Membaca Semiotik dalam Bahasa
Sunday, November 29, 2015
Add Comment
Setelah membaca sebuah antologi cerpen dan puisi yang
ditulis oleh santriwati PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Antologi yang
diterbitkan oleh organisasi Ikstida Divisi III (Pengembangan Pers) dengan judul
“Epitaf Syahdu.” Saya merasa kembali menjadi anak kecil yang lucu
sekaligus lugu. Sepertinya kembali mencium aroma masa lalu itu dengan
imajinatif liar. Dari segi judulnya, awalnya saya sangat tertarik sekali,
mengundang hati saya untuk bicara tentang judul antologi yang mereka angkat.
Saya menduga di dalam antologi akan tergambar sebuah ketenangan hati yang
begitu sejuk; keadaan khidmat serta mulia. Dimana orang-orangnya akan terhayut
khusyuk pada petuah-petuah yang mesti dikenang dalam sejarah. Malah setelah
saya baca tuntas isi antologi Epitaf Syahdu, hati saya manjadi sebaliknya.
Ragu. Susana hati seperti ada gemuruh pantai dengan ombak yang sangat dahsyat. Ada
perasaan kecewa, sakit hati dan menyesal dengan sebagian tulisan yang hanya
dijadikan luapan emosi.
Kebencian
saya merayu untuk benar-benar merusak pikiran dan hati. Menerbitkan buku
seperti antologi, bukan sembarangan tulisan. AS. Laksana pernah mengatakan buku
yang bagus adalah buku yang layak dibaca untuk semua kalangan—ada semacam instrumentalis
untuk memancing semangat dan gairah menulis—buku yang layak diterbitkan bukan
semacam tulisan diary. Kecuali memang buku diary. Tapi buku yang layak
adalah buku yang bisa dipahami semua kalangan, dari pemuda, anak-anak,
politisi, kiai dan yang lainnya. Bukan
seperti isi surat yang tertuju pada satu orang. Isi buku adalah menyampaikan
pesan tersirat yang belum orang lain ketahui.
Membaca tema cinta
Benar sekali jika cinta menjadi inspirasi serta principal
topic dalam menulis, cinta tidak
hanya berhenti menjadi sebuah inspirasi, malah dengan cinta orang bisa menjadi
budak inspirasi. Keadaan seperti ini yang menuntut si penulis untuk lihai
meramu cinta menjadi sesuatu yang segar untuk ditulis, agar sesuatu yang
diangkat kepermukaan tidak menjadi basi. Sebab itu William Shakespeare
mengatakan bahwa cinta bukan mengajarkan kita lemah, tetapi membangkitkan
kekuatan. Cinta bukan mengajarkan kita menghinakan diri, tetapi, menghembuskan
kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.
Bagi Syaiful Bakri dalam bukunya yang berjudul Tentang
Cinta, ia menggambarkan bercinta adalah mengurus ego seseorang yang kita
cintai. Kita mengurus keperluan-keperluan emosi, psikologi dan sosialnya. Dengan
pengurusan begini seseorang yang kita kasihi akan sehat, segar dan bertenaga
oleh apa yang kita lakukan padanya. Begitu juga sebaliknya. Kita mesti memili
satu alasan besar kenapa dalam buku antologi Ikstida mengangkat tema cinta
dengan setumpuk kebencian anak-anak muda.
Baik anak muda yang dihianati kekasihnya, anak muda
yang lagi jatuh cinta, anak muda yang suka mempermainkan perasaan wanita atau
wanita yang suka mempermainkan perasaan laki-laki. Sebentuk cerita yang diramu
oleh para penulis akhirnya menjadi sebatas tulisan pelampiasan emosi dan layak
untuk disebut antologi diary. Sangat terasa jika mereka memaksakan diri
untuk mengungkapkan emosi yang berkobar-kobar. Apa kemudian yang menarik dari
kata cinta? Jika cinta merupakan awal
dari sebuah penyesalan yang disengaja oleh penulis. Tidak ada yang menarik jika
mereka sebatas menggambarkan kisah naratif yang sarat dengan individulistik.
Berbeda dengan kisah-kisah cinta yang lain, semisal Romeo
dan Juliet, sebuah kisah cinta yang betul-betul manusiawi dan sebagai
eksistensi empiris, dimensi spritual-metafisis telah lepas darinya. Dalam hal
menggabungkan aspek spiritual dan material yang tunduk pada ketentuan Tuhan,
maka yang kedua menjadi murni karena spiritual sedangkan yang ketiga sangat
material.
Jika kisah Laila dilepaskan dari aspek spiritual ia
akan menjadi roman yang tidak lagi menjadi inspirasi kebenaran perenial, maka
kisah itu akan seperti nasib yang dialami oleh terjemahan Ruba’iyat Omar
Khayyam yang kemudian terkesan sangat materil.
Membaca antologi
Pertama-tama
saya membaca judul antologi itu, saya menduga jika buku antologi yang di
hasilkan santri Ikstida mirip dengan sebuah novel bets seller yang
ditulis oleh Tere Liye, novel dengan judul yang ringkas “Rindu.”
Ceritanya tidak jauh berbeda, mereka juga mengisahkan tentang masa lalu yang
memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tetang
kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Tere Liye
memaparkan apalah arti cinta, ketika kita menangis terluka atas perasaan yang
seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang
seharusnya suci dan tidak menuntut apap pun? Menariknya, ia penulis hebat.
Bukan sekadar ingin mengungkapkan cerita hati, tapi ia ingin mengungkapkan
sebentuk kritikan atau makna.
Dalam antologi
yang ditulis oleh anak pesantren ada sesuatu yang istemewa, dan masih segar
dalam ingatan pembaca. Suasana pesantren yang serba terbatas, tapi masih mampu
menghasilkan sebuah karya. Keunikan dalam menulis cerita “suasana hati” menjadi
pekerjaan santai seperti menulis buku diary. Terkadang memang tidak
terlalu tertantang menulis diary,
benar apa yang dikatakan korator cerita antologi itu, Wahyudi Kaha, dan korator
puisi Zainul Muttaqin, mereka terlibat aktif dalam tulisan, karena mereka
mengungkapkan sebuah perasaan yang dilahirkan dari kegelisahan nyata.
Sebenarnya saya
akan gambarkan sebuah semiotik tulisan dalam antologi Epitaf Syahdu.
Beberapa penulis yang sudah akrap dengan saya, ada juga penulis sebatas tau
kepada saya. Karena penulisannya beragam. Saya cukup menafsiri apa yang sudah
kurator interpretasikan. Karena saya sadar menggambarkan atau menafsirkan
membutuhkan ketelitian dalam membaca semiotik tulisan. Terutama bagaiman cara
kita memahami puisi yang mereka tulis. Karena penulisnya terlalu banyak, saya
tidak suka berbicara satu persatu dari karya mereka, saya lebih suka berbicara
secara umum. Kalaupun tersinggung maka akan ada banyak orang yang tersinggung.
Bagi penulis
puisi dan cerpen saya bisa membaca apa yang terlintas di benak mereka, tentang
apa yang digambarkan dalam tulisannya. Memang ada sebagaian cerita yang membuat
kejutan-kejutan yang tidak terduga. Pada awalnya, si pencerita monoton dalam
kisahnya, namun pada akhirnya si pencerita bisa mengakhiri cerita dengan
kejutan menarik.
Ada cerita
yang tidak nyambung sama sekali. Di sini mereka harus belajar tentang
perumpamaan-perumpamaan dalam menulis cerita. Kiasan yang mereka gambarkan
berbanding terbalik dengan umumnya seorang pembaca cerita. Wallahua’lam...
*Penulis
adalah pemerhati sastra Syeik Hamzah Fansuri.
0 Response to "Membaca Semiotik dalam Bahasa"
Post a Comment
Terimkasih...