-->

SUFISME: Menakar Nilai Esoteris Cinta (Ikhtiar Menuju Perkembangan Perenial Khazanah Sastra Pesantren)

Gambah oleh: http://elokmawarniafnindaoneruwita.blogspot.co.id


Ada banyak para pakar ulama mengatakan dunia “sufisme” adalah jalan menuju pendekatan kepada Sang Pencipta, melalui pintu gerbang yang bernama “hati”, dan hati digerakkan oleh kendaraan bernama “cinta”.[1] Dengan kekuatan cinta tersebut seorang sufi bisa mencapai makrifat kepada Tuhannya. Rumi membahasakan cinta adalah sesuatu yang turun dari dunia jiwa yang lebih tinggi untuk membawa hati manunsia kepada penyatuan dengan Tuhannya.[2]

Para sufi menjadikan maqom cinta ini sebagai transmisi menuju puncak kesatuan antara makhluk dan khaliq (the Oneness of Being). Katakanlah, sufi wanita Robiah al-Adawiyah yang berhasil meniti jalan mahabbah menuju puncak gradasi tertinggi isyq-i haqiqi.[3] Ia dimabukkan oleh anggur cinta Tuhan, yang bergelora dan menghanyutkan setiap jiwa.

Sebagaimana dipaparkan agnostik Ibn Arabi, bahwa cinta tidak bisa diekspresikan lewat khuruf khuruf yang terlalu kaku dan ilmiah, keagungan cinta hanya bisa diungkapkan dalam bentuk kata-kata yang sarat alegoris-metaforis, contoh kecilnya saja, ketika jamak para ulama sufi menggambarkan suasana hati yang membuka cakrawala diri bagi realitas-realitas dalam merespon al-Tajalliyyat al-Iahiyyah.[4] Itu sebabnya, pengagum Ibn Arabi seperti Fakhruddin Iraqi memposisikan duduk persoalan cinta pada jalan yang sama, cinta yang tak terbatas mahdudah (delimited) dan muta’ayyan (entified) sesuai dengan wadah dimana Tuhan memanifestasikan diri-Nya.[5]

Meminjam dari perkataan Syekh Muzaffer Ozak, dalam bukunya “Love Is The Wine” beliau sangat bijak nan arif melihat kekuatan cinta sebagai sumber kebaikan dan keindahan Tuhan yang bersifat universal-humanis.[6] Menurutnya, energi cinta dalam dimensi sufi bisa dilihat pada dualisme fungsi, cinta sebagai jalan menuju Tuhan Sang Mahacinta (the Strages of the Path). Kedua, cinta sebagai kekuatan (powerful) untuk mencintai sesama manusia tanpa menghilangkan aspek spritualitas-nya menuju Tuhan.

Pada gradasi cinta yang kedua ini signifikansi nilai sastra sufi sangat besar sumbangsinya dalam khazanah sastra klasik religius. Dimana perkembangan sastra itu mencapai puncaknya di pesantren-pesantren. Dalam geneologi sejarah dipaparkan bahwa, ketika Barat menghancurkan pusat Tamaddun Islam di kota Baghdad, Andalusia, dan Turki, mereka mambawa semua inti pokok ajaran kekayaan intelektual Islam ke negeri-negeri mereka, hanya ada satu yang tersisa yakni “transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi atau syi’ir” yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan ilmiah mereka.[7]

Itu sebabnya, menurut kacamata Peter Wilson seorang sastrawan yang telah banyak menerjemah puisi-pusi sufi, menyadari betul substansi muatan nilai estetika cinta sastra religius; baik dari beberapa karya berbentuk puisi, dan prosais. Semua tidak lain adalah cagar warisan dari tradisi yang mengandung sejimbun muatan nilai-nilai cinta universal sufisme, nilai kebajikan yang merangkul semua kebutuhan umat manusia.           

Oasis Sastra Pesantren

Perkembangan awal mula sastra dapat ditandai oleh munculnya tokoh-tokoh sekaliber Fariduddin Attar, Fakhruddin Iraqi, Rabi’ah al-Adawiyah, Dzun Nun al-Misri, Anshar, al-Hallaj, Ibn Arabi, Ibn Faried, Jaluddin Rumi, Hafiz, Abu Sa’id Abd al-Khair, Sana’i, dan Jami’—untuk menyebut beberapa nama saja—semua adalah jagoan lirik yang masyhur.[8] Para pemuka sufi ternama yang memang dikaruniai bakat sebagai penyair.

Menurut Abdul Hadi. WM. para sufi banyak menyumbangkan karya sastra yang menyokong berkembangnya peradaban dunia mutakhir:
 Mereka mewarisi karya di  bidang kemasyarakatan, politik, pemerintahan, seni, ilmu bahasa, metafisika, psikologi, fisika, dan lebih-lebih lagi beragam prosa dan puisi yang kaya dengan renungan, imajinasi, dan sangat mempesona pembacanya. Dan para sufi inilah yang menjadi pelopor kebangkitan sastra nasional di negeri-negeri Islam, mulai dari Sastra Arab, Persia, Turki, Hindi, Urdu, dan lain-lain, sampai ke Sastra Melayu (Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Bukhari Jauhari, Nuruddin Arraniri, Abdurrauf Singkel).[9]

Dari beberapa warisan intelektual zaman kuno, karya sastra sufi-lah yang memuat ajaran cinta, tentu sumber kesadaran kesusastraan pesantren banyak terilhami dari ajaran-ajaran tasawuf para sufisme tersebut, karena tidak lain perkembangan sastra klasik banyak ditulis oleh para penyair sufi yang cenderung memuat nilai sufistik dan punya hubungan erat dengan ajaran tasawuf itu sendiri. Sebab itulah Acep Zamzam Noor, mengatakan bahwa sastra ditulis dalam rangka mencapai tujuan perjuangan hidup, yaitu amar makruf nahi munkar, menegakkan kebaikan dan mencegah kejahatan. Inilah sasaran para penyair sufi sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.[10]

Manifesto ajaran cinta dan kebaikan yang disampaikan oleh para sufi agung telah memberi kekayaan ruhani, serta muatan estetik sastra pedagogis dengan menampilkan platform berbagai dimensi sumber kebaikan sosial yang lebih humanis dan toleran.[11] Pada gilirannya, ketika puisi menampilkan oasis keagungan cinta Tuhan, dengan sendirinya esensi cinta melekat pada lokus hakikat puisi laksana arketip-arketip kecil yang tidak parsial menyebarkan nilai agama Islam yang rahmatan lil alamin.      
                        Wallahua’lam...

*Penulis adalah mahasiswa Akhlaq Tasawuf, semester VII Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), sekaligus ketua LPM Instika 2016-2017 M.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W.M, Semesta Maulana Rumi. DIVA Press, Yogyakarta, 2016.
            Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, Telaga Cinta Para Sufi, Saufa: Yogyakarta, 20015.
Margaret Smith. Rabi’ah; Pergulatan Spritual Perempuan. (Risalah Gusti: Surabaya, Cet. IV, 2001.
            Fakhruddin Iraqi. Lama’at (Kilau Kemilau Ilahi), terj. Hodri Ariev, Gramedia Pustaka: Jakarta, 2001.
            Syekh Muzaffer Ozak. Secawan Anggur Cinta. Terj. Iradatul Aini, (Love Is The Wine: Talks of a Sufi Master In America), Zaman: Jakarta, Cet. I, 2016.
Muttaqin,  Jamalul , Suatu Hari Mereka Membunuh Musim, Gambang, Yogyakarta, 2016
            http://sastra-acepzamzamnoor.blogspot.co.id/2009/08/artikel-18.htm, diakses pada tanggal, 09 Februari 2016.



                [1] Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, Telaga Cinta Para Sufi, Saufa: Yogyakarta, 20015., hlm, 36.             
                [2]Ibid, hlm, 229.
[3] Margaret Smith. Rabi’ah; Pergulatan Spritual Perempuan. (Risalah Gusti: Surabaya, Cet. IV, 2001).

                [4] Fakhruddin Iraqi. Lama’at (Kilau Kemilau Ilahi), terj. Hodri Ariev, Gramedia Pustaka: Jakarta, 2001., hlm, ix.
                [5]Ibid, 43.
                [6]Syekh Muzaffer Ozak. Secawan Anggur Cinta. Terj. Iradatul Aini, (Love Is The Wine: Talks of a Sufi Master In America), Zaman: Jakarta, Cet. I, 2016., hlm, 41.   
                [7]Jamalul Muttaqin,  Suatu Hari Mereka Membunuh Musim, Gambang, Yogyakarta, 2016, hlm, 67
[8]Ibid, 10.
[9]Abdul Hadi W.M, Semesta Maulana Rumi. DIVA Press, Yogyakarta, 2016, hlm, 07.
                [10]Lebih jelasnya bisa dilihat dalam tulisan: http://sastra-acepzamzamnoor.blogspot.co.id, diakses pada tanggal, 09 Februari 2016.      
                [11]Op.Cit,   Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, hlm, 19.

0 Response to "SUFISME: Menakar Nilai Esoteris Cinta (Ikhtiar Menuju Perkembangan Perenial Khazanah Sastra Pesantren)"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel