Berkenalan Lebih Dekat ; Mengais-Ngais Atmosfer Perkembangan Sastra Pesantren di Annuqayah
Sunday, October 1, 2017
Add Comment
Sastra dan pesantren
bagai dua term yang saling berkelindan, bermesraan bagai dua mempelai di
pelaminan, bagai sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Keduanya beriringan
berjalan dalam satu tempo atau waktu yang tak terbatas memasuki labirin
pengetahuan kesusastraan yang pada abad ke-17 sudah pesat menjadi satu sarana
dakwah yang dibangun oleh para ulama di Nusantara.
Sebenarnya,
meminjam apa yang dikatakan Baso, bukan hanya terbatas pada perkembangan
kesusastraan pesantren sebagai lumbung pengetahuan seni bersastra, lebih jauh
menyingkap khazanah keilmuan pesantren ini, kita akan mendapatkan lagi pengetahuan
tentang peninggalan-peninggalan yang lebih menarik; ia berupa kesenian, berupa
tradisi, berupa sejarah atau historis super panjang ketika diulas secara lebih
detail, semuanya juga masuk dalam dunia kesusastraan, ya rasanya hidup itu
bagai bersastra.
Taruhlah
disini, Baso menyebutnya seperti kisah kelahiran-kelahiran pujangga kraton, ada
Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita, sudah melek sastra meski dulu sih
kita kenal sastra ya berupa kakawin, serat dan babad. Barangkali, benar Baso
bahwa pesantren masih tak dapat menghapus ingatan pada romantisme kerajaan
Hindu, Budha, yang menjadi kepanjangan tangan dari perkembangan bersastra oleh
para ulama’ Wali Sanga. Di sini yang, bagi penulis sendiri, pesantren bukan
sebatas menulis inspirasi-inspirasi dari kitab gundul atau kitab kuning klasik,
melainkan menyerap budaya dan tradisi nenek moyang kita semenjak dua abad lebih
yang lalu.
Kraton Surakarta adalah tempatnya, seperti Yasadipura I sudah menghabiskan bacaan-bacaan dari naskah-naskah Jawa
Kuno, Serat Dewaruci hingga Suluk Malang Sumirang. Tentu
untuk mengatakan sastra pesantren miskin pengetahuan dan kaku dalam cara-cara
bersastra kita terlalu picik. Di Sumenep saja, dulu dipimpin seorang raja yang
nyantri seperti Arya Wiraaja, Pangeran Joko Toli, dan banyak di antara mereka yang
dikebumikan di Asta Tinggi, Sumenep, meninggalkan jagat sastra yang tak sedikit
untuk ditulis di sini.
Sampai di
generasi melineal, hidup bersastra bukan barang baru lagi; bukan barang anyar
yang kedap-kedap kita melihatnya. Dalam kehidupan yang lebih mafhum,
pesantren mencatat bahwa akar rumput historis munculnya sastra pesantren secara
genealogis berkelindan dengan perjuangan para ulama yang menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa dan Madura. Utamanya, mereka menyebarkan lewat transmisi
budaya bersastra tadi—di masa-masa kerajaan—mungkin juga sampai hari ini,
tradisi bersastra tetap dilestarikan, sebut tari Sintong, yang beberapa bulan
lalu ditampilkan dalam penyambutan Presiden Jokowi, pada Hari Perdamaian
Internasional di Instika.
Perkembangan
bersastra yang demikian, menarik, eksotis, sarat etis, sekaligus religius
dibandingkan dengan kelahiran para pujangga mutakakhir yang ditandai dengan percakapan
ruang modernisme dalam pusaran globalisasi yang mejadikan tingkat eksotisme
sastra semakin kabur, dan tak memiliki arti penting.
Komunitas Sastra Pesantren;
Memupuk Pengetahuan Bersastra di Annuqayah
Jika dimuka, penulis telah menceritakan bagaimana
perlahan sastra itu berkembang, berevolusi dari tingkat perkembangannya hatta
pada dimensi waktu yang sekarang kita lihat sekaligus dapat bercakap-cakap
dengan satu kondisi masa yang jauh dengan kita. Sekarang, penulis ingin lebih
akrab menghadirkan ruh sastra pesantren dengan sebuah essai yang sangat
terbatas dan sederhana. Barangkali karena permintaannya terlalu mendesak, terlalu
gegabah, dan bersifat tunjuk menunjuk-an sih. Mungkin bagian dari cara bersastra di pesantren adalah dengan model
demikian. Entahlah kita tak usah mempermasalahkan cara-cara yang demikian
instan dan gegabah.
Apa yang
religi? Begitulah pertanyaan Gus Dur tentang seorang Djamil
Suherman—penyair dari pesantren—sedang karyanya belakangan menjadi babon sastra
bagi para pecinta sastra. Bararangkali Djamil Suherman, adalah satu di antara
seribu penulis yang lahir di tengah-tengah atmosfer perkembangan sastra
pesantren tahun 50-an yang harus disebutkan namanya di sini. Karena belakangan
menyebut sastra “pesantren” penulis sekadar menyebut nama-nama penyairnya bukan
menyebut karya-karya sastra pesantren.
Ya, sebenarnya
sastra yang religius bagi Acem Zamzam Noor bukan ia seorang agamawan, akan
tetapi ia berupa karya. Sayang, belakangan ketika—entah siapa pun—ketika
menulis pemahaman sastra pesantren mereka cukup bangga (hanya) dengan menyebut
sebuah nama, seperti mengutip: Mustofa Bisri (Gus Mus) yang begitu menonjol
dengan karya sufistik-religi (keislaman) melalui puisi dan cerpen-cerpennya,
Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, Ahmad Tohari, Alm. Zainal Arifin Thoha,
tentu juga D. Zawawi Imron tak ketinggalan seseorang yang karya sastranya
melonjak tak terhalang oleh ruang dan waktu. Lalu, apa menariknya menyebutkan
nama-nama penyair tersebut? Jika mereka—yang menulis—tak pernah tau apa ide-ide
yang paling menarik untuk disumbangkan bagi perkembangan sastra pesantren?
Untuk apa mereka dikutip-kutip dalam penulisan sastra pesantren.
Sudahlah. Kita
lupakan saja itu. Seorang kritikus sastra sekaliber Abdul Hadi WM, pernah
mengatakan bahwa tradisi ber-“sastra” di pesantren adalah tradisi yang
dipelajari yang mendapat bimbingan langsung lewat kehidupan-kehidupan yang
religius sehari-hari. Sebab itu, penulis essai-essai tentang Hamza Fansuri ini,
setali dengan apa yang disampaikan oleh Agus Noor bahwa saat membaca sastra. Ia
menempatkan segala aspek adalah sastra di pesantren adalah kajian dan bagian
dari sastra, baik dari literasi yang dibaca, sebut syair atau nadzam seperti
kitab Imrithi, Alfiyah Ibn Malik, Nadzam al-Maqsud, dan semacamnya menjadi
faktor utama terbentuknya seorang santri menjadi penyair.
Dalam kehidupan
pesantren bagi seorang santri dan pecinta karya sastra, mereka tidak bisa
dipisahkan dengan yang namanya aktifitas mengaji kitab-kitab klasik (baca:
kitab kuning) yang ditulis dengan nadzam tersebut, salah satu pesantren yang
dimaksud tak lain adalah Annuqayah. Dari kurun waktu sepuluh tahun terakhir
(akhir-akhir ini), Annuqayah menjadi bagian dari perkembangan sentral sastra
yang ada di Nusantara, khususnya di Madura. Sehingga tak heran apabila
pesantren Annuqayah seringkali muncul dalam jagat kesusastraan, mengisi
media-media sastra, mengisi kegiatan-kegiatan sastra dari kegiatan yang
bersifat lokal, regional hingga yang nasional atau bahkan internasional.
Perjalanan
itulah yang menentukan napak tilas pesantren Annuqayah melaju pada arah yang
semakin nampak ke permukaan, sehingga tidak jarang bermunculan komunitas-komunitas
sastra di bumi terjal dan ngarai itu. Penting kiranya kita melihat di mana
sebenarnya sumber utama yang paling sentral dalam mengembangkan kultur
kesusastraan di Annuqayah. Salah satunya tradisi kesusastraan di Annuqayah
ditandai dengan munculnya komunitas-komunitas, barangkali yang paling senior ya
komunitas Lesehan Sastra Annuqayah (LSA), yang kemudian diikuti oleh
komunitas-komunitas sastra yang lain seperti komunitas Penyisir Sastra Iksabad
(Persi) yang masih belia sekali.
Melihat dari perkembangan
lembaga-lembaga sastra yang terus bermunculan, kegiatan-kegiatan sastra,
seperti menerbitkan buku antologi sastra, baca puisi, bedah karya sastra, dsb.
Menandakan pesantren Annuqayah adalah pesantren yang berbasis pengembangan
kesusastraan, di sinilah bibit-bibit penyair bermunculan.
Berkenaan dengan hal itu, telah
meletakkan pesantren Annuqayah menjadi salah satu sumber mata air yang tak
henti-hentinya mengalirkan tentang perkembangan kesusastraan, penting kiranya
kita melihat dimana sebenarnya sumber utama yang paling sentral air itu mengalir?
Di sini kita harus berani membicarakan peran dan sumbangsih serta bagaimana
sejarah berdirinya komunitas-komunitas tersebut, katakanlah komunitas Persi
yang baru berusia empat tahun bergerak. Sampai di
sini, dan pada tulisan ini pula saya belum bisa menyelesaikan pertanyaan tadi. Biarkan
mereka yang dapat meneruskan tulisan ini. Wallahua’lam....
*Mantan Ketua Komunitas Persi 2012 M.
0 Response to "Berkenalan Lebih Dekat ; Mengais-Ngais Atmosfer Perkembangan Sastra Pesantren di Annuqayah "
Post a Comment
Terimkasih...