-->

Insinuasi: Hiperkritis Organisasi

Gambar oleh: senismkcs.blogspot
Seketika saya menggeleng-gelengkan kepala saat membaca menjubelnya kritik di selebaran-selebaran yang diterbitkan oleh organisasi otonom Ikstida. Menghujannya kritik terkadang tidak dilatari dengan fakta nyata, penulis sebatas menggelembungkan emosi orang lain dengan sensasi genting (heat writtern). Ketekunan mereka dalam menulis sebuah kritik membuat saya bangga. Selain selebaran sebagai media pengembangan intelektual, juga pengembangan proses kreatif dari anggota dan pengurus. Tapi yang perlu dipahami, jangan terjebak pada kritik-hiperkritis.
Selebaran organisasi merupakan media empuk nan renyah untuk menanam opini serta menarik perhatian massa. Selebaran menjadi tempat curhat bagi pengurus dan anggota yang resah tentang suasana organisasi, mereka bisa menuangkan bentuk kritik yang menjurus pada kinerja dan atau program yang tidak berjalan dari birokrasi organisasinya. Di lain sisi kebiasaan mengkritik bisa dianggap biasa dan baik, karena bisa membuat orang lain sadar. Bisa membuat pengurus introspeksi diri, terutama pengurus yang memang benar-benar menjadi urusan organisasi.
Saya perlu memberi pilihan-pilihan dan pertimbangan-pertimbangan, bagi mereka yang suka mengkritik. Anda harus menjadi orang idealis dan bertanggung jawab, AS. Laksana pernah menulis bahwa manusia idealis tidak hanya pandai memberi serangkaian kata-kata dalam bentuk kritik yang tajam tanpa sebuah solusi. Tetapi manusia idealis bisa bertanggungjawab atas apa yang ditulis. Bukan sembarang emosi. Terkadang, kebanyakan mereka terjebak pada kritik-insinuasi; sebuah tudahan tersembunyi yang tidak terang-terangan, dengan cara menyindir. Kebanyakan ini dilakukan di media sosial, seperti iklan yang pernah diunggah akun facebook Killerpreneur yang bertuliskan “Jangan Pilih Prabowo.” Sekarang, mudah sekali untuk memasang iklan di Google atau media-media online hanya untuk menjelek-jelekkan orang lain. Namun, perlu dikletahui bahwa semuanya sebatas insinuasi yang tidak terlalu penting dihiraukan oleh orang idealis.     
Terkadang yang lain, mereka terjebak dalam kritik-hipekritis. Ini merupakan kamuflase mengkaburkan identitas. Anda bersembunyi di balik kedok yang sebenarnya. Orang lain mengira Anda adalah orang cerdas yang selalu tampil bomeng dibicarakan publik. Mereka merasa orang yang gencar mengkritik adalah orang pandai. Orang yang nyaring suaranya dikira selalu baik, kadang hanya membuat bising dan kegaduhan. Selangkah lagi Anda akan menjadi seorang kritikus. Profesi Anda memang hanya sebagai seorang yang ahli kritik kesana-sini, yang bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan tanpa tindakan dan solusi, Rhenald Kasali menyebutnya orang ini adalah “Generasi Wacana,” generasi ini memiliki ciri yang yang ahli dalam urusan filologi bahasa, pandai berisilat lidah, pandai berkomentar, pandai mengkritik; mengkritik pengurus, mengkritik kiai, mengkritik organisasi, mengkritik santri, dll. mengkritik apa saja yang tidak sesuai dengan persepsi sendiri.
Pilihan yang ke dua, Anda harus bisa menyelesaikan masalah. Ingat pada perkataan Anes  Baswedan, kalau Anda bukan bagian dari masalah, maka Anda harus bisa menyelesaikan masalah. Dari itu harus memilah-milih (freedom of choice) terhadap sesuatu yang bermanfaat daripada sesuatu yang lebih besar mudhzaratnya. Oleh karenanya, permasalahan memang kadang subtil dan susah untuk dipecahkan. Kalau Anda berkata-kata justru menimbulkan banyak masalah dan orang lain benci. Anda harus kembali pada idealisme di atas, yang saya sebut. Maka Anda harus bisa bertindak langsung secara negosiasi halus, dengan cara memelas—jangan merasa Anda menggurui orang lain—tunjukkan pribadi apriori seakan-akan tidak tau, play the fool.    
Kalau berbicara masalah, Anda juga kebingungan dengan tawaran-tawaran yang saya ajukan tadi, sepertinya memang bukan solusi karena problem genting adalah kekeliruan dalam melakukan kritik yang tidak proporsional; ketidak sesuaian bicara dan tindakan. Agar Anda berkualitas dalam mengebiri permasalahan. Anda harus membuat sense of difference (baca: jurang pemisah) antara kritikan-kritikan yang baik dan kritikan-kritikan yang jelek. Walid Harmaneh, pada sebuah kata pengantar  dalam buku Mohammed Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, meletakkan dasar analisis yang membagi-bagikan antara wacana yang dianggab baik dan wacana yang tidak baik. Kalau Anda ingin menjadi orang yang berbeda cara pandang, karena hanya ingin popularitas Anda naik. Kekeliruan Anda adalah di sini. Anda menganggab kritik adalah otak berlian yang membuat nama Anda terpandang tanpa memajang spanduk besar; kebutuhan Anda hanya ingin dilabeli pemikir liberal. Ini kebutuhan yang tidak akan membuat Anda selesai menjadi orang hebat.
Mengkritik bisa saja menjadikan orang kritis, namun belum tentu transformatif.  Kalau Anda dikritik karena Anda seorang pemikir seperti Gus Dur atau Ulil Absar Abdallah, Anda berhak dilabeli seorang cendikia muslim kontemporer yang banyak dibicarakan dan dijadikan referensi dalam menulis buku ilmiah. Kalau kebutuhannya sebatas increase value, mengangkat nilai tawar, maka pribadi Anda dirusak dengan kebutuhan yang timbul dari ego sendiri.    
Kalau orang seperti yang saya sebutkan tadi dijadikan pemimpin organisasi. Kemungkinan besar orang itu menyempatkan diri memanfaatkan orang lain (organisasi) sebagai bagian yang menguntungkan bagi kehidupannya. Sehingga muncul pemikiran feodalisme; mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, bukan mengagung-ngagungkan prestasi dalam bekerja.
Dr. Ahmad Sahida, Ph.D. dalam acara seminar Ushuluddin Instika (9/10), mengatakan sikap kritis seorang tokoh pemikir Toshihiko Izutsu, bahwa dalam kritis, manusia wajib menunjukkan sifat ketawaduk-annya sebagai sifat rendah hati, dan akhlaq yang baik adalah ekspresi dari sifat rendah hati tersebut. Nilai seperti ini merupakan puncak ekstase dari semua epistimologi yang kita miliki, adalah hasil dari ilmu pengetahuan yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ilmu filsafat disebut dengan aksiologi.
Maka, ketika diperas semua pembicaraan yang saya sampaikan mulai dari awal, konklusinya adalah masalah etika atau moralitas-preskriptif. Maka, utamakanlah sikap hormat dan kejujuran Anda dalam mengkritik. Silahkan hormati pemimpin Anda, dan kritik yang salah.[.]    

0 Response to " Insinuasi: Hiperkritis Organisasi"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel