-->

Menyemai Hidup Rukun dan Santun (Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Melalui Transmisi Islam yang Rahmatan Lil Alamin)



Sudah sejak lama Indonesia merindukan kehidupan yang tenang, kehidupan yang menjungjung tinggi nilai kemanusiaan—terciptanya kerukunan, kedamaian, dan ketentraman—yang diwakili oleh semua elemen masyarakat. Tidak gampang dan juga tidak sulit untuk mengimpikan masa depan yang demikian jika semua masyarakat sadar dengan tujuan atau visi dan misi awal dari sebuah lahirnya kemerdekaan Indonesia.
            Kehidupan yang terjadi saat ini seperti sebuah mimpi buruk di siang hari, melihat berbagai fitnah, mendengar perkelahian antar gologan, kekerasan atas nama agama, serta perbedaan pandang menjadi jarum yang seakan menurus-nusuk bangsa Indonesia bahkan merusak negara kita yang dikenal dengan ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika.
Semakin hari kondisinya semakin memprihatinkan, agama selalu disalahpamahi sebagai tempat persembunyian bagi orang-orang yang mengingikan masyarakat kita terpecah belah, agama semakin tercerabut dari akarnya sebagai tameng kehidupan berbangsa dan bernegara, seakan-akan agama tidak memiliki fungsi apa-apa ketika dilibatkan dengan persoalan negara. Padahal disinilah semagat nasionalisme yang membebaskan dari belenggu kolonialisme hingga Indonesia mampu mejadi negara yang merdeka.   
Sebab itu, kita kenal agama Islam sebagai agama universal yang mengenalkan akan arti semangat nasionalisme yang tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Agama yang selalu relevan dengan kehidupan manusia sepanjang zaman. Agama samawi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, Saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam tanpa pengecualian, tanpa memandang entitas sosial. Di sana, kita bisa menemukan ajaran pokok agama yang menerangkan cara bersikap sopan santun kepada orang lain dan bersikap menghargai sesama.
Jika mengacu pada trilogi ajaran agama Islam, kita akan mendapatkan ajaran yang berbicara tentang hubungan sesama manusia (social of relationship), di dalamnya diajarkan salah satunya bersikap santun pada orang lain, menghormati sesama, tolong-menolong, sabar, penuh belas kasihan dan yang lainya. Oleh sebab itu, misi utama Nabi Muhammad, Saw. sebagai pembawa wahyu adalah untuk menyempurnakan akhlak di muka bumi dan menegakkan keadilan. Sehingga manusia perlu adanya tuntunan ajaran al-Qur’an dan Hadits sebagai internalisasi dari nilai-nilai ajaran Islam secara kontekstual yang elastis sesuai dengan perkembangan zaman.
Disinilah kemudian menarik perhatian kita untuk mendudukkan nilai-nilai nasionalisme yang selama ini selalu dipertentangkan dengan agama Islam, untuk mensejajarkan dan menjadi satu rumpun kekuatan yang melahirkan sifat nasionalisme Islam yang ramah terhadap sesama, baik menyikapi persoalan perbedaan ideologi, budaya, ras, suku, dan agama.
Sebagaimana yang disinyalir oleh Hendrianto Attan (2007), agama selain sebagai penuntun juga memiliki fungsi sebagai kontrol sosial yang lebih eksplisit dan praktis, sebagai pemersatu ummat. Berangkat dari fakta tersebut, agama (agama manapun) harus mengandung nilai-nilai universal yang manifes sepanjang sejarah peradaban manusia. Maka disini bertolak belakang dengan istilah nasionalisme, sedangkan nasionalisme adalah gerakan yang dicetuskan oleh Eropa, dengan kausa yang sangat menentang terhadap agama karena Barat menilai agama sebagai biang dari keterjumudan bangsa itu sendiri, sehingga mereka menginginkan agama harus dipisahkan dari persoalan negara (Hermawan 2007: 3) 
Berjejak dari hal itu, disinilah kita akan membahas bagaimana menjadikan Islam sebagai sarana transmisi nasionalisme yang menjajikan untuk masa depan Indonesia. Agar nasionalisme menjadi satu kekuatan yang tidak terkalahkan, dan meretas semangat Islam yang membawa rahmah sebagaimana jihad yang pernah dikobarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika melawan penjajah. Nasionalisme yang menuntun, nasionalisme yang memberikan pencerahan terhadap jiwa sehingga semangat itu tumbuh dari dalam diri secara sendirinya.

Ijtihad Nasionalisme Islam;
Proyeksi Pembangunan Masyarkat yang Damai 
Berangkat dari problem yang begitu serius menantang, kebutuhan adanya delik masalah perdamaian yang terus melebar, pada ujungnya manarik manusia akan rindunya terhadap kehidupan yang rukun, santun, dan damai. Kedamaian dan kerukunan disinilah menjadi tantangan berat untuk senantiasa masyarakat berfikir akan langkah pendewasaan yang tidak terbatas hingga pada akhirnya mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
Maka disinilah spesifik nasionalisme Islam menjadi solusi revitalisasi gerakan yang cinta terhadap kerukunan yang begitu agresif dan memajukan. Sebagaimana Bung Karno memantik semangat nasionalisme religius yang tumbuh dari semangat budaya masyarakat Indonesia sendiri dengan adanya integritas antara semangat bangsa dan beragama. Dengan pengaruh positifnya, nasionalisme sering dihubungkan lewat setiap hasrat untuk persatuan dan kemerdekaan suatu bangsa, walau pengaruh negatifnya, nasionalisme juga dapat menimbulkan daya perusak bagi negara-negara yang terdiri atas banyak suku bangsa (Hassan Shadily, 1983: 338).
Selain itu, sampai saat ini Islam memang tidak bisa dipungkiri sebagai oasis kedamaian yang mengirinya jalannya nasionalisme, yang menjadi titik sumbu inspirasi terciptanya iklim kehidupan yang santun dan harmonis, semua telah terkonsep dengan matang dalam al-Qur’an dan Hadits. Maka tidak salah jika semangat nasionalisme yang dilahirkan di Barat menjadi inspirasi lahirnya nasionalisne Islam yang ditakuti oleh mereka, hingga pada gilirannya kaum Zionizme Barat terus memusuhi Islam dan mengecap sebagai agama biang keladi kekerasan dan permusuhan. Sebab, negara Eropa terbesar, plus Amerika Serikat, menyatakan kekhawatirannya terhadap Islam dan menganggabnya sebagai musuh besar. Mereka cemas akan kebangkitan Islam, karena mereka menyadari hebatnya kekuatan Islam dan daya tariknya yang luar biasa mengancam nilai-nilai sekularisme yang mereka anut. Oleh karena itulah mereka selalu punya rencana dan strategi busuk untuk menghabisi Islam (Lathifah Ibrahim Khadhar, 2005: 186).
Sebabnya, perlawanan harus dimulai dari sesuatu yang sangat kecil, sesuatu yang kecil dengan proyeksi yang matang, sehingga nasionalisme dapat terewajantahkan dalam kehidupan yang riil, semisal mementingkan kemaslahatan ummat, dan mengedepankan sifat santun dan saling menghargai terhadap sesama yang berbeda dari kita. Karena Islam menurut Muhammad Ali Akhuli dalam bukunya yang berjudul The Need for Islam, menjelaskan secara fleksibel, bahwa agama Islam sebagai agama yang komprehensif bagi kehidupan umat manusia termasuk di dalamnya persoalan moral atau etika. Bagi orang muslim untuk menuju puncak kebahagiaan yang hakiki manusia membutuhkan aspek moralitas tersebut.
Oleh karenanya, kita tidak mendapati kaum muslim berperang secara licik dan mendadak. Dalam ajaran Islam makna perlawanan yang disebut dengan jihad harus berdasarkan kepentingan ummat, yang senantiasa mengedepankan kemaslahatan umat (Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil mashlahah). Dalam hal ini merujuk pada kaidah ushul fiqih, “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih”, bahwa menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan.
Di sini, kita akan menemukan banyak aspek moralitas yang diajarkan dalam agama. Islam secara par excelence tampil dalam rangkaian nilai-nilai humanisme. Maka upaya untuk menolak pemikiran orentalis dan para paham agama yang ektremis-radikal, perlu dihidupkan kembali wacana “Islam yang santun” (essences of life). Islam yang lebih mengedepankan aspek moralitas dan lebih mengedepankan kepentingan orang lain, bersifat tolong menolong, belaskasihan dan kasih sayang, sebagaimana yang direpresentasikan oleh Imam al-Ghazali (1058 M/450 H), dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din (Revival of the Reiligious Science), mengedepankan nilai-nilai sosialnya, itu artinya manusia harus saling menghargai. Sehingga agama ‘tidak hanya’ di-“kambinghitam”-kan dengan berbagai kepentingan yang jauh dari nilai-nilai agama Islam yang rahmatan lil alamin, sebagaimana yang ditengarai dalam al-Qur’an surah Al-Anbiya: 107.

Hidup Santun dan Bermasyarakat
Berangkat dari pemaparan terminologi Islam secara utuh, maka sejatinya manusia harus mengambil nilai dari intisari subtansialisme agama, yaitu harus menonjolkan sisi “humanisme” dan semangat egaliter yang tinggi. Sebab mereka percaya bahwa agama didesain oleh yang Mahasuci. Sifat itu merupakan transformasi dari sifat-sifat Allah, Swt. yang hablur ke dalam diri manusia untuk semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia dan alam semesta. Sangat disayangkan jika nilai kesantunan yang dimiliki sifat Tuhan hanya dikerjakan oleh sepihak atau minoritas muslim (Ihsan Ali-Fauzi, 2011:121). 
Hingga pada kesimpulannya, Islam sebagai way of life mengajarkan tentang kebaikan, amar ma’ruf, dan nahi munkar. Islam secara kaffa memberikan jalan leluasa kepada manusia untuk hidup santun dan membuka pintu lebar supaya dapat melestarikan proses kehidupan yang harmonis. Dalam Islam ada tiga pilar utama yang harus terpenuhi, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Berbuat baik kepada orang lain tidak cukup jika tidak dilandasi dengan Islam dan Iman. Ihsan lebih dapat dilihat dan disaksikan mata. Ia berupa amal saleh atau kesalehan sosial, yaitu ajaran pokok bermasyarakat (Khairunnas Rajab, 2012).
Dari sikap itulah agama menjadi sebuah lautan pengetahuan yang bisa ditinjau dari berbagai aspek epistemologi ilmu. Baik ilmu sosial, budaya, politik dan semacamnya, semua tertata rapi dalam Islam. Seperti yang disindir oleh Abdurrahman Wahid (2007:11), bahwa sikap hormat menjadi dasar untuk mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian sesama manusia.
Fenomena tersebut bisa kita lihat pada kehidupan masyarakat di pedesaan. Setiap apa yang mereka lakukan memiliki acuan prinsip moralitas agama. Pijakan mereka adalah kitab-kitab kecil seperti Ta’limul Muta’allim, Safinatun Annajah, Fathul Qarib, Sullam Attaufiq, Akhlaqul Al-Banin, dan kitab-kitab yang lainnya.
Tanpa banyak kata, mereka sudah menerapkan nilai-nilai ke-santu-nan dalam Islam, salah satu contoh misalnya, bersifat lemah lembut kepada yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih muda, dsb. Selain itu, sikap santun dapat diaplikasikan dalam bentuk tolong menolong, seperti gotong royong. Di sinilah sebenarnya letak semangat nasionalisme agama yang rahmatan lil alamin. Tak pernah ada lawan, dan tak  pernah ada musuh, semua saling menghargai antar semasa dan cinta akan kedamaian. Dengan begitu Ernest Renan menyebutnya nasionalisme sebagai kehendak untuk bersatu (le dwsire d’entre ensemble). Hal ini menuntut kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama. Nasionalisme yang anti kolonialisme. Nasionalisme agama yang menjanjikan kepada masyarakat untuk hidup santun serta saling menghormati perbedaan.
Pada dasarnya, semangat nasionalisme yang tercerahkan dengan nilai-nilai agama, sebuah kultur yang dikenal dengan hubbul waton. Pelan tapi pasti, masyarakat secara inherent mempunyai jalinan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Nasionalisme-agama merupakan sumber nilai dan norma yang bersifat universal sehingga dapat membentuk sikap dan prilaku manusia untuk menjawab tantangan kehidupan berbangsa. (J. Suyuthi Pulungan, 2002: 144).
Dengan begitu kita bisa menciptakan sikap santun sebagai sebuah ideologi nasionalisme agama yang cinta kedamaian, memupuk tali persaudaraan antar ummat untuk mencapai cita-cita bangsa. Sehingga terciptalah kerukunan sejati antarumat beragama, yang dapat menjamin terbinanya kehidupan yang penuh kerukunan. Islam percaya bahwa dialog dan sikap terbuka kepada pihak lain merupakan bukti atas kemestian pluralitas untuk memperkaya kehidupan umat manusia agar tercipta kehidupan yang diimpikan dari semangat nasionalisme. Dari keterbukaan itulah yang nantinya melahirkan sikap rukun dan santun yang saling menghargai sesama manusia untuk menjunjung derajat bangsa ini. []



Bahan Bacaan
Ali Fauzi, Ihsan, 2011, Merawat Kebersamaan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.
Ali al-Bashri al-Mawardi, Abu al-Hasan, 2002, Etika Agama dan Dunia, Bandung, CV PUSTAKA SETIA
Madjid, Nurcholish,  2007, Islam Univesal, Yogyakarta, Pusataka Pelajar.
Khadhar, Lathifah Ibrahim, 2005, Ketika Barat Memfitnah Islam, Jakarta, Gema Insani Press.
Pulungan, J. Suyuthi, 2002, Universalisme Islam, Jakarta, PT Moyo Segoro Agung.
Rajab, Kharunnas, 2012, Agama Kebahagiaan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan 1990. Kamus Inggris Indonesia. PT.Gramedia, Jakarta.
http:/hermawan.blogsport.com.2007/09/Islamnasionalismenasionaliselam.

0 Response to "Menyemai Hidup Rukun dan Santun (Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Melalui Transmisi Islam yang Rahmatan Lil Alamin)"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel