Menyemai Hidup Rukun dan Santun (Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Melalui Transmisi Islam yang Rahmatan Lil Alamin)
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Sudah sejak lama
Indonesia merindukan kehidupan yang tenang, kehidupan yang menjungjung tinggi
nilai kemanusiaan—terciptanya kerukunan, kedamaian, dan ketentraman—yang
diwakili oleh semua elemen masyarakat. Tidak gampang dan juga tidak sulit untuk
mengimpikan masa depan yang demikian jika semua masyarakat sadar dengan tujuan
atau visi dan misi awal dari sebuah lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Kehidupan yang terjadi saat ini
seperti sebuah mimpi buruk di siang hari, melihat berbagai fitnah, mendengar
perkelahian antar gologan, kekerasan atas nama agama, serta perbedaan pandang
menjadi jarum yang seakan menurus-nusuk bangsa Indonesia bahkan merusak negara
kita yang dikenal dengan ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika.
Semakin hari
kondisinya semakin memprihatinkan, agama selalu disalahpamahi sebagai tempat
persembunyian bagi orang-orang yang mengingikan masyarakat kita terpecah belah,
agama semakin tercerabut dari akarnya sebagai tameng kehidupan berbangsa dan
bernegara, seakan-akan agama tidak memiliki fungsi apa-apa ketika dilibatkan
dengan persoalan negara. Padahal disinilah semagat nasionalisme yang membebaskan
dari belenggu kolonialisme hingga Indonesia mampu mejadi negara yang merdeka.
Sebab itu, kita
kenal agama Islam sebagai agama universal yang mengenalkan akan arti semangat
nasionalisme yang tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Agama yang selalu relevan
dengan kehidupan manusia sepanjang zaman. Agama samawi yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad, Saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam tanpa pengecualian,
tanpa memandang entitas sosial. Di sana, kita bisa menemukan ajaran pokok agama
yang menerangkan cara bersikap sopan santun kepada orang lain dan bersikap
menghargai sesama.
Jika mengacu pada
trilogi ajaran agama Islam, kita akan mendapatkan ajaran yang berbicara tentang
hubungan sesama manusia (social of relationship), di dalamnya diajarkan salah
satunya bersikap santun pada orang lain, menghormati sesama, tolong-menolong, sabar,
penuh belas kasihan dan yang lainya. Oleh sebab itu, misi utama Nabi Muhammad,
Saw. sebagai pembawa wahyu adalah untuk menyempurnakan akhlak di muka bumi dan
menegakkan keadilan. Sehingga manusia perlu adanya tuntunan ajaran al-Qur’an
dan Hadits sebagai internalisasi dari nilai-nilai ajaran Islam secara
kontekstual yang elastis sesuai dengan perkembangan zaman.
Disinilah kemudian
menarik perhatian kita untuk mendudukkan nilai-nilai nasionalisme yang selama
ini selalu dipertentangkan dengan agama Islam, untuk mensejajarkan dan menjadi
satu rumpun kekuatan yang melahirkan sifat nasionalisme Islam yang ramah
terhadap sesama, baik menyikapi persoalan perbedaan ideologi, budaya, ras,
suku, dan agama.
Sebagaimana yang
disinyalir oleh Hendrianto Attan (2007), agama selain sebagai penuntun juga
memiliki fungsi sebagai kontrol sosial yang lebih eksplisit dan praktis,
sebagai pemersatu ummat. Berangkat dari fakta tersebut, agama (agama manapun)
harus mengandung nilai-nilai universal yang manifes sepanjang sejarah
peradaban manusia. Maka disini bertolak belakang dengan istilah nasionalisme, sedangkan
nasionalisme adalah gerakan yang dicetuskan oleh Eropa, dengan kausa yang
sangat menentang terhadap agama karena Barat menilai agama sebagai biang dari
keterjumudan bangsa itu sendiri, sehingga mereka menginginkan agama harus
dipisahkan dari persoalan negara (Hermawan 2007: 3)
Berjejak dari hal
itu, disinilah kita akan membahas bagaimana menjadikan Islam sebagai sarana
transmisi nasionalisme yang menjajikan untuk masa depan Indonesia. Agar nasionalisme
menjadi satu kekuatan yang tidak terkalahkan, dan meretas semangat Islam yang
membawa rahmah sebagaimana jihad yang pernah dikobarkan oleh KH. Hasyim
Asy’ari ketika melawan penjajah. Nasionalisme yang menuntun, nasionalisme yang
memberikan pencerahan terhadap jiwa sehingga semangat itu tumbuh dari dalam
diri secara sendirinya.
Ijtihad
Nasionalisme Islam;
Proyeksi
Pembangunan Masyarkat yang Damai
Berangkat dari
problem yang begitu serius menantang, kebutuhan adanya delik masalah perdamaian
yang terus melebar, pada ujungnya manarik manusia akan rindunya terhadap kehidupan
yang rukun, santun, dan damai. Kedamaian dan kerukunan disinilah menjadi
tantangan berat untuk senantiasa masyarakat berfikir akan langkah pendewasaan
yang tidak terbatas hingga pada akhirnya mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
Maka disinilah
spesifik nasionalisme Islam menjadi solusi revitalisasi gerakan yang cinta
terhadap kerukunan yang begitu agresif dan memajukan. Sebagaimana Bung Karno
memantik semangat nasionalisme religius yang tumbuh dari semangat budaya
masyarakat Indonesia sendiri dengan adanya integritas antara semangat bangsa
dan beragama. Dengan pengaruh positifnya, nasionalisme sering dihubungkan lewat
setiap hasrat untuk persatuan dan kemerdekaan suatu bangsa, walau pengaruh
negatifnya, nasionalisme juga dapat menimbulkan daya perusak bagi negara-negara
yang terdiri atas banyak suku bangsa (Hassan Shadily, 1983: 338).
Selain itu, sampai
saat ini Islam memang tidak bisa dipungkiri sebagai oasis kedamaian yang
mengirinya jalannya nasionalisme, yang menjadi titik sumbu inspirasi
terciptanya iklim kehidupan yang santun dan harmonis, semua telah terkonsep
dengan matang dalam al-Qur’an dan Hadits. Maka tidak salah jika semangat
nasionalisme yang dilahirkan di Barat menjadi inspirasi lahirnya nasionalisne
Islam yang ditakuti oleh mereka, hingga pada gilirannya kaum Zionizme Barat terus
memusuhi Islam dan mengecap sebagai agama biang keladi kekerasan dan
permusuhan. Sebab, negara Eropa terbesar, plus Amerika Serikat, menyatakan kekhawatirannya
terhadap Islam dan menganggabnya sebagai musuh besar. Mereka cemas akan
kebangkitan Islam, karena mereka menyadari hebatnya kekuatan Islam dan daya
tariknya yang luar biasa mengancam nilai-nilai sekularisme yang mereka anut.
Oleh karena itulah mereka selalu punya rencana dan strategi busuk untuk
menghabisi Islam (Lathifah Ibrahim Khadhar, 2005: 186).
Sebabnya, perlawanan
harus dimulai dari sesuatu yang sangat kecil, sesuatu yang kecil dengan
proyeksi yang matang, sehingga nasionalisme dapat terewajantahkan dalam
kehidupan yang riil, semisal mementingkan kemaslahatan ummat, dan mengedepankan
sifat santun dan saling menghargai terhadap sesama yang berbeda dari kita.
Karena Islam menurut Muhammad Ali Akhuli dalam bukunya yang berjudul The
Need for Islam, menjelaskan secara fleksibel, bahwa agama Islam sebagai agama
yang komprehensif bagi kehidupan umat manusia termasuk di dalamnya persoalan
moral atau etika. Bagi orang muslim untuk menuju puncak kebahagiaan yang hakiki
manusia membutuhkan aspek moralitas tersebut.
Oleh karenanya,
kita tidak mendapati kaum muslim berperang secara licik dan mendadak. Dalam
ajaran Islam makna perlawanan yang disebut dengan jihad harus
berdasarkan kepentingan ummat, yang senantiasa mengedepankan kemaslahatan umat (Tasharruful
imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil mashlahah). Dalam hal ini
merujuk pada kaidah ushul fiqih, “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil
mashalih”, bahwa menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan
kebaikan.
Di sini, kita akan
menemukan banyak aspek moralitas yang diajarkan dalam agama. Islam secara par
excelence tampil dalam rangkaian nilai-nilai humanisme. Maka upaya
untuk menolak pemikiran orentalis dan para paham agama yang ektremis-radikal, perlu
dihidupkan kembali wacana “Islam yang santun” (essences of life). Islam
yang lebih mengedepankan aspek moralitas dan lebih mengedepankan kepentingan
orang lain, bersifat tolong menolong, belaskasihan dan kasih sayang, sebagaimana
yang direpresentasikan oleh Imam al-Ghazali (1058 M/450 H), dalam kitab Ihya’
Ulum al-Din (Revival of the Reiligious Science), mengedepankan nilai-nilai
sosialnya, itu artinya manusia harus saling menghargai. Sehingga agama ‘tidak
hanya’ di-“kambinghitam”-kan dengan berbagai kepentingan yang jauh dari
nilai-nilai agama Islam yang rahmatan lil alamin, sebagaimana yang
ditengarai dalam al-Qur’an surah Al-Anbiya: 107.
Hidup Santun dan
Bermasyarakat
Berangkat dari pemaparan
terminologi Islam secara utuh, maka sejatinya manusia harus mengambil nilai
dari intisari subtansialisme agama, yaitu harus menonjolkan sisi “humanisme” dan
semangat egaliter yang tinggi. Sebab mereka percaya bahwa agama didesain oleh yang
Mahasuci. Sifat itu merupakan transformasi dari sifat-sifat Allah, Swt. yang
hablur ke dalam diri manusia untuk semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri
atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Mereka
melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia dan alam semesta.
Sangat disayangkan jika nilai kesantunan yang dimiliki sifat Tuhan hanya
dikerjakan oleh sepihak atau minoritas muslim (Ihsan Ali-Fauzi, 2011:121).
Hingga pada
kesimpulannya, Islam sebagai way of life mengajarkan tentang kebaikan, amar
ma’ruf, dan nahi munkar. Islam secara kaffa memberikan jalan leluasa
kepada manusia untuk hidup santun dan membuka pintu lebar supaya dapat melestarikan
proses kehidupan yang harmonis. Dalam Islam ada tiga pilar utama yang harus
terpenuhi, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Berbuat baik kepada orang lain tidak cukup
jika tidak dilandasi dengan Islam dan Iman. Ihsan lebih dapat dilihat dan
disaksikan mata. Ia berupa amal saleh atau kesalehan sosial, yaitu ajaran pokok
bermasyarakat (Khairunnas Rajab, 2012).
Dari sikap itulah
agama menjadi sebuah lautan pengetahuan yang bisa ditinjau dari berbagai aspek epistemologi
ilmu. Baik ilmu sosial, budaya, politik dan semacamnya, semua tertata rapi
dalam Islam. Seperti yang disindir oleh Abdurrahman Wahid (2007:11), bahwa sikap
hormat menjadi dasar untuk mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan
saling pengertian sesama manusia.
Fenomena tersebut
bisa kita lihat pada kehidupan masyarakat di pedesaan. Setiap apa yang mereka
lakukan memiliki acuan prinsip moralitas agama. Pijakan mereka adalah kitab-kitab
kecil seperti Ta’limul Muta’allim, Safinatun Annajah, Fathul Qarib,
Sullam Attaufiq, Akhlaqul Al-Banin, dan kitab-kitab yang lainnya.
Tanpa banyak kata,
mereka sudah menerapkan nilai-nilai ke-santu-nan dalam Islam, salah satu contoh
misalnya, bersifat lemah lembut kepada yang lebih tua, dan menyayangi yang
lebih muda, dsb. Selain itu, sikap santun dapat diaplikasikan dalam bentuk
tolong menolong, seperti gotong royong. Di sinilah sebenarnya letak semangat
nasionalisme agama yang rahmatan lil alamin. Tak pernah ada lawan, dan
tak pernah ada musuh, semua saling
menghargai antar semasa dan cinta akan kedamaian. Dengan begitu Ernest Renan
menyebutnya nasionalisme sebagai kehendak untuk bersatu (le dwsire d’entre ensemble).
Hal ini menuntut kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus
hidup bersama. Nasionalisme yang anti kolonialisme. Nasionalisme agama yang
menjanjikan kepada masyarakat untuk hidup santun serta saling menghormati
perbedaan.
Pada dasarnya, semangat
nasionalisme yang tercerahkan dengan nilai-nilai agama, sebuah kultur yang
dikenal dengan hubbul waton. Pelan tapi pasti, masyarakat secara
inherent mempunyai jalinan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Nasionalisme-agama
merupakan sumber nilai dan norma yang bersifat universal sehingga dapat
membentuk sikap dan prilaku manusia untuk menjawab tantangan kehidupan
berbangsa. (J. Suyuthi Pulungan, 2002: 144).
Dengan begitu kita
bisa menciptakan sikap santun sebagai sebuah ideologi nasionalisme agama yang
cinta kedamaian, memupuk tali persaudaraan antar ummat untuk mencapai cita-cita
bangsa. Sehingga terciptalah kerukunan sejati antarumat beragama, yang dapat
menjamin terbinanya kehidupan yang penuh kerukunan. Islam percaya bahwa dialog
dan sikap terbuka kepada pihak lain merupakan bukti atas kemestian pluralitas
untuk memperkaya kehidupan umat manusia agar tercipta kehidupan yang diimpikan
dari semangat nasionalisme. Dari keterbukaan itulah yang nantinya melahirkan
sikap rukun dan santun yang saling menghargai sesama manusia untuk menjunjung
derajat bangsa ini. []
Bahan Bacaan
Ali Fauzi, Ihsan,
2011, Merawat Kebersamaan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.
Ali al-Bashri
al-Mawardi, Abu al-Hasan, 2002, Etika Agama dan Dunia, Bandung, CV
PUSTAKA SETIA
Madjid,
Nurcholish, 2007, Islam Univesal,
Yogyakarta, Pusataka Pelajar.
Khadhar, Lathifah
Ibrahim, 2005, Ketika Barat Memfitnah Islam, Jakarta, Gema Insani Press.
Pulungan, J.
Suyuthi, 2002, Universalisme Islam, Jakarta, PT Moyo Segoro Agung.
Rajab, Kharunnas,
2012, Agama Kebahagiaan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren.
Echols, John M.
dan Shadily, Hassan 1990. Kamus Inggris Indonesia. PT.Gramedia, Jakarta.
http:/hermawan.blogsport.com.2007/09/Islamnasionalismenasionaliselam.
0 Response to "Menyemai Hidup Rukun dan Santun (Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Melalui Transmisi Islam yang Rahmatan Lil Alamin)"
Post a Comment
Terimkasih...