ANDÊP ASOR : Internalisasi Nilai Nilai Pendidikan Karakter Masyarakat Madura Sebuah Ijtihad Preventif Penanggulangan Dekadensi Moral di Indonesia
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Pulau yang memiliki empat kabupaten ini berhasil
membuktikan kepada dunia bahwa konstelasi sejarah dibentuk oleh kultur dan
budaya yang sudah lama mengakar menjadi spektrum nilai nilai luhur dalam setiap
tindak tanduk aktifitas masyarakat Madura. Pulau ini dibangun di atas kegigihan
seorang Aria Wiraraja (1293)[1]
yang berhasil meletakkan batu dasar pendidikan masyarakat yang berkarakter, dari
kecerdasan, keuletan, dan kesopanan, tercipta bangunan yang tak mudah goyah.
Seperangkat nilai pedagogik yang begitu canggih menciptakan masyarakat Madura
meloncat menjadi masyarakat yang bermartabat dan berbudi luhur.
Bukan barang rahasia lagi jika masyarakat Madura punya
ciri khas tertentu, baik dalam kecakapan bersikap dan berperilaku, lebih
pasnya dikatakan (bhêbhêtêg) atau karakter yang menunjukkan sebuah keperibadian
tersendiri. Madura sebagai pulau yang memiliki rumpun kultur agamis menunjukkan
karakter masyarakatnya yang sangat sopan, tingkat kesopanan inilah yang membedakan
masyarakat Madura dengan etnis lain. Misal, ketika nilai kebajikan (virtues)
diyakini dan digunakan sebagai landasan teori konseptual, cara pandang,
berpikir, bersikap, dan bertindak maka akan tercipta masyarakat yang
bermartabad. Kebajikan itu sebagai batu loncatan untuk menggapai sebuah ikhtiar
masyarakat yang saling menghargai dan menghormati, terutama kepada sesepuh dan
orang tua. Sebuah karakteristik yang pada gilirannya disebut dengan andêp
asor yang diterjemahkan dalam bentuk tindakan konkrit hingga pada teks yang
menyimpan pesan pesan moral untuk orang lain yang membacanya.[2]
Mungkin sikap mulia inilah yang tak tersentuh
bahkan nyaris dilupakan oleh Kuntowijoyo[3],
bahwa masyarakat Madura memiliki sikap (attitudes) sopan: andêp
asor. Sikap masyarakat tersebut tidak bisa dipisahkan dari faktor
lingkungan sosial dan pengaruh budaya yang mengandung nilai nilai pendidikan
karakter di balik rumpun kehidupan masyarakat Madura, terutama dalam
menanggulangi dan mengarungi jagat persoalan dekadensi moral khususnya
Indonesia.
Jika kita ingin menengarai sejarah yang menyakitkan itu.
Kita bisa membelalakkan mata pada runtutan
kesejarahan yang terus menyemai bangsa kita, bagian potongan sejarah yang sulit
untuk dilupakan dan menerbitkan potongan yang menjelaskan tentang bobroknya
pendidikan di masyarakat—ejekan pendidikan tanah air—, sebut saja tawuran antar pelajar, pemerkosaan,
narkoba, pembunuhan, baik dari kasus kriminalitas sampai pada persoalan
penistaan agama, dan kejahatan korupsi yang tak bisa terelakkan sepanjang
sejarah. Nomena ini menurut Muhammad Nuh mantan Menteri Pendidikan Nasional
(2009-2014), tidak lain adalah lingkaran kejam yang diputar oleh kekuatan
lingkungan hingga menyeret pada lingkaran broken education untuk
menabrak nilai nilai normatif hingga masyarakat mempertontonkan sebuah sikap apriori
yang bernama “dekadensi moral”, sebuah kebobrokan bangsa dan negara yang tak
terselesaikan dengan teori teori dan perdebatan soal pendidikan moral.[4]
Berikut gagasan besar sebuah mega proyek pembangunan pendidikan
moral yang akan diberikan untuk bangsa. Proses dan ijtihad preventif dekadensi
moral masyarakat yang diambil dari ruh nilai nilai dasar sikap andêp asor
yang terpancar dari perilaku tatakrama masyarakat Madura. Nilai-nilai
pendidikan karakter yang tersembunyi di balik baju kokoh masyarakat yang
bernama andêp asor, berikut adalah serpihan kecil dari perilaku tersebut
yang banyak menyedot perhatian para peneliti dan pemerhati masalah moral, sebut
saja bentuk kesopanan dan ketakdziman-nya
orang Madura baik kepada guru, orang tua, tamu, dan sesama saudara seagama dan
sebangsa. Dari nafas karakteristik masyarakat Madura tersebut kita bisa
menyemai berbagai persoalan gradasi keretakan moralitas bangsa dengan satu
ruang ijtihad preventif sebagai upaya
menanggulangi masalah dekadensi moral di Indonesia.
Langgêr;
Sarana Penanaman Sikap
Budi Pekerti Terhadap Masyarakat
“orêng panêka enêlai dêri têngka kulina otabê tatakramana, bênnê dêri bagussê robêna. Bêndêr dhêbuna rêng kona, maske
elmona nokdhu’ langgêk mon têngka kulina jubêk tak kera ekendê’i mon masyarakat.”[5]
Beranjak dari peribahasa (parebêsên) di atas,
dapat ditarik pada sebuah kesimpulan yang diperkuat dengan bukti sejarah menelusupnya
proses dakwah islamisasi Wali Songo. Bisa dipastikan bahwa lingkungan adalah
satu satunya tempat serta upaya yang sangat urgen untuk mencetak watak, sifat,
dan karakter masyarakat Madura. Lingkungan santun adalah nilai tawar masyarakat
yang menjujung tinggi kultur berpendidikan yang mengerti akan pengetahuan
tatakrama atau moralitas. Kondisi ini tidak bisa dipisahkan dengan lahirnya
hegemoni sejarah Islamisasi di Jawa. Madura sebagai kepulauan yang berada di
ujung timur provinsi Jawa Timur tidak bisa luput dari sentuhan halus proses
penyebaran islamisasi yang menyeluruh pada abad ke-13 M.[6]
Pada masa itu masyarakat Madura telah merangkak naik dari
satu kultur kepada kultur yang lain, yaitu mengenal yang namanya pendidikan
agama bahkan pada saat itulah telah tertanam nilai pendidikan karakter dimana
sejak masyarakat mengenyam pendidikan di surau (baca: langgêr), ditempat
itulah terutama anak-anak mendapatkan asupan gizi pendidikan tentang pentingnya
tatakrama atau kesopanan (ilmu al-hal) yang biasa diajarkan dalam kitab ta’limul
al-muta’allim karya Azzarnuji.[7]
Kitab klasik inilah yang menghiasi beberapa surau—terutama masyarakat
pedesaan—yang ada di Madura. Dari lingkungan yang sangat agamis terciptalah
kultur yang juga agamis sehingga tidak boleh tidak masyarakat Madura harus
mengintegrasikan dua konsep ilmu sekaligus; antara kultur dan agama, yaitu
belajar dari lingkungan atau tradisi dan belajar dari kitab kitab klasik salaf yang
diajarkan secara sorongan di langgêr (surau).
Sejatinya, Madura adalah pulau dengan seribu pesantren,
sebab itu Madura menjadi sketsa awal gambaran utuh tentang kehidupan
masyarakatnya, yang tidak lain merupakan kiblat sejarah lembaga lembaga
pendidikan yang mengedepankan terhadap moralitas atau pendekatan pendidikan
karakter. Menurut orang Madura, langhêr-lah yang sangat memperhatikan
pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan itu
sendiri, umumnya ditentukan oleh tiga faktor, (i) hidup bersama berbentuk
asrama, (ii) perilaku kiai sebagai central figure, (iii) terakhir adalah
pengamalan kandungan kitab kitab yang dipelajari, baik kebijaksanaan (al-hik-mah),
nasihat-nasihat yang baik (mau’idlah hasanah), teladan yang baik (uswah
hasanah), dialog yang baik (al-mujādalah bi al-latī hiya ahsan), serta
bersifat akomodatif terhadap budaya lokal yang ada. Disinilah proyek besar
pendidikan nasional[8]
yang menurut Moh. Juhdi[9]
diimpikan oleh negara kita agar bisa langsung terimplementasikan menjadi sebuah
nilai moral yang mengakar untuk masyarakat Indonesia (nation and character
building).
Kesopanan dan Rendah
Diri;
Serpihan Nilai Pendidikan
Karakter Masyarakat Madura
Konstelasi
masyarakat dan budaya Jawa Timur khususnya Madura adalah ditandai dari kuatnya
nilai nilai luhur berbasis kearifan lokal yang menancap tegak di atas fondasi
kultur masyarakat, sebut saja solidaritas yang tinggi serta rasa bangga ketika
memiliki sikap kesopanan. Perilaku tersebut sekaligus menjadi kemapanan dalam
hidup mereka. Kesopanan adalah kopyah (songkok) yang diletakkan di atas
kepala sebagai tanda legalitas bagi orang Madura bahwa kesopanan memiliki porsi
dan posisi atau derajat yang sama tingginya dengan ilmu, bahkan sangat tinggi
di mata masyarakat. Nilai kesopanan bagi masyarakat Madura menempati posisi
paling atas, kesopanan lebih mulia dari pada harta, dari pada rupa, dan
segalanya, kesopanan adalah harta yang
tak ternilai harganya.
Sampai
saat ini kurang tepat jika Huub de Jonge (1989) misalnya, melabeli stereotip
terhadap masyarakat Madura sebagai masyarakat yang kasar dan keras[10],
padahal sikap keras itulah yang mendasari mental dan sikap yang kuat. Dan
kekuatan yang dimiliki etnis masyarakat Madura menyemai sikap dan karakteristik
yang rendah diri—tidak congkak—dalam arti sempitnya tidak gampang terlena dan
gampang membusungkan dada. Sikap rendah diri (mungkin) lebih dikenal dengan sikap tawadu’, dalam ilmu tawawuf
rendah diri adalah merasa bahwa orang lain sama dengan kita, manusia sadar akan
dirinya bahwa ia tidak memiliki kekuatan apa apa.
Sikap
kesopanan dan rendah diri pada gilirannya akan membuat satu epestimologi yang
namanya pendidikan karakter, sebuah sumbangsih besar terhadap pembentukan
moralitas masyarakat bahkan secara tegas sikap masyarakat Madura tidak bisa
dibohongi sebagai realitas yang harus diakui kemuka, bahwa Madura adalah khazanah
basis pendidikan karakater yang tidak terlena dengan bentuk bentuk formalisasi
pendidikan nasional. Ada ungkapan yang mencerminkan esensi pendidikan karakter
itu: “têngka kuli panêka nodhuwaki bênnyakna elmu se’êkêndhu’, orêng sebênyak
elmuna amargê sajên nondhu’ bên tawadhu’’”, kalimat tersebut setarikan nafas dengan falsafah hidup masyarakat yang
beradab serta memiliki pengetahuan yang tinggi, bagi masyarakat Madura, tingkat
pendidikan diukur seberapah jauh tingkah laku kita di tengah tengah masyarakat.
Orang yang dikatakan ilmunya tinggi (sekolah hingga ke jenjang perguruan
tinggi) pada aspek penilaian orang Madura adalah keharusan yang dipikul di
pundaknya sebagai prinsip untuk mencerminkan sebuah sikap yang tawadu’ atau
rendah diri. Oleh sebabnya, rendah diri adalah ikhtiar untuk mempercantik proporsionalitas masyarakat yang bisa mencerminkan karakter mental, watak, dan
sifat masyarakat Madura itu sendiri. Dan seperangkat nilai inilah yang
sulit dicari dalam pendidikan karakter di Indonesia.
Namun, Madura dengan kapasitas ritme
pendidikan yang sangat sederhana bisa memantik semangat education yang
berbasis karakter dan membentukan moral yang benar-benar mengembangkan nation and character building, mengembangkan
sebuah aset kultur pendidikan Indonesia,
dan Madura dengan seperangkat
nilai andêp asor-nya dan rendah diri telah berhasil mencetak lingkungan
sebagai basis pendidikan karakter yang berlangsung sampai sekarang. Inilah aset
besar kekayaan yang dimiliki masyarakat Madura.
Penutup
Melihat gradasi
pendidikan di Indonesia yang semakin semrawut, dan menilik merosotnya moralitas
dewasa ini yang tidak menjanjikan akan kebaikan bagi bangsa semakin jelas memperparah
negara Indonesia secara umum, sebut seperti fenomena kenakalan remaja, tawuran
antar pelajar, pemerkosaan, narkoba, pembunuhan, sampai pada persoalan
penistaan agama, dan kejahatan korupsi yang tak henti hentinya mencederai
negara.
Dari fenomena tersebut Madura yang dikenal pulau seribu pesantren menawarkan berbagai ijtihad preventif dalam
menanggulangi persoalan moralitas. Terutama sikap masyarakat Madura yang
terkenal dengan andêp asor telah membuktikan sebagai corong lingkungan
yang pro terhadap pendidikan karakter. Salah satunya, kita harus mampu
bersikukuh pada nilai etis budaya dan kultur lokal. Karena, bagi orang Madura lingkungan
adalah satu satunya tempat serta upaya yang sangat urgen untuk mencetak watak,
sifat, dan karakter masyarakat. Lingkungan santun atau andêp asor adalah
nilai tawar masyarakat yang menjujung tinggi kultur berbasis pendidikan karakter
serta mengerti akan pengetahuan
tatakrama atau moralitas.
Dari kesopanan dan
rendah diri tersebut mengkristal menjadi bentuk sikap yang
terpenting dalam hidup masyarakat Madura. Karena pada kesimpulannya rendah dri adalah bagian integral terpenting dari nilai pendidikan karakter masyarakat
Madura yang harus diperoiritaskan dalam mengerjakan segala hal tetek bengek
kehidupan, sebab sikap santun dan rendah diri tidak lain adalah falsafah dari bagian
kehidupan masyarakat itu sendiri
yang bisa menghidupkan kultur pendidikan Indonesia (nation and character building).
Madura dengan seperangkat
nilai andêp asor-nya dan rendah diri telah berhasil mencetak lingkungan
sebagai basis pendidikan karakter yang berlangsung sampai sekarang. Inilah aset
besar kekayaan yang dimiliki masyarakat Madura.
Wallahua’lam...
Daftar Bacaan
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Kencana, 2003.
Kuntowijoyo, Madura: Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Mata Bangsa, 2002.
Jonge de, Huub, Madura dalam Empat Zaman:
Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta: P.T. Gramedia, 1989..
Jurnal
Pendidikan Berbasis Agama Di Madura, Volume 7, Nomor 1, Desember 2014.
Azzarnuji, Nurul Huda, Surabaya, tanpa tahun.
Internet:
http://dokumen.tip/documents/dekadensi-moral.htm,
diakses pada tanggal 27 November 2016 M.
http://id.m.wiikipedia.org/wiki/Aria_Wiraraja,
diakses pada tanggal 26 November 2016 M. pukul 22. 53
[1]Adalah seorang pemimpin
pada abad ke-13 M. di Jawa dan Madura, dalam sejarahnya ia dikenal sebagai
pengatur strategi kejatuhan Kerajaan Singhasari, berikut kematian Kertanagara,
selain itu ia yang memprakarsai usaha kebangkitan Raden Wiyata dalam penaklukan
Kediri tahun 1293 dan pendirian kerajaan Majapahit, lebih jelasnya lihat: http://id.m.wiikipedia.org/wiki/Aria_Wiraraja,
diakses pada tanggal 26 November 2016 M. pukul 22. 53 Wib.
[2] Lihat sebuah tulisan Mahasiswa Sastra
Indonesia Universitas Negeri Malang, Royyan Julian, Pandangan Hidup Etnik
Madura Dalam Kumpulan Puisi Nemor Kara.
[3]Seorang sejarawan dan
sosiolog yang mendapatkan gelar Magister dari Universitas Columbia tahun
197,dengan desertasi yang ia lakuka adalah penelitian tentang perubahan sosial
masyarakat Madura. Lihat dalam bukunya, Kuntowijoyo, Madura: Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Mata Bangsa, 2002.
[5] Orang itu dinilai dari perilakunya atau tatakrama, bukan dari persoalan
wajah yang rupawan. Benar apa yang dikatakan sesepuh kita; biarpun punya ilmu
yang menjulang ke langit tapi tidak berperilaku yang
baik masyarakat tidak akan menerima kita.
[6]Penyebaran agama Islam di
Indonesia dimulai pada abad ke-7 M. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pada
abad 13 M, Islam sudah masuk ke Indonesia. Dua pendapat ini dapat dikompromikan
bahwa Islam mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 M, dan mengalami
perkembangan luas sekitar abad ke-13 M. Lebih tepatnya lihat dalam buku
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, Kencana, 2003, hlm, 12.
[10]Para peneliti Madura
cenderung menengarai sebuah konflik
kekerasan yang mencetak karakter masyarakat Madura adalah terjadinya konflik antar etnik antara orang
Madura dengan
penduduk asli tersebut yang selalu
dikaitkan dengan sifat “kekerasan” yang melekat pada diri orang Madura. Padahal tidak selamanya
masyarakat Madura bersikap keras. Seperti Hub de Jong, A. Latif Wiyata, bisa
lihat dalam tulisan Bambang Samsu Badriyanto, Karakteristik Etnik Dan
Hubungan Antar Etnik : Kasus Di Kabupaten Sumenep Madura, dan Huub de
Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta:
P.T. Gramedia, 1989.
0 Response to "ANDÊP ASOR : Internalisasi Nilai Nilai Pendidikan Karakter Masyarakat Madura Sebuah Ijtihad Preventif Penanggulangan Dekadensi Moral di Indonesia"
Post a Comment
Terimkasih...