Mempertemukan Aliterasi Sastra dengan Nilai Spiritual Agama (Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan Syeikh Hamzah al-Fansuri dalam Jagat Sastra Pesantren)
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Gambar oleh: http://ernihanif.blogspot.co.id/ |
Abstrak
Cobalah Anda datangi berbagai pesantren, utamanya
pesantren yang ada di pulau Madura, maka Anda akan menemukan berbagai pesantren
yang memakai sistem manajemen salaf (pesantren dengan corak pengajaran
klasik), di sana Anda akan merasakan ketenangan yang sangat menentramkan hati, betapa
indahnya ketika Anda mendengar madah bait-bait puisi mengalun lembut dan
memanjakan hati yang gersang. Ada suara santri yang sangat merdu saat
membacakan sebuah nadzaman/syi’ir Arab, khazanah ini tidak akan pernah
alpa mencipta nuansa keindahan dalam kehidupan pesantren setiap pagi dan sore, irama
itu selalu menimbulkan kerinduan yang sangat, irama itu selalu menanti antar-jemput
matahari dari asal peraduan (The genesis sun, or sunrise, sunset). Kadar
estetik yang begitu tinggi membuat para penghuni pesantren begitu antusias
membaca bait-bait puisi literasi klasik. Barangkali demikianlah gambaran
penulis terkait dengan suasana pesantren dan kehidupan kesusastraan yang
berkembang di dalamnya.
Berbicara tentang sastra pesantren, penulis dapat
menafsirkan apa isi pikiran pembaca saat ini, yang jelas pertama kali akan terlintas
di benak Anda adalah sebuah kompleks yang dihuni dengan para santri yang
belajar kitab kuning (kitab gundul, Red Madura). Dari berbagai pesantren
tersebut, nantinya akan banyak menelorkan para kiai atau ulama’ yang ahli dalam
bidang agama. Selama ini, ada sebagian tubuh yang sudah hampir hilang dari
tradisi pesantren, dengan demikian penulis akan mencoba mencari akar titik temu
antara sastra pesantren dengan nilai-nilai agama yang telah dibawa para ulama
terdahulu, salah satunya adalah Syeikh Hamzah Al-Fansuri[1] seorang
ulama sufi Aceh ini juga dikenal sebagai orang yang ahli syi’ir.
Karena itu, terlebih dahulu kita harus mengerti apa yang
dinamakan sastra pesantren, serta nilai-nilai kandungan sastra yang dibawa oleh
para ulama dalam menyebarkan agama. Walaupun analisis penulis sementara, untuk
berbicara peran sastra pesantren saat ini “masih” tidak lazim kita bicarakan di
muka publik. Akan tetapi, pada kenyataannya pesantren menyimpan berbagai
tradisi yang belum banyak dibicarakan dengan akrab, meski sebagian orang sudah
tahu hal itu, akan lebih menarik jika kita bisa membicarakannya secara
geneaologi terkait dengan kehidupan pesantren yang akrab dengan tradisi sastra
klasik, seperti membaca syi’ir-syi’r Arab atau nadzaman dalam kitab
kuning[2].
Dengan adanya tradisi nadzam, pesantren tidak bisa
lepas dari tradisi jagat kesusastraan. Dalam catatan sejarah, setelah orang
barat berhasil menghancurkan pusat Tamaddun Islam di kota Baghdad (Irak),
Andalusia, dan Turki, setelah mereka mambawa semua inti pokok kekayaan
intelektual Islam ke negeri-negeri mereka, hanya ada satu yang tersisa
“transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi/syi’ir” yang tidak bisa diterapkan
dalam kehidupan ilmiah mereka. (M Faizi, Silsilah Intelektualisme dan Sastra Di
Pesantren, ‘Anil Islam: 2008).
Dengan demikan kita patut membicarakan perkembagan sastra
pesantren dan para ulama sufi—yang bisa disebut sebagai pujangga—melalui membaca
karya-karya para ulama terdahulu, salah satu ulama yang terkenal adalah Syeikh
Hamzah Fansuri, ia cukup dikenal dalam kesusastraan Melayu (Indonesia), sebagian
syair-syairnya yang terkenal adalah, Syair Burung Pingai, Syair Punguk,
Syair Perahu, dan yang lainnya.[3]
Lebih dalam lagi kita akan membicarakan terkait dengan kehidupan
dan perjuangan Syeikh Hamzah al-Fansuri, selain ia dikenal sebagai ulama sufi
yang penyair, ia juga sangat mahir dalam ilmu-ilmu fiqh, tasawuf, falsafah,
mantiq, ilmu kalam, sejarah, dan lain-lain. Dalam bidang bahasa beliau
menguasai seluruh sektor ilmu Arabiyah, ia menguasai berbagai bahasa di
antaranya bisa berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.[4]
Sastra pesantren, sebagai aktualisasi nilai akhlaqul
karimah
Munculnya sastra pesantren tiada lain adalah ditandai
dengan adanya kegitan tulis-menulis di pesantren, lahirnya para penulis
pesantren selama ini ditampung dengan berbagai media yang bisa mengembangkan akan
aspirasi para santri dan kiai, kegiatan seperti ini tidak bisa dipungkiri sudah
menjadi kebiasaan pesantren. Ada banyak kita temukan santri menciptakan
komunitas-komunitas menulis sastra serta menerbitkan buku yang berbau sastra.[5] Dari
kegiatan itu, pesantren berhasil mengangkat nilai tawar (bargaining
position) pesantren, sehingga semakin
hari pesantren semakin dilirik banyak kalangan. Branding image negatif
yang selama ini menyudutkan pesantren—seperti pesantren dianggap sebagai tempat
orang-orang kolot—tentunya akan berubah haluan dengan sendirinya bila sudah
dihadapkan pada geliat kepenulisan sastra pesantren. Pada akhirnya, mereka pun
bakal menemukan jati dirinya. Di sinilah, kekuatan karya sastra pesantren dalam
perannya mempengaruhi pola dan ideologi masyarakat.
Kendatipun sastra pesantren memiliki teropong untuk mengamati
perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren sekarang ini, hal ini hampir sama dengan berbagai
disertasi yang menulis tentang Tradiri Pesantren, yang sampai hari ini tetap
menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yang
turut membentuk bangunan kebudayaan Indonesia modern (Zamakhsyari
Dhofier, 2003: 04).
Selain itu, kita mesti mengetahui akan akar rumput sejarah
munculnya sastra pesantren secara genealogis, ada banyak perjuangan dari para
ulama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sedang perjungan mereka tidak
akan lepas dengan sebuah karya sastra, yang baru kemudian bomeng menjadi “sastra
pesantren” dengan munculnya Sastra Suluk Jawa yang mentransformasikan beberapa
pemikiran sufi, terutamanya di Indonesia, di pelopori oleh beberpa tokoh sufi
dari Sumatra, dan Aceh yang kita kenal Hamzah Fansuri. Oleh karen itu, kemudian
puisi sufi ikut mewarnai dan saling mengisi dengan wacana kesusastraan Jawa.[6]
Pengaruh pemikiran keagamaan para penyair besar Islam dan
karya kaum sufi terdahulu tidak bisa dinafikan dari lahirnya literasi sastra
pesantren, dari perjuangan para ulama tersebut telah banyak memberi peran atas
terpacaknya sistem penulisan sastra pesantren yang azali. Jadi, lahirnya karya
sastra bernafaskan nilai dan norma pesantren tidak serta-merta dilepaskan dari
berbagai pengaruh yang telah diperoleh pengarang dalam fragmen-fragmen
pengalaman dan pergulatan hidupnya dengan budaya dan tradisi (Majalah Muara,
Muhammad Ali Fakih AR, Sastra Pesantren, Apa dan Bagaimana?, 2009, Edisi,
XXXI).
Dalam kegiatan itu, kita bisa temui ketika santri belajar
ilmu nahwu, akan terasa menyenangkan ketika santri disuguhi dengan bacaan
sastra dalam bentuk puisi/nadzoman. Sebut saja, kitab kumpulan puisi
“Alfiyah” karya Imam Ibn Malik, nyaris dihapalkan oleh semua santri (baca:
kegiatan mengaji di pondok pesantren). Bahkan, beberapa pesantren salaf
mewajibkan santrinya untuk menghafal puisi yang berisi 1000 larik itu.[7]
Akhirnya, dengan adanya pembacaan kitab-kitab klasik yang
berbentuk syi’ir, tanpa disadari seorang santri telah mengenyam yang namanya pendidikan
sastra. Perkembagan ini cukup banyak memberikan sumbangsi terhadap kehidupan
masyarakat, khusunya juga dalam membentuk sebuah karakter masyarakat. Kita
ketahui saat ini, kalau ditanya beberapa orang keluaran pesantren yang ahli
sastra, maka akan dikenal nama-nama penyair-penyair termasyhur keluaran pesantren,
seperti Abdul Hadi. WM, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, KH. A. Musthofa
Bisri, Jamal D. Rahman, Binhad Nurrohmat dan M. Faizi adalah beberapa penyair
tenar yang lahir, besar, dan berproses di pesantren. Nampaknya, kondisi
pesantren yang kaya warna, penuh tekanan dan aturan yang mengikat, serta
sumber-sumber keilmuan pesantren yang ditulis dalam karya sastra (kebanyakan
ditulis dalam bentuk syair atau nadzam seperti kitab Imrithi, Alfiyah Ibn
Malik, nadzm al-Maqsud, dan semacamnya) dinilai menjadi faktor utama
yang membentuk mereka menjadi penyair.[8]
Dalam
kehidupan pesantren bagi seorang pecinta karya sastra, mereka tidak akan lepas
dengan yang namanya pengalaman hidup yang ditulis melalui gendre puisi, dengan
begitu ada nilai religius yang terselubung untuk diungkapkan menjadi sebuah
karya puisi yang terkandung nilai akhlaqul karimah di dalamnya, hal itu berbeda
dengan beberapa puisi sebelumnya, atau puisi dalam sejarah mutakakhir di
Indonesia yang pernah ditulis para pujangga modern atau yang kita kenal sastra
modern. Apalagi sastra Indonesia dalam konsepsi kita sangat kaya dengan warna
lokal, yang ditulis dengan berbagai genre. Karena konon bangsa ini sudah mengenal karya
sastra sejak abad ke-9, akan tetapi pada waktu itu mereka masih miskin akan
pengetahuan tentang nilai keindahan. Baru kesadaran sastra muncul mulai tahun
1920-an dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara (Merari Seregar), dan
kumpulan puisi Tanah Air (Mohammad Yamin).[9]
Nah, sebab itu, denyut kehidupan sastra pesantren tidak akan
hengkang dari kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok manusia religius,
baru akhir-akhir ini sastra pesantren dikenal karena adanya beberapa penyair
yang mengangkat nilai-nilai sastra ke-pesantrenan, kegitan ini sama halnya
dengan kemunculan “kritik sastra Indonesia”, bahwa kritik sastra ini bukan
merupakan tradisi asli masyarakat Indonesia. Akan tetapi, baru kemudian muncul kritik
sastra ketika para sastrawan Indonesia mendapat pendidikan dengan sistem Eropa
pada awal abad ke-20. Padahal sebelum itu, penilaian karya-karya sastra dalam
bahasa daerah didasarkan pada kepercayaan, agama, dan mistik agama. Sehingga
karya sastra sangat erat hubungannya dengan pengaruh keagamaan yang diyakini
oleh masyarakat. Namun, kritik sastra baru dipergunakan di Indonesia setelah
terbitnya kumpulan karangan "Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik
dan Essay" karya H.B. Jassin. Kita kenal tokoh-tokohnya, seperti Goenawan
Moehammad, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Boen Oemaryati, dan A.
Teeuw. Dari kemunculan itu, penulis dapat beranggapan bahwa tranding topic dalam
dunia sastra pesantren memang ditulis oleh orang-orang pesantren yang kompeten—baru-baru
ini dapat kita dikenal dalam dunia sastra—karena dengan berbagai hal dan
kegelisahan sang penulis sastra terhadap krisis nilai dalam kehidupan
masyarakat majemuk. Dengan begitu, sastra harus bisa membuktikan akan sebuah kebenaran-kebenaran
ideologis sesuai dengan data-data historis, sama halnya dengan sebuah “kritik
sastra” yang mengedepankan pendapat personal dan keyakinan seorang kritikus
sastra itu sendiri.
Kalau
melihat lebih jauh lagi persoalan yang dihadapi masyarakat, maka akan banyak
tantangan yang akan dihadapi. Hari ini kita akan merasa gemetar ketika membincangkan
sekitar kehidupan masyarakat dengan realitas yang kerap terjadi, Syahid
Mutahhari mengatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas
dengan yang namanya “masyarakat modern” tentang kondisi kehidupan masyarakat
modern yang sudah menunjukkan bahwa manusia terus berkelimpungan di antara
tumpukan pengetahuan dan pengalamannya. Waktu terus berjalan serta sains
dan teknologi semakin maju dan mampu menembus dunia mikroba hingga
planet-planet yang tersebar jauh dari bumi. Akan tetapi di bawah teori
humanisme, manusia bukan hanya tidak mencapai ketenangan dan kedamaian, tapi
perang terburuk, konflik berdarah, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi
lainnya justru terjadi di era modern, kita bisa lihat realitas ini sebagai pandangan dunia (world view)
yang sudah menafikan Tuhan, munculnya “manusia modern”di Barat ditandai dengan
munculnya zaman renaissance (pencerahan) yang pada akhirnya
bermetamorfosis menjadi modernitas.[10]
Adanya kehidupan yang serba modern
karya sastra ulama klasiklah yang akan membawa mereka pada dimensi spritual
keagamaan, bisa kita masukkan dalam kehidupan masyarakat yang menurut George Wilhelm Friedrich von Hegel manusia
mulai terlempar dari kehidupannya sendiri. Hal ini tentu membutuhkan energi
telaten yang disertai kesabaran dan kasih sayang. Mulai dari kegitan yang
demikian adanya sastra mulai menemukan persinnggungan yang jelas ketika
didialogkan dengan krisis spritual manusia.
Pertama, kita harus bisa
memasukkan sebuah fungsi dalam puisi, karena fungsi baru dari puisi yang
disinggung dalam al-Qur’an telah dijelaskan oleh Nabi dan diperkuat dalam Sunnah,
terikat dengan ucapan dan tindakan. Puisi tidak lain hanyalah suatu ujaran yang
diciptakan oleh para penyair. Oleh karena itu, puisi yang sejalan dengan
kebenaran adalah baik, dan yang tidak sejalan dengan kebenaran tidak mengandung
kebaikan. Karena puisi pada dasarnya hanyalah ujaran. Di antara ujaran itu ada
yang baik dan ada yang jelek (al-Quraisy, Jamhara Asy’ar Al-Arab: 37).
Sebab itu para tokoh sufi pada dulunya sangat berhati-hati dalam memasukkan
beberapa kandungan nilai puisi, misalnya kita bisa meresapi dari kandungan salah
satu karya puisi dari ulama sufi yang paling terkenal, seperti kidung puisi
yang banyak ditulis oleh Jalaluddin Rumi (1217-1273) yang terkumpul dalam bukunya Masnawai,
atau kita kenal penulis Maulid Diba’i, Imam al-Hafidz Wajihhuddin Abdur Rahman
bin Muhammad (944 H), serta puisi alegoris Faridu’d-Din Attar (1110-1230), yang
pernah hidup dengan seorang pujangga besar pula seperti Omar Khayyam, karyanya
yang paling monomental adalah Musyaarah Burung (The Conference of the
Birds), yang merupakan salah satu monumen kesusastraan sufi. Terakhir kita
kenal pula tokoh semacam Ibn Arabi (1165-1240),
seorang bangsa Arab Spanyol dari Murcia yang oleh para Sufi disebut sebagai
Guru Puisi, dalam Tarjuman al-Asywaq Ibnu Arabi menyatakan
tentang dirinya sendiri dalam bentuk puisi sebagai berikut:
Aku mengikuti agama cinta./ Saat ini
kadangkala aku disebut/ Pengembala Rusa (hikmah ketuhanan)/ Di saat lain,
seorang rahib Kristen,/ Kadangkala, seorang bijak Persia./ Kekasihku tiga,/ Tiga
namun hanya satu./ Jangan beri dia nama,/ Karena itu hanya membatasinya./ Begitu
dia tampak,/ Semua batuan akan terhanyut./
Dari kandungan kata
tersbut menyiratkan makna filosofis yang tidak gampang ditafsirkan melalui
instrik logika. Karenya, disebutkan bahwa para penyair merupakan penyebar utama
pemikiran Sufi. Mereka memperoleh penghargaan yang sama sebagai ollamhs (pendekar
penyair), atau guru penyair, selain bahasanya menggunakan bahasa rahasia sebagai
acuan metaforis dan simbol verbal. Nizhami, seorang Sufi Persia pernah menulis,
"Di bawah lisan penyair, tersimpan kunci khazanah." Bahasa
rahasia ini adalah semacam perlindungan suatu tradisi pemikiran hanya bagi
mereka yang memahaminya maupun untuk menentang berbagai tuduhan bid'ah
atau penentangan sipil. (Idries Shah, Mahkkota Sufi-Menembus Dunia Ekstra
Dimensi: hlm. 06).
Kedua, menjadikan sebuah keharusan akan sastra pesantren
sebagai bentuk kesadaran terhadap nilai dan moral prinsip dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan dalam agama Islam mengakui bahwa puisi dengan syarat puisi
menjadi sarana mengabdi kepada agama dan menjadi sistem yang mendukungnya.
Sarana diberi apresiasi bukan karena sarana itu sendiri, tetapi karena
fungsinya. Sebagai sarana menuju tujuan yang lebih baik mulia dan tinggi, puisi
akan menjadi mulia dan tinggi sejauh ia dapat memberikan ilham pada tutjuan
tersebut dan terkait dengannya, mengabdi dan memberi manfaat kepadanya. Nabi
merupakan orang pertamakali yang mentradisikan puisi sebagai sarana
ideologis-islami untuk dipergunakan memerangi ideologi Jahiliah.[11]
Ketiga, literasi sastra pesantren merupakan bentuk jawaban atas
kehidupan moralitas masyarakat secara umum. Karya sastra pada hakikatnya
dimanfaatkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karya sastra pesantren harus
berfungsi sesuai dengan hakikatnya dimanfaatkan bagi masyarakt yang memiliki
kepekaan untuk menangkap aspek-aspek kreativitas imajinatif,tetapi perlu
disadari bahwa dalam perkembangan berikut jangkauan diperluas, karya
sastra harus difungsikan demi
kepentingan masyarakat secara umum.[12]
Kajian terhadap kehidupan, karya dan pemikiran Syeikh
Hamza Fansuri
Selain kita mengenal peran karya sastra pesantren, ada
baiknya kalau kita tahu juga hubungan baik antar sejarah dari para ulama yang
pernah menyebarkan agama Islam di Indonensia, karena sampai saat ini tidak bisa
dinafikkan bahwa dari perjuangan merekalah Islam lahir di Indonesia, maka yang
jelas sejarah ulama tidak akan pernah lepas dari sebuah peinggalan bangunan
pesantren yang telah tegak kokoh menjadi bangunan benteng keagamaan sepanjang
masa—yang tetap gencar menegakkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.
Salah satunya yang akan kita bicarakan adalah ulama sufi yang pernah terkanal
dan besar di Aceh, kita kenal namanya adalah Syeikh Hamzah al-Fansuri kira-kira
ia hidup pada abad ke-16/17.[13]
Dalam karya-karya Prof. A. Hasymi yang dikutip dalam bukunya
Ruba’i Hamzah Fansuri mengatakan bahwa beliau hidup pada masa pemerintahan
Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M), sampai
ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam
(1016-1045 H-1607-1636 M). Ia dilahrikan di kota Barus, sebuah kota yang oleh
orang Arab dahulu dinamai Fansur, tepatnya
terletak di pantai barat provinsi Sumatera Utara, di antara Singkil dan
Sibolga. Sedangkan tarikh
dari lahirnya Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan, tetapi
hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an[14].
Disebut lebih terperinci oleh Prof. A. Hasymi bahwa Fansur itu satu kampung
yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam
zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat
pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut bahwa beliau
dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di
Barus.[15]
Ia dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam
menghasilkan karya puisi/sastera dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama
sekali dalam sektor sufi. Lebih terserlah lagi kemasyhurannya kerana terjadi
kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya
yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus
hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al-Fansuri selalu
dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini saya coba menyenaraikan
karya beliau yang telah diketahui, iaitu: (1). Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul
Muwahhidin, (2). Asrar al-’Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid,
(3). Al-Muntahi, (4). Ruba’i Hamzah Fansuri, (5). Kasyf Sirri
Tajalli ash-Shibyan, (6). Kitab fi Bayani Ma’rifah, (7). Syair Si
Burung Pingai, (8). Syair Si Burung Pungguk, (9). Syair Sidang
Faqir, (10). Syair Dagag, (11). Syair Perahu, dan terakhir
(12). Syair Ikan Tongkol[16].
Karya sastra ulama besar ini semuanya bertemakan
keagamaan, terutama berkenaan dengan masalah mistik. Hal ini tak lain
disebabkan karena beliau sendiri adalah seorang sufi besar pengikut Mansyur
al-Hallaj dan Ibn Arabi yang berfaham
hulul dan wihdsatul wujud (pantheisme). Aliran ini di pulai Jawa dipelopori
oleh Syeikh Siti Jenar yang dihup semasa Wali Songo. Sedangkan tarekat yang
diikutinya adalah tarekat Qodiriyah. Di antara syir karya Hamza Fansuri adalah:
Syair Burung Pangai, Syair Dagang, Syair Burung Pungguk,Syair Sidang Fakir,
Syair Ikan Tongkol,dan yang paling terkenal adalah Syair Perahu. Kesemuanya
berisi perlambangan dan nasihat bagi umat manusia.
Kita perhatikan syair perahu karya ulama besar dan
pujangga asal Kerajaan Aceh ini sebagai berikut;
Syair Perahu
Inilah suatu madah/ mengarang
syair terlalu indah,/ membetuli jalan tempat berpindah/ disanalah i’tikat
diperbrtuli sudah./ wahai muda kenali dirimu,/ ialah perahu tamsil tubuhmu,/
tiada berapa lama hidupmu,/ ka akhirat jua kekal diammu./ wahai muda arif
budiman,/ hasilkan kemudi dengan pedoman,/ alat perahumu jua kerjakan,/ itulah
jalan membetuli insan./ perteguh jua alat perahumu,/ hasilkan bekal air dan
kayu,/ dayung pengayuh taruh di situ,/ supaya laju perahumu itu./ sudahlah
hasil kayu dan ayar,/ angkatlah pula sauh dan layar,/ pada beras bekal
janganlah taksir,/ niscaya sempurna jalan yang kabir./ perteguh jua alat
perahumu,/ muaranya sempit tempatnya lalu,/ banyaklah disanah ikan dan hiu,/
menanti perahumu lalu di situ./ muaranya dalam ikanpun banyak,/ disanalah perahu karam dan rusak,/ karangnya
tajam seperti tombak,/ ke atas pasis kamu terdesak./ ketahui olehmu hai anak
dagang,/riaknya rencam ombak karang,/ ikan pun banyak fatang menyerang,/ hendak
membawa ketengah sawang./ muaranya itu terlalu sempit,/ di mana kan lalu sampan
dan rakit,/ jikalau ada pedoman dikapit,/ sempurnalah jalan terlalu bai’id./
baiklah perahu engkau perteguh,/ hasilkan pendapat dengan tali sauh,/ anginnya
keras ombaknya cabuh,/ pulaunya jauh tempat berlabuh./ lengkapkan pendaratan
dan tali sauh,/ derasmu banyak bertemu musuh,/ selebu rencam ombaknya cabuh,/
la ilaha illallah akan tali yang teguh./
Sebagai seorang ulama dan
sastrawan tentu saja karya-karya Hamza Fansuri mempunyai gaya bahasa
cukup bagus. Apalagi sebagai seorang sufi tepat sekali bahasa sastranya
dipergunakan untuk bahasa-bahasa pujian kepada
Tuhannya. Dalam karya-karya Hamza sering menyebut dirinya al-Faqir (si
papa, melarat) karena yang kaya hanyalah Allah. Dan kata ini memang sering
dipergunakan oleh u lama masa lampau untuk menyebut dirinya.
Titik temu sastra dengan nilai religius
Membicarakan nilai sastra pesantrnen dengan kehidupan
orang beragama,
Kesimpulan
Dapat menyimpulkan secara
umum bahwa sastra pesantren sangat erat hubungannya dengan berbagai
kondiisi yang diangkat dalam esai ini.
Daftar Bacaan
Ø Adones, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj., Khairon
Nahdiyyin dari Ats-tsabit wa
al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba’ inda al-Arab, LkiS Printing
Cemerlang, Yogyakarta: 2012.
Ø M. Sholihin, Sejarah
dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Ø Hossein Nasr, Islam
Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, (Bandung:
Pustaka, 1994).
Ø Suprapto, H. M. Bibit,
Inskopedi Ulama Nusantara, Riwayat
Hidup, Karya dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta:
Ø Prof., Dr. M. Solihin,
M. Ag, Ilmu Tasawuf, CV PUSTAKA, Bandung, 2014.
Ø Diambil dari /https://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/syeikh-hamzah-al-fansuri
yang ditulis oleh Wan Mohd. Shaghir
Abdullah., diakses pada tanggal 27 September 2015 M.
Ø Kutha, Nyoman, Estetika
Sastra dan Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Ø Salam, Aprinus, Oposisi
Sastra Sufi, LKis, Yogya
Ø karta, 2004.
[1] Ada banyak
ulama yang mengatakan bahwa Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang sekaligus penyair. Ulama’ sufi
ini dikenal sebagai seorang penyair yang tinggal di Aceh, Prof. A. Hasymi
mengatakan, bahwa Hamza Fansur tinggal di sebuah kampung yang terletak antara
Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan), ulama sufi ini memiliki paham
hulul, ittihad, mahabbah, ia sepaham dengan al-Hallaj, Prof. A. Hasymi
menyebutnya beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV
Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai kepermulaan pemerintahan
Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M). Lihat
dalam bukunya Prof., Dr. M. Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, CV PUSTAKA,
Bandung, 2014, hlm. 243. Lihat juga buku Suprapto, H. M. Bibit, Inskopedi
Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: hlm, 340.
[2] Salah satu contoh
misalnya, pesantren terbesar yang ada di ujung paling timur pulau Madura,
seperti PP. Annuqayah, saat ini pesantren tersebut sudah menerapkan berbagai
ajian kitab kuning, di antaranya ada banyak kitab-kitab
tasawuf yang diajarkan oleh PP. Annuqayah, yaitu kitab Imam al-Ghazali
seperti Ihya’ Ulumuddin, Bidayatul
Hidayah, Bidayatul
Mujtahidin,
Syarhul al-Hikam, Minhajul ‘Abidin, Tanbihul Ghafilin, Irsyadul Ibad, Nashaihul Ibad, Idzzatun
Nasihen dan Kifayatul
Adzkiya’, dan lain-lain.
[4] Diambil dari /https://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/syeikh-hamzah-al-fansuri yang ditulis oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah, tentang
biografi Hamzah Fanzuri. Lihat juga dalam bukunya M. Sholihin, Sejarah dan
Pemikiran Tasawuf di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm, 29.
[5] Di pesantren tempat
penulis bermukim, PP.
Annuqayah, intensitas penerbitan menjadi prioritas utama. Sekedar menyebut
beberapa media yang ada di dalamnya antara lain, Mading: Ma’haduna, Mercusuar,
Mufakkiratuna, X-Try,
Al-Munawwir, Mahkota, Satelit, Bandara, Genius; Buletin: Variez, Ittihad, Kompak,
Mars, Villa, Rendezuouz, Pelangi, Al-Fikr, Iqra’, Aphrodite, Mu’jizat; Majalah:
Hijrah, Infitah, Iltizam, Inspirasi, Yasmin, Dianlasa, Teratai, Fajar,
Dinamika, Pentas, Tafakkur, Muara. Media yang dijadikan wahana kepenulisan
santri tersebut secara eksis terbit dengan frekuensi yang beragam: mingguan, ½
bulanan, bulanan, ½ tahun, dan satu tahun sekali.
[8] Lihat tulisan Esai Paisun, yang berjudul 10 Hari Mencetak Penulis (Sepenggal
Kisah Pengabdian Ahmad Khotib dalam Menulis).
[9] Prof., Nyoman
Kutha, Estetika Sastra dan Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007,
hlm. 370-371.
[10] Hossein Nasr, Islam
Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, (Bandung:
Pustaka, 1994), hlm. 34
[11] Adones, Arkeologi
Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj., Khairon Nahdiyyin dari Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi
al-Ibda wa al-Itba’ inda al-Arab, LkiS Printing Cemerlang, Yogyakarta:
2012, hlm. 193.
[13] Suprapto, H. M. Bibit, Inskopedi
Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama
Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: hlm, 341-342.
[14] M. Sholihin, Sejarah
dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm,
31.
[15] Diambil dari
tulisan Wan
Mohd. Shaghir Abdullah, darisrajih.wordpress.com. pada tanggal
05 oktober 2015 M.
[16] Keterangan
lengkap mengenai data karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dirujuk dalam buku
yang berjudul Al-Ma’rifah Pelbagai Aspek Tasawuf Nusantara, jilid 1. Senarai yang tersebut di
atas merupakan maklumat yang terlengkap buat sementara dan akan ditambah lagi
jika terdapat maklumat baru yang belum termuat dalam senarai di atas
0 Response to "Mempertemukan Aliterasi Sastra dengan Nilai Spiritual Agama (Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan Syeikh Hamzah al-Fansuri dalam Jagat Sastra Pesantren)"
Post a Comment
Terimkasih...