Insinuasi: Hiperkritis Organisasi
Sunday, November 29, 2015
Add Comment
Gambar oleh: senismkcs.blogspot |
Selebaran organisasi merupakan media empuk nan renyah untuk
menanam opini serta menarik perhatian massa. Selebaran menjadi tempat curhat bagi
pengurus dan anggota yang resah tentang suasana organisasi, mereka bisa menuangkan
bentuk kritik yang menjurus pada kinerja dan atau program yang tidak berjalan
dari birokrasi organisasinya. Di lain sisi kebiasaan mengkritik bisa dianggap
biasa dan baik, karena bisa membuat orang lain sadar. Bisa membuat pengurus
introspeksi diri, terutama pengurus yang memang benar-benar menjadi urusan
organisasi.
Saya perlu memberi pilihan-pilihan dan
pertimbangan-pertimbangan, bagi mereka yang suka mengkritik. Anda harus menjadi
orang idealis dan bertanggung jawab, AS. Laksana pernah menulis bahwa manusia idealis
tidak hanya pandai memberi serangkaian kata-kata dalam bentuk kritik yang tajam
tanpa sebuah solusi. Tetapi manusia idealis bisa bertanggungjawab atas apa yang
ditulis. Bukan sembarang emosi. Terkadang, kebanyakan mereka terjebak pada
kritik-insinuasi; sebuah tudahan tersembunyi yang tidak terang-terangan, dengan
cara menyindir. Kebanyakan ini dilakukan di media sosial, seperti iklan yang
pernah diunggah akun facebook
Killerpreneur yang bertuliskan “Jangan Pilih Prabowo.” Sekarang, mudah
sekali untuk memasang iklan di Google atau media-media online hanya untuk
menjelek-jelekkan orang lain. Namun, perlu dikletahui bahwa semuanya sebatas
insinuasi yang tidak terlalu penting dihiraukan oleh orang idealis.
Terkadang yang lain, mereka terjebak dalam kritik-hipekritis.
Ini merupakan kamuflase mengkaburkan identitas. Anda bersembunyi di balik kedok
yang sebenarnya. Orang lain mengira Anda adalah orang cerdas yang selalu tampil
bomeng dibicarakan publik. Mereka merasa orang yang gencar mengkritik
adalah orang pandai. Orang yang nyaring suaranya dikira selalu baik, kadang
hanya membuat bising dan kegaduhan. Selangkah lagi Anda akan menjadi seorang
kritikus. Profesi Anda memang hanya sebagai seorang yang ahli kritik kesana-sini,
yang bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan tanpa tindakan dan solusi,
Rhenald Kasali menyebutnya orang ini adalah “Generasi Wacana,” generasi
ini memiliki ciri yang yang ahli dalam urusan filologi bahasa, pandai berisilat
lidah, pandai berkomentar, pandai mengkritik; mengkritik pengurus, mengkritik
kiai, mengkritik organisasi, mengkritik santri, dll. mengkritik apa saja yang
tidak sesuai dengan persepsi sendiri.
Pilihan yang ke dua, Anda harus bisa menyelesaikan
masalah. Ingat pada perkataan Anes
Baswedan, kalau Anda bukan bagian dari masalah, maka Anda harus bisa
menyelesaikan masalah. Dari itu harus memilah-milih (freedom of choice) terhadap
sesuatu yang bermanfaat daripada sesuatu yang lebih besar mudhzaratnya. Oleh
karenanya, permasalahan memang kadang subtil dan susah untuk dipecahkan. Kalau Anda
berkata-kata justru menimbulkan banyak masalah dan orang lain benci. Anda harus
kembali pada idealisme di atas, yang saya sebut. Maka Anda harus bisa bertindak
langsung secara negosiasi halus, dengan cara memelas—jangan merasa Anda
menggurui orang lain—tunjukkan pribadi apriori seakan-akan tidak tau, play
the fool.
Kalau berbicara masalah, Anda juga kebingungan dengan
tawaran-tawaran yang saya ajukan tadi, sepertinya memang bukan solusi karena
problem genting adalah kekeliruan dalam melakukan kritik yang tidak
proporsional; ketidak sesuaian bicara dan tindakan. Agar Anda berkualitas dalam
mengebiri permasalahan. Anda harus membuat sense of difference (baca: jurang
pemisah) antara kritikan-kritikan yang baik dan kritikan-kritikan
yang jelek. Walid
Harmaneh, pada sebuah kata pengantar dalam buku Mohammed Abed al-Jabiri, Kritik
Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, meletakkan dasar analisis yang membagi-bagikan antara
wacana yang dianggab baik dan wacana yang tidak baik. Kalau Anda ingin menjadi orang
yang berbeda cara pandang, karena hanya ingin popularitas Anda naik. Kekeliruan
Anda adalah di sini. Anda menganggab kritik adalah otak berlian yang membuat
nama Anda terpandang tanpa memajang spanduk besar; kebutuhan Anda hanya ingin
dilabeli pemikir liberal. Ini kebutuhan yang tidak akan membuat Anda selesai menjadi
orang hebat.
Mengkritik
bisa saja menjadikan orang kritis, namun belum tentu transformatif. Kalau Anda dikritik karena Anda seorang
pemikir seperti Gus Dur atau Ulil Absar Abdallah, Anda berhak dilabeli seorang
cendikia muslim kontemporer yang banyak dibicarakan dan dijadikan referensi
dalam menulis buku ilmiah. Kalau kebutuhannya sebatas increase value, mengangkat nilai tawar, maka pribadi Anda dirusak
dengan kebutuhan yang timbul dari ego sendiri.
Kalau orang seperti yang saya sebutkan tadi dijadikan
pemimpin organisasi. Kemungkinan besar orang itu menyempatkan diri memanfaatkan
orang lain (organisasi) sebagai bagian yang menguntungkan bagi kehidupannya. Sehingga
muncul pemikiran feodalisme; mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, bukan
mengagung-ngagungkan prestasi dalam bekerja.
Dr. Ahmad Sahida, Ph.D. dalam acara seminar Ushuluddin
Instika (9/10), mengatakan sikap kritis seorang tokoh pemikir Toshihiko Izutsu,
bahwa dalam kritis, manusia wajib menunjukkan sifat ketawaduk-annya sebagai
sifat rendah hati, dan akhlaq yang baik adalah ekspresi dari sifat rendah hati
tersebut. Nilai seperti ini merupakan puncak ekstase dari semua epistimologi
yang kita miliki, adalah hasil dari ilmu pengetahuan yang harus diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ilmu filsafat disebut dengan aksiologi.
Maka, ketika diperas semua pembicaraan yang saya sampaikan
mulai dari awal, konklusinya adalah masalah etika atau moralitas-preskriptif. Maka,
utamakanlah sikap hormat dan kejujuran Anda dalam mengkritik. Silahkan hormati pemimpin
Anda, dan kritik yang salah.[.]
0 Response to " Insinuasi: Hiperkritis Organisasi"
Post a Comment
Terimkasih...