-->

Membaca Semiotik dalam Bahasa

Setelah membaca sebuah antologi cerpen dan puisi yang ditulis oleh santriwati PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Antologi yang diterbitkan oleh organisasi Ikstida Divisi III (Pengembangan Pers) dengan judul “Epitaf Syahdu.” Saya merasa kembali menjadi anak kecil yang lucu sekaligus lugu. Sepertinya kembali mencium aroma masa lalu itu dengan imajinatif liar. Dari segi judulnya, awalnya saya sangat tertarik sekali, mengundang hati saya untuk bicara tentang judul antologi yang mereka angkat. Saya menduga di dalam antologi akan tergambar sebuah ketenangan hati yang begitu sejuk; keadaan khidmat serta mulia. Dimana orang-orangnya akan terhayut khusyuk pada petuah-petuah yang mesti dikenang dalam sejarah. Malah setelah saya baca tuntas isi antologi Epitaf Syahdu, hati saya manjadi sebaliknya. Ragu. Susana hati seperti ada gemuruh pantai dengan ombak yang sangat dahsyat. Ada perasaan kecewa, sakit hati dan menyesal dengan sebagian tulisan yang hanya dijadikan luapan emosi.
            Kebencian saya merayu untuk benar-benar merusak pikiran dan hati. Menerbitkan buku seperti antologi, bukan sembarangan tulisan. AS. Laksana pernah mengatakan buku yang bagus adalah buku yang layak dibaca untuk semua kalangan—ada semacam instrumentalis untuk memancing semangat dan gairah menulis—buku yang layak diterbitkan bukan semacam tulisan diary. Kecuali memang buku diary. Tapi buku yang layak adalah buku yang bisa dipahami semua kalangan, dari pemuda, anak-anak, politisi, kiai dan  yang lainnya. Bukan seperti isi surat yang tertuju pada satu orang. Isi buku adalah menyampaikan pesan tersirat yang belum orang lain ketahui.

Membaca tema cinta
Benar sekali jika cinta menjadi inspirasi serta principal topic dalam menulis, cinta  tidak hanya berhenti menjadi sebuah inspirasi, malah dengan cinta orang bisa menjadi budak inspirasi. Keadaan seperti ini yang menuntut si penulis untuk lihai meramu cinta menjadi sesuatu yang segar untuk ditulis, agar sesuatu yang diangkat kepermukaan tidak menjadi basi. Sebab itu William Shakespeare mengatakan bahwa cinta bukan mengajarkan kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajarkan kita menghinakan diri, tetapi, menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.
Bagi Syaiful Bakri dalam bukunya yang berjudul Tentang Cinta, ia menggambarkan bercinta adalah mengurus ego seseorang yang kita cintai. Kita mengurus keperluan-keperluan emosi, psikologi dan sosialnya. Dengan pengurusan begini seseorang yang kita kasihi akan sehat, segar dan bertenaga oleh apa yang kita lakukan padanya. Begitu juga sebaliknya. Kita mesti memili satu alasan besar kenapa dalam buku antologi Ikstida mengangkat tema cinta dengan setumpuk kebencian anak-anak muda.
Baik anak muda yang dihianati kekasihnya, anak muda yang lagi jatuh cinta, anak muda yang suka mempermainkan perasaan wanita atau wanita yang suka mempermainkan perasaan laki-laki. Sebentuk cerita yang diramu oleh para penulis akhirnya menjadi sebatas tulisan pelampiasan emosi dan layak untuk disebut antologi diary. Sangat terasa jika mereka memaksakan diri untuk mengungkapkan emosi yang berkobar-kobar. Apa kemudian yang menarik dari kata  cinta? Jika cinta merupakan awal dari sebuah penyesalan yang disengaja oleh penulis. Tidak ada yang menarik jika mereka sebatas menggambarkan kisah naratif yang sarat dengan individulistik.
Berbeda dengan kisah-kisah cinta yang lain, semisal Romeo dan Juliet, sebuah kisah cinta yang betul-betul manusiawi dan sebagai eksistensi empiris, dimensi spritual-metafisis telah lepas darinya. Dalam hal menggabungkan aspek spiritual dan material yang tunduk pada ketentuan Tuhan, maka yang kedua menjadi murni karena spiritual sedangkan yang ketiga sangat material.
Jika kisah Laila dilepaskan dari aspek spiritual ia akan menjadi roman yang tidak lagi menjadi inspirasi kebenaran perenial, maka kisah itu akan seperti nasib yang dialami oleh terjemahan Ruba’iyat Omar Khayyam yang kemudian terkesan sangat materil.  

Membaca antologi 
Pertama-tama saya membaca judul antologi itu, saya menduga jika buku antologi yang di hasilkan santri Ikstida mirip dengan sebuah novel bets seller yang ditulis oleh Tere Liye, novel dengan judul yang ringkas “Rindu.” Ceritanya tidak jauh berbeda, mereka juga mengisahkan tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tetang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Tere Liye memaparkan apalah arti cinta, ketika kita menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apap pun? Menariknya, ia penulis hebat. Bukan sekadar ingin mengungkapkan cerita hati, tapi ia ingin mengungkapkan sebentuk kritikan atau makna.
Dalam antologi yang ditulis oleh anak pesantren ada sesuatu yang istemewa, dan masih segar dalam ingatan pembaca. Suasana pesantren yang serba terbatas, tapi masih mampu menghasilkan sebuah karya. Keunikan dalam menulis cerita “suasana hati” menjadi pekerjaan santai seperti menulis buku diary. Terkadang memang tidak terlalu tertantang menulis  diary, benar apa yang dikatakan korator cerita antologi itu, Wahyudi Kaha, dan korator puisi Zainul Muttaqin, mereka terlibat aktif dalam tulisan, karena mereka mengungkapkan sebuah perasaan yang dilahirkan dari kegelisahan nyata.
Sebenarnya saya akan gambarkan sebuah semiotik tulisan dalam antologi Epitaf Syahdu. Beberapa penulis yang sudah akrap dengan saya, ada juga penulis sebatas tau kepada saya. Karena penulisannya beragam. Saya cukup menafsiri apa yang sudah kurator interpretasikan. Karena saya sadar menggambarkan atau menafsirkan membutuhkan ketelitian dalam membaca semiotik tulisan. Terutama bagaiman cara kita memahami puisi yang mereka tulis. Karena penulisnya terlalu banyak, saya tidak suka berbicara satu persatu dari karya mereka, saya lebih suka berbicara secara umum. Kalaupun tersinggung maka akan ada banyak orang yang tersinggung.
Bagi penulis puisi dan cerpen saya bisa membaca apa yang terlintas di benak mereka, tentang apa yang digambarkan dalam tulisannya. Memang ada sebagaian cerita yang membuat kejutan-kejutan yang tidak terduga. Pada awalnya, si pencerita monoton dalam kisahnya, namun pada akhirnya si pencerita bisa mengakhiri cerita dengan kejutan menarik.
Ada cerita yang tidak nyambung sama sekali. Di sini mereka harus belajar tentang perumpamaan-perumpamaan dalam menulis cerita. Kiasan yang mereka gambarkan berbanding terbalik dengan umumnya seorang pembaca cerita. Wallahua’lam...


*Penulis adalah pemerhati sastra Syeik Hamzah Fansuri.  

0 Response to "Membaca Semiotik dalam Bahasa"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel