-->

Jentelmen Bukan “Pokoke Joget”

Gambar oleh: lukisan+pokoke+joget
Setelah membaca satatus di jejaring sosial seperti facebook, kebayakan orang menumpahkan kegelisahanya di sana. Bagi saya, itu merupakan luapan hati secara ideal, dari pada mengutuk diti sendiri yang tak jelas akibatnya
Ketika pertikaian seperti itu terjadi, rasanya, tidak memungkiri persepsi saya, bahwa  ternyata orang yang dikatakan dewasa itu bukan secara umur ia lebih tua dari kita, dewasa itu mencakup segala aspek kehidupan yang mestinya disikapi secara kultur pendidikan yang luhur. Pasalnya, setelah kita dibenturkan dengan realitas yang penuh polemik ini mereka masih belum“mampu” menghadapi satu titik gejolak masalah bangsa, seperti korupsi yang makin menjamur, dan percaturan politik yang semakin tidak sehat menandakan Indonesia bukanlah negara yang bisa dicontoh oleh negara lain. Saya butuh merenung lebih lama lagi, ketika melihat anak bangsa berteriak teriak hanya demi kepentingan sesaat, ketika ia tidak lagi mementingkan sebuah cara, karena cara baginya hanya sebatas instrumental dan yang terpenting tujuan yang kita capai meskipun itu dilakukan dengan cara kotor dan licik.

Benar yang dikatakan W.S. Rendra bahwa (terkadang) orang-orang hanya mengisi waktu kosong dengan pertengkaran edan yang tanpa persoalan atau percintaan tanpa asmara dan senggama yang tidak selesai selesai. Dari berbagai persoalan yang kita hadapi, tak satupun menurut saya mereka bersifat “jentelmen”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti, orang yang berpendidikan baik, bersifat kesatria dan berani, bukan selalu bertopeng di balik layar dan bersifat pura-pura tak menghiraukan sama sekali. Saya jadi tertawa terpingkal pingkal ketika mendengar  lagu Vicky Shu,  Pokoke Joget, ternyata hidup itu tidak hanya sebatas poko’e joget. Tapi, butuh sikap pendewasaan yang mesti dicontohkan pada orang lain, tidak heran jika pepatah Madura mengatakan sangat ektrem “Mon guruna akemme manjeng moreddhe akemme berkak” menjadi pukulan telak bagi kita yang lebih paham dan mengerti perihal pendidikan karakter yang baik, bukan malah memberi contoh yang tidak baik bagi si-anak didiknya, maka ketika sudah ketahuan kedoknya ia tak ada bedanya dengan orang munafik yang bermuka dua. Dan kebanyakan kita terlena dengan sebuah bungkus yang indah namun di dalamnya begitu buruk, kalau meminjam bahasanya Ariel NOAH, buka dulu topengnya biar kubisa lihat wajahnya.
Sebelum beranjak lebih jauh, kita jangan gampang terpengaruh oleh omongan orang lain yang sok alim, sok pintar, sok kritis di depan kita, tanpa terlebih dahulu kita kenal yang sebenarnya siapa dia. Karena terkadang banyak orang disekitar kita yang sebenarnya adalah musuh kita yang diam-diam menjadi orang bijak ketika kita tengah tenggelam dalam masalah, dia kemudian hadir menjadi sang motifasi yang memberikan beribu pencerahan ilmiah. Namun, pada kenyataannya ada yang diinginkan dibalik itu semua. A.S. Laksana dalam esainya Prihal Memilih, menceritakan seorang durja yang terbelenggu pada nasib masa lalu, orang yang pernah ia percaya akhirnya berubah menjadi orang yang sangat ia benci dengan satu alasan kecewa. Kecewa sebab orang yang dikira baik ternyata lebih buruk dari pada yang ia duga
Hemat saya, orang yang kesatria itu adalah orang yang bisa membaca kondisi rakyatnya yang semrawut. Memberikan soslusi yang pasti ketika ia dihimpit masalah
Dalam hal ini sastra akan selalu berbicara untuk menyuarakan nasib kita, jika mengutip bahasanya Pramoedya Ananta Toer bahwa ketika semuanya dimungkam oleh penguasa maka sastra yang akan berbicara. Karena menurut Acep Zamzam Noor penyair tidak sedih karena ditinggalkan juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan, penyair tidak menangis karena dikhianati. Itu sebabnya saya suka menggungkapkan kelemahan saya lewat bahasa sastra, karena bagi saya, satra adalah bahasa tanpa campur formalin, dan tak seperti apa yang dikira kebayakan orang bahwa penyair merupakan orang-orang yang selalu “gombal dan lebay”. Gampangnya, kebayakan para pecinta sastra sering menggunakan bahasa untuk menutupi kedok yang sebenarnya. Memang itu ada tapi sebagian?



*Tulisan ini terinspirasi saat membaca konflik  PPP yang semakin tak menemukan islah.

x
x

0 Response to "Jentelmen Bukan “Pokoke Joget”"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel