-->

Mempertemukan Aliterasi Sastra dengan Nilai Spiritual Agama (Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan Syeikh Hamzah al-Fansuri dalam Jagat Sastra Pesantren)

Gambar oleh: http://ernihanif.blogspot.co.id/


Abstrak
Cobalah Anda datangi berbagai pesantren, utamanya pesantren yang ada di pulau Madura, maka Anda akan menemukan berbagai pesantren yang memakai sistem manajemen salaf (pesantren dengan corak pengajaran klasik), di sana Anda akan merasakan ketenangan yang sangat menentramkan hati, betapa indahnya ketika Anda mendengar madah bait-bait puisi mengalun lembut dan memanjakan hati yang gersang. Ada suara santri yang sangat merdu saat membacakan sebuah nadzaman/syi’ir Arab, khazanah ini tidak akan pernah alpa mencipta nuansa keindahan dalam kehidupan pesantren setiap pagi dan sore, irama itu selalu menimbulkan kerinduan yang sangat, irama itu selalu menanti antar-jemput matahari dari asal peraduan (The genesis sun, or sunrise, sunset). Kadar estetik yang begitu tinggi membuat para penghuni pesantren begitu antusias membaca bait-bait puisi literasi klasik. Barangkali demikianlah gambaran penulis terkait dengan suasana pesantren dan kehidupan kesusastraan yang berkembang di dalamnya.
Berbicara tentang sastra pesantren, penulis dapat menafsirkan apa isi pikiran pembaca saat ini, yang jelas pertama kali akan terlintas di benak Anda adalah sebuah kompleks yang dihuni dengan para santri yang belajar kitab kuning (kitab gundul, Red Madura). Dari berbagai pesantren tersebut, nantinya akan banyak menelorkan para kiai atau ulama’ yang ahli dalam bidang agama. Selama ini, ada sebagian tubuh yang sudah hampir hilang dari tradisi pesantren, dengan demikian penulis akan mencoba mencari akar titik temu antara sastra pesantren dengan nilai-nilai agama yang telah dibawa para ulama terdahulu, salah satunya adalah Syeikh Hamzah Al-Fansuri[1] seorang ulama sufi Aceh ini juga dikenal sebagai orang yang ahli syi’ir.
Karena itu, terlebih dahulu kita harus mengerti apa yang dinamakan sastra pesantren, serta nilai-nilai kandungan sastra yang dibawa oleh para ulama dalam menyebarkan agama. Walaupun analisis penulis sementara, untuk berbicara peran sastra pesantren saat ini “masih” tidak lazim kita bicarakan di muka publik. Akan tetapi, pada kenyataannya pesantren menyimpan berbagai tradisi yang belum banyak dibicarakan dengan akrab, meski sebagian orang sudah tahu hal itu, akan lebih menarik jika kita bisa membicarakannya secara geneaologi terkait dengan kehidupan pesantren yang akrab dengan tradisi sastra klasik, seperti membaca syi’ir-syi’r Arab atau nadzaman dalam kitab kuning[2].
Dengan adanya tradisi nadzam, pesantren tidak bisa lepas dari tradisi jagat kesusastraan. Dalam catatan sejarah, setelah orang barat berhasil menghancurkan pusat Tamaddun Islam di kota Baghdad (Irak), Andalusia, dan Turki, setelah mereka mambawa semua inti pokok kekayaan intelektual Islam ke negeri-negeri mereka, hanya ada satu yang tersisa “transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi/syi’ir” yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan ilmiah mereka. (M Faizi, Silsilah Intelektualisme dan Sastra Di Pesantren, ‘Anil Islam: 2008).
Dengan demikan kita patut membicarakan perkembagan sastra pesantren dan para ulama sufi—yang bisa disebut sebagai pujangga—melalui membaca karya-karya para ulama terdahulu, salah satu ulama yang terkenal adalah Syeikh Hamzah Fansuri, ia cukup dikenal dalam kesusastraan Melayu (Indonesia), sebagian syair-syairnya yang terkenal adalah, Syair Burung Pingai, Syair Punguk, Syair Perahu, dan yang lainnya.[3]  
Lebih dalam lagi kita akan membicarakan terkait dengan kehidupan dan perjuangan Syeikh Hamzah al-Fansuri, selain ia dikenal sebagai ulama sufi yang penyair, ia juga sangat mahir dalam ilmu-ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, dan lain-lain. Dalam bidang bahasa beliau menguasai seluruh sektor ilmu Arabiyah, ia menguasai berbagai bahasa di antaranya bisa berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.[4]

Sastra pesantren, sebagai aktualisasi nilai akhlaqul karimah
Munculnya sastra pesantren tiada lain adalah ditandai dengan adanya kegitan tulis-menulis di pesantren, lahirnya para penulis pesantren selama ini ditampung dengan berbagai media yang bisa mengembangkan akan aspirasi para santri dan kiai, kegiatan seperti ini tidak bisa dipungkiri sudah menjadi kebiasaan pesantren. Ada banyak kita temukan santri menciptakan komunitas-komunitas menulis sastra serta menerbitkan buku yang berbau sastra.[5] Dari kegiatan itu, pesantren berhasil mengangkat nilai tawar (bargaining position) pesantren, sehingga  semakin hari pesantren semakin dilirik banyak kalangan. Branding image negatif yang selama ini menyudutkan pesantren—seperti pesantren dianggap sebagai tempat orang-orang kolot—tentunya akan berubah haluan dengan sendirinya bila sudah dihadapkan pada geliat kepenulisan sastra pesantren. Pada akhirnya, mereka pun bakal menemukan jati dirinya. Di sinilah, kekuatan karya sastra pesantren dalam perannya mempengaruhi pola dan ideologi masyarakat.
Kendatipun sastra pesantren memiliki teropong untuk mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren sekarang ini, hal ini hampir sama dengan berbagai disertasi yang menulis tentang Tradiri Pesantren, yang sampai hari ini tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yang turut membentuk bangunan kebudayaan Indonesia modern (Zamakhsyari Dhofier, 2003: 04).
Selain itu, kita mesti mengetahui akan akar rumput sejarah munculnya sastra pesantren secara genealogis, ada banyak perjuangan dari para ulama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sedang perjungan mereka tidak akan lepas dengan sebuah karya sastra, yang baru kemudian bomeng menjadi “sastra pesantren” dengan munculnya Sastra Suluk Jawa yang mentransformasikan beberapa pemikiran sufi, terutamanya di Indonesia, di pelopori oleh beberpa tokoh sufi dari Sumatra, dan Aceh yang kita kenal Hamzah Fansuri. Oleh karen itu, kemudian puisi sufi ikut mewarnai dan saling mengisi dengan wacana kesusastraan Jawa.[6]
Pengaruh pemikiran keagamaan para penyair besar Islam dan karya kaum sufi terdahulu tidak bisa dinafikan dari lahirnya literasi sastra pesantren, dari perjuangan para ulama tersebut telah banyak memberi peran atas terpacaknya sistem penulisan sastra pesantren yang azali. Jadi, lahirnya karya sastra bernafaskan nilai dan norma pesantren tidak serta-merta dilepaskan dari berbagai pengaruh yang telah diperoleh pengarang dalam fragmen-fragmen pengalaman dan pergulatan hidupnya dengan budaya dan tradisi (Majalah Muara, Muhammad Ali Fakih AR, Sastra Pesantren, Apa dan Bagaimana?, 2009, Edisi, XXXI).
Dalam kegiatan itu, kita bisa temui ketika santri belajar ilmu nahwu, akan terasa menyenangkan ketika santri disuguhi dengan bacaan sastra dalam bentuk puisi/nadzoman. Sebut saja, kitab kumpulan puisi “Alfiyah” karya Imam Ibn Malik, nyaris dihapalkan oleh semua santri (baca: kegiatan mengaji di pondok pesantren). Bahkan, beberapa pesantren salaf mewajibkan santrinya untuk menghafal puisi yang berisi 1000 larik itu.[7] 
Akhirnya, dengan adanya pembacaan kitab-kitab klasik yang berbentuk syi’ir, tanpa disadari seorang santri telah mengenyam yang namanya pendidikan sastra. Perkembagan ini cukup banyak memberikan sumbangsi terhadap kehidupan masyarakat, khusunya juga dalam membentuk sebuah karakter masyarakat. Kita ketahui saat ini, kalau ditanya beberapa orang keluaran pesantren yang ahli sastra, maka akan dikenal nama-nama penyair-penyair termasyhur keluaran pesantren, seperti Abdul Hadi. WM, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, KH. A. Musthofa Bisri, Jamal D. Rahman, Binhad Nurrohmat dan M. Faizi adalah beberapa penyair tenar yang lahir, besar, dan berproses di pesantren. Nampaknya, kondisi pesantren yang kaya warna, penuh tekanan dan aturan yang mengikat, serta sumber-sumber keilmuan pesantren yang ditulis dalam karya sastra (kebanyakan ditulis dalam bentuk syair atau nadzam seperti kitab Imrithi, Alfiyah Ibn Malik, nadzm al-Maqsud, dan semacamnya) dinilai menjadi faktor utama yang membentuk mereka menjadi penyair.[8]
            Dalam kehidupan pesantren bagi seorang pecinta karya sastra, mereka tidak akan lepas dengan yang namanya pengalaman hidup yang ditulis melalui gendre puisi, dengan begitu ada nilai religius yang terselubung untuk diungkapkan menjadi sebuah karya puisi yang terkandung nilai akhlaqul karimah di dalamnya, hal itu berbeda dengan beberapa puisi sebelumnya, atau puisi dalam sejarah mutakakhir di Indonesia yang pernah ditulis para pujangga modern atau yang kita kenal sastra modern. Apalagi sastra Indonesia dalam konsepsi kita sangat kaya dengan warna lokal, yang ditulis dengan berbagai genre.  Karena konon bangsa ini sudah mengenal karya sastra sejak abad ke-9, akan tetapi pada waktu itu mereka masih miskin akan pengetahuan tentang nilai keindahan. Baru kesadaran sastra muncul mulai tahun 1920-an dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara (Merari Seregar), dan kumpulan puisi Tanah Air (Mohammad Yamin).[9]
Nah, sebab itu, denyut kehidupan sastra pesantren tidak akan hengkang dari kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok manusia religius, baru akhir-akhir ini sastra pesantren dikenal karena adanya beberapa penyair yang mengangkat nilai-nilai sastra ke-pesantrenan, kegitan ini sama halnya dengan kemunculan “kritik sastra Indonesia”, bahwa kritik sastra ini bukan merupakan tradisi asli masyarakat Indonesia. Akan tetapi, baru kemudian muncul kritik sastra ketika para sastrawan Indonesia mendapat pendidikan dengan sistem Eropa pada awal abad ke-20. Padahal sebelum itu, penilaian karya-karya sastra dalam bahasa daerah didasarkan pada kepercayaan, agama, dan mistik agama. Sehingga karya sastra sangat erat hubungannya dengan pengaruh keagamaan yang diyakini oleh masyarakat. Namun, kritik sastra baru dipergunakan di Indonesia setelah terbitnya kumpulan karangan "Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay" karya H.B. Jassin. Kita kenal tokoh-tokohnya, seperti Goenawan Moehammad, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Boen Oemaryati, dan A. Teeuw. Dari kemunculan itu, penulis dapat beranggapan bahwa tranding topic dalam dunia sastra pesantren memang ditulis oleh orang-orang pesantren yang kompeten—baru-baru ini dapat kita dikenal dalam dunia sastra—karena dengan berbagai hal dan kegelisahan sang penulis sastra terhadap krisis nilai dalam kehidupan masyarakat majemuk. Dengan begitu, sastra harus bisa membuktikan akan sebuah kebenaran-kebenaran ideologis sesuai dengan data-data historis, sama halnya dengan sebuah “kritik sastra” yang mengedepankan pendapat personal dan keyakinan seorang kritikus sastra itu sendiri.   
            Kalau melihat lebih jauh lagi persoalan yang dihadapi masyarakat, maka akan banyak tantangan yang akan dihadapi. Hari ini kita akan merasa gemetar ketika membincangkan sekitar kehidupan masyarakat dengan realitas yang kerap terjadi, Syahid Mutahhari mengatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas dengan yang namanya “masyarakat modern” tentang kondisi kehidupan masyarakat modern yang sudah menunjukkan bahwa manusia terus berkelimpungan di antara tumpukan pengetahuan dan pengalamannya. Waktu terus berjalan serta sains dan teknologi semakin maju dan mampu menembus dunia mikroba hingga planet-planet yang tersebar jauh dari bumi. Akan tetapi di bawah teori humanisme, manusia bukan hanya tidak mencapai ketenangan dan kedamaian, tapi perang terburuk, konflik berdarah, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya justru terjadi di era modern, kita bisa lihat realitas  ini sebagai pandangan dunia (world view) yang sudah menafikan Tuhan, munculnya “manusia modern”di Barat ditandai dengan munculnya zaman renaissance (pencerahan) yang pada akhirnya bermetamorfosis menjadi modernitas.[10]
            Adanya kehidupan yang serba modern karya sastra ulama klasiklah yang akan membawa mereka pada dimensi spritual keagamaan, bisa kita masukkan dalam kehidupan masyarakat yang  menurut George Wilhelm Friedrich von Hegel manusia mulai terlempar dari kehidupannya sendiri. Hal ini tentu membutuhkan energi telaten yang disertai kesabaran dan kasih sayang. Mulai dari kegitan yang demikian adanya sastra mulai menemukan persinnggungan yang jelas ketika didialogkan dengan krisis spritual manusia.
Pertama, kita harus bisa memasukkan sebuah fungsi dalam puisi, karena fungsi baru dari puisi yang disinggung dalam al-Qur’an telah dijelaskan oleh Nabi dan diperkuat dalam Sunnah, terikat dengan ucapan dan tindakan. Puisi tidak lain hanyalah suatu ujaran yang diciptakan oleh para penyair. Oleh karena itu, puisi yang sejalan dengan kebenaran adalah baik, dan yang tidak sejalan dengan kebenaran tidak mengandung kebaikan. Karena puisi pada dasarnya hanyalah ujaran. Di antara ujaran itu ada yang baik dan ada  yang  jelek (al-Quraisy, Jamhara Asy’ar Al-Arab: 37). Sebab itu para tokoh sufi pada dulunya sangat berhati-hati dalam memasukkan beberapa kandungan nilai puisi, misalnya kita bisa meresapi dari kandungan salah satu karya puisi dari ulama sufi yang paling terkenal, seperti kidung puisi yang banyak ditulis oleh Jalaluddin Rumi (1217-1273) yang terkumpul dalam bukunya Masnawai, atau kita kenal penulis Maulid Diba’i, Imam al-Hafidz Wajihhuddin Abdur Rahman bin Muhammad (944 H), serta puisi alegoris Faridu’d-Din Attar (1110-1230), yang pernah hidup dengan seorang pujangga besar pula seperti Omar Khayyam, karyanya yang paling monomental adalah Musyaarah Burung (The Conference of the Birds), yang merupakan salah satu monumen kesusastraan sufi. Terakhir kita kenal pula tokoh semacam Ibn Arabi  (1165-1240), seorang bangsa Arab Spanyol dari Murcia yang oleh para Sufi disebut sebagai Guru Puisi, dalam Tarjuman al-Asywaq Ibnu Arabi menyatakan tentang dirinya sendiri dalam bentuk puisi sebagai berikut:
Aku mengikuti agama cinta./ Saat ini kadangkala aku disebut/ Pengembala Rusa (hikmah ketuhanan)/ Di saat lain, seorang rahib Kristen,/ Kadangkala, seorang bijak Persia./ Kekasihku tiga,/ Tiga namun hanya satu./ Jangan beri dia nama,/ Karena itu hanya membatasinya./ Begitu dia tampak,/ Semua batuan akan terhanyut./
Dari kandungan kata tersbut menyiratkan makna filosofis yang tidak gampang ditafsirkan melalui instrik logika. Karenya, disebutkan bahwa para penyair merupakan penyebar utama pemikiran Sufi. Mereka memperoleh penghargaan yang sama sebagai ollamhs (pendekar penyair), atau guru penyair, selain bahasanya menggunakan bahasa rahasia sebagai acuan metaforis dan simbol verbal. Nizhami, seorang Sufi Persia pernah menulis, "Di bawah lisan penyair, tersimpan kunci khazanah." Bahasa rahasia ini adalah semacam perlindungan suatu tradisi pemikiran hanya bagi mereka yang memahaminya maupun untuk menentang berbagai tuduhan bid'ah atau penentangan sipil. (Idries Shah, Mahkkota Sufi-Menembus Dunia Ekstra Dimensi: hlm. 06).
Kedua, menjadikan sebuah keharusan akan sastra pesantren sebagai bentuk kesadaran terhadap nilai dan moral prinsip dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam agama Islam mengakui bahwa puisi dengan syarat puisi menjadi sarana mengabdi kepada agama dan menjadi sistem yang mendukungnya. Sarana diberi apresiasi bukan karena sarana itu sendiri, tetapi karena fungsinya. Sebagai sarana menuju tujuan yang lebih baik mulia dan tinggi, puisi akan menjadi mulia dan tinggi sejauh ia dapat memberikan ilham pada tutjuan tersebut dan terkait dengannya, mengabdi dan memberi manfaat kepadanya. Nabi merupakan orang pertamakali yang mentradisikan puisi sebagai sarana ideologis-islami untuk dipergunakan memerangi ideologi Jahiliah.[11]
Ketiga, literasi sastra pesantren merupakan bentuk jawaban atas kehidupan moralitas masyarakat secara umum. Karya sastra pada hakikatnya dimanfaatkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karya sastra pesantren harus berfungsi sesuai dengan hakikatnya dimanfaatkan bagi masyarakt yang memiliki kepekaan untuk menangkap aspek-aspek kreativitas imajinatif,tetapi perlu disadari bahwa dalam perkembangan berikut jangkauan diperluas, karya sastra  harus difungsikan demi kepentingan masyarakat secara umum.[12]

Kajian terhadap kehidupan, karya dan pemikiran Syeikh Hamza Fansuri
Selain kita mengenal peran karya sastra pesantren, ada baiknya kalau kita tahu juga hubungan baik antar sejarah dari para ulama yang pernah menyebarkan agama Islam di Indonensia, karena sampai saat ini tidak bisa dinafikkan bahwa dari perjuangan merekalah Islam lahir di Indonesia, maka yang jelas sejarah ulama tidak akan pernah lepas dari sebuah peinggalan bangunan pesantren yang telah tegak kokoh menjadi bangunan benteng keagamaan sepanjang masa—yang tetap gencar menegakkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Salah satunya yang akan kita bicarakan adalah ulama sufi yang pernah terkanal dan besar di Aceh, kita kenal namanya adalah Syeikh Hamzah al-Fansuri kira-kira ia hidup pada abad ke-16/17.[13]
Dalam karya-karya Prof. A. Hasymi yang dikutip dalam bukunya Ruba’i Hamzah Fansuri mengatakan bahwa beliau hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M), sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M). Ia dilahrikan di kota Barus, sebuah kota yang oleh orang Arab dahulu dinamai Fansur, tepatnya terletak di pantai barat provinsi Sumatera Utara, di antara Singkil dan Sibolga. Sedangkan tarikh dari lahirnya Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan, tetapi hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an[14]. Disebut lebih terperinci oleh Prof. A. Hasymi bahwa Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut bahwa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus.[15]
Ia dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastera dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih terserlah lagi kemasyhurannya kerana terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al-Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini saya coba menyenaraikan karya beliau yang telah diketahui, iaitu: (1). Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin, (2). Asrar al-’Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid, (3). Al-Muntahi, (4). Ruba’i Hamzah Fansuri, (5). Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan, (6). Kitab fi Bayani Ma’rifah, (7). Syair Si Burung Pingai, (8). Syair Si Burung Pungguk, (9). Syair Sidang Faqir, (10). Syair Dagag, (11). Syair Perahu, dan terakhir (12). Syair Ikan Tongkol[16].
Karya sastra ulama besar ini semuanya bertemakan keagamaan, terutama berkenaan dengan masalah mistik. Hal ini tak lain disebabkan karena beliau sendiri adalah seorang sufi besar pengikut Mansyur al-Hallaj dan Ibn Arabi yang   berfaham hulul dan wihdsatul wujud (pantheisme). Aliran ini di pulai Jawa dipelopori oleh Syeikh Siti Jenar yang dihup semasa Wali Songo. Sedangkan tarekat yang diikutinya adalah tarekat Qodiriyah. Di antara syir karya Hamza Fansuri adalah: Syair Burung Pangai, Syair Dagang, Syair Burung Pungguk,Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol,dan yang paling terkenal adalah Syair Perahu. Kesemuanya berisi perlambangan dan nasihat bagi umat manusia.
Kita perhatikan syair perahu karya ulama besar dan pujangga asal Kerajaan Aceh ini sebagai berikut;
Syair Perahu
Inilah suatu madah/ mengarang syair terlalu indah,/ membetuli jalan tempat berpindah/ disanalah i’tikat diperbrtuli sudah./ wahai muda kenali dirimu,/ ialah perahu tamsil tubuhmu,/ tiada berapa lama hidupmu,/ ka akhirat jua kekal diammu./ wahai muda arif budiman,/ hasilkan kemudi dengan pedoman,/ alat perahumu jua kerjakan,/ itulah jalan membetuli insan./ perteguh jua alat perahumu,/ hasilkan bekal air dan kayu,/ dayung pengayuh taruh di situ,/ supaya laju perahumu itu./ sudahlah hasil kayu dan ayar,/ angkatlah pula sauh dan layar,/ pada beras bekal janganlah taksir,/ niscaya sempurna jalan yang kabir./ perteguh jua alat perahumu,/ muaranya sempit tempatnya lalu,/ banyaklah disanah ikan dan hiu,/ menanti perahumu lalu di situ./ muaranya dalam ikanpun banyak,/  disanalah perahu karam dan rusak,/ karangnya tajam seperti tombak,/ ke atas pasis kamu terdesak./ ketahui olehmu hai anak dagang,/riaknya rencam ombak karang,/ ikan pun banyak fatang menyerang,/ hendak membawa ketengah sawang./ muaranya itu terlalu sempit,/ di mana kan lalu sampan dan rakit,/ jikalau ada pedoman dikapit,/ sempurnalah jalan terlalu bai’id./ baiklah perahu engkau perteguh,/ hasilkan pendapat dengan tali sauh,/ anginnya keras ombaknya cabuh,/ pulaunya jauh tempat berlabuh./ lengkapkan pendaratan dan tali sauh,/ derasmu banyak bertemu musuh,/ selebu rencam ombaknya cabuh,/ la ilaha illallah akan tali yang teguh./
Sebagai seorang ulama dan  sastrawan tentu saja karya-karya Hamza Fansuri mempunyai gaya bahasa cukup bagus. Apalagi sebagai seorang sufi tepat sekali bahasa sastranya dipergunakan untuk bahasa-bahasa pujian kepada  Tuhannya. Dalam karya-karya Hamza sering menyebut dirinya al-Faqir (si papa, melarat) karena yang kaya hanyalah Allah. Dan kata ini memang sering dipergunakan oleh u lama masa lampau untuk menyebut dirinya.

Titik temu sastra dengan nilai religius
Membicarakan nilai sastra pesantrnen dengan kehidupan orang beragama,

Kesimpulan
Dapat menyimpulkan secara  umum bahwa sastra pesantren sangat erat hubungannya dengan berbagai kondiisi yang diangkat dalam esai ini.

Daftar Bacaan
Ø Adones, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj., Khairon Nahdiyyin dari  Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba’ inda al-Arab, LkiS Printing Cemerlang, Yogyakarta: 2012.
Ø M. Sholihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Ø Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1994).
Ø Suprapto, H. M. Bibit, Inskopedi Ulama Nusantara, Riwayat  Hidup,  Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta:
Ø Prof., Dr. M. Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, CV PUSTAKA, Bandung, 2014.
Ø Diambil dari /https://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/syeikh-hamzah-al-fansuri yang ditulis  oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah., diakses pada tanggal 27 September 2015 M.
Ø Kutha, Nyoman, Estetika Sastra dan Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Ø Salam, Aprinus, Oposisi Sastra Sufi, LKis, Yogya
Ø karta, 2004.


[1] Ada banyak ulama yang mengatakan bahwa Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang sekaligus penyair. Ulama’ sufi ini dikenal sebagai seorang penyair yang tinggal di Aceh, Prof. A. Hasymi mengatakan, bahwa Hamza Fansur tinggal di sebuah kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan), ulama sufi ini memiliki paham hulul, ittihad, mahabbah, ia sepaham dengan al-Hallaj, Prof. A. Hasymi menyebutnya beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai kepermulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M). Lihat dalam bukunya Prof., Dr. M. Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, CV PUSTAKA, Bandung, 2014, hlm. 243. Lihat juga buku Suprapto, H. M. Bibit, Inskopedi Ulama Nusantara, Riwayat  Hidup,  Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: hlm, 340.   
[2] Salah satu contoh misalnya, pesantren terbesar yang ada di ujung paling timur pulau Madura, seperti PP. Annuqayah, saat ini pesantren tersebut sudah menerapkan berbagai ajian kitab kuning, di antaranya ada banyak kitab-kitab tasawuf yang diajarkan oleh PP. Annuqayah, yaitu kitab Imam al-Ghazali seperti Ihya’ Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, Bidayatul Mujtahidin, Syarhul al-Hikam, Minhajul ‘Abidin, Tanbihul Ghafilin, Irsyadul Ibad, Nashaihul Ibad, Idzzatun Nasihen dan Kifayatul Adzkiya’, dan lain-lain.
[3] Opcit... hlm.246
[4] Diambil dari /https://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/syeikh-hamzah-al-fansuri yang ditulis  oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah, tentang biografi Hamzah Fanzuri. Lihat juga dalam bukunya M. Sholihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm, 29.
[5] Di pesantren tempat penulis bermukim, PP. Annuqayah, intensitas penerbitan menjadi prioritas utama. Sekedar menyebut beberapa media yang ada di dalamnya antara lain, Mading: Ma’haduna, Mercusuar, Mufakkiratuna, X-Try, Al-Munawwir, Mahkota, Satelit, Bandara, Genius; Buletin: Variez, Ittihad, Kompak, Mars, Villa, Rendezuouz, Pelangi, Al-Fikr, Iqra’, Aphrodite, Mu’jizat; Majalah: Hijrah, Infitah, Iltizam, Inspirasi, Yasmin, Dianlasa, Teratai, Fajar, Dinamika, Pentas, Tafakkur, Muara. Media yang dijadikan wahana kepenulisan santri tersebut secara eksis terbit dengan frekuensi yang beragam: mingguan, ½ bulanan, bulanan, ½ tahun, dan satu tahun sekali.
[6] Aprinus Salam, Oposisi Sastra Sufi, LKis, Yogyakarta,2004. hlm,vi.
[7] Sebuah esai yang pernah ditulis Fandrik HS Putra, Menyelamatkan (Estetika) Sastra Pesantren.
[8] Lihat tulisan Esai Paisun, yang berjudul 10 Hari Mencetak Penulis (Sepenggal Kisah Pengabdian Ahmad Khotib dalam Menulis).  
[9] Prof., Nyoman Kutha, Estetika Sastra dan Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 370-371.
[10] Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 34
[11] Adones, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj., Khairon Nahdiyyin dari  Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba’ inda al-Arab, LkiS Printing Cemerlang, Yogyakarta: 2012, hlm. 193.
[12] Prof., Nyoman Kutha, Estetika Sastra dan Budaya, ....., hlm. 380.
[13] Suprapto, H. M. Bibit, Inskopedi Ulama Nusantara, Riwayat  Hidup,  Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: hlm, 341-342.   
[14] M. Sholihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm, 31.
[15] Diambil dari tulisan Wan Mohd. Shaghir Abdullah, darisrajih.wordpress.com. pada tanggal 05 oktober 2015 M.
[16] Keterangan lengkap mengenai data karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dirujuk dalam buku yang berjudul Al-Ma’rifah Pelbagai Aspek Tasawuf Nusantara, jilid 1. Senarai yang tersebut di atas merupakan maklumat yang terlengkap buat sementara dan akan ditambah lagi jika terdapat maklumat baru yang belum termuat dalam senarai di atas

0 Response to "Mempertemukan Aliterasi Sastra dengan Nilai Spiritual Agama (Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan Syeikh Hamzah al-Fansuri dalam Jagat Sastra Pesantren)"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel