Islam: Sebagai Agama Reorientasi Hidup Santun
Sunday, November 29, 2015
Add Comment
Gambar oleh: www. mtirc.co |
Agama
Islam adalah agama universal yang relevan dengan kehidupan manusia sepanjang
zaman. Pada akarnya, Islam merupakan agama samawi yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, Saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam tanpa pengecualian. Di sana,
kita bisa menemukan ajaran pokok agama yang menerangkan cara bersikap sopan
santun kepada orang lain.
Jika mengacu pada trilogi ajaran agama
Islam, kita akan mendapatkan ajaran yang berbicara tentang hubungan sesama
manusia (social of relationship), di dalamnya diajarkan salah satunya bersikap
santun pada orang lain, menghormati sesama, tolong-menolong, sabar, penuh belas
kasihan dan yang lainya. Oleh sebab itu, misi utama Nabi Muhammad, Saw. sebagai
pembawa wahyu adalah untuk menyempurnakan akhlak di muka bumi dan menegakkan
keadilan. Sehingga manusia perlu dengan tuntunan ajaran al-Qur’an dan Hadits
sebagai internalisasi dari nilai-nilai ajaran Islam secara kontekstual yang
elastis sesuai dengan perkembangan zaman.
Meminjam bahasanya Hendrianto Attan
(2007), agama selain sebagai penuntun juga memiliki fungsi sosial yang lebih
eksplisit dan praktis, yaitu sebagai pengerat kekuatan sosial. Berangkat dari
fakta tersebut, agama (agama manapun) harus mengandung nilai-nilai universal
yang manifes sepanjang sejarah peradaban manusia. Harun Nasution (1919) memandang agama sebagai
teks atau kitab suci. Selanjutnya dikatakan bahwa agama berarti tuntunan yang
mengandung ajaran hidup bagi penganutnya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam
sebagai oasis kedamaian, yang menjadi titik sumbu inspirasi terciptanya iklim kehidupan
yang santun dan harmonis, semua telah terkonsep dengan matang dalam al-Qur’an
dan Hadits Rasul. Hanya saja cara menafsirkan al-Qur’an yang berbeda-beda,
sehingga menghasilkan agama yang “warna warni”, ketidakseragaman dengan
nilai-nilai luhur agama—Islam kemudian menjadi ajaran agama yang parasit. Tidak
salah ketika kita menemukan banyak kelompok agama Islam yang menginterpretasikan
ayat al-Qur’an sesuai dengan kehendaknya sendiri, dengan berbagai kepentingan
individual atau kelompok tertentu.
Seiring berjalannya peradaban, orang
semakin buta memahami agama secara kaffa. Selama ini, agama Islam sudah mulai
disorot sebagai agama yang tidak memiliki nilai sosialistik dan humanisme, itu
tercermin ketika jamak sekali publik menembaki sisi agama Islam dari berbagai
latar dan dimensi sosial yang tidak manusiawi, seperti pembunuhan, bom bunuh
diri, terorisme, penutupan tempat-tempat ibadah, serta paham-paham agama yang
fundamentalisme-radikal, sayap kanan, dan agama ekstremis menjadi pemicu
timbulnya konflik antarumat beragama yang paling riskan. Model itu kemungkinan
besar akan memancing munculnya kekerasan tandingannya; menjadi unsur yang ikut
merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan.
Tuduhan serta isu yang tidak benar
banyak digencarkan oleh kaum Zionizme Barat yang memusuhi Islam dan mengecap
sebagai agama biang keladi kekerasan dan permusuhan. Negara Eropa terbesar,
plus Amerika Serikat, menyatakan kekhawatirannya terhadap Islam dan menganggabnya
sebagai musuh besar. Mereka cemas akan kebangkitan Islam, karena mereka
menyadari hebatnya kekuatan Islam dan daya tariknya yang luar biasa mengancam
nilai-nilai sekularisme yang mereka anut. Oleh karena itulah mereka selalu
punya rencana dan strategi busuk untuk menghabisi Islam (Lathifah Ibrahim
Khadhar, 2005: 186).
Islam sebagai agama besar untuk
seluruh alam ini, tetap saja masih sering disalahpahami (orentalis). Islam
dikecam sebagai agama yang disebarkan dengan pedang dan pertumpahan darah.
Muhammad Ali Akhuli dalam bukunya yang berjudul The Need for Islam, menjelaskan
secara fleksibel, bahwa agama Islam sebagai agama yang komprehensif bagi
kehidupan umat manusia. Islam menekankan aspek-aspek moralitas dan etika. Islam
memiliki sumber ajaran al-Qur’an yang dijadikan pijakan langsung dalam setiap
kehidupan orang muslim. Bagi orang muslim untuk menuju puncak kebahagiaan yang
hakiki manusia membutuhkan aspek moralitas tersebut. Aturan-aturan dasar etika
berperang dalam Islam dilandasi oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Oleh karenanya, kita tidak mendapati
kaum muslim berperang secara licik dan mendadak. Dalam ajaran Islam makna jihad
yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu. Maka, senantiasa
harus mengedepankan kemaslahatan umat (Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah
manuthun bil mashlahah). Dalam
hal ini Islam merujuk pada kaidah ushul fiqih, “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih”, bahwa menolak
kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan.
Di sini, kita akan menemukan banyak aspek
moralitas yang diajarkan dalam agama Islam. Islam secara par excelence tampil
dalam rangkaian nilai-nilai humanisme. Maka upaya untuk menolak
pemikiran orentalis dan para paham agama yang ektremis-radikal, perlu dihidupkan
kembali wacana “Islam yang santun” (essences of life). Islam yang lebih
mengedepankan aspek moralitas dan lebih mengedepankan kepentingan orang lain, bersifat
tolong menolong, belaskasihan dan kasih sayang, sebagaimana yang
direpresentasikan oleh Imam al-Ghazali (1058 M/450 H), dalam kitab etika
religius Ihya’ Ulum al-Din (Revival of the Reiligious Science), dengan tasawuf khuluqi-amali,
yaitu tasawuf yang aksentuasinya lebih pada tata cara dan mekanisme penyucian
hati, hidup sederhana, dan pembinaan moral. Nilai-nilai sosialnya lebih
dikedepankan dari pada arogansi politis yang sarat dengan kepentingan
subjektif. Sehingga agama ‘tidak hanya’ dikambinghitamkan dengan berbagai
kepentingan yang jauh dari nilai-nilai agama Islam yang rahmatan lil
alamien, sebagaimana yang
ditengarai dalam al-Qur’an surah Al-Anbiya: 107.
Seperti Apakah Wajah Islam yang Santun
Berbicara Islam yang santun sebenarnya
bukan wacana baru, hanya saja ketika nalar atau perspektif manusia mencerna
agama yang “santun” nyaris menyadari ketika agama dijadikan alat untuk
kepentingan lain di luar agama (disorientasi). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata ‘santun’ memiliki arti sikap perangai yang baik; budi
bahasanya, tingkah lakunya, sabar, sopan, penuh rasa belas kasihan dan
penolong. Semua sifat itu sudah diajarkan oleh Rasulullah beberapa abad yang
silam, sehingga dalam diri Rasulullah terpancar figure yang uswah
hasanah bagi seluruh umatnya.
Jika mengacu pada etika
tradisionalisme al-Hasan al-Basri (w. 728), ia membagi beberapa seleksi moral
yang baik dalam agama, ia menyimpulkan kebaikan-kebaikan atau “prilaku yang
baik” terdiri dari sepuluh bagian; (1) laporan atau ucapan yang benar, (2)
kesetiaan dalam ketaatan terhadap Tuhan, (3) dermawan, (4) membalas perbuatan
yang baik, (5) baik hati terhadap keluarga, (6) menegakkan kebenaran, (7)
solidaritas terhadap kawan, (8) ramah tamah, (9) rendah hati, (10) dan baik
hati terhadap tetangga (Ibnu Abi al-Dunya, 1973). Dari sepuluh perbuatan baik
dalam agama yang sudah direpresentasikan oleh Hasan al-Basri cukup sudah menggambarkan
dengan tepat wajah Islam yang santun dan lembut.
Menilik dari wajah Islam yang lembut,
sepertinya agama Islam tidak ubahnya sebagai lukisan kedamaian tentang hakikat manusia
dalam khazanah kehidupan yang tentram; sebagai cerminan agama yang penuh
simpati perdaimaian. Sebab itulah Nurcholish Madjid (2007: 28) juga mengatakan,
bahwa Islam sebagai rahmat sekalian alam, sesuai dengan penegasan tentang
diutusnya Nabi Muhammad, Saw. Islam adalah untuk kebahagiaan semua orang, tanpa
membeda-bedakan tinggi rendahnya dalam kemampuan manusia secara pribadi.
Dijelaskan dalam surat al-Qhasash,
ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari duniawi dan
berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dari ayat tersebut sebenarnya, semua aturan
pokok kehidupan manusia dari hal-hal yang sangat sederhana sampai persoalan besar
sudah tercantum dalam kitab suci Allah Swt., seperti berbuat baik dan jujur
serta berlaku manis kepada orang lain, jauh-jauh hari sudah menjadi prinsip yang
diajarkan oleh Tuhan dalam firmannya.
Hal di atas juga tersirat pada
sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99, salah satunya Allah Maha Pemurah. Konsep
bahwa Allah Maha Pemurah penting dalam Islam. Kemahamurahan Tuhan mempengaruhi
kaum muslimin ketika melakukan hubungan sosial. Jika Allah Swt. memiliki sifat
Pemurah, maka secara logika manusia seharusnya juga menunjukkan rasa kemurahannya
kepada sesama manusia. Pandangan tentang kemurahan ini di dalam Islam memberikan
rasa aman dan tentram, sehingga terciptalah kehidupan yang santun dalam masyarakat.
Jika orang lain memiliki kemurahan dengan cara mereka masing-masing maka
kehidupan di dunia akan damai.
Berangkat dari terminologi Islam
secara utuh, maka sejatinya manusia harus menonjolkan sisi “humanisme” dan
semangat egaliter yang tinggi. Sebab mereka percaya bahwa agama didesain oleh yang
Mahasuci. Sifat itu merupakan transformasi dari sifat-sifat Allah, Swt. ke
dalam diri manusia untuk semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau
sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Mereka
melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia juga terpancar dalam
diri manusia dan alam semesta. Sangat disayangkan jika nilai kesantunan yang
dimiliki sifat Tuhan hanya dikerjakan oleh sepihak atau minoritas muslim (Ihsan
Ali-Fauzi, 2011:121).
Hidup Santun dan Bermasyarakat
Islam sebagai way of life mengajarkan
tentang kebaikan, amar ma’ruf, dan nahi munkar. Islam secara
kaffa memberikan jalan leluasa kepada manusia untuk hidup santun dan membuka
pintu agar supaya melestarikan kehidupan yang harmonis. Dalam Islam ada tiga
pilar utama yang harus terpenuhi, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Berbuat baik
kepada orang lain tidak bisa dikata baik jika tidak dilandasi dengan Islam dan Iman.
Ihsan lebih dapat dilihat dan disaksikan mata. Ia berupa amal saleh atau
kesalehan sosial, yaitu ajaran pokok bermasyarakat (Khairunnas Rajab, 2012).
Dari sikap itulah agama menjadi sebuah
lautan pengetahuan yang bisa ditinjau dari berbagai aspek epistemologi ilmu. Baik
ilmu sosial, budaya, politik dan semacamnya, semua tertata rapi dalam Islam. Secara
garis besar kita harus membentuk kehidupan di tengah masyarakat dengan mengacu
pada kehidupan Rasulullah, Saw., para sahabat, tabi’in, dan para ulama.
Ada beberapa ajaran pokok dalam Islam
yang mengajarkan hidup santun sesama manusia. Pertama, seperti yang
disindir oleh Abdurrahman Wahid (2007:11), bahwa dasar sikap hormatlah yang
akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian
yang besar sesama manusia.
Fenomena tersebut bisa kita lihat pada
kehidupan masyarakat pedesaan di Sumenep, mereka penganut ajaran Islam tulen,
biasanya disebut dengan kelompok puritanisme. Setiap apa yang mereka lakukan
memiliki acuan prinsip moralitas agama, dan yang dijadikan pijakan mereka
adalah kitab-kitab kecil seperti Ta’limul Muta’allim, Safinatun
Annajah, Fathul Qarib, Sullam Attaufiq, Akhlaqul Al-Banin, dan kitab-kitab yang
lainnya.
Tanpa banyak kata, mereka sudah
menerapkan nilai-nilai ke-santu-nan dalam Islam, salah satu contoh misalnya, bersifat
lemah lembut kepada yang lebih tua; kepada kedua orang tua, dsb. Praktik yang
sudah berjalan, biasanya ketika mereka mengendarai sepada, mereka turun jika
berpapasan dengan orang lain, apalagi dengan orang yang lebih tua. Mereka menghormati
guru ngaji-nya (guru yang mengenalkan huruf “alif” pertama kali) meski
pun mereka lebih pintar daripada gurunya, mereka tidak pernah sombong dan
congkak.
Contoh selanjutnya, jika ada warga
yang merehabilitasi rumah, mereka (warga setempat) berdatangan untuk melakukan
gotong royong. Dari masyarakat pedesaan tersebut terciptalah nilai-nilai santun
tanpa ada sikap kritis terhadap agama, tanpa ada sekat antara agama dan budaya.
Di sinilah sebenarnya letak rekonstruksi agama yang dapat kita temukan pada dimensi
kehidupan sosial masyarakat pedesaan.
Pada dasarnya, letak kredibilitas
agama yang santun yaitu ada pada sikap yang telah diimplementasikan oleh
masyarakat sejak dulu, agamalah yang membentuk sebuah kultur masyarakat. Agama
dan masyarakat secara inherent mempunyai jalinan yang erat dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Agama merupakan sumber nilai dan norma yang
bersifat universal sehingga dapat membentuk sikap dan prilaku manusia untuk
menjawab tantangan kehidupan. Bahkan manusia tidak disebut sebagai makhluk
sosial jika belum bisa memahami agama secara sempurna (J. Suyuthi Pulungan,
2002: 144).
Kedua, membentuk sikap Akhlaq al-Karimah atau
budi pekerti yang luhur. Sikap tersebut merupakan simbol dan ekspresi lahiriyah
keagamaan, namun manusia diharuskan mampu menangkap makna di balik itu semua.
Makna terutama berupa pendidikan moralitas, etika, dan akhlak yang mulia. Dari
kelanjutan akhlaqul karimah ini, kita diharuskan aktif melibatkan diri
dalam kehidupan sosial. Beragama dengan serius tidak berarti harus meninggalkan
kehidupan duniawi, tetapi malah harus mendorong untuk ambil bagian dalam usaha
bersama memperbaiki masyarakat (Nurcholish Madjid, 2007).
Ketiga, kita bisa melakukan dialog antar agama. Seperti
yang ditulis Sugianto di koran Jawa Pos (14/02/2000), dengan mengadakan
dialog antar agama kita bisa menggali nilai-nilai etis dengan esensi yang sama
dan universal dari berbagai pemahaman agama untuk direkomendasikan menjadi
semacam etika dunia, yang berlaku bagi semua bangsa menuju suatu perdamaian
dunia. Bukankah setiap agama memiliki ajaran yang bisa menjamin terciptanya
kehidupan yang damai, tentram, santun dan sejahtera?
Dengan begitu kita bisa menciptakan
sikap santun dan intoleransi agama. Sehingga terciptalah kerukunan sejati
antarumat beragama, yang dapat menjamin terbinanya kehidupan yang penuh kedamaian.
Islam percaya bahwa dialog dan sikap terbuka kepada pihak lain merupakan bukti
atas kemestian pluralitas untuk memperkaya kehidupan umat manusia agar tercipta
kehidupan yang santun. Selain itu, kita juga melihat bukti toleransi Islam
kepada ahli dzimmah (orang non-Islam di dalam negeri Islam), dengan
wacana pluralisme yang dibangun Abdurrahman Wahid (2007). Dari keterbukaan
itulah yang nantinya melahirkan sikap santun dan saling menghargai sesama
manusia.
Keempat, ada upaya dari para tokoh masyarakat, kiai atau
ulama, dengan cara memberi contoh langsung kepada orang lain (archetype),
untuk mewujudkan manusia yang taat beragama dan berakhlak mulia, cerdas,
produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga
keharmonisan secara personal dan sosial (Abu al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi,
2002: 184 ). Penanaman sikap tersebut merupakan manifestasi dari nilai Islam
yang santun untuk menyelamatkan bangsa ini dari bencana erosi akhlak dan
dekadensi moral. Tidak bisa kita hindari memang, jika mayarakat telah kehilangan
figur, maka secara psikologis masyarakat akan cenderung amoral.
Mari Menjadi Muslim yang Santun
Idealisme yang ingin dicapai dari
hidup santun adalah mengubah opini masyarakat yang memandang agama selama ini sebagai
titik perkelahian. Hemat penulis, upaya cerdas yang harus kita bangun yaitu memulai
dari sikap santun dan terbuka. Dengan sikap terbuka agama bisa bergandengan
tangan tanpa ada intimidasi sosial bagi kelompok agama yang lain. Maka semua
menjadi saling menghargai atas semua perbedaan. Bisa disimpulkan, bahwa Islam
yang santun bukan sekadar wacana mati tapi harus dipraktekkan dalam bentuk
kehidupan sosial yang nyata (real world).
Ironis sekali jika sampai saat ini
Islam masih dianggab sebagai agama teroris dan agama kekerasan. Maka mulai
sekarang ini, mari pupuk nilai-nilai Islam yang santun dan ramah, kita belum
terlambat untuk melakukan itu semua. Selama ada stigma negatif yang masih
melekat pada agama Islam, selama itu pula Islam tidak berhasil mendidik umatnya
menjadi “insan al-kamil” yang berperangai luhur serta taqwa kepada Allah, Swt.
Tugas kita adalah menghiasi diri dengan sikap moral pribadi yang santun dan
selalu waspada terhadap diri sendiri dan tidak memandang kesalahan-kesalahan
yang dilakukan orang lain. Orang tidak berhak dikatakan beriman jika ia masih
menyalahkan orang lain padahal ia sendiri tak terbebas dari kesalahan-kesalahan
tersebut. []
Bahan Bacaan
ü Ali Fauzi, Ihsan, 2011, Merawat
Kebersamaan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.
ü Ali al-Bashri al-Mawardi, Abu
al-Hasan, 2002, Etika Agama dan Dunia, Bandung, CV PUSTAKA SETIA
ü Madjid, Nurcholish, 2007, Islam Univesal, Yogyakarta,
Pusataka Pelajar.
ü Khadhar, Lathifah Ibrahim,
2005, Ketika Barat Memfitnah Islam, Jakarta, Gema Insani Press.
ü Pulungan, J. Suyuthi, 2002, Universalisme
Islam, Jakarta, PT Moyo Segoro Agung.
ü Rajab, Kharunnas, 2012, Agama
Kebahagiaan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren.
*Mahasiswa INSTIKA Jurusan Aklaq Tasawuf
(AT), Fakultas Ushhuluddin, semester IV.
0 Response to "Islam: Sebagai Agama Reorientasi Hidup Santun"
Post a Comment
Terimkasih...