Bangga Menjadi Seorang Santri
Sunday, October 25, 2015
2 Comments
Saya akan menuliskan kilas dari aktifitas seorang santri dengan cukup ringan nan renyah walau tidak terlalu begitu ilmiah—yang saya rasa bisa dibagi-bagikan dengan “siapa saja” untuk kita renungi bersama. Saya rindu berbagi pengalaman dengan teman-teman lama di lain waktu, yang sudah lama berpisah. Saya berharap mereka masih ingat tetang pondok pesantren dan tidak melepaskan identitasnya sebagai seorang santri yang percaya akan barokah. Sejatinya perkataan saya taklid pada K. Warist Ilyas bahwa dalam literer sejarah tidak ada kata ‘mantan santri’ yang ada hanya mantan-antan yang lain, seperti mantan pencuri, mantan korupsi, mantan biarawan, dan mantan-mantan yang tidak dapat saya sebutkan disini.
Berbicara kata
mantan yang saya sampaikan di atas, bisa saja orang yang tidak paham “mantan” mengartikannya
kurang lebih adalah bekas dari gelar seorang santri yang pernah mencari ilmu di
pondok pesantren; menyangkut profesi dan jabatan. Kalau dihubungkan dengan kata
santri sah-sah saja selama itu mengacu pada filologi bahasa. Pasalnya, santri
disini sebagai kata benda, sedang kata “mantan” adalah kata sifat, yang menjadi
artikulasi atau atribut dari predikat santri tersebut.
Pertama,
kita harus bisa memahami kata ‘mantan’ sebagai bentuk kultural yang
dikontekstualisasikan dalam kehidupan santri, yang mana kita bisa
mengartikannya kata ‘mantan’ adalah bentuk hobar dari kata santri yang
menjadi predikat dan atau fitrah dari seorang santri itu sendiri.
Kedua, persoalannya
kenapa tidak ada kata mantan santri? Kalau menelisik kembali apa yang dikatakan
K. Warits Ilyas sejalan dengan realitas yang ada di pesantren, dalam pesantren
kita tidak akan mengenal istilah mantan guru, selama ia guru tetap guru.
Namun di lain
sisi, saya menemukan ada banyak kasus penyimpangan yang dilakukan santri,
sebagai contoh saya temukan di masyarakat sudah ada liberalisasi pemahaman kata
guru. Saya punya seorang teman yang memiliki gelar sarjana lulusan UGM, ia
terkenal pintar setelah lulus kuliah, sehingga ada banyak masyarakat berguru
kepadanya, termasuk orang yang pernah menjadi gurunya. Sebagai seorang sarjana
ia sudah menghilangkan ketakdzimanya kepada sang guru karena alasan tadi,
gurunya sudah berguru pula kepadanya. Dalam hal ini apakah dapat dibenarkan ia
berdalih kalau ada istilah mantan guru?
Mari kita cermati
dan kritik apologi yang sudah disampaikan tadi. Berdasarkan apa yang saya
pahami, opini yang disampaikan sahabat saya secara logika benar, masalahnya
benarkah logika-logika yang sudah dibangun dapat mewakili kebenaran yang telah
disampaikan. Atau ini menyalahi kebenaran kultur yang sudah sejak lama dibangun
dalam islam. Permasalah ini cukup memeras sekaligus merusak otak saya sejak
beberapa bulan lalu, sehingga tergerak untuk mengklasifikasikan antara guru dan
murid, baik tolok ukur seorang guru dan kewajiban-kewajiban seoran murid kepada
gurunya.
Menurut K.
Warits Ilyas kita tetap berguru kepada siapa saja selama ia pernah memberikan
ilmunya kepada kita, hal ini yang membuat seorang santri begitu takdzim
kepada sang guru terutama kiai. Sejalan dengan Sayyidina Ali, dalam sebuah
cerita yang masih saya ingat, Ali pernah bertanya tetang arah jalan kepada
seseorang, karena itu sampai kapanpun Ali menghormati orang tersebut, sampai
suatu ketika Ali turun dari untanya untuk memberi hormat kepada sang guru tadi.
Kalau kita
berdebat soal ini, tentu semakin panjang serta merumitkan pembahasan. Saya akan
memberikan negasi untuk para revisionis, jangan menjadi propagandis dan terlalu
pendai berkata-kata hipokritik, jujurlah pada pengetahuan yang kita punya.
Kadang kita mengetahui perbuatan itu jelek karena ilmu yang kita miliki terlalu banyak kita hanya
bisa sibuk mengkritik dan enggan untuk melakukannya.
Sebenarnya,
saya ingin menyampaikan kebanggaan saya pribadi menjadi seorang santri. Entah
kenapa pembahasan saya ngalur ngidul kemana-mana. Maafkanlah saya,
mungkin terlalu bernafsu dalam menulisnya. Kenapa saya bisa bangga menjadi
seorang santri? Yang bisa saya ungkapkan karena santri adalah kebanggaan orang
tua saya, kedua, saya bisa mengartikan santri adalah pribadi yang
memiliki semangat juang, yang bisa meletakkan dasar da’wah bil al-aqwal berbentuk
pengajian dan pola-pola yang sejenis dan da’wa bil hal sebagai bentuk
kerja konkret dalam suatu muatan pandangan dan tindakan yang integritas dan
saling interdependensi.
Saya mengamini
perkataan al-Fayyadl dalam tulisan-nya di blog, Fayyadl menyebutnya santri
adalah produksi yang dicetak untuk masyarakat dan akan kembali kepada
masyarakat yang diyakini sebagai pejuang dari para ulama yang disebut warisatul
anbiya’ (para gnerasi ulama dan nabi) dalam menyebarkan agama Islam di muka
bumi perkataan ini sejalan dengan hadist nabi.
Pondok saya; adalah
rumah belajar dan beramal
Beberapa bulan ini,
saya sering mengamati kondisi santri, dari kegiatan kesehariannya, hinggga pada
kegiatan-kegiatan yang berbentuk seremonial, bahkan saya sering menghadiri dari
kegiatan yang mereka gelar. Kondisi pondok pesantren yang kurang lebih lima
tahun saya huni masih tetap sama, tidak ada perubahan yang cukup signifikan,
walau lambat laun, sedikit demi sedikit, ada gejala-gejala seperti gelombang
besar yang akan mengangkat santri pada permukaan laut. Nampaknya, sudah mulai
kelihatan ada pandangan revolusioner dari pengasuh kita tentang pondok
pesantren Lubangsa. Entah, tidak usah saya ceritakan di sini, kalau meminjam
bahasa anak remaja merupakan hak privasi pengasuh.
Perlu saya
sampaikan pada siapapun yang berstatus santri pondok pesantren dan atau alumni
pesantren, ada pesan pengasuh Alm. K. Warits Ilyas, yang tidak boleh kita
tinggalkan menjadi seorang santri. Pertama, konsistensi dalam beribadah,
Azzarnuji membahasakannya dengan attulu azzamani (konsisten). Di pondok
pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, saya menemukan santri tetap konsisten
melaksanakan shalat berjamaah, mengaji kitab kuning, sekolah dan ditambah
dengan kegiatan-kegiatan organisasi yang bisa menunjang kreatifitas santri,
baik dalam belajar dan berakhlakul karimah.
Saya jadi
teringat pada dua tahun silam, tepatnya pada bulan muharram, sama persis dengan
kondisi yang saya temukan hari ini. Santri menyambut bulan muharram dengan
penuh kegembiaraan plus kasih sayang, mereka mengisi bulan muharram dengan
berbagai bentuk kegiatan-kegiatan ilmiah keagamaan, seperti refleksi 10
muharram, atau mengadakan tahlil bersama dan istighasa di setiap makbaro
para masyaikh Annuqayah. Kegiatan yang ditampilkan dengan begitu-begitu-an
sin, menurut versi kami cukup meriah dibanding dengan kemeriahan
orang-orang yang merayakan tahun baru masehi.
Akan saya
ceritakan sedikit saja apa yang terjadi bulan ini, tentang aktifitas santri di pondok
pesantren Lubangsa. Biasanya, santri tidak lepas dengan melaksanakan puasa asyura
ini berdasarkan hadis rasul untuk melaksanakan puasa pada bulan asyura.
Menyitir dari perkataannya Syekh Assamarkandi dalam kitab-nya tanbihu al-ghafilin
ia mengutip hadits yang diriwatkan oleh Ahmad, tentang keutamaan-keutamaan
berpuasa pada bulan muharram. Sampai saat ini gairah atau antusiesme santri
dalam menyambut dan merayakan bulan muharrah tidak hanya sebata kata-kata,
lebih dari itu berupa tindakan spiritual keagamaan. Dengan introspeksi diri,
ibadah, zikir, shadaqah, dan segala bentuk kebajikan lainnya.
Sebab itu,
sampai hari ini saya merasa bangga menjadi bagian integral dari kehidupan
santri, lebih tepatnya sebagai seorang santri. Kehidupan ini membuat saya
bersyukur sebelum terlambat. Mari bandingkan dengan kehidupan luar pesantren,
apa ada fenomena seperti ini? Bagi saya, menjadi seorang santri adalah
kebanggaan orang tua serta tumpuan hidup dari masyarakat, biarkan orang lain di
sana sudah memandang ‘sebelah mata’ pada kita (baca: santri) yang terpenting
jangan sampai hilangkan kultur pesantren, terutamanya masalah moral. Masyarakat
Madura dari saking menganggab penting urusan moral itu, mengungkapkan
pribahasa yang kurang lebih begini, “maske ilmona noktuk langge’ tape mong
tengkana jubek, tak kera paraddu ka masyarakat,” demikian kutipan yang bisa
saya sitir dari masyarakat. Wallahua’lam...
*Sebagai
pengurus P2O PPA. Lubangsa
saya suka tulisannya adik......!
ReplyDeleteIy. Terimaksih...
ReplyDelete