-->

Epistem-Epistem “Idealisme” Kawula Muda


Gambar oleh: moseumbaosokiabdullah.or.id

Sudah berapa banyak dengan cogah pemuda mengeluarkan kata-kata atas nama “idealisme” di setiap tindak tanduknya, di pelbagai aktivitas akademik atau non-akademik demi mecari justifikasi dengan alasan yang telah dikultuskan oleh sebuah lembaga tertentu.

Sedang di lain sisi, sudah berapa banyakkah kawula muda berbuat semena-mena demi idealisme semata, sedang perbuatannya merugikan kelompok tertentu—bisa tatanan masyarakat atau orang lain di sekitar—karena kita gengsi dengan status idealisme?
Pernahkah kita menemukan meaning idealisme yang dimaksud selain  sebatas landas dari prinsip yang kalut tak karu-karuan? Sehinggga praktik koropsi demi kemaslahatan organisasi mendapat  pembelaan hukum yang tak menyalahi sebuah visi-misi, atau mendebat dengan guru ngaji di facebook dibenarkan karena kita sudah bergelar sarjana, dan berceramah dengan dalil-dalil yang agak liberal dianggap lebih bermutu dari pada para ulama yang warak dan tawaduk, dsb.        

Padahal, idealisme pemuda selalu dilacurkan atas nama pencapaian untuk memenuhi satu manifestasi cita-cita masa depan yang keras penuh kemelut fatamorgana. Sebab itu, benar bahwa idealisme bukan sebuah ideologi ataupun aliran filsafat yang pakem. Idealisme bukan sebuah proposisi yang bersifat final dan paten; idealisme sebuah prinsip yang terkoyak-koyak ketika dibenturkan pada satu aspek kehidupan yang menurut Hegel dialektis; selalu bertentangan antara kebenaran dan kesalahan dengan keinginan-keinginan atau cita-cita yang tak sesuai dengan ajaran (agama) dan kemaslahatan manusia secara universal.

Satu sisi idealisme selalu dicarikan satu legitimasi hukum untuk membenarkan tindak tanduk dari keinginan-keinginan kaum pemuda sebagai “prinsip”dan/atau kometmen, baik ia yang hidup dalam organisasi kemasayarakatan, organisasi kampus, dan organisasi politik. Kini, kita hidup dalam dunia meletusnya modernisme yang bagi Gidden berlari tunggang langgang, dari satu kemapanan yang telah disepakati bersama menuju satu wacana yang penuh dengan kritik gonjang-ganjing.

Syahdan, idelisme selalu mencuat ke permukaan dalam bentuk perdebatan yang berada di atas angin—terombang ambing tak tentu arahnya. Hantu menakutkan bagi idealisme adalah ketika berhadapan dengan kenyataan yang tak sesuai dengan kaidah kebenaran dalam ajaran agama, dan ajaran normatif, serta rasionalitas yang kaku. Dalam hal ini, masihkan kawula muda akan mencari  satu legitimasi hukum untuk mencapai cita-cita idealisme, tentu di pelbagai hal, baik dalam hubungan asmara, politik, sosial, keagamaan, dan yang lainnya, sebuah contoh yang tak akan berkelindan antara satu dengan yang lainnya, tetapi akan tetap nyambung subtansi nilainya.

Karena idealisme bersifat satu wacana diskursus yang subjektif sekaligus elastis, maka perlu kiranya, menawarkan satu epistemologi-alternatif yang diradikalkan tentang idealisme untuk generasai “Jaman Now”, perlukah kritik atau autokritik dilakukan untuk memantapkan satu bentuk cita-cita yang ideal sesuai dengan kaidah idealisme tersebut untuk pemuda kekinian yang kata Edi AH Iyubenu sudah jauh dari api panggang cita-cita dan harapan bangsa? Tentu ini adalah sebuah pertanyaan yang perlu dijawab dengan idealisme yang lebih mapan untuk kawula muda.
(Catatan diskusi di Komisariat PMII Guluk-Guluk Sumenep)

0 Response to "Epistem-Epistem “Idealisme” Kawula Muda"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel