HAGIA SOPHIA: MENATA POLITIK KEBAHAGIAAN
Monday, December 28, 2020
Add Comment
Konversi Erdogan dari Hagia Sophia menjadi masjid merupakan pernyataan paling
berani hari ini terhadap tradisi republik sekuler Turki. Kritik dan pujian
bertubi-tubi menghunjam atas keputusan Presiden Recep Tayyip Erdogan. UNESCO,
Yunani, Siprus dan para pemimpin gereja yang antara lain menyatakan keprihatinan
tentang perubahan status situs Hagia Sophia. Meski sebelumnya, sejak kebangkitan
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang menjadi kekuasaan Islam pada tahun
2002 telah dengan terang-terangan, secara terbuka Erdogan mendukung seruan untuk
mengubah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Namun sikap politik Erdogan
ini dikecam sebagai langkah raksasa “politik masjid” untuk mengalihkan perhatian
publik dari kegagalan ekonomi dan politiknya saat ini, kurang lebih ingin
mengembalikan popularitas Erdogan. Kecaman dan pujian adalah dua hal yang perlu
diuraikan lebih jelas, dianalisis, diinterpretasikan kembali dari sudut pandang
yang berbeda. Politik yang ditempuh oleh Erdogan jika benar ingin mengambil
simpati para Islamis Turki dan ultranasionalis, apa yang keliru bagi Erdogan?
Tidak akan keliru menurut mayoritas Muslim di Turki. Sebab, konversi Ottoman
Sultan Mehmet II yang telah mengubah Hagia Sophia menjadi masjid pada tahun 1453
adalah kejayaan, kebanggaan, yang menjadi simbolis paling kuat dari kerajaan
Muslim atas rakyatnya yang Kristen. Sikap politik Erdogan inilah yang dielukan
sebagai langkah kesatria yang paling berani terhadap tradisi republik sekuler
Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Euforia aksi Erdogan hari ini membuat gebrakan
baru di media sosial yang diserang oleh dunia Internasional. Sehingga prospek
untuk memikat hati masyarakat muslim Turki dari mengkonversi Hagia Sophia memang
sangat membantu Erdogan dengan baik—mengalihkan perhatian—dari basis pemilihnya
untuk menjauh menyoroti kasus kegagalan politik dan ekonomi. Meski secara
konkrit langkah itu semakin memunculkan masalah baru yang tidak pernah
dipikirkan oleh Erdogan. Sebuah langkah perang budaya yang sedang berlangsung
lebih jauh mempolarisasi masyarakat Turki yang terpecah-belah sambil terus
menjauhkan negara Turki dari Barat; baik secara politik maupun ekonomi.
Kebahagiaan yang Didapat
Kebahagian sebuah kota tidak bisa terlepas dari kebahagian yang diciptakan
bersama oleh masyarakatnya, dalam teori kebahagian yang ditulis oleh seorang
Filsuf besar dalam Islam, al-Fārabi yang dikenal dengan al-mu’alim al-tsani,
politik adalah jalan menuju puncak kebahagiaan, ketika masyarakatnya di dalam
kota atau negara merasakan kebahagiaan secara otomatis seorang pemimpin telah
berhasil menghantarkan negara tersebut menuju puncak kejayaan tertinggi. Jadi
seorang pemimpin tidak bisa mengabaikan kebahagiaan masyarakatnya meski ia
adalah masyarakat minoritas di negara tersebut. Bagaimana nasib masyarakat
Kristen di Turki. Hal tersebut bisa dilihat saat Kemal Atatürk, pendiri Republik
Turki, melihat Hagia Sophia sebagai monumen bersama yang penting secara artistik
dan historis dengan mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Tidak ada hati
masyarakat yang terlukai atau tersakiti. Semuanya bisa merangkul, bisa merasakan
kebanggaan dan kebahagiaan atas Hagia Sophia. Pernyataan dari Patriark Ekumenis
Bartholomew kepala spiritual Kristen Ortodoks, dalam sebuah khotbahnya baru-baru
ini, menjadi renungan dan pelajaran berharga bagi Erdoganisme. Ia berkata: “kami
menghormati pesta terbesar Islam. Kami menghormati iman mereka tetapi kami
meminta mereka juga menghormati iman kami dan tempat-tempat ibadah leluhur
kami.” Penghormatan tersebut harus bersifat timbal balik, menurutnya. Monumen
seperti Hagia Sophia, yang selama berabad-abad telah menandai identitas
masyarakat Turki tidak hanya arsitektur gereja Kristen namun terdapat pula
sejarah dan identitas diri seluruh rakyat Turki. Bagaimana bisa menghantarkan
Turki sebagai al-Mādinah al-Fādilah, sebagai negara yang menurut al-Fārabi
negara ideal, sedikit meminjam teori al-Fārabi, negara tersebut (dalam hal ini
Turki) seharusnya kembali menata visi-misi dari seluruh element masyarakat yang
ada di dalamnya. Menyatukan kembali tujuan dan cita-cita bersama bukan atas
dasar kepentingan politik sepihak apalagi karena keinginan untuk berkuasa.
Pemimpin yang baik bisa memberikan opini yang cerdas, memikirkan akibat dari
semua kebijakan yang ditetapkannya. Memberikan solusi atas kekacauan yang
terjadi adalah langkah yang paling strategis untuk dilakukan oleh seorang
pemimpin. Itu sebabnya, sebagian masyarakat Turki menganggab keputusan untuk
mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid adalah tentang membawa kedamaian bagi
jiwa semua orang yang membuat pengorbanan untuk menjadikan tanah Turki sebagai
rumah bersama. Merupakan momen kegembiraan bagi kehendak suci rakyat yang mereka
tunjukkan pada 15 Juli 2016. Hadiah bagi para veteran untuk tidak meninggalkan
Erdogan sendirian karena leluhur mereka telah meninggalkan Adnan Menderes. Momen
damai bagi semua orang yang kehilangan nyawa malam itu untuk membela negara dan
bangsanya.
Moralitas Seorang Pemimpin
Pilihan atau keputusan memang selalu memunculkan sikap yang sangat dilematis,
apalagi keputusan yang dinilai sama-sama memiliki potensi kebaikan dan keburukan
yang sama. Contoh ini bisa dilihat apa yang telah menimpa Turki akhir-akhir ini
atas keputusan Erdogan. Keputusan itu memicu kekecewaan yang mendalam di antara
orang Kristen Ortodoks dan di lain sisi keputusan tersebut disambut dengan riang
gembira oleh mayoritas Muslim Turki dengan teriakan “Allahuakbar!” Keputusan
dilematis Erdogan harus dibaca secara hati-hati. Posisi Erdogan sangat ambigu,
tergambar dalam perkataannya, menyebutkan bahwa Hagia Shopia pintunya akan
selalu terbuka untuk semua orang, baik penduduk setempat atau orang asing.
Secara tegas Erdogan memang menolak gagasan bahwa keputusan itu mengakhiri
status Hagia Sophia sebagai struktur yang menyatukan agama. Akhirnya, pernyataan
itu menandakan keputusan yang sangat dilematis karena dilain sisi tindakan
tersebut dinilai salah meskipun tujuannya baik. Maka tindakannya bisa dinilai
menjadi tiga hal: layak dipuji, layak dicela, dan layak diterima. Bisa saja
tindakan Erdogan adalah baik tapi motifnya keliru sehingga tidak bisa dibenarkan
keputusan tersebut meski dianggab baik oleh sebagian masyarakat Turki. Jika
Erdogan menggunakan pilihan kata hak kedaulatan Turki untuk memutuskan tujuan
diubahnya Hagia Sophia sebagai kegunaan semua rakyat namun ia mengubahnya
menjadi masjid, itu adalah kekeliruan. Sehingga kegunaan Hagia Sophia secara
kultur akan berubah, dimana dulu melambangkan solidaritas antara agama dan
budaya sekarang menjadi sentimen agama. Dalam pengawasan Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP), Turki mengawasi perluasan kebebasan beragama dan mengabaikan
pendekatan represif kaum ultra-sekuler, Kemalis, terkait dengan tuntutan dan hak
agama. Gerakan ini memfasilitasi proses normalisasi demokratis untuk Muslim dan
non-Muslim. Memang, pemulihan Hagia Sophia adalah langkah terbaru sebagai bagian
dari proses itu. Keputusan itu dinilai sebagai cacat moral, karena
mendiskreditkan sebagian masyarakat Turki, diantaranya Erdogan telah menyalahi
gagasan “Aliansi Peradaban” (AoC), sebuah inisiatif PBB, yang diluncurkan Turki
bekerja sama dengan Spanyol pada tahun 2005. Inisiatif ini bertujuan mengurangi
kecurigaan bersama, rasa takut dan polarisasi antara dunia Islam dan masyarakat
Barat. Namun pelan tapi pasti, di bidang domestik, Erdogan telah memulai rencana
Islamisasi negara melalui berbagai alat rekayasa sosial seperti mencabut
larangan burqa, membatasi penjualan alkohol, mencoba mengkriminalisasi
perzinahan, memulai program untuk mengislamkan sistem pendidikan. Hari ini,
Turki bertindak lebih seperti kekuatan revisionis daripada demokrasi liberal
yang terkonsolidasi. Kecenderungan otoriter Presiden Erdogan, serangannya yang
terus-menerus terhadap nilai-nilai liberal modern seperti hak asasi manusia,
sekularisme, dan pluralisme telah mencoreng “Model Turki”. Wallahua’lam...
0 Response to "HAGIA SOPHIA: MENATA POLITIK KEBAHAGIAAN"
Post a Comment
Terimkasih...