Mengenal Puisi Jalaluddin Rumi
Sunday, November 29, 2015
Add Comment
Pada hari sabtu, tanggal 09 Agustus 2014, tepatnya di perpustakaan Annuqayah daerah Lubangsa. Saya kerap menggemari buku-buku bacaan Rumi, seperti “Rubaiyat Terlarang Rumi,” karena hanya ada satu koleksi buku Rumi disana, tentang syair terlarang-nya, tentang cinta yang dianggab bida’ah, dengan kemabukan. Buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Bakdi Soemanto, sedikit-sedikit saya dapat membuka pintu mata untuk melihat akan keajaiban estetis bahasa yang luar biasa diumbar oleh Rumi. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi, suatu ketika berjumpa dengan Rumi yang masih baru berusia 5 tahun dan pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat ramalan Fariduddin.
Dengan alasan itu, saya
jadi tertarik pada syair-syair Rumi tentang luapan kebahagiaan dan cinta—hingga
menjadikan ia mabuk kepayang akan cinta—hilang akan kesadaran esensi dirinya,
maka Rumi menggambarkan perasaan manusia hanya menyatu dengan Tuhan sang
pencipta; hancurlah dirinya menjadi abu, dan ia menemukan kebahagiaan yang
sesungguhnya, yaitu kembali kepada Tuhan. Kegelisahan Rumi merupakan
kegelisahan yang belum pernah dialami oleh siapa pun dalam menulis puisi. Ia
kerap memikirkan Tuhannya, sedangkan kita sibuk memikirkan diri kita sendiri
yang disibukkan dengan sesuatu yang tidak kita mengerti.
Dalam
bab pertama yang berjudul “nyanyian untuk Shams, nyanyian untuk Tuhan,”
alangkah Rumi telah bisa membuat saya terlena, di baris pertama berbunyi: aku
telah mati, tetapi hidup kembali/ aku adalah tangis, tetapi aku hanyalah
senyuman/ cinta datang dan mengubahku menjadi keagungan kekal. Seorang
Mevlana Jalaluddin Rummi, seorang sufi, seorang penyair abad ketigabelas yang
lahir di Konya, merupakan pencipta tarian dervish yang berputar-putar—yang menandakan
keintiman roh manusiawi dalam berintraksi dengan dzat Tuhan, telah mampu
menyulap dunia menjadi gemerlap keindahan yang penuh romansa cinta tidak ada
duanya.
Sesungguhnya ia adalah
seorang penyair yang saat ini butuh perhatian lebih khusus dalam jagat dunia
sastra, saya ingin melibatkan banyak hal tentang sastra jika kemudian membaca
atau berbicara syair-syair Rumi. Sebagaimana ia banyak melahirkan sebuah kidung
suci yang berorentasi pada hakikat cinta yang suci, bahkan Rumi telah mampu meramu
sedemikian apik nan indah setiap bahasanya. Ia kebanyakan menulis puisi bertema
cinta religius, baik dari etika dan ahklaq tasawuf. Ini adalah kelebihan yang
belum pernah tersentuh oleh penulis-penulis dalam dunia per-puisi-an. Will
Johnson, pengarang The Saifish and the Sacred Mountain, dalam pengantar
bukunya, sangat menyayangkan apabila puisi-puisi seperti Rumi sudah
ditinggalkan oleh penulis-penulis puisi.
Murid
Kadisiyyah pernah mengatakan dalam tulisannya bahwa, saat kita masuk ke dalam
larik-larik puisi Maulana Jalaluddin
Rumi seakan memasuki dunia asing nan indah,
penuh kejutan-kejutan, yang terkadang berseberangan dengan logika umum. Tetapi
justru keunikan dan keaslian imajinatif Rumi inilah yang membawa keutuhan
puisi-puisinya ke dalam penjiwaan pembacanya. Rumi menjadi simbol kepiawaian
memainkan kata: kecermatan dan ketangkasannya menyelipkan ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadis ke dalam puisinya, keahliannya menyisipkan perkataan-perkataan kaum
Sufi ke dalam kidung-kidung indahnya, sulit dicari tandingnya (Murid Kadisiyyah, November 2009: 45).
Ada
dua karya monumental Rumi, Diwan dan Matsnawi, jika kita bisa
mendalami ke duanya, seakan kita mendalami dua muara untuk menggali ilmu pengetahuan
tentang perkembangan spiritual Sang Guru. Semakin kita membaca kidung-kidung
Rumi berulang-ulang, semakin kita asyik masuk ke dunia yang sarat dengan
persoalan-persoalan baru, perenungan-perenungan baru dan juga gagasan-gagasan
baru. Yang kerap kali ia berbicara tentang kesatuan bersama Tuhan (Unity of
God), dan juga berbicara tentang hati sebagai cermin manusia.
Annemarie
Schimmel, Amin Banani, J. Christoph Burgel, William C. Cdhittick, Hamid
Dabashi, Margaret A. Mills dan Victoria Holbrook, adalah para penulis buku Rumi
yang intens mengkaji karya-karya Rumi: Masing-masing mereka berbicara penuh
kekaguman tentang Rumi Sang Guru Cinta. Untuk kita renungi, saya cuplik salah
satu puisi Rumi dibawa ini:
Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini
manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu
dari diriku.
Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai
manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai
malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
Setelah kelahiranku sebagai
malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
"Kepada Nya,
kita semua akan kembali"[1]
*Penulis adalah
penyuka Bahasa Arab, sekarang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Akhlaq Tasawuf (AT), semester V. Tinggal di http.grujuganaqin@gmail.com
[1]
Diambil dari Buku “Mahkota Sufi:
Menembus Dunia Ekstra Dimensi” oleh Idries Shah, Penerbit Risalah Gusti,
Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.
0 Response to "Mengenal Puisi Jalaluddin Rumi"
Post a Comment
Terimkasih...