-->

Bangga Menjadi Seorang Santri


Saya akan menuliskan kilas dari aktifitas seorang santri dengan cukup ringan nan renyah walau tidak terlalu begitu ilmiah—yang saya rasa bisa dibagi-bagikan dengan “siapa saja” untuk kita renungi bersama. Saya  rindu berbagi pengalaman dengan teman-teman lama di lain waktu, yang sudah lama berpisah. Saya berharap mereka masih ingat tetang pondok pesantren dan tidak melepaskan identitasnya sebagai seorang santri yang percaya akan barokah. Sejatinya perkataan saya taklid pada K. Warist Ilyas bahwa dalam literer sejarah tidak ada kata ‘mantan santri’ yang ada hanya mantan-antan yang lain, seperti mantan pencuri, mantan korupsi, mantan biarawan, dan  mantan-mantan yang tidak dapat saya sebutkan disini.
Berbicara kata mantan yang saya sampaikan di atas, bisa saja orang yang tidak paham “mantan” mengartikannya kurang lebih adalah bekas dari gelar seorang santri yang pernah mencari ilmu di pondok pesantren; menyangkut profesi dan jabatan. Kalau dihubungkan dengan kata santri sah-sah saja selama itu mengacu pada filologi bahasa. Pasalnya, santri disini sebagai kata benda, sedang kata “mantan” adalah kata sifat, yang menjadi artikulasi atau atribut dari predikat santri tersebut.
Pertama, kita harus bisa memahami kata ‘mantan’ sebagai bentuk kultural yang dikontekstualisasikan dalam kehidupan santri, yang mana kita bisa mengartikannya kata ‘mantan’ adalah bentuk hobar dari kata santri yang menjadi predikat dan atau fitrah dari seorang santri itu sendiri.
Kedua, persoalannya kenapa tidak ada kata mantan santri? Kalau menelisik kembali apa yang dikatakan K. Warits Ilyas sejalan dengan realitas yang ada di pesantren, dalam pesantren kita tidak akan mengenal istilah mantan guru, selama ia guru tetap guru.
Namun di lain sisi, saya menemukan ada banyak kasus penyimpangan yang dilakukan santri, sebagai contoh saya temukan di masyarakat sudah ada liberalisasi pemahaman kata guru. Saya punya seorang teman yang memiliki gelar sarjana lulusan UGM, ia terkenal pintar setelah lulus kuliah, sehingga ada banyak masyarakat berguru kepadanya, termasuk orang yang pernah menjadi gurunya. Sebagai seorang sarjana ia sudah menghilangkan ketakdzimanya kepada sang guru karena alasan tadi, gurunya sudah berguru pula kepadanya. Dalam hal ini apakah dapat dibenarkan ia berdalih kalau ada istilah mantan guru?
Mari kita cermati dan kritik apologi yang sudah disampaikan tadi. Berdasarkan apa yang saya pahami, opini yang disampaikan sahabat saya secara logika benar, masalahnya benarkah logika-logika yang sudah dibangun dapat mewakili kebenaran yang telah disampaikan. Atau ini menyalahi kebenaran kultur yang sudah sejak lama dibangun dalam islam. Permasalah ini cukup memeras sekaligus merusak otak saya sejak beberapa bulan lalu, sehingga tergerak untuk mengklasifikasikan antara guru dan murid, baik tolok ukur seorang guru dan kewajiban-kewajiban seoran murid kepada gurunya.
Menurut K. Warits Ilyas kita tetap berguru kepada siapa saja selama ia pernah memberikan ilmunya kepada kita, hal ini yang membuat seorang santri begitu takdzim kepada sang guru terutama kiai. Sejalan dengan Sayyidina Ali, dalam sebuah cerita yang masih saya ingat, Ali pernah bertanya tetang arah jalan kepada seseorang, karena itu sampai kapanpun Ali menghormati orang tersebut, sampai suatu ketika Ali turun dari untanya untuk memberi hormat kepada sang guru tadi.
Kalau kita berdebat soal ini, tentu semakin panjang serta merumitkan pembahasan. Saya akan memberikan negasi untuk para revisionis, jangan menjadi propagandis dan terlalu pendai berkata-kata hipokritik, jujurlah pada pengetahuan yang kita punya. Kadang kita mengetahui perbuatan itu jelek karena ilmu  yang kita miliki terlalu banyak kita hanya bisa sibuk mengkritik dan enggan untuk melakukannya.  
Sebenarnya, saya ingin menyampaikan kebanggaan saya pribadi menjadi seorang santri. Entah kenapa pembahasan saya ngalur ngidul kemana-mana. Maafkanlah saya, mungkin terlalu bernafsu dalam menulisnya. Kenapa saya bisa bangga menjadi seorang santri? Yang bisa saya ungkapkan karena santri adalah kebanggaan orang tua saya, kedua, saya bisa mengartikan santri adalah pribadi yang memiliki semangat juang, yang bisa meletakkan dasar da’wah bil al-aqwal berbentuk pengajian dan pola-pola yang sejenis dan da’wa bil hal sebagai bentuk kerja konkret dalam suatu muatan pandangan dan tindakan yang integritas dan saling interdependensi.
Saya mengamini perkataan al-Fayyadl dalam tulisan-nya di blog, Fayyadl menyebutnya santri adalah produksi yang dicetak untuk masyarakat dan akan kembali kepada masyarakat yang diyakini sebagai pejuang dari para ulama yang disebut warisatul anbiya’ (para gnerasi ulama dan nabi) dalam menyebarkan agama Islam di muka bumi perkataan ini sejalan dengan hadist nabi.

Pondok saya; adalah rumah belajar dan beramal
Beberapa bulan ini, saya sering mengamati kondisi santri, dari kegiatan kesehariannya, hinggga pada kegiatan-kegiatan yang berbentuk seremonial, bahkan saya sering menghadiri dari kegiatan yang mereka gelar. Kondisi pondok pesantren yang kurang lebih lima tahun saya huni masih tetap sama, tidak ada perubahan yang cukup signifikan, walau lambat laun, sedikit demi sedikit, ada gejala-gejala seperti gelombang besar yang akan mengangkat santri pada permukaan laut. Nampaknya, sudah mulai kelihatan ada pandangan revolusioner dari pengasuh kita tentang pondok pesantren Lubangsa. Entah, tidak usah saya ceritakan di sini, kalau meminjam bahasa anak remaja merupakan hak privasi pengasuh.
Perlu saya sampaikan pada siapapun yang berstatus santri pondok pesantren dan atau alumni pesantren, ada pesan pengasuh Alm. K. Warits Ilyas, yang tidak boleh kita tinggalkan menjadi seorang santri. Pertama, konsistensi dalam beribadah, Azzarnuji membahasakannya dengan attulu azzamani (konsisten). Di pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, saya menemukan santri tetap konsisten melaksanakan shalat berjamaah, mengaji kitab kuning, sekolah dan ditambah dengan kegiatan-kegiatan organisasi yang bisa menunjang kreatifitas santri, baik dalam belajar dan berakhlakul karimah.
Saya jadi teringat pada dua tahun silam, tepatnya pada bulan muharram, sama persis dengan kondisi yang saya temukan hari ini. Santri menyambut bulan muharram dengan penuh kegembiaraan plus kasih sayang, mereka mengisi bulan muharram dengan berbagai bentuk kegiatan-kegiatan ilmiah keagamaan, seperti refleksi 10 muharram, atau mengadakan tahlil bersama dan istighasa di setiap makbaro para masyaikh Annuqayah. Kegiatan yang ditampilkan dengan begitu-begitu-an sin, menurut versi kami cukup meriah dibanding dengan kemeriahan orang-orang yang merayakan tahun baru masehi.
Akan saya ceritakan sedikit saja apa yang terjadi bulan ini, tentang aktifitas santri di pondok pesantren Lubangsa. Biasanya, santri tidak lepas dengan melaksanakan puasa asyura ini berdasarkan hadis rasul untuk melaksanakan puasa pada bulan asyura. Menyitir dari perkataannya Syekh Assamarkandi dalam kitab-nya tanbihu al-ghafilin ia mengutip hadits yang diriwatkan oleh Ahmad, tentang keutamaan-keutamaan berpuasa pada bulan muharram. Sampai saat ini gairah atau antusiesme santri dalam menyambut dan merayakan bulan muharrah tidak hanya sebata kata-kata, lebih dari itu berupa tindakan spiritual keagamaan. Dengan introspeksi diri, ibadah, zikir, shadaqah, dan segala bentuk kebajikan lainnya.
Sebab itu, sampai hari ini saya merasa bangga menjadi bagian integral dari kehidupan santri, lebih tepatnya sebagai seorang santri. Kehidupan ini membuat saya bersyukur sebelum terlambat. Mari bandingkan dengan kehidupan luar pesantren, apa ada fenomena seperti ini? Bagi saya, menjadi seorang santri adalah kebanggaan orang tua serta tumpuan hidup dari masyarakat, biarkan orang lain di sana sudah memandang ‘sebelah mata’ pada kita (baca: santri) yang terpenting jangan sampai hilangkan kultur pesantren, terutamanya masalah moral. Masyarakat Madura dari saking menganggab penting urusan moral itu, mengungkapkan pribahasa  yang kurang lebih begini,  “maske ilmona noktuk langge’ tape mong tengkana jubek, tak kera paraddu ka masyarakat,” demikian kutipan yang bisa saya sitir dari masyarakat. Wallahua’lam...  

*Sebagai pengurus P2O PPA. Lubangsa  

2 Responses to "Bangga Menjadi Seorang Santri"

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel