-->

Mengenal Puisi Jalaluddin Rumi


Pada hari sabtu, tanggal 09 Agustus 2014, tepatnya di perpustakaan Annuqayah daerah Lubangsa. Saya kerap menggemari buku-buku bacaan Rumi, seperti “Rubaiyat Terlarang Rumi,” karena hanya ada satu koleksi buku Rumi disana, tentang syair terlarang-nya, tentang cinta yang dianggab bida’ah, dengan kemabukan. Buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Bakdi Soemanto, sedikit-sedikit saya dapat membuka pintu mata untuk melihat akan keajaiban estetis bahasa yang luar biasa diumbar oleh Rumi. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi, suatu ketika berjumpa dengan Rumi yang masih baru berusia 5 tahun dan pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat ramalan Fariduddin.
Dengan alasan itu, saya jadi tertarik pada syair-syair Rumi tentang luapan kebahagiaan dan cinta—hingga menjadikan ia mabuk kepayang akan cinta—hilang akan kesadaran esensi dirinya, maka Rumi menggambarkan perasaan manusia hanya menyatu dengan Tuhan sang pencipta; hancurlah dirinya menjadi abu, dan ia menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu kembali kepada Tuhan. Kegelisahan Rumi merupakan kegelisahan yang belum pernah dialami oleh siapa pun dalam menulis puisi. Ia kerap memikirkan Tuhannya, sedangkan kita sibuk memikirkan diri kita sendiri yang disibukkan dengan sesuatu yang tidak kita mengerti.
            Dalam bab pertama yang berjudul “nyanyian untuk Shams, nyanyian untuk Tuhan,” alangkah Rumi telah bisa membuat saya terlena, di baris pertama berbunyi: aku telah mati, tetapi hidup kembali/ aku adalah tangis, tetapi aku hanyalah senyuman/ cinta datang dan mengubahku menjadi keagungan kekal. Seorang Mevlana Jalaluddin Rummi, seorang sufi, seorang penyair abad ketigabelas yang lahir di Konya, merupakan pencipta tarian dervish yang berputar-putar—yang menandakan keintiman roh manusiawi dalam berintraksi dengan dzat Tuhan, telah mampu menyulap dunia menjadi gemerlap keindahan yang penuh romansa cinta tidak ada duanya.
Sesungguhnya ia adalah seorang penyair yang saat ini butuh perhatian lebih khusus dalam jagat dunia sastra, saya ingin melibatkan banyak hal tentang sastra jika kemudian membaca atau berbicara syair-syair Rumi. Sebagaimana ia banyak melahirkan sebuah kidung suci yang berorentasi pada hakikat cinta yang suci, bahkan Rumi telah mampu meramu sedemikian apik nan indah setiap bahasanya. Ia kebanyakan menulis puisi bertema cinta religius, baik dari etika dan ahklaq tasawuf. Ini adalah kelebihan yang belum pernah tersentuh oleh penulis-penulis dalam dunia per-puisi-an. Will Johnson, pengarang The Saifish and the Sacred Mountain, dalam pengantar bukunya, sangat menyayangkan apabila puisi-puisi seperti Rumi sudah ditinggalkan oleh penulis-penulis puisi.
Murid Kadisiyyah pernah mengatakan dalam tulisannya bahwa, saat kita masuk ke dalam larik-larik puisi Maulana Jalaluddin Rumi seakan memasuki dunia asing nan indah, penuh kejutan-kejutan, yang terkadang berseberangan dengan logika umum. Tetapi justru keunikan dan keaslian imajinatif Rumi inilah yang membawa keutuhan puisi-puisinya ke dalam penjiwaan pembacanya. Rumi menjadi simbol kepiawaian memainkan kata: kecermatan dan ketangkasannya menyelipkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ke dalam puisinya, keahliannya menyisipkan perkataan-perkataan kaum Sufi ke dalam kidung-kidung indahnya, sulit dicari tandingnya (Murid Kadisiyyah, November 2009: 45).
Ada dua karya monumental Rumi, Diwan dan Matsnawi, jika kita bisa mendalami ke duanya, seakan kita mendalami dua muara untuk menggali ilmu pengetahuan tentang perkembangan spiritual Sang Guru. Semakin kita membaca kidung-kidung Rumi berulang-ulang, semakin kita asyik masuk ke dunia yang sarat dengan persoalan-persoalan baru, perenungan-perenungan baru dan juga gagasan-gagasan baru. Yang kerap kali ia berbicara tentang kesatuan bersama Tuhan (Unity of God), dan juga berbicara tentang hati sebagai cermin manusia.
Annemarie Schimmel, Amin Banani, J. Christoph Burgel, William C. Cdhittick, Hamid Dabashi, Margaret A. Mills dan Victoria Holbrook, adalah para penulis buku Rumi yang intens mengkaji karya-karya Rumi: Masing-masing mereka berbicara penuh kekaguman tentang Rumi Sang Guru Cinta. Untuk kita renungi, saya cuplik salah satu puisi Rumi dibawa ini:

Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;

"Kepada Nya, kita semua akan kembali"[1]

*Penulis adalah penyuka Bahasa Arab, sekarang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akhlaq Tasawuf (AT), semester V. Tinggal di http.grujuganaqin@gmail.com

           




[1] Diambil dari Buku “Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi” oleh Idries Shah, Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.

0 Response to "Mengenal Puisi Jalaluddin Rumi"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel