Epistem-Epistem “Idealisme” Kawula Muda
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Gambar oleh: moseumbaosokiabdullah.or.id |
Sudah
berapa banyak dengan cogah pemuda mengeluarkan kata-kata atas nama “idealisme”
di setiap tindak tanduknya, di pelbagai aktivitas akademik atau non-akademik
demi mecari justifikasi dengan alasan yang telah dikultuskan oleh sebuah lembaga
tertentu.
Sedang
di lain sisi, sudah berapa banyakkah kawula muda berbuat semena-mena demi
idealisme semata, sedang perbuatannya merugikan kelompok tertentu—bisa tatanan
masyarakat atau orang lain di sekitar—karena kita gengsi dengan status
idealisme?
Pernahkah
kita menemukan meaning idealisme yang dimaksud selain sebatas landas dari prinsip yang kalut tak
karu-karuan? Sehinggga praktik koropsi demi kemaslahatan organisasi
mendapat pembelaan hukum yang tak
menyalahi sebuah visi-misi, atau mendebat dengan guru ngaji di facebook
dibenarkan karena kita sudah bergelar sarjana, dan berceramah dengan dalil-dalil
yang agak liberal dianggap lebih bermutu dari pada para ulama yang warak dan
tawaduk, dsb.
Padahal,
idealisme pemuda selalu dilacurkan atas nama pencapaian untuk memenuhi satu manifestasi
cita-cita masa depan yang keras penuh kemelut fatamorgana. Sebab itu, benar
bahwa idealisme bukan sebuah ideologi ataupun aliran filsafat yang pakem. Idealisme
bukan sebuah proposisi yang bersifat final dan paten; idealisme sebuah prinsip
yang terkoyak-koyak ketika dibenturkan pada satu aspek kehidupan yang menurut
Hegel dialektis; selalu bertentangan antara kebenaran dan kesalahan dengan
keinginan-keinginan atau cita-cita yang tak sesuai dengan ajaran (agama) dan
kemaslahatan manusia secara universal.
Satu
sisi idealisme selalu dicarikan satu legitimasi hukum untuk membenarkan tindak
tanduk dari keinginan-keinginan kaum pemuda sebagai “prinsip”dan/atau kometmen,
baik ia yang hidup dalam organisasi kemasayarakatan, organisasi kampus, dan
organisasi politik. Kini, kita hidup dalam dunia meletusnya modernisme yang
bagi Gidden berlari tunggang langgang, dari satu kemapanan yang telah
disepakati bersama menuju satu wacana yang penuh dengan kritik gonjang-ganjing.
Syahdan,
idelisme selalu mencuat ke permukaan dalam bentuk perdebatan yang berada di
atas angin—terombang ambing tak tentu arahnya. Hantu menakutkan bagi idealisme
adalah ketika berhadapan dengan kenyataan yang tak sesuai dengan kaidah
kebenaran dalam ajaran agama, dan ajaran normatif, serta rasionalitas yang kaku.
Dalam hal ini, masihkan kawula muda akan mencari satu legitimasi hukum untuk mencapai
cita-cita idealisme, tentu di pelbagai hal, baik dalam hubungan asmara,
politik, sosial, keagamaan, dan yang lainnya, sebuah contoh yang tak akan
berkelindan antara satu dengan yang lainnya, tetapi akan tetap nyambung
subtansi nilainya.
Karena
idealisme bersifat satu wacana diskursus yang subjektif sekaligus elastis, maka
perlu kiranya, menawarkan satu epistemologi-alternatif yang diradikalkan tentang
idealisme untuk generasai “Jaman Now”, perlukah kritik atau autokritik
dilakukan untuk memantapkan satu bentuk cita-cita yang ideal sesuai dengan
kaidah idealisme tersebut untuk pemuda kekinian yang kata Edi AH Iyubenu sudah
jauh dari api panggang cita-cita dan harapan bangsa? Tentu ini adalah sebuah
pertanyaan yang perlu dijawab dengan idealisme yang lebih mapan untuk kawula
muda.
(Catatan
diskusi di Komisariat PMII Guluk-Guluk Sumenep)
0 Response to "Epistem-Epistem “Idealisme” Kawula Muda"
Post a Comment
Terimkasih...