15 Menit Bersama Gus Mus
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
(Laporan Investigasi The Memoriam Kru Majalah Muara)
Rasanya kurang adil jika tidak mengenang perjalan investigasi ini dalam
bentuk narasi panjang. Semua sketsa perjalan yang dilalui kru Majalah Muara akan
menjadi inspirasi tersendiri bagi pembaca, mengutip penulis biografi K. Bisri
Mustafa, sahabat Ahmad Zainal Huda, mensinyalir bahwa sejarah adalah bagian
dari sikap bijaksana untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih maju—agar
kesalahan tidak terulang dua kali—justru dengan menulis manusia bisa menggali secara kritis apa yang baik
dari masa lalu (the past). Sebelumnya, kru Majalah Muara (selanjutnya
disebut “kami”) sudah mendapatkan asupin gizi berupa masukan dan
kritikan halus dari K. Muhammad Sholahuddin, M.Hum, sebagai penasehat Pondok
Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa,
beliau banyak membimbing kami dalam alur ini lebih tepatnya proses
penerbitan Majalah Muara.
Kami punya hasrat kuat untuk sowan ke Mbah Gus Mus dalam
rangka wawancara, kendatipun wawancara bisa dilakukan melalui apa saja, bisa
lewat telepon, email, WA, atau media sosial lainya. Namun, kami tidak ingin
terjebak pada kubangan hiruk-pikuk pragmarisme teknologi yang menurut kami akan
semakin jauh dari akar tradisi kearifan masyarakat lokal, sebagaimana tema
Majalah kami hari ini, akhirnya dengan beberapa pertimbangan etis kami direstui
oleh K. Muhammad Ali Fikri untuk sowan ke Mbah Gus Mus.
Selain wawancara, pada hakikatnya adalah menyambung tali silaturrahim, sebab
kesopanan harus benar-benar dijaga, ini menyangkut etika atau moralitas (muruah
seorang santri). Berhubung kedekatan keluarga besar Annuqayah dengan
pesantren di desa Leteh, Rembang, Jawa Tengah, yang diasuh KH. Musthafa Bisri sangat
erat, maka hubungan itu harus dijaga dengan baik, secara tidak langsung invertigasi
yang dilakukan kami adalah memupuk sekaligus menyambungkan lidah para masyaikh
Annuqayah, agar hubungan emosional dan spritual tetap terawat utuh sepanjang
masa.
Memoriam perjalanan investigasi ini dilakukan
oleh Dewan Redaksi, Jamalul Muttaqin dan
Pimpinan Redaksi Majalah Muara, Misbahul Munir, berlangsung pada malam hari
(20/01/16), pukul 18.55 WIB. Kami diantar naik speda motor Kaza 3267 (speda perjuangan
PPA. Lubangsa) ke Prenduan. Sesampainya, kami naik Bus Patas dari Perenduan ke Surabaya.
Di Surabaya, kami mencari bus ekonomi, kira-kira perjalanan dari Surabaya
menuju Rembang hanya membutuhkan waktu sekitar 12 jam lebih. Setelah melewati Gresik,
Tuban, Lasem kemudian sampailah ke Rembang, di
ujung Timur Laut Provinsi Jawa Tengah, dan dilalui jalan Pantai Utara Jawa
(Jalur Pantura), hanya 115 kilometer dari arah timur Kota Semarang setelah
Demak-Kudus.
Malam itu, suasana sangat tenang, sesekali rintik gerimis berjatuhan dari
langit, Bus terus melaju dengan kecepatan tinggi, tepat di depan alun-alun kota
Rembang, kami berdua turun. Gerimis terus menemani kami, pernak-pernik lampu
menjadi samar-samar, kami langsung menuju masjid Agug Rembang, berhubung waktu
sudah menjelang subuh. Sehabis mengambil wudhu’, demi menghemat waktu, kami
langsung putuskan menuju desa Leteh. Kami tidak tau arah, don’t care. Terus
saja mengikuti petunjuk orang menyusuri beberapa belokan lorong kecil,
tidak jauh dari alun-alun. Sepanjang lorong yang kami lewati, hampir setiap
rumah ada mushallah tempat beribadah, terdengar lantunan ayat-ayat suci
al-Qur’an mengalun merdu, sungguh luar biasa, kami merasakan ketenangan yang
tidak terhingga malam itu.
Tepat pada waktu adzan subuh, kami sampai di Pondok Pesantren Roudlatut
Thalibin, yang lebih dikenal dengan Taman
Pelajar Islam (TPI), desa Leteh, Kecamatan
Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jl. K.H. Bisri Mustafa No. 1
Leteh Rembang 59217. Terlihat dengan megah bangunan pesantren cat warna biru
mudah berlantai tiga, di sebelahnya terdapat mesjid, pesantren itu tidak
terlalu besar, lebih kecil dari Annuqayah berdiri sejak tahun 1941 M.
Sehabis sholat subuh kami langsung disambut dengan ramah oleh beberapa
santri (mungkin pengurus), kemudian dibawa ke ruang tamu untuk sekadar beristirahat.
Sedang Gus Mus tidak bisa ditemui, kita harus menunggu sampai jam 09.00 WIB. Kami
menunggu, masih banyak lagi tamu berdatangan waktu itu, kurang lebih sekitar 10
orang sebagian pengurus NU dari Jawa Barat dan Sumatra.
Siang hari sekitar pukul 09.40 WIB kami baru bisa menemui Gus Mus, dengan para
tamu lain kami menunggu di ruangan yang terdapat beberapa koleksi kitab klasik
dan bacaan-bacaan buku ilmiah, di beberapa dindingnya terdapat foto Gus Mus,
dan K.H. M. Cholil Bisri serta ayahandanya K.H Bisri Musofa. Lima menit
kemudian datang khodim membawa teh dan hidangan untuk para tamu,
sebelumnya meminta kepada kami agar tidak terlalu berlama-lama dengan Gus Mus.
Kami hanya mengangguk dan diam.
Tutur Gus Mus
untuk Pesantren Annuqayah
Seorang kiai bersahaja nan karismatik yang sudah berumur 72 tahun ini,
dalam kesehariannya masih gigih mengasuh para santrinya di Pondok Pesantren
Raudlatuth Thalibin, Rembang, beliau dikenal memiliki sejimbun talenta, di
antaranya sebagai penulis buku, novelis, penyair, pelukis, cendikiawan muslim,
dan dikenal juga dengan sosok budayawan yang digemari oleh beribu-ribu umat di
seantero Nusantara, tidak lain beliau adalah KH. Ahmad Musthofa Bisri, kami
menyebutnya dengan bahasa keakraban Mbah Musthofa atau Mbah Gus
Mus.
Saat menemui kami, beliau terlihat sudah begitu sepuh, memakai baju putih beserta
kopyah putih, rambutnya nyaris dipenuhi dengan uban tidak tersisa. Cucu dari
pasangan K. Zainal Mutofa dan Chodijah itu terlihat menampakkan senyuman khasnya
pada kami. Setelah kami memperkenalkan diri, beliau menganggukkan kepala seraya
memuji Annuqayah sebagai pesantren tua yang konsisten memegang nilai Ahlussunnah
Wa al-Jamaah. Selain Annuqayah sebagai pesantren salaf, Annuqayah
adalah pesantren yang sangat menyatu dengan masyarakat, pesantren yang menurut
Gus Mus lahir dari kiai-kiai Qudus. Beliau sangat kenal Annuqayah bahkan beberapa
kali pernah mampir di Annuqayah Guluk-Guluk, beliau menyebut sebagian kiai
Annuqayah, K. Basyir dan K. Warits.
“Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi menjaga tradisi yang ada
di masyarakat. Artinya, menjaga tradisi itu harus pesantren, selama tradisi tidak
bertentangan dengan agama Islam,” tuturnya penuh nasehat. Menurut kiai yang
sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap “budaya” yang berkembang dalam
masyarakat, mengimpikan agar pesantren lebih terbuka, karena budaya menyitir
(Kuntowijoyo,1994:168) harus dikonsepsikan secara holistik berkelindan dengan
lapisan sistem segmentasi masyarakat majemuk, dengan kata lain, budaya
diartikulasikan sebagai sistem lambang kognitif masyarakat yang bersangkutan
dengan kompleksitas kegiatan cipta, rasa, dan karsa manusia yang menghasilkan
nilai tersendiri.
Ketika pesantren bersikap lebih toleran terhadap budaya lokal; dengan pelan
terjadilah asimilasi budaya, maka masyarakat gampang diajak kompromi “Kalau masih
bisa dicengkokkan, jangan ditolak. Jadi tidak semerta-merta kalau tradisi tidak
ada di agama Islam, ditolak, dan difitnah segala macam. Pesantren tidak begitu,
pesantren itu seperti yang diajarkan oleh Rosullah Saw,” ucap Mbah Gus,
sapaan akrab alumnus Al-Azhar University, Kairo (Mesir) itu kepada kami.
“Tradisi yang baik dilanjutkan, dan yang buruk coba dibengkokkan supaya
menjadi baik, baru yang bertentangan ditolak. Itupun penenolakannya bertahap, misalnya,
kalau dulu orang tawaf ada yang tepuk tangan, telanjang dan harus bersih segala
macam, sekarang sudah diluruskan dengan syariah Islam.” Dawuh pengasuh yang
gemar berpuisi itu, lebih lanjut Gus Mus mencontohkan prayaan Mahrajan saat
Rasulullah datang ke Madinah, kemudian Rasulullah mengganti dengan Hari Raya
Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. “Ada kebiasaan orang minum arak, minum
khamer. Pelan-pelan kanjeng Nabi melarang, pertama-tama di dalam al-Quran disebutkan,
ini ada manfaatnya atau ada mudaratnya, tapi lama-lama dilarat sama sekali.
Jadi, itu yang kemudian ditiru oleh pesantren, apa-apa yang terjadi di
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan Islam dituruti dan dijaga terus.”
“Dulu zaman purbakala itu, sudah ada kumpul-kumpul dan pengorbanan manusia untuk
keselamatan, orang-orang menyebutnya sebagai selamatan. Nah, oleh Wali Songo keriungannya
kelompotan orang banyak itu masih tetap, tapi mengorbankan orang tidak ada.
Diganti dengan ayam, kambing, dan macam-macam, kemudian dimakan bersama-sama
sebagai sedekah, dicarikan jalan supaya itu tetap ada, tidak salah. Itu yang
dilakukan pesantren, menjaga budaya lokal yang ada di Masyarakat,” pungkasnya
mertua Ulil Abshar Abdallah dengan penuh wibawa.
Harap Gus Mus,
Santri Paham Budaya
Menelisik lebih radikal persoalan budaya yang komprehensif di masyarakat
desa, Gus Mus mengharap santri bisa mengeja artikulasi subtansi budaya itu
sendiri, jangan sekali-kali menggadaikan budaya pada persoalan
amatirisme-temporal. “Santri harus ngerti sejarah, kiai-kiainya, karena akhlak
pesantren saat ini mendapat tantangan besar dari pengaruh luar.” Yang menjadi
titik tekan Gus Mus disini, santri bisa mewarnai. “Maka santri betul-betul menjaga
jati dirinya, kalau bisa para santri yang ke kota, bisa membawa ajaran tradisi
yang ada di desa. Bukan ke kota malah bersikap ala kota, tetapi kalau bisa
kalahkan kota dengan tradisi desa.”
Di pelosok-pelosok desa sudah jamak terdapat tradisi shoheh likulli
zaman, sebut Gus Mus seperti menghormati tamu, kebiasan itu sudah membudaya.
“Tolong menolong antara sesama sudah menjadi budaya. Setia kawan, kalau ada
orang yang kesulitan, di desa tidak usah pengumuman semuanya pada takziah,
sudah menjadi budaya, kalau ada tetangganya mengajak takziyah itu
merupakan hal yang besar. Tanpa tau apa dalilnya. Jadi, Islam yang membumi
sudah menjadi budaya, mestinya itu yang perlu dibawa orang-orang desa ke kota,
untuk menularkan pada orang-orang kota. Jangan seperti sekarang, orang-orang
desa yang ke kota malah menjadi orang kota.” Setelah direnungi, apa yang diharapkan
kiai penulis buku Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-Esai Moral, adalah
awal dalam merawat idealisme moralitas budaya yang menjamur di masyarakat
pedesaan.
“Kita lihat orang kota tidak jelas. Apa yang mereka lakukan ada pengaruh
dari budaya luar, pengaruh dari orang Barat jadi orang Barat, pengaruh dari
India jadi India, pengaruh dari Timur Tengah jadi ikut Timur Tengah. Ini tidak
mempunyai jati diri.” Tegas suami dari Siti Fatima itu, sebagai kiai yang
menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya. Menurutnya, kebanyakan pesantren di
desa-desa masih menjaga akan jati
dirinya.
Selama bincang-bincang
dengan Gus Mus, kira-kira hanya menghabiskan waktu 15 menit, waktu yang sangat sebentar sekali bagi
kami. Perbincangan pagi itu, seakan tidak ada sekat hierarkis, Gus Mus sangat
dekat dengan setiap tamunya. Sebelum mengakhiri moment spesial, kami sempatkan foto
bersama Gus Mus, seperti yang juga dilakukan tamu lain, kemudian kami pamit
untuk pulang, Gus Mus menitipkan agar santri ngerti budaya. Tepat pada pukul
11.30 WIB kami menjejakkan kaki dari tanah Rembang, tanah yang melahirkan semernak
tokoh emansipasi wanita Indonesia R.A. Kartini itu dengan penuh kebahagiaan tak
terhingga.
0 Response to "15 Menit Bersama Gus Mus"
Post a Comment
Terimkasih...