Fecebook-an
Saturday, April 11, 2015
2 Comments
Kemarin (07/03/2014)
ada komentar “hangat”di dinding fecebook yang masih tersimpan dengan bentuk file
di flasdis saya. Menarik ketika saya membaca kisah perjalanan yang ditulis sahabat
Taufiqurrahman, di dinding facebook-nya, berjudul “Hilang” ia meminjam
bahasanya Heidegger bahwa manusia pada dasarnya adalah dari ada menuju kematian
(Sein-zum-Tode), lalu apa tujuan kita dari kehidupan ini yang penuh
meloderamatis? Dari sini, turut mengajak
hati saya untuk menulis sepenggal kisah di balik bahasa metafora percakapan
facebook saya sendiri. Disana, saya menambah tiga foto menandai Misbahul Munir
El-Amin, pukul 06:41. Saya tidak paham maksud di facebook dengan tulisan “apa
yang Anda fikirkan?”. Abaikan. Lalu meng-upload apa saja yang saya mau, tanpa
peduli.
Pada malam hari, saat membuka fecebook ternyata ada banyak yang meng(like)
foto saya. Dunia hiburan bukan lagi bahan langka untuk saat ini, meski itu
sebatas sensasional tapi banyak yang meng-gila. Jadi teringat dengan
perkataannya Bill Kovach, wartawan Washington New York Times, bahwa manusia sering memalsukan eksistensi identitas
dirinya demi urusan komersial belaka. Akh, mana saya peduli jika ini
sudah mengikuti kamus besar modern (life trend). Jika tidak mengikuti trend
dikira ke-kolota-an. Hi, serem..
Pada pukul 11:04, dinding fecebook saya
mulai ramai dengan komentar, lihat semua percakapan di beranda facebook.“Wah
rupanya di pantai mulai ada sampahnya ya..” komentarnya, sebagai bentuk sindiran
pada foto saya. Ketika menemukan pengguna bahasa dengan majas maka
interpretasinya akan berbeda pula. Saya jadi ciut menyebut nama akun
facebooknya di sini, ya sudah tulis saja yang komentar barusan itu Dz (nama
samaran).
Oalah!, yang namanya facebook orang demen mem-bully kawannya
sendiri. Satu menit yang lalu ada komentar. Ketika sampai pada percakapan yang
mengundang perdebatan cukup panjang, disini, saya kurang bernafsu untuk menulis
semua percakapan itu, akibatnya pikiran saya buntu, bahasa saya mentok. Seperti
yang dikutip Haidegger bahasa adalah tempat tinggal manusia (the house of
being) di sana kita menemukan ruang fantasi yang penuh hiburan, tapi jika
bahasa dapat mematahkan hati dan membuat kita asing di negerinya sendiri, apa
boleh buat. Dengan bahasa kita bisa mengungkap sesuatu yang diinginkan dengan leluasa,
bahkan sering saya memaki-maki orang yang saya benci dengan bahasa kasar penuh
umpetan, sehingga orang lain hanya bisa menatap saya dengan heran “kok bisa
ya?”. Dari sinilah muncul pretensi dalam diri saya untuk berapologi sejenak di
dunia maya, akhirnya banyak status facebook yang saya temui dengan bahasa
polisemik yang terkadang hanya berbentuk semiotika sangat vulgar. Kerap kali
ada yang membuat saya menekan dada sendiri sembari mengelus-elus, sakitnya thu
di sini.
Semakin hari saya berdialektika dengan bahasa facebook, menurut Paul
Ricoeur, dalam buku Teori Interpretasi, terdapat dua aspek untuk
memfungsikan bahasa secara metaforis sebagaimana yang ditekankan Philip
Wheelwrinht, dalam karnyanya The Burning Fountain, permainan metaforik
akan lihai ketika dimainkan oleh seorang penyair, karena habitat mereka hidup
dengan bahasa, namun tidak jarang disini yang banyak menuai kontroversi, karena
tak ubahnya bahasa seperti dua sisi pisau yang sama-sama tajam. Jangan
coba-coba bermain dengan bahasa, lanjut Philip Wheelwrinht, bahwa manusia bisa
mati sebab tergelincir lidahnya, dari sini bermunculan fitnah, celaan, hinaan,
dan bentuk ucapan yang tidak patut di contoh.
Sebab itulah teman fecebook saya, tidak suka kepada penulis (baca:penyair) ada
image yang kerap ditengarai sebagai epistemologi kebencian sebab masa lalunya
menjadi hantu yang sampai saat ini belum bisa dilupakan, kira-kira ia pernah sakit
hati kepada seorang lelaki yang pernah mencintainya. Berdasarkan teori Kant, mengatakan
secara konkrit akan stereotip sirkuler jika bahasa merupakan proses komunikasi
dengan dialektika wacana berdasarkan kemampuan manusia untuk memahaminya, bukan
pemahaman secara literal. Yang satu ini, saya tidak bisa menjadikan sampel
investigasi bahwa, manyoritas wanita tidak suka dengan laki-laki penulis dengan
wacana yang sama. (made love to me). Apa yang masih ditunggu? Move On!
Istana Pers Jancuker, 27 Maret 2015 M.
ygsajdgj
ReplyDeleteSaya penasaran dengan orangnya :-)
ReplyDelete