-->

GUS DUR DAN PLURALISME; Sebuah Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia

Gambar oleh: http://forum.detik.com
Pendahuluan
            Islam yang lahir membawa misi penyelamat dan perdamaian rahmatan lil alamin adalah bagian etos-epistemologi masyarakat yang makin ternodai dengan praktik ke-agama-an yang menyimpang dari subtansi “perdamaian” itu sendiri. Adanya praktek kejahatan terorisme dan radikalisme yang memasang badan sebagai agama Islam, sebut Islam tans-nasional yang menekankan otentisitas doktrin keagamaan dan eksklusivitas kelompok, anti-tradisi, dan kerap mengusung ide-ide islamisme dengan menarik penafsiran dikotomi terhadap agama adalah bukti rentetan buramnya kesejarahan atas penolakan terhadap negara yang multikultural, multietnis, dan multi agama.[1]
            Fenomena tersebut bisa ditonton pada mutakhir ini yang mana menurut Achmad Zainal Arifin[2], mengatakan bahwa Indonesia berada di atas batas ambang kerawanan terhadap pengaruh fundamentalis-radikalisme dan aksi-terorisme.[3] Sebut saja, kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah yang terjadi sampai 15 kali dari tahun 2010 hingga 2011, kekeraasan terhadap Jama’ah Qiyadah al-Islamiyah Siroj Jaziroh di Padang Sumatra Barat tahun 2007, sampai kekerasan terhap Jemaat Gereja di Bandung Jawa Barat tahun 1995, 1999, 2005 hingga 2007. Selain itu juga tindakan diskriminasi pada penduduk Syi’ah di Sampang tahun 2013, kasus kekerasan terhadap umat katolik di Sleman Yogyakarta, tahun 2014, sampai penyerangan kaum Kristiani terhadap warga Muslim saat dalam suasana Idul Fitri tahun 2015 yang lalu.[4] Sebabnya, hembusan radikalisme agama sampai saat ini menjadi corong terbentuknya kelompok kelompok ekstremisme (tatharrufiyah) dan kekerasan (al-unfiyah) yang merugikan kelompok lain  dan juga merugikan terhadap negara.
            Oleh karenanya, bagi Gus Dur Indonesia adalah negara yang harus mengakui keberagaman dan keberagamaan. Sebuah negara yang berdiri kokoh di atas keanekaragaman multikulturalisme[5], ras, suku, etnis, dan agama yang diejawantahkan dalam prinsip “Bhineka Tunggal Ika”, serta membutuhkan kesadaran majemuk sejak Indonesia sudah terbentuk menjadi negara merdeka. Namun, hingga pada gilirannya negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok antimultikultural dan antiplural yang melanggar hukum, seolah negara membiarkan “perang epistemologi” terjadi terutama dalam menyikapi makna multikulturalisme dan pluralisme hingga terus mengelinding menjurus pada ranah konflik fisik dan ideologi yang menimbulkan perpecahan.[6]
            Hingga di tangan Gus Dur yang dikenal bapak pluralisme dan tokoh nasionalis ini agama menjadi satu mega proyek pembangunan ajaran yang cinta terhadap perdamaian, sebuah toleransi universal yang bisa merangkum semua elemen spesies dan atau kelompok kelompok yang berbeda.   
            Sejatinya, Gus Dur telah menghasilkan langkah raksasa dengan ijtihad pluralisme yang tidak mengklaim kebenaran tentang agama Islam secara otoritas, Charles Kimball, membenarkan bahwa agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) adalah ciri agama jahat (evil)[7] yang (mungkin) satu tarikan nafas dengan Islam radikalisme, disitulah Gus Dur membuka celah pintu ijtihad epistemologi untuk mengakui keberagamaan dan perbedaan.  
            Di balik wacana epistemologi perdamaian tentang pluralisme yang diusung oleh Gus Dur ada doktrin pembebasan yang tidak inklusive pada ajaran tertentu, sejatinya Gus Dur menembus batas syariah yang paten dalam agama Islam, maka pandangan revolusioner Gus Dur tentang pluralisme adalah “kebebasan” dalam meyakini doktrin agama tertentu yaitu membuat garis persamaan antara agama agama, mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural (Deep down, all religions are the same-different paths leading to the same goal).[8]   
            Secara filosofis pluralisme lahir dari rahim kesadaran teologis yang menempatkan manusia sebagai mahluk yang sama di sisi Tuhan, sebuah wacana canggih yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan hegemoni doktrin agama, selain itu secara kacamata sosio-politis, “pluralisme” adalah bentuk sistemik yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut; hal itu berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya.
            Salah satu jasa yang dilakukan Gus Dur adalah merawat warisan dari Wahid Hasyim ketika berperan pada sidang PPKI dan sidang BPUPKI, yang menetapkan finalisasi NKRI dalam Muktamar di Samarinda tahun 1937, yakni terbentuknya negara yang damai (biladi al-sa’adah) bukan membentuk negara Islam atau daerah peperangan.[9] Gus Dur menyadari betul bahwa masyarakat yang ada di Indonesia sangatlah beragam (multiple society), dari kesadaran itulah Gus Dur mendapatkan penghargaan gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai negara salah satunya, Ramon Magsasay Award, yang telah mendedikasikan dan mengkirstalisasi wacana intelektual epistemologi pluralisme menjadi sebuah madzhab perdamaian dunia, sebabnya, Gus Dur dijuluki Bapak Pembina Hubungan Antar Agama, yang tidak hanya duduk di atas menara gading, dengan membanggakan pangkat akademisnya.

Sumbu Radikalisme:
Sebuah Ambiguitas Terhadap “Tafsir  Pluralisme” dan Jihad Keagamaan
...But Islam is ambiguous about violence. Like all religions, Islam occasionally allows for force while stressing that the main spiritual goal is one of nonviolenc and peace. (Mark  Juergensmeyer)[10]

            Sejarah  sosial politik  umat Islam membuktikan pada empat dekade terakhir, dimana Islam mengarungi suatu fase “kritis” di tengah kedap kehidupan yang mengalami krisis multi-dimensional. Dalam kurun waktu tersebut umat Islam melewati jalan terjal bernama radikalisasi dan ekstrimisasi—ditandai dengan mengelembungnya wacana “fundamentalisme Islam” sebuah tren gerakan Islam yang sering menelorkan “kejutan” baik di tingkat lokal maupun di tingkat global.
            Secara generalisasi metodologis akar radikalisme memusat pada tiga aspek karakteristik yang melekat. Pertama, Islam dianggap sebagai bangunan totalitas ideologi yang cenderung skripturalis dalam memehami diskursus agama, sehingga tercipta pemahaman kaku dan “ambigu” teruma dalam persoalan menafsirkan berbagai gerakan epistemologi yang lain, baik persoalan pluralisme itu sendiri; kedua, krisis terhadap modernitas (modern knowledge) perihal resistansi terhadap dominasi Barat; ketiga, membolehkan aksi-aksi kekerasan (violent action) dengan cara mengaktifkan “jihat” sebagai suatu gerakan masif yang terorganisir.[11]
            Persoalan religious violence harus ditarik pada konsep khas Islam yang berpotensi akan menjamurnya bentuk kekerasan, baik kekerasn skriptualis dan jihad secara fisik itu sendiri. Dengan begitu, konsep jihad dalam khazana Islam klasik maupun dalam interpretasi modern, penting untuk dicermati karena hingga kini jihad dianggap paling kontroversial, ambigu serta multi-interpretatif, yang berpretensi besar untuk memberi ruang bagi eksploitasi dan mobilisasi massa kekerasan atas nama agama.[12] Dengan begitu isu radikalisme agama telah menyedot perhatian komunitas internasional sejak usai Perang Dingan (the Cold War).
            Pada abad ke-20 dunia kemudian dikejutkan dengan kebangkitan gerakan-gerakan baru di setiap agama besar di dunia. Yang paling dominan ditandai dengan kebangkitan satu pemberontakan kaum “fundamentalisme” agama melawan modernitas. Secara khusus Islam menarik perhatian karena suksesnya Revolusi Iran tahun 1979 yang diikuti dengan melimpahnya kajian mengenai kebangkitan Islam. Menurut Elizabeth Collins, atensi media sengaja ditarik dan ditembakkan secara khusus pada gerakan keagamaan dengan menggunakan bentuk kekerasan dalam mengekpresikan tuntutan mereka. Inilah pada gilirannya menurut Husein Muhammad[13] yang membutuhkan gerakan “deradikalisasi” ala Gus Dur, hingga melampaui konsep konvensional dengan cara-cara menghindarkan, melerai, mengurangi, mencounter dan atau menyelesaikan konflik—dedikasi seorang tokoh nasionalis—yang telah menjadi Common Platform seluruh bangsa.  
            Kemudian, gejala belakangan meretasnya sumbu radikalisme adalah kebutaan masyarakat dalam menafsirkan pluralisme, penyebab utama adalah munculnya faham “liberalisme politik” di Eropa pada abad ke-18, sebagian besar didorong kondisi masyarakat yang carut marut akibat munculnya sikap-sikap intoleran dan konflik etnis, sektarian yang pada akhirnya menyeret pada gelombang pertumpahan darah antar ras, sekte, kelompok dan  mazhab pada masa reformasi keagamaan.[14]
            Maka pluralisme itulah yang bagi Gus Dur menancap tegak dalam tubuh NKRI menjadi ruh dan prinsip fundamentum berdirinya persatuan dalam kemajemukan masyarakat multikultural di Indonesia. Sialnya, kesadaran ini terpental oleh ideologi primordialisme, dogmatisme, dan fundamentalisme agama yang secara perlahan menyobek nilai-nilai Pancasila.[15] Mau tidak mau, harus menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa plural karena terdiri dari suku, agama, ras, yang majemuk sehingga terjalin sebuah lanskap demokrasi berlandaskan Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
            Kesadaran ini terlalu curam dalam pemahaman masyarakat pluralis, teh condition of being multiple or plural, atau secara filosofi pemahaman pluralisme adalah the doctrine that reality is composed of many ultimate substances[16],untuk menggambarkan realitas plural ini Majlis Ulama Indonesia misalkan, sampai menfawakan haram dan sesat[17], sebuah tidakan gegabah yang menurut Adian Husaini justru pemahaman MUI mengarah pula pada satu bentuk perenial yang pada prinsipnya mengiyakan konsep pluralisme sebagai bentuk ekspresi keimanan terhadap Tuhan, yang diamini oleh Alwi Shihab sebagai pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan layak mendapat pahala dari Tuhan.[18] Senyatanya, Franz Magnis Suseno memberikan stimulus terhadap wacana pluralisme yang sama sekali tidak menuntut agar semua keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran, melaikan sikap keterbukaan.
            Akhirnya, berbagai kesalahan dan ambiguitas tafsir dalam pemahaman labirin pluralisme menimbulkan aksiologi pengetahuan manusia terlihat mengarah pada fundamentalis-radikal, hal ini disoroti seutuhnya oleh Dr. Anis Malik Thoha, dalam bukunya Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, baginya, pluralisme menimbulkan sebuah konsep agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain, kondisi ini telah meruntuhkan bangunan pluralisme yang dikonsepsikan Gus Dur selama tujuh tahun terakhir dari meninggalnya bapak pluralisme itu. Berikut akan dijelaskan apa maksud epistemologi perdamaian dan pluralisme yang dimaksud: 

Epistemologi Perdamain  Islam Perspektif  Gus Dur
            Islam secara pengertian epistemologi memiliki makna leksikal yang merujuk pada bentuk penyerahan diri (the self transfer), yaitu kondisi pasrah, patuh dan tunduk kepada Allah.[19] Islam mengajarkan tentang kebaikan, sebagai way of life; secara kaffa memberikan jalan leluasa kepada manusia untuk hidup santun dan membuka pintu gerbang dalam melestarikan kehidupan yang harmonis.[20] Kondisi inilah yang menghasilkan padangan hidup (Wold view); egaliter—manusia mempunya derajat dan hak yang sama di muka bumi.
            Andreas Kristianto dalam artikelnya “Gus Dur; Jejak Guru Perdamain” memposisikan agama bukan barang ‘mandul’ akan tetapi sesuatu yang aktif dan universal, memberikan cahaya cakrawala di tengah kegelapan, agama punya peran otoritatif yang fundamental dalam membangun peradaban dunia mutakhir terkait dengan isu perdamain, Hans Kung seorang tokoh teolog Katholik pernah mengklaim bahwa tidak akan ada perdamain tanpa perdamain antar agama. Disinilah pentingnya mengakui agama-agama di dunia.[21]        
            Perdamain yang diinginkan dalam agama tidak lain adalah terjadinya jalinan harmoni yang dintandai dengan tingkat presentase kurangnya kekerasan, perilaku konflik dan kebebasan dari rasa takut akan kekerasan “teror”. Jika dikeruk pada akar permasalahannya “epistemologi perdamain” yang ditawarkan oleh Gus Dur hakikatnya membutuhkan benih terhadap study perdamaian lanjut dan resolusi konflik, yang didefinisikan sebagai kondisi politik untuk mejamin terhadap keadilan dan stabilitas sosial melalui lembaga lembaga, dan norma norma formal dan informal. Teori-teori tersebut bagi para peneliti Hubungan Internasional terbagi bermacam-macam salah satunya adalah teori yang dipopulerkan Gus Dur, “pluralisme.”[22] dalam agama Islam kata pluralisme kurang dikenal, namun Islam lebih mengenal perdamaian lewat kata “Al-Islah” yang berarti memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan.[23]
            Maka Islam secara prinsip fundamental merupakan gerakan sosial yang massif untuk menggalang proses perdamaian dan atau upaya mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban yang moderat (tawassud), dengan begitu sekaligus Islam berusaha mengikis habis sikap-sikap anarkisme di kalangan masyarakat, serta merevitalisasi nilai-nilai agma rahmatan lil alamin yang terselubung di balik baju idealisme agama Islam sepanjang konstelasi sejarah[24].
            Ada banyak alasan untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama yang interes terhadap perdamaian, setidaknya ada tiga kategori dan alasan yang perlu dikemukakan mengapa Islam mengimpikan perdamaian: (i) Islam sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan, (ii) berikut  tercamtum salah satu nama Tuhan dalam al-asma’ al-husna, Yang Mahadamai “al-salam”, (iii) kemudian yang terakhir, (peace) perdamaian dan (wisdom) kebijaksanaan/ kasih sayang; sejumput keteladanan yang langsung dicontohkan oleh Rasulullah. Bukti konkrit perhatian Islam terhadap perdamain di lain sisi adalah dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah), perjanjian Hudaibah dan fakta perjanjian yang lain.
            Bagi Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang menjadi kegamangan dari pergumulan persoalan radikalisme agama yang pertama, adalah pemahaman agama yang sangat dangkal dan tipis, terutama dalam penafsiran teks al-Qur’an yang kaku, gejala ini berujung pada kekerasan skriptual dan liberalisme pemikiran dan berujung pada bentuk tindakan. Kedua, rendahnya mutu sumber daya manusia, kita dapat melongoh pada aktivitas imperialisme dan kolonealisme yang begitu lama menjajah Indonesia. Ketiga, sinisme kekuasaan yang didasari pertimbangan-pertimbangan geopolitik yang mengedepankan egosentrisme. Maka formula yang dikonsepsikan secara global oleh Gus Dur kelak bisa terwujudnya perdamaian melalui pergaulan antar bangsa yang tidak hanya terbatas pada gerakan lokalitas semata (local wisdom).[25]
            Sehingga Gus Dur memberikan batu loncatan yang sangat jauh untuk mencapai cita cita bangsa, bertumpu pada membangun etika global dan pemerintah yang baik (good governance), kemudian dilanjut dengan cara perundingan sebagai penyelesaian terbaik mana kala terdapat kepentingan yang saling bertabrakan atau tidak menguntungkan di antara kedua belah pihak. Mazhab perdamaian yang diajarkan oleh Gus Dur kembali menyadarkan kealfaan kita tentang pentingnya arti persamaan, keadilan, dan demokrasi yang berhasil meletakkan batu dasar konsepsi multikultural dengan mengedepankan ajaran toleransi dan semangat egaliter, serta semangat nasionalisme.

Pluralisme Gus Dur:
Mazhab Perdamaian dan Penangkal Formulasi Gerakan Radikalisme Agama            Negara Indonesia adalah sketsa atau gambaran riil kemajemukan dari suku bangsanya atas bangunan heterogenitas budaya. Begitupula Indonesia sangat cocok bagi tumbuh suburnya perkembangan corak keberagamaan dan ideologi yang sangat beragam, jika disebutkan terdapat banyak agama yang di dalamnya hidup rukun, dan saling menghargai sebuah perbedaan, sebut saja Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buhdha.[26] Agama dan keyakinan yang dianut rakyat Indonesia merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat diterima semua agama dan keyakinan.[27] Tak ayal bila dinamika tersebut menyemai kompleks pada persoalan pluralitas agama di Indonesia. Situasi seperti inilah yang ditentang oleh KH. Wahid Hasyim, jika rumusan piagam Jakarta, Juni 1945 menyebut dalam sila pertama ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, karena tidak sesuai dengan kondisi multikulturalisme dan kemajemukan masyarakat Indonesia.[28]
            Namun, keberagaman tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan yang dicita-citakan para pendiri bangsa (funding founder), di balik perkabungan sejarah politik yang semakin carut marut tidak menentu (1998) yakni adanya situasi dan kondisi transisional setelah jatuhnya rezim Orba, lahirlah sebagian kelompok yang mengatasnamakan sebagai trans-nasional atau radikalisme yang memiliki tujuan bentuk politik untuk menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia (NII),[29] selain itu jejaring kelompok radikalisme ini telah memekarkan sebuah gerakan yang semakin luas menyebar, baik ideologi yang digunakan sebagai landasan berpijak—kelanjutan dari bagian ideologi transnasional yang bercirikan jihad dan takfiri—sehingga dapat dibenarkan jika Agus Surya Bakti (2014) mendukung program pemerintah untuk proses netralisasi menangkap radikalisme dan terorisme dengan cara cara deradikalisasi yang memiliki empat tangga, yaitu identifikasi, rehabilitasi, redukasi, dan resosialisasi.[30]
            Melihat nomena yang demikian ironis, Gus Dur mengkhawatirkan bahwa pluralisme sedang berada di ujung tanduk keruntuhan; di tengah cobaan dan dalam kondisi sakit yang sekarat, banyaknya kejadian yang menjadi penghalang dalam kebersamaan, menuntut perlu untuk merawat pluralisme. Menurutnya, negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok antimultikultural dan antiplural yang melanggar hukum, seolah negara membiarkan konstruksi “perang epistemologi” terjadi dalam menyikapi makna multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia hingga terus mengelinding dan merangksek masuk ke dalam sistemik negara.[31] Menurut Anis Malik Thoha, adalah Seyyed Hossein Nasr yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Kemudian mencapai masa keemasannya di tangan Gus Dur seorang tokoh kaliber dunia yang juga berpandangan moderat. Dengan alasan itu kekhawatiran Gus Dur membuncah, baginya kegagalan mewujudkan gagasan pluralisme adalah kegagalan dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.[32] Ketika para pakar sebut John Rawls mengkalim kemajemukan sebatas fakta (fact of pluralism), Gus Dur menolaknya, dan memberikan sintesis dari berbagai epestimologi sebagai keharusan (normative pluralism). Keberagaman, baginya, adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian ilahi.[33]
            Selain hanya Gus Dur yang dipandang berhasil mengenyam pendidikan di Barat dan mampu menetralisir gagasan pluralisme melalui karya karya pemikir barat dengan cara menilik dinamika masyarakat Indonesia, juga ditangan Gus Durlah gagasan pluralisme diterima, dengan bagitu kita wajib mengakui adanya konsep pluralisme lewat komposisi utama yang dibangun oleh Gus Dur, yaitu kebebasan, toleransi, persamaan, dan keadilan. Sebab itu Gus Dur dikenal sebagai bapak pembela masyarakat minoritas yang tertindas, memperjuangkan hak kemanusian, pluralisme dibangun atas sikap yang condong pada sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Gus Dur tidak memandang dari golongan apa atau kelompok siapa.   
            Dari beberapa tangga besar yang perlu dinaiki, pertama, kebebasan, dari bentuk “kebebasan” inilah Gus Dur mendambakan keberlangsungan hidup sebuah ‘komunitas merdeka’ (community of freedom) dalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen. Komunitas merdeka adalah jaminan bagi entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi hak hidupnya dari intervensi kekuatan eksternal, tapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik. Kedua, toleransi suatu sikap saling menghargai kelompok kelompok atau antar individu tanpa adanya aling-aling dan sekat status sosial.[34] Ketiga, sikap egaliter atau anggapan bahwa manusia memiliki persamaan dan derajat yang sama, serta memiliki hak-hak, perlu untuk dilindungi  yang kemudian dirumuskan menjadi Hak Asasi Manusia (HAM). Senada nengan perkataan Nabi “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu.” Ketika diperas gagasan Gus Dur ini menarik keintiman dalam membela kehormatan manusia, perjuangan besar yang diwariskan oleh para Nabi.[35] Keempat, keadilan yang dimaknai suatu rasa empati keberpihakkan kepada yang lemah dan miskin (preferential option for the poor) adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tidak adil. Demi mewujudkan keadilan, Gus Dur menentang dikotomi mayoritas-minoritas, karena mengandung meaning hirarki.[36]
            Karena tidak bisa disumpal bahwa secara geneologi sejarah munculnya pluralisme memang tidak akan bisa lepas dari sikap toleransi dan pembelaan terhadap kaum minoritas. Toleransi tersebut ditandai oleh genderang peperangan agama yang panjang di Eropa sekitar abad 15, sebelum munculnya revolusi Perancis. Setelah agama-agama tersebut berdamai, hadirlah istilah toleransi yang berarti tidak ada konflik antar agama dengan artian menghargai dan memahami ajaran agama lain.[37]
            Menurut Achmad Zainal Arifin, ada dua aset besar gagasan pluralisme yang dibuktikan oleh Gus Dur di Indonesia, pertama, adalah pribumisasi Islam sebagai jalinan intim bertemunya agama dengan budaya yang dikenal dengan istilah al-muhafadatu  bi al-qadimi al-shaleh wal-ahdzu bil jadid al-ashlah.  Kedua, melalui jalur islamisasi Jawa, menurut Ricklefs, Indonesia pada umumnya tidak monolog dan satu warna. Ada banyak varian dan aspirasi Islam,[38]Azyumardi Azra, meninjau bahwa demikianlah Islam menulusup masuk ke Nusantara, dengan cara-cara damai dan santun.[39] Dengan cara-cara yang bebas dari kekerasan dan pertumpahan darah, Islam dapat diterima di bumi Nusantara, semangat islamisasi yang dibawa Wali Songo itulah kemudian dipinang Gus Dur, dan mengkristal membentuk gagasan pluralisme bahwa alfa-beta ajaran agama seutuhnya tidak lain adalah seperangkat etik-moral yang harus dilabuhkan dalam berbagai ragam kenyataan yang universal dan menjadi dasar sikap bernegara.
            Wallahua’lam...

           



DAFTAR PUSTAKA
            Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Prespektif GEMA Insani, Jakarta, 2005.
            Husaini, Adian, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama), Adabiy Press, 2012.
                Baso, Ahmad, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, (Jilid I), Pustaka Afid, Jakarta, Cet. I, 2015.
Muhammd, Husein, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012.
            Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, LkiS Yogyakarta, Cet. I, 2011.
                Rajab,  Kharunnas, Agama Kebahagiaan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2012.
Bamualim, Chaider S, Fundamentalisme  Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004.  
                Hermanita, Karlina, Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia: Ke Arah Dialog Lintas Agama, PBB UIN, Ciputat Jakarta, Cet. II, Desember, 2004.
            Muhyi, Nawaf, dkk. Pemuda & 4 Pilar Kebangsaan, Cendikia Publishing, Lumajang, Cet. I, 2015.
            M.C. Riclefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang, terj. F.X. Dono Sunardi, Serambi, November 2013.
                Bakti, Agus Surya, Merintis Jalan Mencegah Terorisme (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta, Semarak Lautan Warna, 2014.
            Journal Website: www.aifis-digilib.org, Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia, AIFIS Serial Discussion, 2015.       
                         


                [1]Inslam transnasional ini muncul seiring bergulirnya reformasi politik di Indonesia tahun 1998, yang ditandai dengan  munculnya kekerasa, pengkafiran sesama Islam, pemaksaan keyakinan. Lebih jelasnya lihat di http://yayasanalkahfi.or.id/index.php, diakses pada tanggal 25 November 2016.
                [2]Adalah Dosen, Ketua PPISH UIN Sunan Kalijaga, tulisannya “Membela yang Lemah: Menggali Ide Pluralisme Gusdur”, disampaikan dalam Dikusi Serial Tokoh Pluralisme Indonesia, di Kampus UIN Sunan Kalijaga, 19 September 2014.              
                [3]Penelitian yang dilakukan PPIM (2011) menunujukkan bahwa sekitar 60,4% responden mendukung tindakan kekerasan dan intoleransi.
                [4]Moh. Royhan Fajar, Ijtihad Melawan Radikalisme Agama Di Indonesia: Post-Tradisionalisme, Formulasi Gerakan Pemuda dalam Merajut Islam Indonesia, diterbitkan oleh Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII), Surabaya..  
                [5]Multikulturalisme adalah suatu pemahaman yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. lihat Journal Website: www.aifis-digilib.org, hlm. 02. Lebih lanjut model multikultural di jelaskan dalam Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Selain itu tercantum pada Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, dan Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
                [6]Lihat dalam Journal Website: www.aifis-digilib.org, Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia, AIFIS Serial Discussion, 2015, hlm. 04.
                [7]Adian Husaini, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama), Adabiy Press, 2012. bisa diakses di http://www. adianhusaini.com, hlm. 02.
                [8] Adian Husaini...., hlm, 04
[9] Ibid, Adian Husaini...., hlm. 07.
[10] Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme  Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004, hlm,1
[11]Ibid, Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme..hlm, 2-3.
                [12] Ibid, Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme.. hlm, 3-4. kekerasan atas nama agama terbesar sepanjang masa, dimana terosisme berhasil mengemparkan Amerika Serikat, yaitu aksi terorisme Islam Amrozy dan kawan-kawannya, pada tanggal 12 Oktober 2002, yang ditandai dengan robohnya gedung Word Trade Centre (Pusat Perdagangan Dunia), lihat dalam buku Ridwan al-Makassary, Terorisme Berjubah Agama, PBB UIN, Jakarta, Cet. II, 2004, hlm, 3.  
                [13]Lihat http://www.gusdurian.net/id/article/all-categories/Gus-Dur-dan-Radikalisme, diakses pada tanggal, 23 November 2016 M.  
                [14]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, GEMA Insani, Jakarta, 2005, hlm, 17.
                [15]Lihat dalam http://fianroger.wordpress.com/2010/02/13/gus-dur-yang-pluralis-dan-wacana-pluralisme-indonesia, diakses pada tanggal 23 November 2016, pukul 11.38.  
                [16]Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, LkiS Yogyakarta, Cet. I, 2011. hlm, 320.
                [17]Fatwa MUI Nomer: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama, menetapkan fatwa haram atas dasar dua ketentuan. Pertama, berdasarkan ketentuan umum pluralisme yang dimaksud dalam fatwa ini adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya setiap kebenaran dalam agama adalah relatif. Kedua, setiap pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga.
                [18]Lihat dalam tulisan http://saidaneffemdi-darussalam.blogspot.co.id/2011/10/pandangan-tokoh-liberal, diakses pada tanggal 23 November 2016 M.   
                [19]Kata itu diambil dari kalimat “aslama” berarti menyerah, menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah. Maknanya, agama  ini akan senantiasa membawa uamat manusia pada keselamatan.
[20] Kharunnas Rajab,  Agama Kebahagiaan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2012. hlm, 08.
                [21] http://www.gusdurian.net/id/article/opini/GUS-DUR-JEJAK-GURU-PERDAMAIAN, diakses pada tanggal 23 November 2016, pukul 15-18.
                [22]http://www.academia.edu/9855593/Perdamaian_menurut_Teori_Marxis_Struktrualis, diakses pada tanggal 23 November 2016 M.
                [23]Dalam pengertian s yari’ah dirumuskan sebagai berikut: perdamaian adalah “suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan)”, menurut Imam Taqiy al-Din Abu Bakar Ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayatu Akhyar, mengartikan  dengan bentuk Ash-Shulhu; yaitu akad yang memutuskan perselisihan antara dua pihak yang berselisih. Di kalangan umat islam dulu dikenal dengan tahkim yaitu orang yang mereka sepakati menyelesaikan sengketa.
                [24] Lihat dalam tulisan http://lenkamas.blogspot.co.id/2012/11/perdamaian-dalam-islam, diakses pada tanggal 23 November 2016.
                [25]Lihat dalam tulisan http://jalandamai.org/mazhab-perdamain-gus-dur, diakses pada tanggal 23 November 2016.
                [26]Karlina Hermanita, Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia: Ke Arah Dialog Lintas Agama, PBB UIN, Ciputat Jakarta, Cet. II, Desember, 2004, hlm, 4-5.
                [27]Nawaf Muhyi, dkk. Pemuda & 4 Pilar Kebangsaan, Cendikia Publishing, Lumajang, Cet. I, 2015, hlm, xiii.
                [28]Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, (Jilid I), Pustaka Afid, Jakarta, Cet. I, 2015, hlm, 33.               
                [29] Gerakan radikalisme agama sudah dilakukan sejak tahun 1950-an, di bawah kendali Kartosuwiryo, namun kemudian gagal karena dapat ditumpas oleh TNI, beberapa upaya yang dilakukan adalah aksi teror oleh para pendukung DI/TII, seperti Peristiwa Cicendo, Bandung (1981), pembajakan Pesawat Garuda DC-9, Woyla, di Bangkok (1981), dan aksi teror pasca-reformasi Natal 2000 di berbagai Gereja di Indonesia. Lebih jelasnya lihat dalam tulisan, http://arrahmahnews.com/2016/08/11/ancaman-radikalisme-islam-di-indonesia, diakses pada tanggal 23 November 2016, pukul 20.38 Wib.
                [30]Agus Surya Bakti, merintis Jalan Mencegah Terorisme (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta, Semarak Lautan Warna, 2014, hlm, 79.
                [31]Op.Cit, Adian Husaini, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama), Adabiy Press, 2012. hlm, 3.
                [32]Op. Cit, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme...hlm, 22.
                [33] Benyamin F. Intan, Gus Dur, Pejuang Pluralisme Sejati, Indonesia Media Online, yang ditulis oleh Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society.
                [34]http://www.gusdurian.net/id/article/Gus-Dur-dan-Toleransi, diakses pada tanggal 24 November 2016, pukul 10.13 Wib.
[35]Husein Muhammd, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, LKiS Yogyakarta, Cet. II, 2012, hlm. 55-56
                [36]http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan, diakses pada tanggal 24 November 2016.
                [37]Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama...,hlm, 16. Pemikiran pluralisme pertama kali muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 M, masa yang disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Masa ini diwarnai dengan gagasan-gagasan baru pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan doktrin agama. Kemudian munculah paham liberalisme yang di dalamnya memuat gagasan tentang kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
                [38]M. C. Riclefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang, terj. F.X. Dono Sunardi, Serambi, November 2013.
                [39]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Kencana, 2003.

0 Response to "GUS DUR DAN PLURALISME; Sebuah Ijtihad Epistemologi Perdamaian dalam Membendung Arus Radikalisme di Indonesia"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel