-->

Islam Nusantara; Harmonisasi di Tengah Keberagaman (Sebuah Takaran Nilai Humanisme-Sosial dalam Kehidupan Kultur Masyarakat Indonesia)



Gambar oleh: http://hystoryana.blogspot.co.id
Sebelum melangkah jauh pada akar historis masuknya Islam ke Nusantara alangkah afdal mengorek kilas sejarah silam pra-Islam menjadi ajaran agama resmi yang diterima oleh mayoritas masyarakat Nusantara. Sebelum agama Islam datang, masyarakat Indonesia banyak yang menganut beberapa paham agama, termasuk Hindu, Buddah, dan Kristen.
            Pra-Islam datang mereka mempercayai metos ataupun legenda, masyarakat percaya kepada kekuatan alam gaib atau roh halus, paham inilah kemudian disebut “animisme” yang mendapat serapan dari bahasa Latin dan Yunani. Masyarakat animisme menganggab roh para leluhur mereka sebagai sumber “Tuhan” yang bisa memberikan kemakmuran, ketenangan dan keuntungan. Kendatipun, secara nilai paham ini benar, tetapi pada sisi lain secara keyakinan mereka menganut paham yang salah. Disinilah letak fenomis tuntunan dakwah para pelopor Islam Nusantara untuk menyesuaikan dengan nilai syariat Islam menurut al-Qur’an dan Sunnah.[1]
            Dari beberapa ajaran dan agama yang berkembang di Nusantara, Dr. Alwi Shihab menyatakan besarnya pengaruh agama asli Indonesia seperti agama-agama Hindu, Buddha, dan Kristen terhadap agama-agama pendatang seperti Islam. Alwi Shihab menambahkan, tradisi agama itu sulit untuk dihapus, agama yang ada tidak mampu sepenuhnya melepaskan diri dari hegemoni agama Islam itu sendiri, menurut Geertz ada asimilasi budaya dan agama.[2] Disinilah letak inspiratif yang harus dijadikan bahan evaluasi terhadap keberagamaan masyarakat mutakhir di Indonesia.   
Pada hakikatnya, Islam datang dengan cara damai tanpa kegaduhan, propaganda politik, dan pertumpahan darah, para pelopor Islam sangat ihklas memperjuangkan demi menegakkan agama Tuhan di atas bumi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara damai, bertahap dan perlahan mengenalkan ajaran yang bertoleransi serta persamaan derajat antar manusia—tidak ada sekat dan diskriminasi sosial—yang membedakan manusia di dunia diukur dari kualitas keimanannya kepada Tuhan, kebanyakan hal ini diimplementasikan dalam ajaran tasawuf yang dibawa para pelopor Islam di Nusantara, termasuk Wali Songo itu sendiri.
            Sebab itu, menurut Haidar Bagir penyebaran Islam di Nusantara pertama kali tidak bisa dilepaskan dari elan vital kaum sufi yang sanggub mengkomunikasikan kemajemukan kultur masyarakat dengan kompromi, sehingga membentuk simbiosis-mutualisme yang utuh. Bahkan, dalam buku Akar Tasawuf di Indonesia karya Dr. Alwi Shihab, Ph. D, memaparkan bahwa para pendakwa Islam awal adalah keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berhijrah ke Hadhramawt, lalu membawa satu aliran tasawuf yang belakangan disebut sebagai tarekat Alawiyah.[3]
            Kemajemukan agama dan kebudayaan yang berkembang sebelum Islam masuk di Nusantara bukan hal yang sulit untuk dirangkul menjadi satu kekuatan strategi dalam berdakwa, justru disinilah letak kelihaian para pelopor Islam bisa meletakkan batu dasar fondasi besar konvensi beragama, bahwa perbedaan adalah rahmat yang benar-benar harus dimanfaatkan sebagai peluang strategi-metodologi dakwa Islam secara totalitas hatta menciptakan humanisme sosial.
            Karena pada hakikatnya, konsepsi salah yang dibentuk oleh opini masyarakat berakibat pada konklusi yang keliru, sebabnya M.C. Ricklefs membahasakan orang Jawa dan Muslim tidak menjadikannya sebagai bentuk sekat problematis, bahkan istilah-istilah lokal tetap diterapkan dalam praktek keagamaan orang Jawa, dengan begitu islamisasi diwarnai dengan perbedaan dan kepelikan corak masyarakat.[4] Jadi, perbedaan bukan lagi simbol diskriminasi sosial atau musuh yang harus diperangi secara ideologi ataupun senjata, perbedaan adalah fakta genealogi-historis untuk menciptakan oase harmoni di tengah-tengah diferensiasi kemajemukan sosial.
            Di balik fenomena itu, yang perlu diharapkan agama bukan menjadi pembatas sosial, dan memotong gerak laju dinamisasi kebebasan masyarakat untuk berkreasi, keberagaman harus menilik intensifikasi dinamika intelektual dan menjadikan wilayah Nusantara semakin menarik dalam entitas sosial, budaya dan intelektual.[5] Dari fenomena masyarakat tersebut Islam memiliki peran untuk menjungjung tinggi semangat egaliter serta mendorong kepada tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia.[6]   
            Kalau seseorang tidak bisa arif memahami sejarah islamisasi di Nusantara, kemungkinan besar akan terjebak pada kamuflase definisi, agama dijadikan tameng tuntutan termometer kehidupan yang harus dijadikan pijakan utuh tanpa perubahan zaman. Kebanyakan pemahaman para sarjana yang memandang Islam sebagai agama simbolime dengan bentuk formalitas dalam bacaan-bacaan teks, menurut bahasanya Azyumardi Azra, agama menjadi bingkai penetrasi sosiologis masyarakat yang membedakan dengan etnis yang lain.[7] Gus Dur menyebutnya tumpang tindih agama dan budaya sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya akan memungkinkan adanya persambungan antar kelompok atas dasar persamaan, baik persamaan agama maupun budaya.[8] Opini ini mendapat justifikasi dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, bahwa Indonesia sudah mampu menjadi potret sejarah tentang Islam yang penuh kedamaian dan toleransi, bahkan menjadi identitas di tengah perbincangan dunia Internasional.

Bingkai “Parsialitas”Ke-beragama-an Masyarakat
Dalam panggung geopolitik sejarah konstelasi Indonesia, isu-isu keberagaman khususnya agama, selalu menjadi lahan subur paling sensitif untuk melahirkan beragam konflik sosial. Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A, menyitir pendapat Futurolog John Naisbit, bahwa dunia saat ini seperti diseret pada kampung besar (global village), maka kata McLuhan kita tidak bisa lepas diri dari gempuran peradaban kehidupan global. Akibat dari gelombang besar globalisasi Samuel P. Hungtington meramalkan akan terjadi benturan antarperadaban. Benturan itu disinyalir akibat beberapa faktor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras, dan akhir-akhir ini yang paling riskan adalah persoalan perbedaan ideologi agama.[9]
Dari berbagai problem keberagaman yang sangat riskan, maka  gagasan Islam Nusantara bagi Dr. Abdul Muqsith Ghazali, adalah upaya melabuhkan Islam dalam konteks takaran budaya masyarakat yang beragam.[10] Sampai hari ini Islam Nusantara masih dini untuk dicerna sebagai muatan pendidikan moral-historis yang berafiliasi pada akar sejarah penyebaran awal Islam di  Nusantra. Akhirnya, keterbatasan pemahaman masyarakat mutakhir menimbulkan berbagai kontrofersi sosial (social controvertion), yang ujung-ujungnya agama dijadikan ujung tombak justifikasi untuk membenarkan metodologi dan aksiologi dakwa liberalisme-ektrimis, dalam setiap tindakan yang menghancuran kemaslahatan umat.
Dalam buku Islam Nusantra, KH Afifuddin Muhajir, hatta menegaskan pentingnya berpegang teguh pada kaidah fiqh, menolak mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.[11] menjadi pijakan penting yang harus disikapi secara arif nan bijaksana. Meskipun kenyataan pahit yang kerap ditonton berbanding terbalik dengan realitas yang diharapkan. Agama seperti gejolak pemintasan yang sangat kejam, fanatis dan ektrim terhadap golongan lain; mereka berkeyakinan perbedaan bukan merupakan fitrah dalam kehidupan, justru sebaliknya perbedaan adalah kausa-logis yang mesti diperangi.   
            Prof. Dr. Said Aqil Siradj pernah berkata, Islam Nusantara merupakan cara pendekatan budaya, tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras. Namun, banyaknya aliran sesat dan kelompok yang mengatasnamakan agama adalah pintu gerbang kehancuran terhadap Islam Nusantara itu sendiri. Tidak bisa dihitung jumlahnya kelompok minoritas aliran Islam yang berkembang di Indonesia hari ini—menjadikan lahan subur brutalisme pemikiran—untuk mengkaburkan doktrin agama yang sesugguhnya.
            Pemandangan tidak sedap ini bisa meruntuhkan kekayaan kultur dan tradisi kearifan Nusantara, nilai-nilai budaya lokal menjadi sebatas utopia masyarakat yang mengimpikan masa depan negara yang baldatun thayyibatun.
            Belum lagi membincangkan masalah kebobrokan moral dan nilai spritual keagamaan masyarakat. Tindakan demoralisasi adalah kejahilan terselubung di balik reinkarnasi para pelopor agama yang menyebabkan inkonsistensi umat beragama terpecah-pecah.
            Maka yang dibutuhkan disini gagasan  Islam Nusantara tidak diartikan sebagai bentuk diskursus sosiologis yang tidak final. Namun, khazanah Islam dengan “Nusantara”-nya harus berada pada bagian ajarannya yang dinamis (syaqqun mutaghayyir), bukan pada bagian ajaran yang statis (syaqqun tsabit). Lalu, pada gilirannya agama mampu dipahami secara utuh; tidak sepotong-potong dan plinplan. Menjadikan Islam yang mampu menembus sekat-sekat budaya, berekspansi, berdialog pada dan dengan wilayah teritorial-geografis yang tidak terbatas.

Mewujudkan “Ortodoksi” Islam Nusantara
Untuk mewujudkan pemahaman orisinalitas baru Islam Nusantara, tentu tidak akan berhenti sampai disini. Akan tetapi, untuk menjadi Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy); harapan renaisans peradaban Islam Global masa depan. Ada beberapa opini klasik yang sulit untuk diaplikasikan sebagai pedoman hidup masyarakat Nusantara.
Pertama, mewujudkan sikap tengah atau moderat (tawassuth) yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Kedua, sikap berimbang (tawazun) atau harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum). Ketiga, adalah (ta'adul) sikap proporsional dan netralitas dalam menyikapi setiap masalah sosial. Keempat, ialah sikap (tasamuh) toleran yag bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.
  Secara garis besar untuk mewujudkan Islam Nusantara di tengah keberagaman budaya masyarakat Indonesia, bukan “akrobatik” yang gampang dilakukan oleh siapa saja. Kedewasaan cara pikir dan  bersikap disini sangat menentukan kemanakah Islam Nusantara akan diartikan. [Wallahua’lam..]





*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).
Daftar Bacaan

Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Cet-3, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, Alwi. Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia. Mizan Media Utama (MMU), Bandung, Cet. I, 20089.
M.C. Ricklefs. Mengislamkan Jawa. Serambi, Jakarta, 2013.
Azra, Azyumardi. Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara. Mizan, Jakarta, 2014. 
            Sahal, Akhmad, dkk. Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis. Mizan Media Utama (MMU), Bandung, tanpa tahun.
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2014.
Majalah Muara,  Pesantren Menyikapi Keberagaman Masyarakat, Edisi XXXVI, 2014.
Jurnal  Conference Proceedings Annual International Confrence on Islam Studies (AICIS XII), Akar Tradisi Integrasi Pengetahuan dalam Naskah Klasik Islam Nusantara, dalam tanpa tahun.
Jurnal Non-Seminr, Muhammad Syarif Hidayatullah. Teori-Teori Masuknya Islam Kewilayah Timur Indonesia, FIB UI, 2014.



                [1]Lihat dalam Jurnal Non-Seminr, Muhammad Syarif Hidayatullah. Teori-Teori Masuknya Islam Kewilayah Timur Indonesia, FIB UI, 2014., hlm, 05.
                [2] Dr. Alwi Shihab, PhD, Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia, Mizan Media Utama (MMU), Bandung, hlm, 01.
                [3] Ibid., hlm, xiii.
[4] M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Serambi, Jakarta, 2013. hlm, 30.
                [5] Lihat tulisan Erawadi, Akar Tradisi Integrasi Pengetahuan dalam Naskah Klasik Islam Nusantara, dalam Jurnal  Conference Proceedings Annual International Confrence on Islam Studies (AICIS XII), tanpa tahun, hlm, 3176. Dalam bidang intelektual ia menawarkan dinamika dan pola keilmuan berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Karena semakin besar tantangan dan tuntutan kehidupan, semakin besar pula keinginan dan usaha manusia untuk menghadapinya.
[6]Terbukti banyak tarekat di Nusantara yang ikut mewarnai dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda, diantaranya tarekat Alawiyah.
                [7]Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Mizan, Jakarta, 2014.  hlm, 17
[8] Akhmad Sahal, dkk, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis, Mizan Media Utama (MMU), Bandung, hlm, 33.
[9]   Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2014).hlm, vii-viii. Lihat pula Majalah Muara,  Pesantren Menyikapi Keberagaman Masyarakat, Edisi XXXVI, 2014., hlm, 06.  
[10]Akhmad Sahal, dkk, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis, Mizan Media Utama (MMU), Bandung, hlm, 106. Islam Nusantara baru popular pada muktamar NU ke 33, tanggal 1-5 Agustus 2015, di Jombang Jawa Timur.
[11] Ibid, hlm, 134.

0 Response to "Islam Nusantara; Harmonisasi di Tengah Keberagaman (Sebuah Takaran Nilai Humanisme-Sosial dalam Kehidupan Kultur Masyarakat Indonesia)"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel