Berfikir Jadi Penulis
Thursday, September 7, 2017
Add Comment
Gambar oleh: pena-an-nahl.blogspot.com |
“Menjadi
penulis itu gampang,” kata seorang penyaji dalam Pelatihan Kelas Menulis Santri
tiga tahun yang lalu di Pondok Pesantren Annuqayah, dia adalah Imam Shofwan dari
wartawan Yayasan Pantau.Kemudian Shofwan mengutip aforisme klasik dari Imam
Al-Ghazali yang sudah sekian lama kita kenal di dunia pesantren tentang
suntikan semangat untuk menjadi terkenal, barangkali al-Ghazali hanya menilai
orang menulis untuk dikenal, untuk eksis, untuk keberadaan dirinya sendiri (my
self).Penulis pikir, semua butuh disesuaikan dengan kondisi dan keinginan
seseorang agar dapat terdorong menjadi seorang penulis.
Akhirnya,
penulis mencoba mengutip apa yang Imam Shofwan ajarkan beberapa tahun itu di
Pelatihan Jurnalistik-I, yang diselenggarakan pengurus Pers Pondok Pesantren
Annuqayah daerah Lubangsa, kemarin (21/09). Penulis katakan: menjadi penulis
itu sulit atau gampang? Kalau Anda bukan anak seorang raja, maka menulislah
agar cepat dikenal. Saya cantumkan pula seruan ayat al-Qur’an yang
berkelindan dengan makna penting “menulis” salah satunya dalam QS. Al-Qalam: 1
dan QS. Al-Alaq: 1-5, dalam surat yangterakhir disebutkanlah bahwa Allah mengajarkan
manusia dengan perantara kalam
(tulisan), dan Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Mereka
termangut-mangut pertanda paham dengan apa yang penulis jelaskan.Terlintas,
mereka menghargai, dan mengerti pentingnya menulis secara pedagogik dan
fungsional, dan seketika mereka menimpali dengan pertanyaan yang sedikit
skiptis seolah tidak menerima dengan otak tumpul, tentang kenyataan-kenyataan
yang bersebarangan dengan logika hukum sebab akibat yang saya paparkan dimuka—menulis
dan ingin terkenal.
“Mungkinkah
al-Ghazali dulu sebatas menulis tanpa berpikir ingin mendapatkan keuntungan
materil dari menulis?”Tanya peserta Pelatihan Jurnalistik-I, sejenak, penulis
terus membiarkan peserta yang lain nyeletuk, “bagaimana jika menulis pingen
menjadi politisi?” dua pertanyaan yang cukup membingungkan untuk penulis jawab
apalagi untuk merangkum menjadi satu jawaban sekaligus.
Penulis
biarkan ngelantur sejenak, dan melanjutkan dengan perkataan Dr. Abdul Hadi WM,
seniman sufi Indonesia, menurut penulis kelahiran Madura itu “faktor-faktor
yang mempengaruhi kesuksesan jadi penulis adalah; 90% kerja keras, 5% bakat,
dan 5% terdapat pada faktor keberuntungan. Adakah beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
di muka pada pernyataan guru besar sastra di UI itu? Akhirnya, dengan
mempertimbangkan logika yang sederhana, lalu menjawab apa yang dituturkan oleh seorang
kritikus sastra tersebut kepada mereka, bahwa kerja keras yang dilakukan oleh
semua orang akan lebih menentukan—tindakan dan usaha—lebih diprioritaskan dalam
melatih diri menjadi penulis, tinggal mereka bisa memilih ingin menjadi penulis
seperti apa? “Anda bisa menjadi penulis seperti apa yang Anda fikirkan
sekarang, ingin jadi orang kaya, politisi, atau sebatas ingin jadi penulis?” sebuah
jawaban sindiran yang lebih halus.
Setelah
penulis jawab, mereka masih belum seutuhnya mengerti tentang jawaban tersebut: “kami
ingin menjadi penulis, Pak!” yang lain juga menimpali, “Kami ingin mendapatkan
uang dari menulis, Pak!”. Sehingga, penulis berkesimpulan bahwa para peserta Pelatihan
Jurnalistik-I sangat beragam dalam kehendak pencarian jati dirinya sendiri, tak
ada yang seutuhnya menginginkan menulis menjadi kebutuhan,apalagi untuk menjadi
dirinya sendiri sebagaimana al-Ghazali contohnya.
Baiklah.
Kemudian penulis meminta kepada peserta Pelatihan Jurnalistik-I, untuk membuang
semua keinginan yang tidak berkaitan dengan dirinya untuksekadar menjadi
seorang penulis; baik yang ingin jadi kiai, politisi, pembisnis, dsb. Dengan
cara membuang semua atribut yang tidak diperlukan dalam forum kepenulisan, mereka
dapat memfokuskan untuk “berfikir menjadi seorang penulis.” Kadang, dalam hal
mengajar, seorang guru tidak dapat mengetahui seluk-beluk keinginan murid dan
tidak dapat menguasai hati murid yang sedang gundah. Akibatnya,mereka tidak
akan menemukan jati dirinya, apalagi dijejali sebuah materi yang kurang
berhubungan dengan keinginan murid.
Berfikir
menjadi penulis bagi penulis sendiri adalah sesuatu yang harus dimulai untuk
mengenalkan apa yang ingin disampaikan kepada anggota Pelatihan Jurnalistik-I
atau kepada orang lain, kebetulan sembilan elemen yang ditulis Bill Kovach
dalam bukunya The Elements of Journalism, merupakan materi yang penulis
pegang saat itu. Dengan cara seperti ini, penulis menegaskan kembali kepada
seluruh peserta, bahwa kunci yang pertama menjadi penulis (apalagi wartawan)
adalah bersikap jujur; ia jujur kepada orang lain, dan jujur kepada dirinya
sendiri. “Lalu, apakah kejujuran yang harus Anda lakukan hari ini?”dalam
keadaan mereka yang sangat sulit untuk jujur pada dirinya sendiri, terutama
karena kejujuran (honesty) adalah sifat yang begitu sulit untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya, untuk menuntaskan elemen
pertama tentang kebenaran (truth) sulitnya setengah mati.
Banyaknya
propaganda yang berhembus melupakan masyarakat untuk menjunjung tinggi
kebenaran, aktifitas kehidupan manusia tercecar dengan beragam informasi yang
tak dapat dipertanggungjawabkan, banyak pula wartawan yang tidak berani
mengungkap kebenaran karena hegemoni kunkungan yang bersifat politis, para
penulis tak pernah benar-benar seberani Mahbub Djunaidi menyuarakan
imperialisme, tak seberani Hamka menyuarakan komunisme, dan tak seteguh Tan
Malaka menentang kolonialisme.
Sampai
pada akhirnya, tak sempat berfikir menjadi penulis, mereka (peserta Pelatihan
Jurnalisti-I)sudah gagal untuk membuktikan kebenaran pada dirinya. Mereka ingin
melupakan di balik pahitnya berproses. Sebab begitu sulitnya kita menemukan
identitas dalam kepenulisan, diakhir materi penulis katakan, “Jika kalian ingin
menjadi penulis jangan ikut pelatihan menulis, tapi menulislah setiap hari”.
0 Response to "Berfikir Jadi Penulis"
Post a Comment
Terimkasih...