-->

ANDÊP ASOR : Internalisasi Nilai Nilai Pendidikan Karakter Masyarakat Madura Sebuah Ijtihad Preventif Penanggulangan Dekadensi Moral di Indonesia



Gambar oleh: .bp.blogspot.com.senilukis
Pendahuluan
            Pulau yang memiliki empat kabupaten ini berhasil membuktikan kepada dunia bahwa konstelasi sejarah dibentuk oleh kultur dan budaya yang sudah lama mengakar menjadi spektrum nilai nilai luhur dalam setiap tindak tanduk aktifitas masyarakat Madura. Pulau ini dibangun di atas kegigihan seorang Aria Wiraraja (1293)[1] yang berhasil meletakkan batu dasar pendidikan masyarakat yang berkarakter, dari kecerdasan, keuletan, dan kesopanan, tercipta bangunan yang tak mudah goyah. Seperangkat nilai pedagogik yang begitu canggih menciptakan masyarakat Madura meloncat menjadi masyarakat yang bermartabat dan berbudi luhur.
            Bukan barang rahasia lagi jika masyarakat Madura punya ciri khas tertentu, baik dalam kecakapan bersikap dan berperilaku, lebih pasnya dikatakan (bhêbhêtêg) atau karakter yang menunjukkan sebuah keperibadian tersendiri. Madura sebagai pulau yang memiliki rumpun kultur agamis menunjukkan karakter masyarakatnya yang sangat sopan, tingkat kesopanan inilah yang membedakan masyarakat Madura dengan etnis lain. Misal, ketika nilai kebajikan (virtues) diyakini dan digunakan sebagai landasan teori konseptual, cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak maka akan tercipta masyarakat yang bermartabad. Kebajikan itu sebagai batu loncatan untuk menggapai sebuah ikhtiar masyarakat yang saling menghargai dan menghormati, terutama kepada sesepuh dan orang tua. Sebuah karakteristik yang pada gilirannya disebut dengan andêp asor yang diterjemahkan dalam bentuk tindakan konkrit hingga pada teks yang menyimpan pesan pesan moral untuk orang lain yang membacanya.[2]
            Mungkin sikap mulia inilah yang tak tersentuh bahkan nyaris dilupakan oleh Kuntowijoyo[3], bahwa masyarakat Madura memiliki sikap (attitudes) sopan: andêp asor. Sikap masyarakat tersebut tidak bisa dipisahkan dari faktor lingkungan sosial dan pengaruh budaya yang mengandung nilai nilai pendidikan karakter di balik rumpun kehidupan masyarakat Madura, terutama dalam menanggulangi dan mengarungi jagat persoalan dekadensi moral khususnya Indonesia.
            Jika kita ingin menengarai sejarah yang menyakitkan itu. Kita bisa membelalakkan mata  pada runtutan kesejarahan yang terus menyemai bangsa kita, bagian potongan sejarah yang sulit untuk dilupakan dan menerbitkan potongan yang menjelaskan tentang bobroknya pendidikan di masyarakat—ejekan pendidikan tanah air—,  sebut saja tawuran antar pelajar, pemerkosaan, narkoba, pembunuhan, baik dari kasus kriminalitas sampai pada persoalan penistaan agama, dan kejahatan korupsi yang tak bisa terelakkan sepanjang sejarah. Nomena ini menurut Muhammad Nuh mantan Menteri Pendidikan Nasional (2009-2014), tidak lain adalah lingkaran kejam yang diputar oleh kekuatan lingkungan hingga menyeret pada lingkaran broken education untuk menabrak nilai nilai normatif hingga masyarakat mempertontonkan sebuah sikap apriori yang bernama “dekadensi moral”, sebuah kebobrokan bangsa dan negara yang tak terselesaikan dengan teori teori dan perdebatan soal pendidikan moral.[4]  
            Berikut gagasan besar sebuah mega proyek pembangunan pendidikan moral yang akan diberikan untuk bangsa. Proses dan ijtihad preventif dekadensi moral masyarakat yang diambil dari ruh nilai nilai dasar sikap andêp asor yang terpancar dari perilaku tatakrama masyarakat Madura. Nilai-nilai pendidikan karakter yang tersembunyi di balik baju kokoh masyarakat yang bernama andêp asor, berikut adalah serpihan kecil dari perilaku tersebut yang banyak menyedot perhatian para peneliti dan pemerhati masalah moral, sebut saja  bentuk kesopanan dan ketakdziman-nya orang Madura baik kepada guru, orang tua, tamu, dan sesama saudara seagama dan sebangsa. Dari nafas karakteristik masyarakat Madura tersebut kita bisa menyemai berbagai  persoalan gradasi keretakan moralitas bangsa dengan satu ruang ijtihad preventif  sebagai upaya menanggulangi masalah dekadensi moral di Indonesia.

Langgêr;
Sarana Penanaman Sikap Budi Pekerti Terhadap Masyarakat
            “orêng panêka enêlai dêri têngka kulina otabê tatakramana, bênnê dêri bagussê robêna. Bêndêr dhêbuna rêng kona, maske elmona nokdhu’ langgêk mon têngka kulina jubêk tak kera ekendê’i mon masyarakat.”[5]
            Beranjak dari peribahasa (parebêsên) di atas, dapat ditarik pada sebuah kesimpulan yang diperkuat dengan bukti sejarah menelusupnya proses dakwah islamisasi Wali Songo. Bisa dipastikan bahwa lingkungan adalah satu satunya tempat serta upaya yang sangat urgen untuk mencetak watak, sifat, dan karakter masyarakat Madura. Lingkungan santun adalah nilai tawar masyarakat yang menjujung tinggi kultur berpendidikan yang mengerti akan pengetahuan tatakrama atau moralitas. Kondisi ini tidak bisa dipisahkan dengan lahirnya hegemoni sejarah Islamisasi di Jawa. Madura sebagai kepulauan yang berada di ujung timur provinsi Jawa Timur tidak bisa luput dari sentuhan halus proses penyebaran islamisasi yang menyeluruh pada abad ke-13 M.[6]
            Pada masa itu masyarakat Madura telah merangkak naik dari satu kultur kepada kultur yang lain, yaitu mengenal yang namanya pendidikan agama bahkan pada saat itulah telah tertanam nilai pendidikan karakter dimana sejak masyarakat mengenyam pendidikan di surau (baca: langgêr), ditempat itulah terutama anak-anak mendapatkan asupan gizi pendidikan tentang pentingnya tatakrama atau kesopanan (ilmu al-hal) yang biasa diajarkan dalam kitab ta’limul al-muta’allim karya Azzarnuji.[7] Kitab klasik inilah yang menghiasi beberapa surau—terutama masyarakat pedesaan—yang ada di Madura. Dari lingkungan yang sangat agamis terciptalah kultur yang juga agamis sehingga tidak boleh tidak masyarakat Madura harus mengintegrasikan dua konsep ilmu sekaligus; antara kultur dan agama, yaitu belajar dari lingkungan atau tradisi dan belajar dari kitab kitab klasik salaf yang diajarkan secara sorongan di langgêr (surau).  
            Sejatinya, Madura adalah pulau dengan seribu pesantren, sebab itu Madura menjadi sketsa awal gambaran utuh tentang kehidupan masyarakatnya, yang tidak lain merupakan kiblat sejarah lembaga lembaga pendidikan yang mengedepankan terhadap moralitas atau pendekatan pendidikan karakter. Menurut orang Madura, langhêr-lah yang sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan itu sendiri, umumnya ditentukan oleh tiga faktor, (i) hidup bersama berbentuk asrama, (ii) perilaku kiai sebagai central figure, (iii) terakhir adalah pengamalan kandungan kitab kitab yang dipelajari, baik kebijaksanaan (al-hik-mah), nasihat-nasihat yang baik (mau’idlah hasanah), teladan yang baik (uswah hasanah), dialog yang baik (al-mujādalah bi al-latī hiya ahsan), serta bersifat akomodatif terhadap budaya lokal yang ada. Disinilah proyek besar pendidikan nasional[8] yang menurut Moh. Juhdi[9] diimpikan oleh negara kita agar bisa langsung terimplementasikan menjadi sebuah nilai moral yang mengakar untuk masyarakat Indonesia (nation and character building).

Kesopanan dan Rendah Diri;
Serpihan Nilai Pendidikan Karakter Masyarakat Madura
Konstelasi masyarakat dan budaya Jawa Timur khususnya Madura adalah ditandai dari kuatnya nilai nilai luhur berbasis kearifan lokal yang menancap tegak di atas fondasi kultur masyarakat, sebut saja solidaritas yang tinggi serta rasa bangga ketika memiliki sikap kesopanan. Perilaku tersebut sekaligus menjadi kemapanan dalam hidup mereka. Kesopanan adalah kopyah (songkok) yang diletakkan di atas kepala sebagai tanda legalitas bagi orang Madura bahwa kesopanan memiliki porsi dan posisi atau derajat yang sama tingginya dengan ilmu, bahkan sangat tinggi di mata masyarakat. Nilai kesopanan bagi masyarakat Madura menempati posisi paling atas, kesopanan lebih mulia dari pada harta, dari pada rupa, dan segalanya,  kesopanan adalah harta yang tak ternilai harganya.
            Sampai saat ini kurang tepat jika Huub de Jonge (1989) misalnya, melabeli stereotip terhadap masyarakat Madura sebagai masyarakat yang kasar dan keras[10], padahal sikap keras itulah yang mendasari mental dan sikap yang kuat. Dan kekuatan yang dimiliki etnis masyarakat Madura menyemai sikap dan karakteristik yang rendah diri—tidak congkak—dalam arti sempitnya tidak gampang terlena dan gampang membusungkan dada. Sikap rendah diri (mungkin) lebih dikenal  dengan sikap tawadu’,  dalam ilmu tawawuf rendah diri adalah merasa bahwa orang lain sama dengan kita, manusia sadar akan dirinya bahwa ia tidak memiliki kekuatan apa apa.
Sikap kesopanan dan rendah diri pada gilirannya akan membuat satu epestimologi yang namanya pendidikan karakter, sebuah sumbangsih besar terhadap pembentukan moralitas masyarakat bahkan secara tegas sikap masyarakat Madura tidak bisa dibohongi sebagai realitas yang harus diakui kemuka, bahwa Madura adalah khazanah basis pendidikan karakater yang tidak terlena dengan bentuk bentuk formalisasi pendidikan nasional. Ada ungkapan yang mencerminkan esensi pendidikan karakter itu: “têngka kuli panêka nodhuwaki bênnyakna elmu se’êkêndhu’, orêng sebênyak elmuna amargê sajên nondhu’ bên tawadhu’’”, kalimat tersebut setarikan nafas dengan falsafah hidup masyarakat yang beradab serta memiliki pengetahuan yang tinggi, bagi masyarakat Madura, tingkat pendidikan diukur seberapah jauh tingkah laku kita di tengah tengah masyarakat. Orang yang dikatakan ilmunya tinggi (sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi) pada aspek penilaian orang Madura adalah keharusan yang dipikul di pundaknya sebagai prinsip untuk mencerminkan sebuah sikap yang tawadu’ atau rendah diri. Oleh sebabnya, rendah diri adalah ikhtiar untuk mempercantik proporsionalitas masyarakat yang bisa mencerminkan karakter mental, watak, dan sifat masyarakat Madura itu sendiri. Dan seperangkat nilai inilah yang sulit dicari dalam pendidikan karakter di Indonesia.
Namun, Madura dengan kapasitas ritme pendidikan yang sangat sederhana bisa memantik semangat education yang berbasis karakter dan membentukan moral yang benar-benar mengembangkan nation and character building, mengembangkan sebuah aset  kultur pendidikan Indonesia, dan Madura dengan seperangkat nilai andêp asor-nya dan rendah diri telah berhasil mencetak lingkungan sebagai basis pendidikan karakter yang berlangsung sampai sekarang. Inilah aset besar kekayaan yang dimiliki masyarakat Madura.

Penutup
            Melihat gradasi pendidikan di Indonesia yang semakin semrawut, dan menilik merosotnya moralitas dewasa ini yang tidak menjanjikan akan kebaikan bagi bangsa semakin jelas memperparah negara Indonesia secara umum, sebut seperti fenomena kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, pemerkosaan, narkoba, pembunuhan, sampai pada persoalan penistaan agama, dan kejahatan korupsi yang tak henti hentinya mencederai negara.
            Dari fenomena tersebut Madura yang dikenal pulau seribu pesantren menawarkan berbagai ijtihad preventif dalam menanggulangi persoalan moralitas. Terutama sikap masyarakat Madura yang terkenal dengan andêp asor telah membuktikan sebagai corong lingkungan yang pro terhadap pendidikan karakter. Salah satunya, kita harus mampu bersikukuh pada nilai etis budaya dan kultur lokal. Karena, bagi orang Madura lingkungan adalah satu satunya tempat serta upaya yang sangat urgen untuk mencetak watak, sifat, dan karakter masyarakat. Lingkungan santun atau andêp asor adalah nilai tawar masyarakat yang menjujung tinggi kultur berbasis pendidikan karakter serta mengerti akan pengetahuan tatakrama atau moralitas.
Dari kesopanan dan rendah diri tersebut mengkristal menjadi bentuk sikap yang terpenting dalam hidup masyarakat Madura. Karena pada kesimpulannya rendah dri adalah bagian integral terpenting dari nilai pendidikan karakter masyarakat Madura yang harus diperoiritaskan dalam mengerjakan segala hal tetek bengek kehidupan, sebab sikap santun dan rendah diri tidak lain adalah falsafah dari bagian kehidupan masyarakat itu sendiri yang bisa menghidupkan kultur pendidikan Indonesia (nation and character building). Madura dengan seperangkat nilai andêp asor-nya dan rendah diri telah berhasil mencetak lingkungan sebagai basis pendidikan karakter yang berlangsung sampai sekarang. Inilah aset besar kekayaan yang dimiliki masyarakat Madura.
            Wallahua’lam...
Daftar Bacaan
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Kencana, 2003.
Kuntowijoyo, Madura: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Mata Bangsa, 2002.
Jonge de, Huub, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta: P.T. Gramedia, 1989..
 Jurnal Pendidikan Berbasis Agama Di Madura, Volume 7, Nomor 1, Desember 2014.
Azzarnuji, Nurul Huda, Surabaya, tanpa tahun.
Internet:
http://dokumen.tip/documents/dekadensi-moral.htm, diakses pada tanggal 27 November 2016 M.
http://id.m.wiikipedia.org/wiki/Aria_Wiraraja, diakses pada tanggal 26 November 2016 M. pukul 22. 53



                [1]Adalah seorang pemimpin pada abad ke-13 M. di Jawa dan Madura, dalam sejarahnya ia dikenal sebagai pengatur strategi kejatuhan Kerajaan Singhasari, berikut kematian Kertanagara, selain itu ia yang memprakarsai usaha kebangkitan Raden Wiyata dalam penaklukan Kediri tahun 1293 dan pendirian kerajaan Majapahit, lebih jelasnya lihat: http://id.m.wiikipedia.org/wiki/Aria_Wiraraja, diakses pada tanggal 26 November 2016 M. pukul 22. 53 Wib.
[2] Lihat sebuah tulisan Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang,  Royyan Julian, Pandangan Hidup Etnik Madura Dalam Kumpulan Puisi Nemor Kara.
                [3]Seorang sejarawan dan sosiolog yang mendapatkan gelar Magister dari Universitas Columbia tahun 197,dengan desertasi yang ia lakuka adalah penelitian tentang perubahan sosial masyarakat Madura.  Lihat dalam bukunya, Kuntowijoyo, Madura: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Mata Bangsa, 2002.
                [4]http://dokumen.tip/documents/dekadensi-moral.htm, diakses pada tanggal 27 November 2016 M. 
[5] Orang itu dinilai dari perilakunya atau tatakrama, bukan dari persoalan wajah yang rupawan. Benar apa yang dikatakan sesepuh kita; biarpun punya ilmu yang menjulang ke langit tapi tidak berperilaku yang baik masyarakat tidak akan menerima kita.   
                [6]Penyebaran agama Islam di Indonesia dimulai pada abad ke-7 M. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pada abad 13 M, Islam sudah masuk ke Indonesia. Dua pendapat ini dapat dikompromikan bahwa Islam mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 M, dan mengalami perkembangan luas sekitar abad ke-13 M. Lebih tepatnya lihat dalam buku Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Kencana, 2003, hlm, 12.
                [7]Azzarnuji, Nurul Huda, Surabaya, hlm..13.
                [8] Sistem Pendidikan Nasional dalam Undang-Unddang RI nomor 20 tahun 2003.
                [9]Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep, lihat dalam Jurnal Pendidikan Berbasis Agama Di Madura, Volume 7, Nomor 1, Desember 2014, hlm. 38.
[10]Para peneliti Madura cenderung menengarai  sebuah konflik kekerasan yang mencetak karakter masyarakat Madura adalah terjadinya konflik antar etnik antara orang Madura dengan penduduk asli tersebut yang selalu dikaitkan dengan sifat “kekerasan” yang melekat pada diri orang Madura. Padahal tidak selamanya masyarakat Madura bersikap keras. Seperti Hub de Jong, A. Latif Wiyata, bisa lihat dalam tulisan Bambang Samsu Badriyanto, Karakteristik Etnik Dan Hubungan Antar Etnik : Kasus Di Kabupaten Sumenep Madura, dan Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta: P.T. Gramedia, 1989.

0 Response to "ANDÊP ASOR : Internalisasi Nilai Nilai Pendidikan Karakter Masyarakat Madura Sebuah Ijtihad Preventif Penanggulangan Dekadensi Moral di Indonesia"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel