-->

Berfikir Jadi Penulis


Gambar oleh: pena-an-nahl.blogspot.com

“Menjadi penulis itu gampang,” kata seorang penyaji dalam Pelatihan Kelas Menulis Santri tiga tahun yang lalu di Pondok Pesantren Annuqayah, dia adalah Imam Shofwan dari wartawan Yayasan Pantau.Kemudian Shofwan mengutip aforisme klasik dari Imam Al-Ghazali yang sudah sekian lama kita kenal di dunia pesantren tentang suntikan semangat untuk menjadi terkenal, barangkali al-Ghazali hanya menilai orang menulis untuk dikenal, untuk eksis, untuk keberadaan dirinya sendiri (my self).Penulis pikir, semua butuh disesuaikan dengan kondisi dan keinginan seseorang agar dapat terdorong menjadi seorang penulis.

Akhirnya, penulis mencoba mengutip apa yang Imam Shofwan ajarkan beberapa tahun itu di Pelatihan Jurnalistik-I, yang diselenggarakan pengurus Pers Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, kemarin (21/09). Penulis katakan: menjadi penulis itu sulit atau gampang? Kalau Anda bukan anak seorang raja, maka menulislah agar cepat dikenal. Saya cantumkan pula seruan ayat al-Qur’an yang berkelindan dengan makna penting “menulis” salah satunya dalam QS. Al-Qalam: 1 dan QS. Al-Alaq: 1-5, dalam surat yangterakhir disebutkanlah bahwa Allah mengajarkan manusia dengan perantara kalam (tulisan), dan Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Mereka termangut-mangut pertanda paham dengan apa yang penulis jelaskan.Terlintas, mereka menghargai, dan mengerti pentingnya menulis secara pedagogik dan fungsional, dan seketika mereka menimpali dengan pertanyaan yang sedikit skiptis seolah tidak menerima dengan otak tumpul, tentang kenyataan-kenyataan yang bersebarangan dengan logika hukum sebab akibat yang saya paparkan dimuka—menulis dan ingin terkenal.
“Mungkinkah al-Ghazali dulu sebatas menulis tanpa berpikir ingin mendapatkan keuntungan materil dari menulis?”Tanya peserta Pelatihan Jurnalistik-I, sejenak, penulis terus membiarkan peserta yang lain nyeletuk, “bagaimana jika menulis pingen menjadi politisi?” dua pertanyaan yang cukup membingungkan untuk penulis jawab apalagi untuk merangkum menjadi satu jawaban sekaligus.

Penulis biarkan ngelantur sejenak, dan melanjutkan dengan perkataan Dr. Abdul Hadi WM, seniman sufi Indonesia, menurut penulis kelahiran Madura itu “faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan jadi penulis adalah; 90% kerja keras, 5% bakat, dan 5% terdapat pada faktor keberuntungan. Adakah beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di muka pada pernyataan guru besar sastra di UI itu? Akhirnya, dengan mempertimbangkan logika yang sederhana, lalu menjawab apa yang dituturkan oleh seorang kritikus sastra tersebut kepada mereka, bahwa kerja keras yang dilakukan oleh semua orang akan lebih menentukan—tindakan dan usaha—lebih diprioritaskan dalam melatih diri menjadi penulis, tinggal mereka bisa memilih ingin menjadi penulis seperti apa? “Anda bisa menjadi penulis seperti apa yang Anda fikirkan sekarang, ingin jadi orang kaya, politisi, atau sebatas ingin jadi penulis?” sebuah jawaban sindiran yang lebih halus.

Setelah penulis jawab, mereka masih belum seutuhnya mengerti tentang jawaban tersebut: “kami ingin menjadi penulis, Pak!” yang lain juga menimpali, “Kami ingin mendapatkan uang dari menulis, Pak!”. Sehingga, penulis berkesimpulan bahwa para peserta Pelatihan Jurnalistik-I sangat beragam dalam kehendak pencarian jati dirinya sendiri, tak ada yang seutuhnya menginginkan menulis menjadi kebutuhan,apalagi untuk menjadi dirinya sendiri sebagaimana al-Ghazali contohnya.

Baiklah. Kemudian penulis meminta kepada peserta Pelatihan Jurnalistik-I, untuk membuang semua keinginan yang tidak berkaitan dengan dirinya untuksekadar menjadi seorang penulis; baik yang ingin jadi kiai, politisi, pembisnis, dsb. Dengan cara membuang semua atribut yang tidak diperlukan dalam forum kepenulisan, mereka dapat memfokuskan untuk “berfikir menjadi seorang penulis.” Kadang, dalam hal mengajar, seorang guru tidak dapat mengetahui seluk-beluk keinginan murid dan tidak dapat menguasai hati murid yang sedang gundah. Akibatnya,mereka tidak akan menemukan jati dirinya, apalagi dijejali sebuah materi yang kurang berhubungan dengan keinginan murid.
Berfikir menjadi penulis bagi penulis sendiri adalah sesuatu yang harus dimulai untuk mengenalkan apa yang ingin disampaikan kepada anggota Pelatihan Jurnalistik-I atau kepada orang lain, kebetulan sembilan elemen yang ditulis Bill Kovach dalam bukunya The Elements of Journalism, merupakan materi yang penulis pegang saat itu. Dengan cara seperti ini, penulis menegaskan kembali kepada seluruh peserta, bahwa kunci yang pertama menjadi penulis (apalagi wartawan) adalah bersikap jujur; ia jujur kepada orang lain, dan jujur kepada dirinya sendiri. “Lalu, apakah kejujuran yang harus Anda lakukan hari ini?”dalam keadaan mereka yang sangat sulit untuk jujur pada dirinya sendiri, terutama karena kejujuran (honesty) adalah sifat yang begitu sulit untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya, untuk menuntaskan elemen pertama tentang kebenaran (truth) sulitnya setengah mati.

Banyaknya propaganda yang berhembus melupakan masyarakat untuk menjunjung tinggi kebenaran, aktifitas kehidupan manusia tercecar dengan beragam informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan, banyak pula wartawan yang tidak berani mengungkap kebenaran karena hegemoni kunkungan yang bersifat politis, para penulis tak pernah benar-benar seberani Mahbub Djunaidi menyuarakan imperialisme, tak seberani Hamka menyuarakan komunisme, dan tak seteguh Tan Malaka menentang kolonialisme.

Sampai pada akhirnya, tak sempat berfikir menjadi penulis, mereka (peserta Pelatihan Jurnalisti-I)sudah gagal untuk membuktikan kebenaran pada dirinya. Mereka ingin melupakan di balik pahitnya berproses. Sebab begitu sulitnya kita menemukan identitas dalam kepenulisan, diakhir materi penulis katakan, “Jika kalian ingin menjadi penulis jangan ikut pelatihan menulis, tapi menulislah setiap hari”.

0 Response to "Berfikir Jadi Penulis"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel