GUS DUR DAN PLURALISME; Sebuah Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Gambar oleh: http://forum.detik.com |
Islam yang lahir membawa misi penyelamat
dan perdamaian rahmatan lil alamin adalah bagian etos-epistemologi
masyarakat yang makin ternodai dengan praktik ke-agama-an yang menyimpang dari
subtansi “perdamaian” itu sendiri. Adanya praktek kejahatan terorisme dan
radikalisme yang memasang badan sebagai agama Islam, sebut Islam tans-nasional
yang menekankan otentisitas doktrin keagamaan dan eksklusivitas kelompok,
anti-tradisi, dan kerap mengusung ide-ide islamisme dengan menarik penafsiran
dikotomi terhadap agama adalah bukti rentetan buramnya kesejarahan atas
penolakan terhadap negara yang multikultural, multietnis, dan multi agama.[1]
Fenomena tersebut bisa ditonton pada
mutakhir ini yang mana menurut Achmad Zainal Arifin[2], mengatakan
bahwa Indonesia berada di atas batas ambang kerawanan terhadap pengaruh fundamentalis-radikalisme
dan aksi-terorisme.[3]
Sebut saja, kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah yang terjadi sampai 15
kali dari tahun 2010 hingga 2011, kekeraasan terhadap Jama’ah Qiyadah
al-Islamiyah Siroj Jaziroh di Padang Sumatra Barat tahun 2007, sampai kekerasan
terhap Jemaat Gereja di Bandung Jawa Barat tahun 1995, 1999, 2005 hingga 2007.
Selain itu juga tindakan diskriminasi pada penduduk Syi’ah di Sampang tahun
2013, kasus kekerasan terhadap umat katolik di Sleman Yogyakarta, tahun 2014,
sampai penyerangan kaum Kristiani terhadap warga Muslim saat dalam suasana Idul
Fitri tahun 2015 yang lalu.[4]
Sebabnya, hembusan radikalisme agama sampai saat ini menjadi corong
terbentuknya kelompok kelompok ekstremisme
(tatharrufiyah) dan kekerasan (al-unfiyah) yang merugikan kelompok
lain dan juga merugikan terhadap negara.
Oleh karenanya, bagi Gus Dur
Indonesia adalah negara yang harus mengakui keberagaman dan keberagamaan.
Sebuah negara yang berdiri kokoh di atas keanekaragaman multikulturalisme[5],
ras, suku, etnis, dan agama yang diejawantahkan dalam prinsip “Bhineka
Tunggal Ika”, serta membutuhkan kesadaran majemuk sejak Indonesia sudah
terbentuk menjadi negara merdeka. Namun, hingga pada gilirannya negara tidak
mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok antimultikultural dan
antiplural yang melanggar hukum, seolah negara membiarkan “perang epistemologi”
terjadi terutama dalam menyikapi makna multikulturalisme dan pluralisme hingga
terus mengelinding menjurus pada ranah konflik fisik dan ideologi yang menimbulkan
perpecahan.[6]
Hingga di tangan Gus Dur yang dikenal bapak pluralisme dan tokoh nasionalis
ini agama menjadi satu mega proyek pembangunan ajaran yang cinta terhadap
perdamaian, sebuah toleransi universal yang bisa merangkum semua elemen spesies
dan atau kelompok kelompok yang berbeda.
Sejatinya, Gus Dur telah menghasilkan
langkah raksasa dengan ijtihad pluralisme yang tidak mengklaim kebenaran
tentang agama Islam secara otoritas, Charles Kimball, membenarkan bahwa agama
yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) adalah ciri
agama jahat (evil)[7]
yang (mungkin) satu tarikan nafas dengan Islam radikalisme, disitulah Gus Dur
membuka celah pintu ijtihad epistemologi untuk mengakui keberagamaan dan
perbedaan.
Di balik wacana epistemologi
perdamaian tentang pluralisme yang diusung oleh Gus Dur ada doktrin pembebasan
yang tidak inklusive pada ajaran tertentu, sejatinya Gus Dur menembus batas
syariah yang paten dalam agama Islam, maka pandangan revolusioner Gus Dur
tentang pluralisme adalah “kebebasan” dalam meyakini doktrin agama tertentu yaitu
membuat garis persamaan antara agama agama, mengakui
sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, mengembangkan atau memperkaya
keadaan yang bersifat plural (Deep down, all religions are the
same-different paths leading to the same goal).[8]
Secara filosofis pluralisme lahir
dari rahim kesadaran teologis yang menempatkan manusia sebagai mahluk yang sama
di sisi Tuhan, sebuah wacana canggih yang berorientasi pada
superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan hegemoni
doktrin
agama, selain itu secara kacamata sosio-politis, “pluralisme” adalah bentuk
sistemik yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak
aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut;
hal itu berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat
yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial
lainnya.
Salah satu jasa yang dilakukan Gus
Dur adalah merawat warisan dari Wahid Hasyim ketika berperan pada sidang PPKI
dan sidang BPUPKI, yang menetapkan finalisasi NKRI dalam Muktamar di Samarinda
tahun 1937, yakni terbentuknya negara yang damai (biladi al-sa’adah) bukan
membentuk negara Islam atau daerah peperangan.[9] Gus
Dur menyadari betul bahwa masyarakat yang ada di Indonesia sangatlah beragam (multiple
society), dari kesadaran itulah Gus Dur mendapatkan penghargaan gelar Doktor
Honoris Causa dari berbagai negara salah
satunya, Ramon Magsasay Award, yang telah mendedikasikan dan mengkirstalisasi
wacana intelektual epistemologi pluralisme menjadi sebuah madzhab perdamaian
dunia, sebabnya, Gus Dur dijuluki Bapak Pembina Hubungan Antar Agama, yang
tidak hanya duduk di atas menara gading,
dengan membanggakan pangkat akademisnya.
Sumbu Radikalisme:
Sebuah Ambiguitas
Terhadap “Tafsir Pluralisme” dan Jihad
Keagamaan
...But Islam is ambiguous about violence.
Like all religions, Islam occasionally allows for force while stressing that
the main spiritual goal is one of nonviolenc and peace. (Mark Juergensmeyer)[10]
Sejarah sosial politik umat Islam membuktikan pada empat dekade
terakhir, dimana Islam mengarungi suatu fase “kritis” di tengah kedap kehidupan
yang mengalami krisis multi-dimensional. Dalam kurun waktu tersebut umat Islam melewati
jalan terjal bernama radikalisasi dan ekstrimisasi—ditandai dengan
mengelembungnya wacana “fundamentalisme Islam” sebuah tren gerakan Islam yang
sering menelorkan “kejutan” baik di tingkat lokal maupun di tingkat global.
Secara generalisasi metodologis akar
radikalisme memusat pada tiga aspek karakteristik yang melekat. Pertama, Islam
dianggap sebagai bangunan totalitas ideologi yang cenderung skripturalis
dalam memehami diskursus agama, sehingga tercipta pemahaman kaku dan “ambigu” teruma
dalam persoalan menafsirkan berbagai gerakan epistemologi yang lain, baik
persoalan pluralisme itu sendiri; kedua, krisis terhadap modernitas (modern
knowledge) perihal resistansi terhadap dominasi Barat; ketiga, membolehkan
aksi-aksi kekerasan (violent action) dengan cara mengaktifkan “jihat”
sebagai suatu gerakan masif yang terorganisir.[11]
Persoalan religious violence harus
ditarik pada konsep khas Islam yang berpotensi akan menjamurnya bentuk kekerasan,
baik kekerasn skriptualis dan jihad secara fisik itu sendiri. Dengan begitu,
konsep jihad dalam khazana Islam klasik maupun dalam interpretasi modern,
penting untuk dicermati karena hingga kini jihad dianggap paling kontroversial,
ambigu serta multi-interpretatif, yang berpretensi besar untuk memberi ruang
bagi eksploitasi dan mobilisasi massa kekerasan atas nama agama.[12] Dengan
begitu isu radikalisme agama telah menyedot perhatian komunitas internasional
sejak usai Perang Dingan (the Cold War).
Pada abad ke-20 dunia kemudian
dikejutkan dengan kebangkitan gerakan-gerakan baru di setiap agama besar di
dunia. Yang paling dominan ditandai dengan kebangkitan satu pemberontakan kaum
“fundamentalisme” agama melawan modernitas. Secara khusus Islam menarik
perhatian karena suksesnya Revolusi Iran tahun 1979 yang diikuti dengan
melimpahnya kajian mengenai kebangkitan Islam. Menurut Elizabeth Collins,
atensi media sengaja ditarik dan ditembakkan secara khusus pada gerakan
keagamaan dengan menggunakan bentuk kekerasan dalam mengekpresikan tuntutan
mereka. Inilah pada gilirannya menurut Husein Muhammad[13] yang
membutuhkan gerakan “deradikalisasi” ala Gus Dur, hingga melampaui konsep
konvensional dengan cara-cara menghindarkan, melerai, mengurangi, mencounter
dan atau menyelesaikan konflik—dedikasi seorang tokoh nasionalis—yang telah
menjadi Common Platform seluruh bangsa.
Kemudian, gejala belakangan
meretasnya sumbu radikalisme adalah kebutaan masyarakat dalam menafsirkan
pluralisme, penyebab utama adalah munculnya faham “liberalisme politik” di
Eropa pada abad ke-18, sebagian besar didorong kondisi masyarakat yang carut
marut akibat munculnya sikap-sikap intoleran dan konflik etnis, sektarian yang
pada akhirnya menyeret pada gelombang pertumpahan darah antar ras, sekte,
kelompok dan mazhab pada masa reformasi
keagamaan.[14]
Maka pluralisme itulah yang bagi Gus
Dur menancap tegak dalam tubuh NKRI menjadi ruh dan prinsip fundamentum
berdirinya persatuan dalam kemajemukan masyarakat multikultural di Indonesia. Sialnya,
kesadaran ini terpental oleh ideologi primordialisme, dogmatisme, dan
fundamentalisme agama yang secara perlahan menyobek nilai-nilai Pancasila.[15] Mau
tidak mau, harus menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa plural karena terdiri
dari suku, agama, ras, yang majemuk sehingga terjalin sebuah lanskap demokrasi
berlandaskan Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Kesadaran ini terlalu curam dalam pemahaman
masyarakat pluralis, teh condition of being multiple or plural, atau
secara filosofi pemahaman pluralisme adalah the doctrine that reality is
composed of many ultimate substances[16],untuk
menggambarkan realitas plural ini Majlis Ulama Indonesia misalkan, sampai
menfawakan haram dan sesat[17], sebuah
tidakan gegabah yang menurut Adian Husaini justru pemahaman MUI mengarah pula
pada satu bentuk perenial yang pada prinsipnya mengiyakan konsep pluralisme sebagai
bentuk ekspresi keimanan terhadap Tuhan, yang diamini oleh Alwi Shihab sebagai
pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas
beragama dan layak mendapat pahala dari Tuhan.[18] Senyatanya,
Franz Magnis Suseno memberikan stimulus terhadap wacana pluralisme yang sama
sekali tidak menuntut agar semua keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak
bicara tentang kebenaran, melaikan sikap keterbukaan.
Akhirnya, berbagai kesalahan dan
ambiguitas tafsir dalam pemahaman labirin pluralisme menimbulkan aksiologi
pengetahuan manusia terlihat mengarah pada fundamentalis-radikal, hal ini
disoroti seutuhnya oleh Dr. Anis Malik Thoha, dalam bukunya Adian Husaini, Pluralisme
Agama: Haram, baginya, pluralisme menimbulkan sebuah konsep agama baru yang
sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain, kondisi ini telah
meruntuhkan bangunan pluralisme yang dikonsepsikan Gus Dur selama tujuh tahun
terakhir dari meninggalnya bapak pluralisme itu. Berikut akan dijelaskan apa
maksud epistemologi perdamaian dan pluralisme yang dimaksud:
Epistemologi
Perdamain Islam Perspektif Gus Dur
Islam secara pengertian epistemologi
memiliki makna leksikal yang merujuk pada bentuk penyerahan diri (the self
transfer), yaitu kondisi pasrah, patuh dan tunduk kepada Allah.[19] Islam mengajarkan tentang kebaikan, sebagai way
of life; secara kaffa memberikan jalan leluasa kepada manusia untuk hidup
santun dan membuka pintu gerbang dalam melestarikan kehidupan yang harmonis.[20] Kondisi inilah yang menghasilkan
padangan hidup (Wold view);
egaliter—manusia mempunya derajat dan hak yang sama di muka bumi.
Andreas Kristianto dalam artikelnya “Gus
Dur; Jejak Guru Perdamain” memposisikan agama bukan barang ‘mandul’ akan
tetapi sesuatu yang aktif dan universal, memberikan cahaya cakrawala di tengah
kegelapan, agama punya peran otoritatif yang fundamental dalam membangun
peradaban dunia mutakhir terkait dengan isu perdamain, Hans Kung seorang tokoh
teolog Katholik pernah mengklaim bahwa tidak akan ada perdamain tanpa perdamain
antar agama. Disinilah pentingnya mengakui agama-agama di dunia.[21]
Perdamain yang diinginkan dalam
agama tidak lain adalah terjadinya jalinan harmoni yang dintandai dengan tingkat
presentase kurangnya kekerasan, perilaku konflik dan kebebasan dari rasa takut
akan kekerasan “teror”. Jika dikeruk pada akar permasalahannya “epistemologi
perdamain” yang ditawarkan oleh Gus Dur hakikatnya membutuhkan benih terhadap
study perdamaian lanjut dan resolusi konflik, yang didefinisikan sebagai
kondisi politik untuk mejamin terhadap keadilan dan stabilitas sosial melalui
lembaga lembaga, dan norma norma formal dan informal. Teori-teori tersebut bagi
para peneliti Hubungan Internasional terbagi bermacam-macam salah satunya
adalah teori yang dipopulerkan Gus Dur, “pluralisme.”[22] dalam
agama Islam kata pluralisme kurang dikenal, namun Islam lebih mengenal
perdamaian lewat kata “Al-Islah” yang berarti memperbaiki, mendamaikan,
dan menghilangkan sengketa atau kerusakan.[23]
Maka Islam secara prinsip
fundamental merupakan gerakan sosial yang massif untuk menggalang proses
perdamaian dan atau upaya mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban yang
moderat (tawassud), dengan begitu sekaligus Islam berusaha mengikis
habis sikap-sikap anarkisme di kalangan masyarakat, serta merevitalisasi
nilai-nilai agma rahmatan lil alamin yang terselubung di balik baju
idealisme agama Islam sepanjang konstelasi sejarah[24].
Ada banyak alasan untuk mengatakan
bahwa Islam adalah agama yang interes terhadap perdamaian, setidaknya ada tiga kategori
dan alasan yang perlu dikemukakan mengapa Islam mengimpikan perdamaian: (i) Islam
sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan, (ii) berikut tercamtum salah satu nama Tuhan dalam al-asma’
al-husna, Yang Mahadamai “al-salam”, (iii) kemudian yang terakhir, (peace)
perdamaian dan (wisdom) kebijaksanaan/ kasih sayang; sejumput keteladanan
yang langsung dicontohkan oleh Rasulullah. Bukti konkrit perhatian Islam terhadap
perdamain di lain sisi adalah dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah
al-madinah), perjanjian Hudaibah dan fakta perjanjian yang lain.
Bagi Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur, yang menjadi kegamangan dari pergumulan persoalan radikalisme agama yang
pertama, adalah pemahaman agama yang sangat dangkal dan tipis, terutama dalam
penafsiran teks al-Qur’an yang kaku, gejala ini berujung pada kekerasan
skriptual dan liberalisme pemikiran dan berujung pada bentuk tindakan. Kedua,
rendahnya mutu sumber daya manusia, kita dapat melongoh pada aktivitas
imperialisme dan kolonealisme yang begitu lama menjajah Indonesia. Ketiga,
sinisme kekuasaan yang didasari pertimbangan-pertimbangan geopolitik yang
mengedepankan egosentrisme. Maka formula yang dikonsepsikan secara global oleh
Gus Dur kelak bisa terwujudnya perdamaian melalui pergaulan antar bangsa yang
tidak hanya terbatas pada gerakan lokalitas semata (local wisdom).[25]
Sehingga Gus Dur memberikan batu loncatan
yang sangat jauh untuk mencapai cita cita bangsa, bertumpu pada membangun etika
global dan pemerintah yang baik (good governance), kemudian dilanjut
dengan cara perundingan sebagai penyelesaian terbaik mana kala terdapat
kepentingan yang saling bertabrakan atau tidak menguntungkan di antara kedua
belah pihak. Mazhab perdamaian yang diajarkan oleh Gus Dur kembali menyadarkan
kealfaan kita tentang pentingnya arti persamaan, keadilan, dan demokrasi yang
berhasil meletakkan batu dasar konsepsi multikultural dengan mengedepankan
ajaran toleransi dan semangat egaliter, serta semangat nasionalisme.
Pluralisme
Gus Dur:
Mazhab
Perdamaian dan Penangkal Formulasi Gerakan Radikalisme Agama Negara Indonesia adalah sketsa atau
gambaran riil kemajemukan dari suku bangsanya atas bangunan heterogenitas
budaya. Begitupula Indonesia sangat cocok bagi tumbuh suburnya perkembangan
corak keberagamaan dan ideologi yang sangat beragam, jika disebutkan terdapat banyak
agama yang di dalamnya hidup rukun, dan saling menghargai sebuah perbedaan, sebut
saja Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buhdha.[26] Agama
dan keyakinan yang dianut rakyat Indonesia merupakan common denominator dari
berbagai agama, sehingga dapat diterima semua agama dan keyakinan.[27] Tak
ayal bila dinamika tersebut menyemai kompleks pada persoalan pluralitas agama di
Indonesia. Situasi seperti inilah yang ditentang oleh KH. Wahid Hasyim, jika
rumusan piagam Jakarta, Juni 1945 menyebut dalam sila pertama ‘Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, karena tidak
sesuai dengan kondisi multikulturalisme dan kemajemukan masyarakat Indonesia.[28]
Namun, keberagaman tidak selamanya
berjalan mulus sesuai dengan yang dicita-citakan para pendiri bangsa (funding
founder), di balik perkabungan sejarah politik yang semakin carut marut tidak
menentu (1998) yakni adanya situasi dan kondisi transisional setelah jatuhnya
rezim Orba, lahirlah sebagian kelompok yang mengatasnamakan sebagai
trans-nasional atau radikalisme yang memiliki tujuan bentuk politik untuk
menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia
(NII),[29] selain
itu jejaring kelompok radikalisme ini telah memekarkan sebuah gerakan yang semakin
luas menyebar, baik ideologi yang digunakan sebagai landasan berpijak—kelanjutan
dari bagian ideologi transnasional yang bercirikan jihad dan takfiri—sehingga
dapat dibenarkan jika Agus Surya Bakti (2014) mendukung program pemerintah
untuk proses netralisasi menangkap radikalisme dan terorisme dengan cara cara deradikalisasi
yang memiliki empat tangga, yaitu identifikasi, rehabilitasi, redukasi, dan
resosialisasi.[30]
Melihat nomena yang demikian ironis,
Gus Dur mengkhawatirkan bahwa pluralisme sedang berada di ujung tanduk
keruntuhan; di tengah cobaan dan dalam kondisi sakit yang sekarat, banyaknya
kejadian yang menjadi penghalang dalam kebersamaan, menuntut perlu untuk merawat
pluralisme. Menurutnya, negara tidak mampu bertindak secara
tegas terhadap para kelompok antimultikultural dan antiplural yang melanggar
hukum, seolah negara membiarkan konstruksi “perang epistemologi” terjadi dalam
menyikapi makna multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia hingga terus
mengelinding dan merangksek masuk ke dalam sistemik negara.[31] Menurut
Anis Malik Thoha, adalah Seyyed Hossein Nasr yang paling bertanggung jawab
dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Kemudian
mencapai masa keemasannya di tangan Gus Dur seorang tokoh kaliber dunia yang
juga berpandangan moderat. Dengan alasan itu kekhawatiran Gus Dur membuncah,
baginya kegagalan mewujudkan gagasan pluralisme adalah kegagalan dalam
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.[32] Ketika para pakar sebut John Rawls mengkalim kemajemukan sebatas fakta (fact
of pluralism), Gus Dur menolaknya, dan memberikan sintesis dari berbagai
epestimologi sebagai keharusan (normative pluralism). Keberagaman,
baginya, adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama
halnya mengingkari pemberian ilahi.[33]
Selain hanya Gus Dur yang dipandang berhasil
mengenyam pendidikan di Barat dan mampu menetralisir gagasan pluralisme melalui
karya karya pemikir barat dengan cara menilik dinamika masyarakat Indonesia, juga
ditangan Gus Durlah gagasan pluralisme diterima, dengan bagitu kita wajib
mengakui adanya konsep pluralisme lewat komposisi utama yang dibangun oleh Gus
Dur, yaitu kebebasan, toleransi, persamaan, dan keadilan. Sebab itu Gus Dur dikenal sebagai bapak pembela
masyarakat minoritas yang tertindas, memperjuangkan hak kemanusian, pluralisme
dibangun atas sikap yang condong pada sisi kemanusiaan yang bersifat universal.
Gus Dur tidak memandang dari golongan apa atau kelompok siapa.
Dari beberapa tangga besar yang
perlu dinaiki, pertama, kebebasan, dari bentuk “kebebasan” inilah Gus
Dur mendambakan keberlangsungan hidup sebuah ‘komunitas merdeka’ (community
of freedom) dalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen. Komunitas
merdeka adalah jaminan bagi entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi hak
hidupnya dari intervensi kekuatan eksternal, tapi juga kesempatan
mengekspresikan identitasnya di ruang publik. Kedua, toleransi suatu
sikap saling menghargai kelompok kelompok atau antar individu tanpa adanya
aling-aling dan sekat status sosial.[34] Ketiga,
sikap egaliter atau anggapan bahwa manusia memiliki persamaan dan derajat
yang sama, serta memiliki hak-hak, perlu untuk dilindungi yang kemudian dirumuskan menjadi Hak Asasi
Manusia (HAM). Senada nengan perkataan Nabi “Tuhan tidak melihat tubuh dan
wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu.” Ketika diperas gagasan Gus Dur ini menarik
keintiman dalam membela kehormatan manusia, perjuangan besar yang diwariskan
oleh para Nabi.[35] Keempat,
keadilan yang dimaknai suatu rasa empati keberpihakkan kepada yang lemah
dan miskin (preferential option for the poor) adalah kewajiban moral
menegakkan keadilan dalam dunia yang tidak adil. Demi mewujudkan keadilan, Gus
Dur menentang dikotomi mayoritas-minoritas, karena mengandung meaning hirarki.[36]
Karena tidak bisa disumpal bahwa secara
geneologi sejarah munculnya pluralisme memang tidak akan bisa lepas dari sikap toleransi
dan pembelaan terhadap kaum minoritas. Toleransi tersebut ditandai oleh
genderang peperangan agama yang panjang di Eropa sekitar abad 15, sebelum
munculnya revolusi Perancis. Setelah agama-agama tersebut berdamai, hadirlah
istilah toleransi yang berarti tidak ada konflik antar agama dengan
artian menghargai dan memahami ajaran agama lain.[37]
Menurut Achmad Zainal Arifin, ada
dua aset besar gagasan pluralisme yang dibuktikan oleh Gus Dur di Indonesia, pertama,
adalah pribumisasi Islam sebagai jalinan intim bertemunya agama dengan budaya
yang dikenal dengan istilah al-muhafadatu
bi al-qadimi al-shaleh wal-ahdzu bil jadid al-ashlah. Kedua, melalui
jalur islamisasi Jawa, menurut Ricklefs, Indonesia pada umumnya tidak monolog
dan satu warna. Ada banyak varian dan aspirasi Islam,[38]Azyumardi Azra, meninjau bahwa demikianlah Islam menulusup
masuk ke Nusantara, dengan cara-cara damai dan santun.[39] Dengan cara-cara yang bebas dari kekerasan dan
pertumpahan darah, Islam dapat diterima di bumi Nusantara, semangat islamisasi
yang dibawa Wali Songo itulah kemudian dipinang Gus Dur, dan mengkristal membentuk
gagasan pluralisme bahwa alfa-beta
ajaran agama seutuhnya tidak
lain adalah seperangkat etik-moral yang harus
dilabuhkan dalam berbagai
ragam kenyataan yang universal dan menjadi
dasar sikap bernegara.
Wallahua’lam...
DAFTAR
PUSTAKA
Thoha, Anis Malik,
Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Prespektif GEMA Insani, Jakarta,
2005.
Husaini, Adian, Pluralisme
Agama Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam
Terhadap Paham Pluralisme Agama), Adabiy Press, 2012.
Baso, Ahmad, Islam
Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, (Jilid I), Pustaka
Afid, Jakarta, Cet. I, 2015.
Muhammd, Husein, Sang Zahid: Mengarungi
Sufisme Gus Dur, LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012.
Machasin, Islam Dinamis
Islam Harmonis, LkiS Yogyakarta, Cet. I, 2011.
Rajab, Kharunnas, Agama Kebahagiaan,
Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2012.
Bamualim, Chaider S, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan
Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004.
Hermanita, Karlina, Pluralisme
dan Inklusivisme Islam di Indonesia: Ke Arah Dialog Lintas Agama, PBB UIN,
Ciputat Jakarta, Cet. II, Desember, 2004.
Muhyi, Nawaf, dkk. Pemuda
& 4 Pilar Kebangsaan, Cendikia Publishing, Lumajang, Cet. I, 2015.
M.C. Riclefs, Mengislamkan
Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang, terj.
F.X. Dono Sunardi, Serambi, November 2013.
Bakti, Agus Surya, Merintis
Jalan Mencegah Terorisme (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta, Semarak Lautan
Warna, 2014.
Journal Website:
www.aifis-digilib.org, Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia,
AIFIS Serial Discussion, 2015.
http://www.gusdurian.net/id/article/Gus-Dur-dan-Toleransi, http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan
[1]Inslam transnasional ini
muncul seiring bergulirnya reformasi politik di Indonesia tahun 1998, yang
ditandai dengan munculnya kekerasa,
pengkafiran sesama Islam, pemaksaan keyakinan. Lebih jelasnya lihat di http://yayasanalkahfi.or.id/index.php,
diakses pada tanggal 25 November 2016.
[5]Multikulturalisme adalah
suatu pemahaman yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya
lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. lihat
Journal Website: www.aifis-digilib.org, hlm. 02. Lebih lanjut model
multikultural di jelaskan dalam Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia)
adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Selain itu tercantum pada Pasal 18
B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, dan Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya”.
[10] Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan
Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004, hlm,1
[12] Ibid, Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme.. hlm, 3-4. kekerasan atas nama agama
terbesar sepanjang masa, dimana terosisme berhasil mengemparkan Amerika
Serikat, yaitu aksi terorisme Islam Amrozy dan
kawan-kawannya, pada tanggal 12 Oktober 2002, yang ditandai dengan robohnya
gedung Word Trade Centre (Pusat Perdagangan Dunia), lihat dalam buku
Ridwan al-Makassary, Terorisme Berjubah Agama, PBB UIN, Jakarta, Cet.
II, 2004, hlm, 3.
[13]Lihat http://www.gusdurian.net/id/article/all-categories/Gus-Dur-dan-Radikalisme,
diakses pada tanggal, 23 November 2016 M.
[15]Lihat dalam http://fianroger.wordpress.com/2010/02/13/gus-dur-yang-pluralis-dan-wacana-pluralisme-indonesia,
diakses pada tanggal 23 November 2016, pukul 11.38.
[17]Fatwa MUI Nomer: 7/ MUNAS
VII/ MUI/II/2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama,
menetapkan fatwa haram atas dasar dua ketentuan. Pertama, berdasarkan
ketentuan umum pluralisme yang dimaksud dalam fatwa ini adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya setiap kebenaran dalam
agama adalah relatif. Kedua, setiap pemeluk agama akan hidup
berdampingan di surga.
[18]Lihat dalam tulisan http://saidaneffemdi-darussalam.blogspot.co.id/2011/10/pandangan-tokoh-liberal,
diakses pada tanggal 23 November 2016 M.
[21] http://www.gusdurian.net/id/article/opini/GUS-DUR-JEJAK-GURU-PERDAMAIAN,
diakses pada tanggal 23 November 2016, pukul 15-18.
[22]http://www.academia.edu/9855593/Perdamaian_menurut_Teori_Marxis_Struktrualis,
diakses pada tanggal 23 November 2016 M.
[23]Dalam pengertian s
yari’ah dirumuskan sebagai berikut: perdamaian adalah “suatu jenis akad
(perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan)”, menurut Imam Taqiy
al-Din Abu Bakar Ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayatu Akhyar,
mengartikan dengan bentuk Ash-Shulhu;
yaitu akad yang memutuskan perselisihan antara dua pihak yang berselisih. Di
kalangan umat islam dulu dikenal dengan tahkim yaitu orang yang mereka
sepakati menyelesaikan sengketa.
[24] Lihat dalam tulisan http://lenkamas.blogspot.co.id/2012/11/perdamaian-dalam-islam,
diakses pada tanggal 23 November 2016.
[25]Lihat dalam tulisan http://jalandamai.org/mazhab-perdamain-gus-dur,
diakses pada tanggal 23 November 2016.
[29] Gerakan radikalisme agama sudah dilakukan
sejak tahun 1950-an, di bawah kendali Kartosuwiryo, namun kemudian gagal karena
dapat ditumpas oleh TNI, beberapa upaya yang dilakukan adalah aksi teror oleh para pendukung DI/TII, seperti Peristiwa Cicendo,
Bandung (1981), pembajakan Pesawat Garuda DC-9, Woyla, di Bangkok (1981), dan
aksi teror pasca-reformasi Natal 2000 di berbagai Gereja di Indonesia. Lebih
jelasnya lihat dalam tulisan, http://arrahmahnews.com/2016/08/11/ancaman-radikalisme-islam-di-indonesia,
diakses pada tanggal 23 November 2016, pukul 20.38 Wib.
[34]http://www.gusdurian.net/id/article/Gus-Dur-dan-Toleransi,
diakses pada tanggal 24 November 2016, pukul 10.13 Wib.
[35]Husein Muhammd, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur,
LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012, hlm. 55-56
[36]http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan,
diakses pada tanggal 24 November 2016.
[37]Anis Malik Toha, Tren
Pluralisme Agama...,hlm, 16. Pemikiran pluralisme pertama
kali muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa,
tepatnya pada abad ke-18 M, masa yang disebut sebagai titik permulaan
bangkitnya gerakan pemikiran modern. Masa ini diwarnai dengan gagasan-gagasan
baru pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme)
dan pembebasan akal dari kungkungan doktrin agama. Kemudian munculah paham liberalisme
yang di dalamnya memuat gagasan tentang kebebasan, toleransi, persamaan dan
keragaman atau pluralisme.
0 Response to "GUS DUR DAN PLURALISME; Sebuah Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia"
Post a Comment
Terimkasih...