Jentelmen Bukan “Pokoke Joget”
Sunday, November 9, 2014
Add Comment
Gambar oleh: lukisan+pokoke+joget |
Setelah membaca satatus di jejaring sosial seperti
facebook, kebayakan orang menumpahkan kegelisahanya di sana. Bagi saya, itu
merupakan luapan hati secara ideal, dari pada mengutuk diti sendiri yang tak
jelas akibatnya
Ketika pertikaian seperti itu terjadi, rasanya,
tidak memungkiri persepsi saya, bahwa ternyata
orang yang dikatakan dewasa itu bukan secara umur ia lebih tua dari kita,
dewasa itu mencakup segala aspek kehidupan yang mestinya disikapi secara kultur
pendidikan yang luhur. Pasalnya, setelah kita dibenturkan dengan realitas yang
penuh polemik ini mereka masih belum“mampu” menghadapi satu titik gejolak
masalah bangsa, seperti korupsi yang makin menjamur, dan percaturan politik
yang semakin tidak sehat menandakan Indonesia bukanlah negara yang bisa
dicontoh oleh negara lain. Saya butuh merenung lebih lama lagi, ketika melihat anak
bangsa berteriak teriak hanya demi kepentingan sesaat, ketika ia tidak lagi
mementingkan sebuah cara, karena cara baginya hanya sebatas instrumental dan
yang terpenting tujuan yang kita capai meskipun itu dilakukan dengan cara kotor
dan licik.
Benar yang dikatakan W.S. Rendra bahwa (terkadang)
orang-orang hanya mengisi waktu kosong dengan pertengkaran edan yang tanpa
persoalan atau percintaan tanpa asmara dan senggama yang tidak selesai selesai.
Dari berbagai persoalan yang kita hadapi, tak satupun menurut saya mereka
bersifat “jentelmen”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti,
orang yang berpendidikan baik, bersifat kesatria dan berani, bukan selalu
bertopeng di balik layar dan bersifat pura-pura tak menghiraukan sama sekali.
Saya jadi tertawa terpingkal pingkal ketika mendengar lagu Vicky Shu, Pokoke Joget, ternyata hidup itu tidak
hanya sebatas poko’e joget. Tapi, butuh sikap pendewasaan yang mesti
dicontohkan pada orang lain, tidak heran jika pepatah Madura mengatakan sangat
ektrem “Mon guruna akemme manjeng moreddhe akemme berkak” menjadi
pukulan telak bagi kita yang lebih paham dan mengerti perihal pendidikan
karakter yang baik, bukan malah memberi contoh yang tidak baik bagi si-anak
didiknya, maka ketika sudah ketahuan kedoknya ia tak ada bedanya dengan orang
munafik yang bermuka dua. Dan kebanyakan kita terlena dengan sebuah bungkus
yang indah namun di dalamnya begitu buruk, kalau meminjam bahasanya Ariel NOAH,
buka dulu topengnya biar kubisa lihat wajahnya.
Sebelum beranjak lebih jauh, kita jangan gampang
terpengaruh oleh omongan orang lain yang sok alim, sok pintar, sok
kritis di depan kita, tanpa terlebih dahulu kita kenal yang sebenarnya siapa
dia. Karena terkadang banyak orang disekitar kita yang sebenarnya adalah musuh
kita yang diam-diam menjadi orang bijak ketika kita tengah tenggelam dalam
masalah, dia kemudian hadir menjadi sang motifasi yang memberikan beribu
pencerahan ilmiah. Namun, pada kenyataannya ada yang diinginkan dibalik itu
semua. A.S. Laksana dalam esainya Prihal Memilih, menceritakan seorang
durja yang terbelenggu pada nasib masa lalu, orang yang pernah ia percaya
akhirnya berubah menjadi orang yang sangat ia benci dengan satu alasan kecewa.
Kecewa sebab orang yang dikira baik ternyata lebih buruk dari pada yang ia duga
Hemat
saya, orang yang kesatria itu adalah orang yang bisa membaca kondisi rakyatnya yang
semrawut. Memberikan soslusi yang pasti ketika ia dihimpit masalah
Dalam hal
ini sastra akan selalu berbicara untuk menyuarakan nasib kita, jika mengutip
bahasanya Pramoedya Ananta Toer bahwa ketika semuanya dimungkam oleh penguasa
maka sastra yang akan berbicara. Karena menurut Acep Zamzam Noor penyair tidak sedih karena ditinggalkan juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan, penyair tidak menangis karena dikhianati. Itu sebabnya saya suka
menggungkapkan kelemahan saya lewat bahasa sastra, karena bagi saya, satra
adalah bahasa tanpa campur formalin, dan tak seperti apa yang dikira kebayakan
orang bahwa penyair merupakan orang-orang yang selalu “gombal dan lebay”.
Gampangnya, kebayakan para pecinta sastra sering menggunakan bahasa untuk
menutupi kedok yang sebenarnya. Memang itu ada tapi sebagian?
*Tulisan ini terinspirasi saat membaca konflik PPP yang semakin tak menemukan islah.
x
x
0 Response to "Jentelmen Bukan “Pokoke Joget”"
Post a Comment
Terimkasih...