kompleksitas kegiatan cipta, rasa, dan karsa manusia yang menghasilkan nilai tersendiri.
Ketika pesantren bersikap lebih toleran terhadap budaya lokal; dengan pelan terjadilah asimilasi budaya, maka masyarakat gampang diajak kompromi “Kalau masih bisa dicengkokkan, jangan ditolak. Jadi tidak semerta-merta kalau tradisi tidak ada di agama Islam, ditolak, dan difitnah segala macam. Pesantren tidak begitu, pesantren itu seperti yang diajarkan oleh Rosullah Saw,” ucap Mbah Gus, sapaan akrab alumnus Al-Azhar University, Kairo (Mesir) itu kepada kami.  
“Tradisi yang baik dilanjutkan, dan yang buruk coba dibengkokkan supaya menjadi baik, baru yang bertentangan ditolak. Itupun penenolakannya bertahap, misalnya, kalau dulu orang tawaf ada yang tepuk tangan, telanjang dan harus bersih segala macam, sekarang sudah diluruskan dengan syariah Islam.” Dawuh pengasuh yang gemar berpuisi itu, lebih lanjut Gus Mus mencontohkan prayaan Mahrajan saat Rasulullah datang ke Madinah, kemudian Rasulullah mengganti dengan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. “Ada kebiasaan orang minum arak, minum khamer. Pelan-pelan kanjeng Nabi melarang, pertama-tama di dalam al-Quran disebutkan, ini ada manfaatnya atau ada mudaratnya, tapi lama-lama dilarat sama sekali. Jadi, itu yang kemudian ditiru oleh pesantren, apa-apa yang terjadi di masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan Islam dituruti dan dijaga terus.”
“Dulu zaman purbakala itu, sudah ada kumpul-kumpul dan pengorbanan manusia untuk keselamatan, orang-orang menyebutnya sebagai selamatan. Nah, oleh Wali Songo keriungannya kelompotan orang banyak itu masih tetap, tapi mengorbankan orang tidak ada. Diganti dengan ayam, kambing, dan macam-macam, kemudian dimakan bersama-sama sebagai sedekah, dicarikan jalan supaya itu tetap ada, tidak salah. Itu yang dilakukan pesantren, menjaga budaya lokal yang ada di Masyarakat,” pungkasnya mertua Ulil Abshar Abdallah dengan penuh wibawa.

Harap Gus Mus, Santri Paham Budaya
Menelisik lebih radikal persoalan budaya yang komprehensif di masyarakat desa, Gus Mus mengharap santri bisa mengeja artikulasi subtansi budaya itu sendiri, jangan sekali-kali menggadaikan budaya pada persoalan amatirisme-temporal. “Santri harus ngerti sejarah, kiai-kiainya, karena akhlak pesantren saat ini mendapat tantangan besar dari pengaruh luar.” Yang menjadi titik tekan Gus Mus disini, santri bisa mewarnai. “Maka santri betul-betul menjaga jati dirinya, kalau bisa para santri yang ke kota, bisa membawa ajaran tradisi yang ada di desa. Bukan ke kota malah bersikap ala kota, tetapi kalau bisa kalahkan kota dengan tradisi desa.”
Di pelosok-pelosok desa sudah jamak terdapat tradisi shoheh likulli zaman, sebut Gus Mus seperti menghormati tamu, kebiasan itu sudah membudaya. “Tolong menolong antara sesama sudah menjadi budaya. Setia kawan, kalau ada orang yang kesulitan, di desa tidak usah pengumuman semuanya pada takziah, sudah menjadi budaya, kalau ada tetangganya mengajak takziyah itu merupakan hal yang besar. Tanpa tau apa dalilnya. Jadi, Islam yang membumi sudah menjadi budaya, mestinya itu yang perlu dibawa orang-orang desa ke kota, untuk menularkan pada orang-orang kota. Jangan seperti sekarang, orang-orang desa yang ke kota malah menjadi orang kota.” Setelah direnungi, apa yang diharapkan kiai penulis buku Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-Esai Moral, adalah awal dalam merawat idealisme moralitas budaya yang menjamur di masyarakat pedesaan.
“Kita lihat orang kota tidak jelas. Apa yang mereka lakukan ada pengaruh dari budaya luar, pengaruh dari orang Barat jadi orang Barat, pengaruh dari India jadi India, pengaruh dari Timur Tengah jadi ikut Timur Tengah. Ini tidak mempunyai jati diri.” Tegas suami dari Siti Fatima itu, sebagai kiai yang menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya. Menurutnya, kebanyakan pesantren di desa-desa masih  menjaga akan jati dirinya.
Selama bincang-bincang dengan Gus Mus, kira-kira hanya menghabiskan waktu 15  menit, waktu yang sangat sebentar sekali bagi kami. Perbincangan pagi itu, seakan tidak ada sekat hierarkis, Gus Mus sangat dekat dengan setiap tamunya. Sebelum mengakhiri moment spesial, kami sempatkan foto bersama Gus Mus, seperti yang juga dilakukan tamu lain, kemudian kami pamit untuk pulang, Gus Mus menitipkan agar santri ngerti budaya. Tepat pada pukul 11.30 WIB kami menjejakkan kaki dari tanah Rembang, tanah yang melahirkan semernak tokoh emansipasi wanita Indonesia R.A. Kartini itu dengan penuh kebahagiaan tak terhingga.

0 Response to "15 Menit Bersama Gus Mus"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel