-->

Islam: Sebagai Agama Reorientasi Hidup Santun

Gambar oleh: www. mtirc.co
(Merekonstruksi Ajaran Agama Islam Menjadi Agama yang Rahmatan lil-Alamien dan Penanaman Nilai-Nilai Islam yang Santun)
            Agama Islam adalah agama universal yang relevan dengan kehidupan manusia sepanjang zaman. Pada akarnya, Islam merupakan agama samawi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, Saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam tanpa pengecualian. Di sana, kita bisa menemukan ajaran pokok agama yang menerangkan cara bersikap sopan santun kepada orang lain.
Jika mengacu pada trilogi ajaran agama Islam, kita akan mendapatkan ajaran yang berbicara tentang hubungan sesama manusia (social of relationship), di dalamnya diajarkan salah satunya bersikap santun pada orang lain, menghormati sesama, tolong-menolong, sabar, penuh belas kasihan dan yang lainya. Oleh sebab itu, misi utama Nabi Muhammad, Saw. sebagai pembawa wahyu adalah untuk menyempurnakan akhlak di muka bumi dan menegakkan keadilan. Sehingga manusia perlu dengan tuntunan ajaran al-Qur’an dan Hadits sebagai internalisasi dari nilai-nilai ajaran Islam secara kontekstual yang elastis sesuai dengan perkembangan zaman.
Meminjam bahasanya Hendrianto Attan (2007), agama selain sebagai penuntun juga memiliki fungsi sosial yang lebih eksplisit dan praktis, yaitu sebagai pengerat kekuatan sosial. Berangkat dari fakta tersebut, agama (agama manapun) harus mengandung nilai-nilai universal yang manifes sepanjang sejarah peradaban manusia.  Harun Nasution (1919) memandang agama sebagai teks atau kitab suci. Selanjutnya dikatakan bahwa agama berarti tuntunan yang mengandung ajaran hidup bagi penganutnya. 
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam sebagai oasis kedamaian, yang menjadi titik sumbu inspirasi terciptanya iklim kehidupan yang santun dan harmonis, semua telah terkonsep dengan matang dalam al-Qur’an dan Hadits Rasul. Hanya saja cara menafsirkan al-Qur’an yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan agama yang “warna warni”, ketidakseragaman dengan nilai-nilai luhur agama—Islam kemudian menjadi ajaran agama yang parasit. Tidak salah ketika kita menemukan banyak kelompok agama Islam yang menginterpretasikan ayat al-Qur’an sesuai dengan kehendaknya sendiri, dengan berbagai kepentingan individual atau kelompok tertentu.
Seiring berjalannya peradaban, orang semakin buta memahami agama secara kaffa. Selama ini, agama Islam sudah mulai disorot sebagai agama yang tidak memiliki nilai sosialistik dan humanisme, itu tercermin ketika jamak sekali publik menembaki sisi agama Islam dari berbagai latar dan dimensi sosial yang tidak manusiawi, seperti pembunuhan, bom bunuh diri, terorisme, penutupan tempat-tempat ibadah, serta paham-paham agama yang fundamentalisme-radikal, sayap kanan, dan agama ekstremis menjadi pemicu timbulnya konflik antarumat beragama yang paling riskan. Model itu kemungkinan besar akan memancing munculnya kekerasan tandingannya; menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan.
Tuduhan serta isu yang tidak benar banyak digencarkan oleh kaum Zionizme Barat yang memusuhi Islam dan mengecap sebagai agama biang keladi kekerasan dan permusuhan. Negara Eropa terbesar, plus Amerika Serikat, menyatakan kekhawatirannya terhadap Islam dan menganggabnya sebagai musuh besar. Mereka cemas akan kebangkitan Islam, karena mereka menyadari hebatnya kekuatan Islam dan daya tariknya yang luar biasa mengancam nilai-nilai sekularisme yang mereka anut. Oleh karena itulah mereka selalu punya rencana dan strategi busuk untuk menghabisi Islam (Lathifah Ibrahim Khadhar, 2005: 186).
Islam sebagai agama besar untuk seluruh alam ini, tetap saja masih sering disalahpahami (orentalis). Islam dikecam sebagai agama yang disebarkan dengan pedang dan pertumpahan darah. Muhammad Ali Akhuli dalam bukunya yang berjudul The Need for Islam, menjelaskan secara fleksibel, bahwa agama Islam sebagai agama yang komprehensif bagi kehidupan umat manusia. Islam menekankan aspek-aspek moralitas dan etika. Islam memiliki sumber ajaran al-Qur’an yang dijadikan pijakan langsung dalam setiap kehidupan orang muslim. Bagi orang muslim untuk menuju puncak kebahagiaan yang hakiki manusia membutuhkan aspek moralitas tersebut. Aturan-aturan dasar etika berperang dalam Islam dilandasi oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Oleh karenanya, kita tidak mendapati kaum muslim berperang secara licik dan mendadak. Dalam ajaran Islam makna jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu. Maka, senantiasa harus mengedepankan kemaslahatan umat (Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil mashlahah). Dalam hal ini Islam merujuk pada kaidah ushul fiqih, “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih”, bahwa menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan.
Di sini, kita akan menemukan banyak aspek moralitas yang diajarkan dalam agama Islam. Islam secara par excelence tampil dalam rangkaian nilai-nilai humanisme. Maka upaya untuk menolak pemikiran orentalis dan para paham agama yang ektremis-radikal, perlu dihidupkan kembali wacana “Islam yang santun” (essences of life). Islam yang lebih mengedepankan aspek moralitas dan lebih mengedepankan kepentingan orang lain, bersifat tolong menolong, belaskasihan dan kasih sayang, sebagaimana yang direpresentasikan oleh Imam al-Ghazali (1058 M/450 H), dalam kitab etika religius Ihya’ Ulum al-Din (Revival of the Reiligious Science), dengan tasawuf khuluqi-amali, yaitu tasawuf yang aksentuasinya lebih pada tata cara dan mekanisme penyucian hati, hidup sederhana, dan pembinaan moral. Nilai-nilai sosialnya lebih dikedepankan dari pada arogansi politis yang sarat dengan kepentingan subjektif. Sehingga agama ‘tidak hanya’ dikambinghitamkan dengan berbagai kepentingan yang jauh dari nilai-nilai agama Islam yang rahmatan lil alamien, sebagaimana yang ditengarai dalam al-Qur’an surah Al-Anbiya: 107.
Seperti Apakah Wajah Islam yang Santun
Berbicara Islam yang santun sebenarnya bukan wacana baru, hanya saja ketika nalar atau perspektif manusia mencerna agama yang “santun” nyaris menyadari ketika agama dijadikan alat untuk kepentingan lain di luar agama (disorientasi). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘santun’ memiliki arti sikap perangai yang baik; budi bahasanya, tingkah lakunya, sabar, sopan, penuh rasa belas kasihan dan penolong. Semua sifat itu sudah diajarkan oleh Rasulullah beberapa abad yang silam, sehingga dalam diri Rasulullah terpancar figure yang uswah hasanah bagi seluruh umatnya.
Jika mengacu pada etika tradisionalisme al-Hasan al-Basri (w. 728), ia membagi beberapa seleksi moral yang baik dalam agama, ia menyimpulkan kebaikan-kebaikan atau “prilaku yang baik” terdiri dari sepuluh bagian; (1) laporan atau ucapan yang benar, (2) kesetiaan dalam ketaatan terhadap Tuhan, (3) dermawan, (4) membalas perbuatan yang baik, (5) baik hati terhadap keluarga, (6) menegakkan kebenaran, (7) solidaritas terhadap kawan, (8) ramah tamah, (9) rendah hati, (10) dan baik hati terhadap tetangga (Ibnu Abi al-Dunya, 1973). Dari sepuluh perbuatan baik dalam agama yang sudah direpresentasikan oleh Hasan al-Basri cukup sudah menggambarkan dengan tepat wajah Islam yang santun dan lembut.
Menilik dari wajah Islam yang lembut, sepertinya agama Islam tidak ubahnya sebagai lukisan kedamaian tentang hakikat manusia dalam khazanah kehidupan yang tentram; sebagai cerminan agama yang penuh simpati perdaimaian. Sebab itulah Nurcholish Madjid (2007: 28) juga mengatakan, bahwa Islam sebagai rahmat sekalian alam, sesuai dengan penegasan tentang diutusnya Nabi Muhammad, Saw. Islam adalah untuk kebahagiaan semua orang, tanpa membeda-bedakan tinggi rendahnya dalam kemampuan manusia secara pribadi.
Dijelaskan dalam surat al-Qhasash, ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dari ayat tersebut sebenarnya, semua aturan pokok kehidupan manusia dari hal-hal yang sangat sederhana sampai persoalan besar sudah tercantum dalam kitab suci Allah Swt., seperti berbuat baik dan jujur serta berlaku manis kepada orang lain, jauh-jauh hari sudah menjadi prinsip yang diajarkan oleh Tuhan dalam firmannya.
Hal di atas juga tersirat pada sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99, salah satunya Allah Maha Pemurah. Konsep bahwa Allah Maha Pemurah penting dalam Islam. Kemahamurahan Tuhan mempengaruhi kaum muslimin ketika melakukan hubungan sosial. Jika Allah Swt. memiliki sifat Pemurah, maka secara logika manusia seharusnya juga menunjukkan rasa kemurahannya kepada sesama manusia. Pandangan tentang kemurahan ini di dalam Islam memberikan rasa aman dan tentram, sehingga terciptalah kehidupan yang santun dalam masyarakat. Jika orang lain memiliki kemurahan dengan cara mereka masing-masing maka kehidupan di dunia akan damai.
Berangkat dari terminologi Islam secara utuh, maka sejatinya manusia harus menonjolkan sisi “humanisme” dan semangat egaliter yang tinggi. Sebab mereka percaya bahwa agama didesain oleh yang Mahasuci. Sifat itu merupakan transformasi dari sifat-sifat Allah, Swt. ke dalam diri manusia untuk semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia juga terpancar dalam diri manusia dan alam semesta. Sangat disayangkan jika nilai kesantunan yang dimiliki sifat Tuhan hanya dikerjakan oleh sepihak atau minoritas muslim (Ihsan Ali-Fauzi, 2011:121). 
Hidup Santun dan Bermasyarakat
Islam sebagai way of life mengajarkan tentang kebaikan, amar ma’ruf, dan nahi munkar. Islam secara kaffa memberikan jalan leluasa kepada manusia untuk hidup santun dan membuka pintu agar supaya melestarikan kehidupan yang harmonis. Dalam Islam ada tiga pilar utama yang harus terpenuhi, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Berbuat baik kepada orang lain tidak bisa dikata baik jika tidak dilandasi dengan Islam dan Iman. Ihsan lebih dapat dilihat dan disaksikan mata. Ia berupa amal saleh atau kesalehan sosial, yaitu ajaran pokok bermasyarakat (Khairunnas Rajab, 2012).
Dari sikap itulah agama menjadi sebuah lautan pengetahuan yang bisa ditinjau dari berbagai aspek epistemologi ilmu. Baik ilmu sosial, budaya, politik dan semacamnya, semua tertata rapi dalam Islam. Secara garis besar kita harus membentuk kehidupan di tengah masyarakat dengan mengacu pada kehidupan Rasulullah, Saw., para sahabat, tabi’in, dan para ulama.
Ada beberapa ajaran pokok dalam Islam yang mengajarkan hidup santun sesama manusia. Pertama, seperti yang disindir oleh Abdurrahman Wahid (2007:11), bahwa dasar sikap hormatlah yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar sesama manusia.
Fenomena tersebut bisa kita lihat pada kehidupan masyarakat pedesaan di Sumenep, mereka penganut ajaran Islam tulen, biasanya disebut dengan kelompok puritanisme. Setiap apa yang mereka lakukan memiliki acuan prinsip moralitas agama, dan yang dijadikan pijakan mereka adalah kitab-kitab kecil seperti Ta’limul Muta’allim, Safinatun Annajah, Fathul Qarib, Sullam Attaufiq, Akhlaqul Al-Banin, dan kitab-kitab yang lainnya.
Tanpa banyak kata, mereka sudah menerapkan nilai-nilai ke-santu-nan dalam Islam, salah satu contoh misalnya, bersifat lemah lembut kepada yang lebih tua; kepada kedua orang tua, dsb. Praktik yang sudah berjalan, biasanya ketika mereka mengendarai sepada, mereka turun jika berpapasan dengan orang lain, apalagi dengan orang yang lebih tua. Mereka menghormati guru ngaji-nya (guru yang mengenalkan huruf “alif” pertama kali) meski pun mereka lebih pintar daripada gurunya, mereka tidak pernah sombong dan congkak.
Contoh selanjutnya, jika ada warga yang merehabilitasi rumah, mereka (warga setempat) berdatangan untuk melakukan gotong royong. Dari masyarakat pedesaan tersebut terciptalah nilai-nilai santun tanpa ada sikap kritis terhadap agama, tanpa ada sekat antara agama dan budaya. Di sinilah sebenarnya letak rekonstruksi agama yang dapat kita temukan pada dimensi kehidupan sosial masyarakat pedesaan.
Pada dasarnya, letak kredibilitas agama yang santun yaitu ada pada sikap yang telah diimplementasikan oleh masyarakat sejak dulu, agamalah yang membentuk sebuah kultur masyarakat. Agama dan masyarakat secara inherent mempunyai jalinan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama merupakan sumber nilai dan norma yang bersifat universal sehingga dapat membentuk sikap dan prilaku manusia untuk menjawab tantangan kehidupan. Bahkan manusia tidak disebut sebagai makhluk sosial jika belum bisa memahami agama secara sempurna (J. Suyuthi Pulungan, 2002: 144).
Kedua, membentuk sikap Akhlaq al-Karimah atau budi pekerti yang luhur. Sikap tersebut merupakan simbol dan ekspresi lahiriyah keagamaan, namun manusia diharuskan mampu menangkap makna di balik itu semua. Makna terutama berupa pendidikan moralitas, etika, dan akhlak yang mulia. Dari kelanjutan akhlaqul karimah ini, kita diharuskan aktif melibatkan diri dalam kehidupan sosial. Beragama dengan serius tidak berarti harus meninggalkan kehidupan duniawi, tetapi malah harus mendorong untuk ambil bagian dalam usaha bersama memperbaiki masyarakat (Nurcholish Madjid, 2007).
Ketiga, kita bisa melakukan dialog antar agama. Seperti yang ditulis Sugianto di koran Jawa Pos (14/02/2000), dengan mengadakan dialog antar agama kita bisa menggali nilai-nilai etis dengan esensi yang sama dan universal dari berbagai pemahaman agama untuk direkomendasikan menjadi semacam etika dunia, yang berlaku bagi semua bangsa menuju suatu perdamaian dunia. Bukankah setiap agama memiliki ajaran yang bisa menjamin terciptanya kehidupan yang damai, tentram, santun dan sejahtera?
Dengan begitu kita bisa menciptakan sikap santun dan intoleransi agama. Sehingga terciptalah kerukunan sejati antarumat beragama, yang dapat menjamin terbinanya kehidupan yang penuh kedamaian. Islam percaya bahwa dialog dan sikap terbuka kepada pihak lain merupakan bukti atas kemestian pluralitas untuk memperkaya kehidupan umat manusia agar tercipta kehidupan yang santun. Selain itu, kita juga melihat bukti toleransi Islam kepada ahli dzimmah (orang non-Islam di dalam negeri Islam), dengan wacana pluralisme yang dibangun Abdurrahman Wahid (2007). Dari keterbukaan itulah yang nantinya melahirkan sikap santun dan saling menghargai sesama manusia.
Keempat, ada upaya dari para tokoh masyarakat, kiai atau ulama, dengan cara memberi contoh langsung kepada orang lain (archetype), untuk mewujudkan manusia yang taat beragama dan berakhlak mulia, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial (Abu al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi, 2002: 184 ). Penanaman sikap tersebut merupakan manifestasi dari nilai Islam yang santun untuk menyelamatkan bangsa ini dari bencana erosi akhlak dan dekadensi moral. Tidak bisa kita hindari memang, jika mayarakat telah kehilangan figur, maka secara psikologis masyarakat akan cenderung amoral.
Mari Menjadi Muslim yang Santun
Idealisme yang ingin dicapai dari hidup santun adalah mengubah opini masyarakat yang memandang agama selama ini sebagai titik perkelahian. Hemat penulis, upaya cerdas yang harus kita bangun yaitu memulai dari sikap santun dan terbuka. Dengan sikap terbuka agama bisa bergandengan tangan tanpa ada intimidasi sosial bagi kelompok agama yang lain. Maka semua menjadi saling menghargai atas semua perbedaan. Bisa disimpulkan, bahwa Islam yang santun bukan sekadar wacana mati tapi harus dipraktekkan dalam bentuk kehidupan sosial yang nyata (real world).
Ironis sekali jika sampai saat ini Islam masih dianggab sebagai agama teroris dan agama kekerasan. Maka mulai sekarang ini, mari pupuk nilai-nilai Islam yang santun dan ramah, kita belum terlambat untuk melakukan itu semua. Selama ada stigma negatif yang masih melekat pada agama Islam, selama itu pula Islam tidak berhasil mendidik umatnya menjadi “insan al-kamil” yang berperangai luhur serta taqwa kepada Allah, Swt. Tugas kita adalah menghiasi diri dengan sikap moral pribadi yang santun dan selalu waspada terhadap diri sendiri dan tidak memandang kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang lain. Orang tidak berhak dikatakan beriman jika ia masih menyalahkan orang lain padahal ia sendiri tak terbebas dari kesalahan-kesalahan tersebut. []

Bahan Bacaan
ü  Ali Fauzi, Ihsan, 2011, Merawat Kebersamaan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.
ü  Ali al-Bashri al-Mawardi, Abu al-Hasan, 2002, Etika Agama dan Dunia, Bandung, CV PUSTAKA SETIA
ü  Madjid, Nurcholish,  2007, Islam Univesal, Yogyakarta, Pusataka Pelajar.
ü  Khadhar, Lathifah Ibrahim, 2005, Ketika Barat Memfitnah Islam, Jakarta, Gema Insani Press.
ü  Pulungan, J. Suyuthi, 2002, Universalisme Islam, Jakarta, PT Moyo Segoro Agung.
ü  Rajab, Kharunnas, 2012, Agama Kebahagiaan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren.
*Mahasiswa INSTIKA Jurusan Aklaq Tasawuf (AT),  Fakultas Ushhuluddin, semester IV.

0 Response to "Islam: Sebagai Agama Reorientasi Hidup Santun"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel