Islam Nusantara; Harmonisasi di Tengah Keberagaman (Sebuah Takaran Nilai Humanisme-Sosial dalam Kehidupan Kultur Masyarakat Indonesia)
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Gambar oleh: http://hystoryana.blogspot.co.id |
Pra-Islam datang mereka mempercayai metos
ataupun legenda, masyarakat percaya kepada kekuatan alam gaib atau roh halus, paham inilah
kemudian disebut “animisme” yang mendapat serapan dari bahasa Latin dan Yunani.
Masyarakat animisme menganggab roh para leluhur mereka sebagai sumber “Tuhan”
yang bisa memberikan kemakmuran, ketenangan dan keuntungan. Kendatipun, secara
nilai paham ini benar, tetapi pada sisi lain secara keyakinan mereka menganut
paham yang salah. Disinilah letak fenomis tuntunan dakwah para pelopor Islam
Nusantara untuk menyesuaikan dengan nilai syariat Islam menurut al-Qur’an dan
Sunnah.[1]
Dari beberapa ajaran dan agama yang
berkembang di Nusantara, Dr. Alwi Shihab menyatakan besarnya pengaruh agama
asli Indonesia seperti agama-agama Hindu, Buddha, dan Kristen terhadap
agama-agama pendatang seperti Islam. Alwi Shihab menambahkan, tradisi agama itu
sulit untuk dihapus, agama yang ada tidak mampu sepenuhnya melepaskan diri dari
hegemoni agama Islam itu sendiri, menurut Geertz ada asimilasi budaya dan agama.[2]
Disinilah letak inspiratif yang harus dijadikan bahan evaluasi terhadap
keberagamaan masyarakat mutakhir di Indonesia.
Pada
hakikatnya, Islam datang dengan cara damai tanpa kegaduhan, propaganda politik,
dan pertumpahan darah, para pelopor Islam sangat ihklas memperjuangkan demi menegakkan
agama Tuhan di atas bumi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara damai, bertahap
dan perlahan mengenalkan ajaran yang bertoleransi serta persamaan derajat antar
manusia—tidak ada sekat dan diskriminasi sosial—yang membedakan manusia di
dunia diukur dari kualitas
keimanannya
kepada Tuhan, kebanyakan hal ini diimplementasikan dalam ajaran tasawuf yang
dibawa para pelopor Islam di Nusantara, termasuk Wali Songo itu sendiri.
Sebab itu, menurut Haidar Bagir
penyebaran Islam di Nusantara pertama kali tidak bisa dilepaskan dari elan
vital kaum sufi yang sanggub mengkomunikasikan kemajemukan kultur masyarakat dengan kompromi, sehingga
membentuk
simbiosis-mutualisme yang utuh. Bahkan, dalam buku Akar Tasawuf di Indonesia
karya Dr. Alwi Shihab, Ph. D, memaparkan bahwa para pendakwa Islam awal
adalah keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berhijrah ke Hadhramawt, lalu
membawa satu aliran tasawuf yang belakangan disebut sebagai tarekat Alawiyah.[3]
Kemajemukan agama dan kebudayaan
yang berkembang sebelum Islam masuk di Nusantara bukan hal yang sulit untuk
dirangkul menjadi satu kekuatan strategi dalam berdakwa, justru disinilah letak
kelihaian para pelopor Islam bisa meletakkan batu dasar fondasi besar konvensi
beragama, bahwa perbedaan adalah rahmat yang benar-benar harus
dimanfaatkan sebagai peluang strategi-metodologi dakwa Islam secara totalitas hatta
menciptakan humanisme sosial.
Karena pada hakikatnya, konsepsi salah yang dibentuk oleh
opini masyarakat
berakibat
pada konklusi yang keliru, sebabnya M.C. Ricklefs membahasakan orang Jawa dan
Muslim tidak menjadikannya sebagai bentuk sekat problematis, bahkan istilah-istilah
lokal tetap diterapkan dalam praktek keagamaan orang Jawa, dengan begitu
islamisasi diwarnai dengan perbedaan dan kepelikan corak masyarakat.[4]
Jadi, perbedaan bukan lagi simbol diskriminasi sosial atau musuh yang harus
diperangi secara ideologi ataupun senjata, perbedaan adalah fakta genealogi-historis
untuk menciptakan oase harmoni di tengah-tengah diferensiasi kemajemukan sosial.
Di balik fenomena itu, yang perlu
diharapkan agama bukan menjadi pembatas sosial, dan memotong gerak laju dinamisasi kebebasan
masyarakat untuk berkreasi, keberagaman harus menilik intensifikasi dinamika
intelektual dan menjadikan wilayah Nusantara semakin menarik dalam entitas
sosial, budaya dan intelektual.[5]
Dari fenomena masyarakat tersebut Islam memiliki peran untuk menjungjung tinggi
semangat egaliter serta mendorong kepada tumbuhnya semangat nasionalisme
Indonesia.[6]
Kalau seseorang tidak bisa arif
memahami sejarah islamisasi di Nusantara, kemungkinan besar akan terjebak pada kamuflase
definisi, agama dijadikan tameng tuntutan termometer kehidupan yang harus
dijadikan pijakan utuh tanpa perubahan zaman. Kebanyakan pemahaman para sarjana
yang memandang Islam sebagai agama simbolime dengan bentuk formalitas dalam bacaan-bacaan
teks, menurut bahasanya Azyumardi Azra, agama menjadi bingkai penetrasi
sosiologis masyarakat yang membedakan dengan etnis yang lain.[7]
Gus Dur menyebutnya tumpang tindih agama dan budaya sebagai suatu proses yang
akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya
akan memungkinkan adanya persambungan antar kelompok atas dasar persamaan, baik
persamaan agama maupun budaya.[8]
Opini ini mendapat justifikasi dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, bahwa Indonesia sudah mampu menjadi potret sejarah tentang Islam yang penuh
kedamaian dan toleransi, bahkan menjadi identitas di tengah perbincangan dunia
Internasional.
Bingkai “Parsialitas”Ke-beragama-an
Masyarakat
Dalam
panggung geopolitik sejarah konstelasi Indonesia, isu-isu keberagaman khususnya
agama, selalu menjadi lahan subur paling sensitif untuk melahirkan beragam
konflik sosial. Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A, menyitir pendapat Futurolog
John Naisbit, bahwa dunia saat ini seperti diseret pada kampung besar
(global village), maka kata McLuhan kita tidak bisa lepas diri dari
gempuran peradaban kehidupan global. Akibat dari gelombang besar globalisasi
Samuel P. Hungtington meramalkan akan terjadi benturan antarperadaban. Benturan
itu disinyalir akibat beberapa faktor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras,
dan akhir-akhir ini yang paling riskan adalah persoalan perbedaan ideologi
agama.[9]
Dari berbagai problem keberagaman yang sangat
riskan, maka gagasan
Islam Nusantara bagi Dr. Abdul Muqsith Ghazali, adalah
upaya melabuhkan Islam dalam konteks takaran budaya
masyarakat yang beragam.[10]
Sampai hari ini Islam Nusantara masih dini untuk dicerna sebagai muatan
pendidikan moral-historis yang berafiliasi pada akar sejarah penyebaran awal Islam di Nusantra. Akhirnya, keterbatasan pemahaman masyarakat
mutakhir menimbulkan berbagai kontrofersi sosial (social controvertion), yang
ujung-ujungnya agama dijadikan ujung tombak justifikasi untuk membenarkan
metodologi dan aksiologi dakwa liberalisme-ektrimis,
dalam setiap tindakan yang menghancuran
kemaslahatan umat.
Dalam buku Islam Nusantra, KH
Afifuddin Muhajir, hatta menegaskan
pentingnya berpegang teguh pada
kaidah fiqh, menolak mudarat didahulukan
daripada menarik maslahat.[11]
menjadi pijakan penting yang harus disikapi secara
arif nan bijaksana. Meskipun kenyataan pahit yang kerap ditonton berbanding terbalik dengan realitas yang diharapkan. Agama seperti
gejolak pemintasan yang sangat kejam, fanatis dan ektrim terhadap golongan lain; mereka berkeyakinan perbedaan bukan merupakan
fitrah dalam kehidupan, justru sebaliknya perbedaan adalah kausa-logis yang mesti diperangi.
Prof.
Dr. Said Aqil Siradj pernah berkata, Islam
Nusantara merupakan cara pendekatan budaya, tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras. Namun, banyaknya aliran sesat
dan kelompok yang mengatasnamakan agama adalah pintu gerbang kehancuran terhadap
Islam Nusantara itu sendiri. Tidak bisa dihitung jumlahnya kelompok minoritas aliran
Islam yang berkembang di Indonesia hari ini—menjadikan lahan subur brutalisme
pemikiran—untuk mengkaburkan doktrin agama yang sesugguhnya.
Pemandangan tidak sedap
ini bisa meruntuhkan kekayaan kultur dan tradisi kearifan Nusantara, nilai-nilai
budaya lokal menjadi sebatas utopia masyarakat yang mengimpikan masa depan
negara yang baldatun thayyibatun.
Belum lagi membincangkan masalah kebobrokan
moral dan nilai spritual keagamaan masyarakat. Tindakan demoralisasi adalah
kejahilan terselubung di balik reinkarnasi para pelopor agama yang menyebabkan inkonsistensi
umat beragama terpecah-pecah.
Maka yang dibutuhkan disini
gagasan Islam Nusantara tidak diartikan
sebagai bentuk diskursus sosiologis yang tidak final. Namun, khazanah Islam
dengan “Nusantara”-nya harus berada pada bagian ajarannya yang dinamis (syaqqun
mutaghayyir), bukan pada bagian ajaran yang statis (syaqqun tsabit).
Lalu, pada gilirannya agama mampu dipahami secara utuh; tidak sepotong-potong
dan plinplan. Menjadikan Islam
yang mampu menembus sekat-sekat budaya, berekspansi, berdialog pada dan
dengan wilayah teritorial-geografis yang tidak terbatas.
Mewujudkan “Ortodoksi”
Islam Nusantara
Untuk mewujudkan pemahaman orisinalitas baru Islam
Nusantara, tentu tidak akan
berhenti sampai disini. Akan tetapi, untuk menjadi Islam
Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy); harapan renaisans
peradaban Islam Global masa depan. Ada beberapa
opini klasik yang sulit untuk diaplikasikan sebagai pedoman hidup masyarakat
Nusantara.
Pertama, mewujudkan sikap tengah atau
moderat (tawassuth) yang
tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Kedua, sikap berimbang (tawazun) atau harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan
dalil-dalil (pijakan hukum). Ketiga, adalah (ta'adul) sikap
proporsional
dan netralitas dalam menyikapi setiap masalah sosial. Keempat, ialah sikap (tasamuh) toleran yag bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan
keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku,
bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.
Secara garis besar untuk mewujudkan Islam
Nusantara di tengah keberagaman budaya masyarakat Indonesia, bukan “akrobatik”
yang gampang dilakukan oleh siapa saja. Kedewasaan cara pikir dan bersikap disini sangat menentukan kemanakah
Islam Nusantara akan diartikan. [Wallahua’lam..]
*Mahasiswa
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).
Daftar Bacaan
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan
Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Cet-3, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, Alwi. Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf
Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia. Mizan Media Utama (MMU), Bandung, Cet.
I, 20089.
M.C. Ricklefs. Mengislamkan Jawa. Serambi,
Jakarta, 2013.
Azra, Azyumardi. Jaringan Global dan Lokal Islam
Nusantara. Mizan, Jakarta, 2014.
Sahal, Akhmad, dkk. Islam
Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis. Mizan Media Utama (MMU),
Bandung, tanpa tahun.
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2014.
Majalah Muara, Pesantren Menyikapi Keberagaman Masyarakat,
Edisi XXXVI, 2014.
Jurnal Conference
Proceedings Annual International Confrence on Islam Studies (AICIS XII), Akar
Tradisi Integrasi Pengetahuan dalam Naskah Klasik Islam Nusantara, dalam
tanpa tahun.
Jurnal Non-Seminr, Muhammad Syarif Hidayatullah. Teori-Teori
Masuknya Islam Kewilayah Timur Indonesia, FIB UI, 2014.
[5] Lihat tulisan
Erawadi, Akar Tradisi Integrasi Pengetahuan dalam Naskah Klasik Islam
Nusantara, dalam Jurnal Conference
Proceedings Annual International Confrence on Islam Studies (AICIS XII), tanpa
tahun, hlm, 3176. Dalam bidang intelektual ia menawarkan dinamika dan pola keilmuan
berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Karena semakin besar tantangan
dan tuntutan kehidupan, semakin besar pula keinginan dan usaha manusia untuk
menghadapinya.
[6]Terbukti banyak
tarekat di Nusantara yang ikut mewarnai dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dari jajahan Belanda, diantaranya tarekat Alawiyah.
[8] Akhmad Sahal, dkk, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga
Konsep Historis, Mizan Media Utama (MMU), Bandung, hlm, 33.
[9] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural,
(Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2014).hlm, vii-viii. Lihat pula
Majalah Muara, Pesantren Menyikapi
Keberagaman Masyarakat, Edisi XXXVI, 2014., hlm, 06.
[10]Akhmad Sahal, dkk, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh Hingga
Konsep Historis, Mizan Media Utama (MMU), Bandung, hlm, 106. Islam
Nusantara baru popular pada muktamar NU ke 33, tanggal 1-5 Agustus 2015, di
Jombang Jawa Timur.
[11] Ibid, hlm, 134.
0 Response to "Islam Nusantara; Harmonisasi di Tengah Keberagaman (Sebuah Takaran Nilai Humanisme-Sosial dalam Kehidupan Kultur Masyarakat Indonesia)"
Post a Comment
Terimkasih...