SUFISME: Menakar Nilai Esoteris Cinta (Ikhtiar Menuju Perkembangan Perenial Khazanah Sastra Pesantren)
Tuesday, May 30, 2017
Add Comment
Gambah oleh: http://elokmawarniafnindaoneruwita.blogspot.co.id |
Ada
banyak para pakar ulama mengatakan dunia “sufisme” adalah jalan menuju pendekatan
kepada Sang Pencipta, melalui pintu gerbang yang bernama “hati”, dan hati digerakkan
oleh kendaraan bernama “cinta”.[1]
Dengan kekuatan cinta tersebut seorang sufi bisa mencapai makrifat kepada
Tuhannya. Rumi membahasakan cinta adalah sesuatu yang turun dari dunia jiwa yang
lebih tinggi untuk membawa hati manunsia kepada penyatuan dengan Tuhannya.[2]
Para
sufi menjadikan maqom cinta ini sebagai transmisi menuju puncak kesatuan
antara makhluk dan khaliq (the Oneness of Being). Katakanlah, sufi
wanita Robiah al-Adawiyah yang berhasil meniti jalan mahabbah menuju puncak gradasi tertinggi isyq-i haqiqi.[3]
Ia dimabukkan oleh anggur cinta Tuhan, yang
bergelora dan menghanyutkan setiap jiwa.
Sebagaimana dipaparkan agnostik Ibn
Arabi, bahwa cinta tidak bisa diekspresikan lewat khuruf khuruf yang terlalu kaku
dan ilmiah, keagungan cinta hanya bisa diungkapkan dalam bentuk kata-kata yang sarat alegoris-metaforis, contoh
kecilnya saja, ketika jamak para ulama sufi menggambarkan suasana hati yang
membuka cakrawala diri bagi realitas-realitas dalam merespon al-Tajalliyyat al-Iahiyyah.[4]
Itu sebabnya, pengagum Ibn Arabi seperti Fakhruddin Iraqi memposisikan duduk persoalan cinta pada jalan yang sama, cinta yang tak
terbatas mahdudah (delimited) dan muta’ayyan (entified) sesuai
dengan wadah dimana Tuhan memanifestasikan diri-Nya.[5]
Meminjam dari perkataan Syekh Muzaffer Ozak, dalam
bukunya “Love Is The Wine” beliau sangat bijak nan arif melihat kekuatan
cinta sebagai sumber kebaikan dan keindahan Tuhan yang bersifat
universal-humanis.[6]
Menurutnya, energi cinta dalam dimensi sufi bisa dilihat pada dualisme fungsi, cinta
sebagai jalan menuju Tuhan Sang Mahacinta (the Strages of the Path). Kedua,
cinta sebagai kekuatan (powerful) untuk mencintai sesama manusia
tanpa menghilangkan aspek spritualitas-nya menuju Tuhan.
Pada gradasi cinta yang kedua ini signifikansi nilai sastra
sufi sangat besar sumbangsinya dalam khazanah sastra klasik religius. Dimana
perkembangan sastra itu mencapai puncaknya di pesantren-pesantren. Dalam
geneologi sejarah dipaparkan bahwa, ketika Barat menghancurkan pusat Tamaddun
Islam di kota Baghdad, Andalusia, dan Turki, mereka mambawa semua inti pokok ajaran
kekayaan intelektual Islam ke negeri-negeri mereka, hanya ada satu yang tersisa
yakni “transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi atau syi’ir” yang
tidak bisa diterapkan dalam kehidupan ilmiah mereka.[7]
Itu sebabnya, menurut kacamata Peter Wilson seorang
sastrawan yang telah banyak menerjemah puisi-pusi sufi, menyadari betul substansi
muatan nilai estetika cinta sastra religius; baik dari beberapa karya berbentuk
puisi, dan prosais. Semua tidak lain adalah cagar warisan dari tradisi yang
mengandung sejimbun muatan nilai-nilai cinta universal sufisme, nilai kebajikan
yang merangkul semua kebutuhan umat manusia.
Oasis Sastra Pesantren
Perkembangan awal mula sastra dapat ditandai oleh
munculnya tokoh-tokoh sekaliber Fariduddin Attar, Fakhruddin Iraqi, Rabi’ah al-Adawiyah, Dzun Nun al-Misri,
Anshar, al-Hallaj, Ibn Arabi, Ibn Faried, Jaluddin Rumi,
Hafiz, Abu Sa’id Abd
al-Khair, Sana’i, dan
Jami’—untuk menyebut beberapa nama saja—semua adalah jagoan lirik yang masyhur.[8] Para
pemuka sufi ternama yang memang dikaruniai bakat sebagai penyair.
Menurut Abdul Hadi. WM. para sufi banyak menyumbangkan
karya sastra yang menyokong berkembangnya peradaban dunia mutakhir:
Mereka mewarisi karya di bidang kemasyarakatan, politik, pemerintahan,
seni, ilmu bahasa, metafisika, psikologi, fisika, dan lebih-lebih lagi beragam
prosa dan puisi yang kaya dengan renungan, imajinasi, dan sangat mempesona
pembacanya. Dan para sufi inilah yang menjadi pelopor kebangkitan sastra
nasional di negeri-negeri Islam, mulai dari Sastra Arab, Persia, Turki, Hindi,
Urdu, dan lain-lain, sampai ke Sastra Melayu (Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Sumatrani, Bukhari Jauhari, Nuruddin Arraniri, Abdurrauf Singkel).[9]
Dari beberapa warisan intelektual zaman kuno, karya
sastra sufi-lah yang memuat ajaran cinta, tentu sumber kesadaran kesusastraan
pesantren banyak terilhami dari ajaran-ajaran tasawuf para sufisme tersebut,
karena tidak lain perkembangan sastra klasik banyak ditulis oleh para penyair
sufi yang cenderung memuat nilai sufistik dan punya hubungan erat dengan ajaran
tasawuf itu sendiri. Sebab itulah Acep Zamzam Noor, mengatakan bahwa sastra
ditulis dalam rangka mencapai tujuan perjuangan hidup, yaitu amar makruf
nahi munkar, menegakkan kebaikan dan mencegah kejahatan. Inilah sasaran para penyair
sufi sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.[10]
Manifesto ajaran cinta dan kebaikan yang disampaikan oleh
para sufi agung telah memberi kekayaan ruhani, serta muatan estetik sastra
pedagogis dengan menampilkan platform berbagai dimensi sumber kebaikan
sosial yang lebih humanis dan toleran.[11]
Pada gilirannya, ketika puisi menampilkan oasis keagungan cinta Tuhan, dengan
sendirinya esensi cinta melekat pada lokus hakikat puisi laksana
arketip-arketip kecil yang tidak parsial menyebarkan nilai agama Islam yang rahmatan
lil alamin.
Wallahua’lam...
*Penulis adalah mahasiswa Akhlaq Tasawuf, semester VII Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika),
sekaligus ketua LPM Instika 2016-2017 M.
Daftar Pustaka
Abdul
Hadi W.M, Semesta Maulana Rumi. DIVA Press, Yogyakarta, 2016.
Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali
Jamnia, Telaga Cinta Para Sufi, Saufa: Yogyakarta, 20015.
Margaret
Smith. Rabi’ah; Pergulatan Spritual Perempuan. (Risalah Gusti: Surabaya,
Cet. IV, 2001.
Fakhruddin Iraqi. Lama’at (Kilau
Kemilau Ilahi), terj. Hodri Ariev, Gramedia Pustaka: Jakarta, 2001.
Syekh Muzaffer Ozak. Secawan
Anggur Cinta. Terj. Iradatul Aini, (Love Is The Wine: Talks of a Sufi
Master In America), Zaman: Jakarta, Cet. I, 2016.
Muttaqin, Jamalul , Suatu Hari Mereka Membunuh
Musim, Gambang, Yogyakarta, 2016
http://sastra-acepzamzamnoor.blogspot.co.id/2009/08/artikel-18.htm,
diakses pada tanggal, 09 Februari 2016.
[3] Margaret Smith. Rabi’ah; Pergulatan
Spritual Perempuan. (Risalah Gusti: Surabaya, Cet. IV, 2001).
[9]Abdul Hadi W.M, Semesta Maulana
Rumi. DIVA Press, Yogyakarta, 2016, hlm, 07.
[10]Lebih
jelasnya bisa dilihat dalam tulisan: http://sastra-acepzamzamnoor.blogspot.co.id,
diakses pada tanggal, 09 Februari 2016.
0 Response to "SUFISME: Menakar Nilai Esoteris Cinta (Ikhtiar Menuju Perkembangan Perenial Khazanah Sastra Pesantren)"
Post a Comment
Terimkasih...