-->

Ketika (Saya) Bicara Seks

         
  Tulisan ini muncul ketika diskusi sahabat-sahabat di organisasi Iksabad dengan tema “Sex education, pentingkah kita bicarakan?” tentu tidak semua orang pro dengan pertanyaan ini, karena dilain sisi ketika anak muda bicara seks ia gampang menyimpang dan terlena dengan buaian nafsu belaka. Sehingga inginnya mengimplementasikan semua ilmu yang telah ia dapatkan.  Dan itu sangat berbahaya.
Kita tentu boleh percaya dan tidak,  Belive it or not, bahwa Syek Junaid al-Baghdady, seorang imam besar dalam ilmu tasawuf pernah mengatakan, “aku membutuhkan seks, sebagaimana aku membutuhkan makanan” (dalam kitab al-Jurjawi), mengapa beliau berkata demikian, adakah indikasi tersembunyi di dalamnya? Anda jangan ngeres dulu. Imam Junaid bukan seorang yang memory otaknya hanya dipenuhi seorang wanita. Beliau juga bukan seorang seks-mania. Beliau adalah seorang mursyid (guru) thariqat yang menjadi panutan orang NU.
Lalu kenapa beliau berkata begitu? Imam al-Ghazali terpanggil hatinya untuk menjelaskan. Di dunia ini, katanya, hanya ada satu kenikmatan yang luar biasa dan hampir ‘menyamai’ kenikmatan surgawi. Yaitu mujama’ah (kontak sek), ketika dilakukan, apalagi saat mencapai puncak klimaks, seseorang akan terlena dan melupakan semua hal-hal yang duniawi. Dia hanya ingat satu satu kata. Niktmat yang tiada tara. Itulah gambaran surga.
Jadi, dengan ungkapan tersebut, sesungguhnya Imam Junaid ingin menyadarkan kita bahwa kenikmatan surga adalah kenikmatan yang sangat indah, abadi, dan tak terbayangkan. Kalau di dunia Anda hanya bisa merasakan kenikmatan klimaks seperempat menit, maka di akhirat Anda bisa merasakan kenikmatan itu selamanya. Tidak seorang pun dapat mengusik atau menghentikannya.
Sehingga Imam Ibnu Arabi juga membuat pernyataan yang tak kalah hebohnya. Beliau mengatakan bahwa alam adalah tempat Allah ber-tajalli (menampakkan diri). Demikian juga manusia. “Akan kami tampakkan tanda-tanda kekuasaan-Ku di cakrawala dan diri manusia, agar mereka paham bahwasanya al-Qur’an adalah benar ” (Qs: Fusilat, 53).
Kalau alam sebagai tempat tajalli, barangkali tidak perlu penjelasan. Sebab, bentangan cakrawala memang diciptakan untuk itu. Yang perlu dipertajam dengan pisau nalisis adalah soal manusia. Kalau manusia juga menjadi tempat tajalli, maka pertanyaan selanjutnya adalah: manusia lelaki, gay atau perempuan? Dengan tegas Ibnu Arabi mengatakan: perempuan.
Jika demikian, dalam buku The Tao of Islam, karya Sachiko Murata, Ibnu Arabi mengemukakan pendapatnya bahwa, berhubungan intim dengan wanita (istri bukan pacar lhe, Red) sesungguhnya adalah suatu proses untuk bersatu (wadah) dengan Allah. Menjauhi persatuan dengan wanita, sesungguhnya menjauhi persatuan dengan Allah.  
Yang perlu dicatat baik-baik adalah bahwa yang bisa mencapai target ini adalah mereka yang bisa melepaskan hawa nafsu hayawaiyyah (nafsu binatang)-nya. Mereka yang masih terbelenggu nafsu ini, sekalipun setiap hari melakukan tujuh kali proses menyatu dengan Tuhan tidak akan tercapai. Ia hanya bisa menikmatinya sebagai kenikmatan duniawiyah, bukan kenikmatan ilahiyah.
Yang perlu saya bicarakan sebenarnya kesadaran pentingnya melakukan oral seks dalam gama islam? Yakni bagaimana ketika seseorang berkehendak ingin mengubuah muj’maah (hubungan seksual) dengan gaya instrumentalis yang lebih menarik agar tidak terkesan membosankan. Jika gaya “monoton”ini dibiarkan tentu, peluang untuk menyatu dengan Tuhan sangat tipis karena terkadang orang merasa bosan dan enggan untuk melakukan hubungan intim. Bagaimana cara mengobatinya? Banyak cara menuju roma. Yang umum disarankan oleh pakar seksologi adalah mengubah arah posisi seks agar tidak monoton. Persepsi ini mendapat justifikasi dari ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah, 223 “Istrimu adalah (seperti)  ladangmu. Tanamilah ladang( itu) sesukamu. Kerjakanlah amal baik untuk dirimu sendiri, dan bertaqwalah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa engkau akan bertemu dengan-Nya. Dan berikan kabar gembira kepada orang mukmin”.
Ketika isu senter “oral seks” dalam agama mendapat justifikasi, kemudian hal ini tidak dibenarkan dalam ajaran kaum Yahudi, mereka mengklaim bahwa, dalam kitab Taurat muja’aah dari arah belakang akan menyebabkan anak juling. Dengan demikian misi ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa bergaul intim dengan istri bisa dilakukan dari mana saja, baik dari belakang (tapi bukan anal seks), depan, atas, bawah, miring dan sebagainya. Namun, yang menjadi catatan mujma’ah harus ditempatkan pada tempatnya yang bisa memungkinkan untuk melestarikan keturunan, sebagaimana ladang sebagai tempat untuk menumbuhkan tanaman.
Kendati demikian, soal gaya seks dalam al-Qur’an mengatakan : anna syi’tum. Lafat anna, dalam gramatika bahasa Arab, bisa berarti kaifa (bagaimana), aina (dimana), dan mata (kapan) . Inti dari ayat al-Qur’an tadi konklusinya adalah kebebasan gaya dan waktu. Bisa sambil berdiri, duduk, miring, di atas, di bawah, depan, belakang, dan seterusnya. Yang jadi patokan hanya satu. Saranya harus “depan” bukan yang lain. Tapi, ingat semuanya punya konsekwensi tersendiri dan carilah yang lebih baik (maksud saya cari yang terbaik). Karena Abi Muhammad Maulana at-Tuhaimi al-Idris al-Hasani, dalam kitab Qurratun al-Uyun, telah menjelaskan semua bentuk seks yang benar, beserta konsekwensinya. Benarkah? Wallahua’lam..    



1. Diramu dari buku “Fiqih Rakyat Pertautan Fiqh Dengan Kekuasaan,” Redaksi Tanwirul Afkar, Salafiyah-Safi’iyyah, LKiS Yogyakarta 2000, Hlm. 269. Dan hasil diskusi mingguan organisasi IKSABAD pada malam sabtu, tanggal 26 Februari 2015 M.


0 Response to "Ketika (Saya) Bicara Seks"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel