Ketika (Saya) Bicara Seks
Friday, October 16, 2015
Add Comment
Tulisan ini muncul ketika diskusi sahabat-sahabat di organisasi Iksabad dengan tema “Sex education, pentingkah kita bicarakan?” tentu tidak semua orang pro dengan pertanyaan ini, karena dilain sisi ketika anak muda bicara seks ia gampang menyimpang dan terlena dengan buaian nafsu belaka. Sehingga inginnya mengimplementasikan semua ilmu yang telah ia dapatkan. Dan itu sangat berbahaya.
Kita tentu boleh percaya dan tidak, Belive
it or not, bahwa Syek Junaid al-Baghdady, seorang imam besar dalam ilmu
tasawuf pernah mengatakan, “aku membutuhkan seks, sebagaimana aku membutuhkan
makanan” (dalam kitab al-Jurjawi), mengapa beliau berkata demikian, adakah
indikasi tersembunyi di dalamnya? Anda jangan ngeres dulu. Imam Junaid
bukan seorang yang memory otaknya hanya dipenuhi seorang wanita. Beliau juga
bukan seorang seks-mania. Beliau adalah seorang mursyid (guru) thariqat
yang menjadi panutan orang NU.
Lalu kenapa beliau berkata begitu? Imam al-Ghazali terpanggil hatinya untuk
menjelaskan. Di dunia ini, katanya, hanya ada satu kenikmatan yang luar biasa
dan hampir ‘menyamai’ kenikmatan surgawi. Yaitu mujama’ah (kontak sek), ketika
dilakukan, apalagi saat mencapai puncak klimaks, seseorang akan terlena dan
melupakan semua hal-hal yang duniawi. Dia hanya ingat satu satu kata. Niktmat
yang tiada tara. Itulah gambaran surga.
Jadi, dengan ungkapan tersebut, sesungguhnya Imam Junaid ingin menyadarkan
kita bahwa kenikmatan surga adalah kenikmatan yang sangat indah, abadi, dan tak
terbayangkan. Kalau di dunia Anda hanya bisa merasakan kenikmatan klimaks
seperempat menit, maka di akhirat Anda bisa merasakan kenikmatan itu selamanya.
Tidak seorang pun dapat mengusik atau menghentikannya.
Sehingga Imam Ibnu Arabi juga membuat pernyataan yang tak kalah hebohnya.
Beliau mengatakan bahwa alam adalah tempat Allah ber-tajalli (menampakkan
diri). Demikian juga manusia. “Akan kami tampakkan tanda-tanda kekuasaan-Ku
di cakrawala dan diri manusia, agar mereka paham bahwasanya al-Qur’an adalah
benar ” (Qs: Fusilat, 53).
Kalau alam sebagai tempat tajalli, barangkali tidak perlu
penjelasan. Sebab, bentangan cakrawala memang diciptakan untuk itu. Yang perlu
dipertajam dengan pisau nalisis adalah soal manusia. Kalau manusia juga menjadi
tempat tajalli, maka pertanyaan selanjutnya adalah: manusia lelaki, gay
atau perempuan? Dengan tegas Ibnu Arabi mengatakan: perempuan.
Jika demikian, dalam buku The Tao of Islam, karya Sachiko Murata, Ibnu
Arabi mengemukakan pendapatnya bahwa, berhubungan intim dengan wanita (istri
bukan pacar lhe, Red) sesungguhnya adalah suatu proses untuk
bersatu (wadah) dengan Allah. Menjauhi persatuan dengan wanita, sesungguhnya menjauhi
persatuan dengan Allah.
Yang perlu dicatat baik-baik adalah bahwa yang bisa mencapai target
ini adalah mereka yang bisa melepaskan hawa nafsu hayawaiyyah (nafsu
binatang)-nya. Mereka yang masih terbelenggu nafsu ini, sekalipun setiap hari
melakukan tujuh kali proses menyatu dengan Tuhan tidak akan tercapai. Ia hanya
bisa menikmatinya sebagai kenikmatan duniawiyah, bukan kenikmatan ilahiyah.
Yang perlu saya bicarakan sebenarnya kesadaran pentingnya melakukan oral
seks dalam gama islam? Yakni bagaimana ketika seseorang berkehendak ingin mengubuah
muj’maah (hubungan seksual) dengan gaya instrumentalis yang lebih
menarik agar tidak terkesan membosankan. Jika gaya “monoton”ini dibiarkan
tentu, peluang untuk menyatu dengan Tuhan sangat tipis karena terkadang orang
merasa bosan dan enggan untuk melakukan hubungan intim. Bagaimana cara
mengobatinya? Banyak cara menuju roma. Yang umum disarankan oleh pakar
seksologi adalah mengubah arah posisi seks agar tidak monoton. Persepsi ini
mendapat justifikasi dari ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah, 223 “Istrimu
adalah (seperti) ladangmu. Tanamilah
ladang( itu) sesukamu. Kerjakanlah amal baik untuk dirimu sendiri, dan
bertaqwalah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa engkau akan bertemu dengan-Nya. Dan
berikan kabar gembira kepada orang mukmin”.
Ketika isu senter “oral seks” dalam agama mendapat justifikasi, kemudian
hal ini tidak dibenarkan dalam ajaran kaum Yahudi, mereka mengklaim bahwa, dalam
kitab Taurat muja’aah dari arah belakang akan menyebabkan anak juling. Dengan
demikian misi ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa bergaul intim dengan
istri bisa dilakukan dari mana saja, baik dari belakang (tapi bukan anal seks),
depan, atas, bawah, miring dan sebagainya. Namun, yang menjadi catatan mujma’ah
harus ditempatkan pada tempatnya yang bisa memungkinkan untuk melestarikan
keturunan, sebagaimana ladang sebagai tempat untuk menumbuhkan tanaman.
Kendati demikian, soal gaya seks dalam al-Qur’an mengatakan : anna
syi’tum. Lafat anna, dalam gramatika bahasa Arab, bisa berarti kaifa
(bagaimana), aina (dimana), dan mata (kapan) . Inti dari ayat
al-Qur’an tadi konklusinya adalah kebebasan gaya dan waktu. Bisa sambil
berdiri, duduk, miring, di atas, di bawah, depan, belakang, dan seterusnya.
Yang jadi patokan hanya satu. Saranya harus “depan” bukan yang lain. Tapi,
ingat semuanya punya konsekwensi tersendiri dan carilah yang lebih baik (maksud
saya cari yang terbaik). Karena Abi Muhammad Maulana at-Tuhaimi al-Idris
al-Hasani, dalam kitab Qurratun al-Uyun, telah menjelaskan semua bentuk
seks yang benar, beserta konsekwensinya. Benarkah? Wallahua’lam..
1. Diramu dari buku “Fiqih Rakyat Pertautan Fiqh Dengan Kekuasaan,” Redaksi
Tanwirul Afkar, Salafiyah-Safi’iyyah, LKiS Yogyakarta 2000, Hlm. 269. Dan hasil
diskusi mingguan organisasi IKSABAD pada malam sabtu, tanggal 26 Februari 2015
M.
0 Response to "Ketika (Saya) Bicara Seks"
Post a Comment
Terimkasih...