-->

HAGIA SOPHIA: MENATA POLITIK KEBAHAGIAAN

Konversi Erdogan dari Hagia Sophia menjadi masjid merupakan pernyataan paling berani hari ini terhadap tradisi republik sekuler Turki. Kritik dan pujian bertubi-tubi menghunjam atas keputusan Presiden Recep Tayyip Erdogan. UNESCO, Yunani, Siprus dan para pemimpin gereja yang antara lain menyatakan keprihatinan tentang perubahan status situs Hagia Sophia. Meski sebelumnya, sejak kebangkitan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang menjadi kekuasaan Islam pada tahun 2002 telah dengan terang-terangan, secara terbuka Erdogan mendukung seruan untuk mengubah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Namun sikap politik Erdogan ini dikecam sebagai langkah raksasa “politik masjid” untuk mengalihkan perhatian publik dari kegagalan ekonomi dan politiknya saat ini, kurang lebih ingin mengembalikan popularitas Erdogan. Kecaman dan pujian adalah dua hal yang perlu diuraikan lebih jelas, dianalisis, diinterpretasikan kembali dari sudut pandang yang berbeda. Politik yang ditempuh oleh Erdogan jika benar ingin mengambil simpati para Islamis Turki dan ultranasionalis, apa yang keliru bagi Erdogan? Tidak akan keliru menurut mayoritas Muslim di Turki. Sebab, konversi Ottoman Sultan Mehmet II yang telah mengubah Hagia Sophia menjadi masjid pada tahun 1453 adalah kejayaan, kebanggaan, yang menjadi simbolis paling kuat dari kerajaan Muslim atas rakyatnya yang Kristen. Sikap politik Erdogan inilah yang dielukan sebagai langkah kesatria yang paling berani terhadap tradisi republik sekuler Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Euforia aksi Erdogan hari ini membuat gebrakan baru di media sosial yang diserang oleh dunia Internasional. Sehingga prospek untuk memikat hati masyarakat muslim Turki dari mengkonversi Hagia Sophia memang sangat membantu Erdogan dengan baik—mengalihkan perhatian—dari basis pemilihnya untuk menjauh menyoroti kasus kegagalan politik dan ekonomi. Meski secara konkrit langkah itu semakin memunculkan masalah baru yang tidak pernah dipikirkan oleh Erdogan. Sebuah langkah perang budaya yang sedang berlangsung lebih jauh mempolarisasi masyarakat Turki yang terpecah-belah sambil terus menjauhkan negara Turki dari Barat; baik secara politik maupun ekonomi. Kebahagiaan yang Didapat Kebahagian sebuah kota tidak bisa terlepas dari kebahagian yang diciptakan bersama oleh masyarakatnya, dalam teori kebahagian yang ditulis oleh seorang Filsuf besar dalam Islam, al-Fārabi yang dikenal dengan al-mu’alim al-tsani, politik adalah jalan menuju puncak kebahagiaan, ketika masyarakatnya di dalam kota atau negara merasakan kebahagiaan secara otomatis seorang pemimpin telah berhasil menghantarkan negara tersebut menuju puncak kejayaan tertinggi. Jadi seorang pemimpin tidak bisa mengabaikan kebahagiaan masyarakatnya meski ia adalah masyarakat minoritas di negara tersebut. Bagaimana nasib masyarakat Kristen di Turki. Hal tersebut bisa dilihat saat Kemal Atatürk, pendiri Republik Turki, melihat Hagia Sophia sebagai monumen bersama yang penting secara artistik dan historis dengan mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Tidak ada hati masyarakat yang terlukai atau tersakiti. Semuanya bisa merangkul, bisa merasakan kebanggaan dan kebahagiaan atas Hagia Sophia. Pernyataan dari Patriark Ekumenis Bartholomew kepala spiritual Kristen Ortodoks, dalam sebuah khotbahnya baru-baru ini, menjadi renungan dan pelajaran berharga bagi Erdoganisme. Ia berkata: “kami menghormati pesta terbesar Islam. Kami menghormati iman mereka tetapi kami meminta mereka juga menghormati iman kami dan tempat-tempat ibadah leluhur kami.” Penghormatan tersebut harus bersifat timbal balik, menurutnya. Monumen seperti Hagia Sophia, yang selama berabad-abad telah menandai identitas masyarakat Turki tidak hanya arsitektur gereja Kristen namun terdapat pula sejarah dan identitas diri seluruh rakyat Turki. Bagaimana bisa menghantarkan Turki sebagai al-Mādinah al-Fādilah, sebagai negara yang menurut al-Fārabi negara ideal, sedikit meminjam teori al-Fārabi, negara tersebut (dalam hal ini Turki) seharusnya kembali menata visi-misi dari seluruh element masyarakat yang ada di dalamnya. Menyatukan kembali tujuan dan cita-cita bersama bukan atas dasar kepentingan politik sepihak apalagi karena keinginan untuk berkuasa. Pemimpin yang baik bisa memberikan opini yang cerdas, memikirkan akibat dari semua kebijakan yang ditetapkannya. Memberikan solusi atas kekacauan yang terjadi adalah langkah yang paling strategis untuk dilakukan oleh seorang pemimpin. Itu sebabnya, sebagian masyarakat Turki menganggab keputusan untuk mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid adalah tentang membawa kedamaian bagi jiwa semua orang yang membuat pengorbanan untuk menjadikan tanah Turki sebagai rumah bersama. Merupakan momen kegembiraan bagi kehendak suci rakyat yang mereka tunjukkan pada 15 Juli 2016. Hadiah bagi para veteran untuk tidak meninggalkan Erdogan sendirian karena leluhur mereka telah meninggalkan Adnan Menderes. Momen damai bagi semua orang yang kehilangan nyawa malam itu untuk membela negara dan bangsanya. Moralitas Seorang Pemimpin Pilihan atau keputusan memang selalu memunculkan sikap yang sangat dilematis, apalagi keputusan yang dinilai sama-sama memiliki potensi kebaikan dan keburukan yang sama. Contoh ini bisa dilihat apa yang telah menimpa Turki akhir-akhir ini atas keputusan Erdogan. Keputusan itu memicu kekecewaan yang mendalam di antara orang Kristen Ortodoks dan di lain sisi keputusan tersebut disambut dengan riang gembira oleh mayoritas Muslim Turki dengan teriakan “Allahuakbar!” Keputusan dilematis Erdogan harus dibaca secara hati-hati. Posisi Erdogan sangat ambigu, tergambar dalam perkataannya, menyebutkan bahwa Hagia Shopia pintunya akan selalu terbuka untuk semua orang, baik penduduk setempat atau orang asing. Secara tegas Erdogan memang menolak gagasan bahwa keputusan itu mengakhiri status Hagia Sophia sebagai struktur yang menyatukan agama. Akhirnya, pernyataan itu menandakan keputusan yang sangat dilematis karena dilain sisi tindakan tersebut dinilai salah meskipun tujuannya baik. Maka tindakannya bisa dinilai menjadi tiga hal: layak dipuji, layak dicela, dan layak diterima. Bisa saja tindakan Erdogan adalah baik tapi motifnya keliru sehingga tidak bisa dibenarkan keputusan tersebut meski dianggab baik oleh sebagian masyarakat Turki. Jika Erdogan menggunakan pilihan kata hak kedaulatan Turki untuk memutuskan tujuan diubahnya Hagia Sophia sebagai kegunaan semua rakyat namun ia mengubahnya menjadi masjid, itu adalah kekeliruan. Sehingga kegunaan Hagia Sophia secara kultur akan berubah, dimana dulu melambangkan solidaritas antara agama dan budaya sekarang menjadi sentimen agama. Dalam pengawasan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Turki mengawasi perluasan kebebasan beragama dan mengabaikan pendekatan represif kaum ultra-sekuler, Kemalis, terkait dengan tuntutan dan hak agama. Gerakan ini memfasilitasi proses normalisasi demokratis untuk Muslim dan non-Muslim. Memang, pemulihan Hagia Sophia adalah langkah terbaru sebagai bagian dari proses itu. Keputusan itu dinilai sebagai cacat moral, karena mendiskreditkan sebagian masyarakat Turki, diantaranya Erdogan telah menyalahi gagasan “Aliansi Peradaban” (AoC), sebuah inisiatif PBB, yang diluncurkan Turki bekerja sama dengan Spanyol pada tahun 2005. Inisiatif ini bertujuan mengurangi kecurigaan bersama, rasa takut dan polarisasi antara dunia Islam dan masyarakat Barat. Namun pelan tapi pasti, di bidang domestik, Erdogan telah memulai rencana Islamisasi negara melalui berbagai alat rekayasa sosial seperti mencabut larangan burqa, membatasi penjualan alkohol, mencoba mengkriminalisasi perzinahan, memulai program untuk mengislamkan sistem pendidikan. Hari ini, Turki bertindak lebih seperti kekuatan revisionis daripada demokrasi liberal yang terkonsolidasi. Kecenderungan otoriter Presiden Erdogan, serangannya yang terus-menerus terhadap nilai-nilai liberal modern seperti hak asasi manusia, sekularisme, dan pluralisme telah mencoreng “Model Turki”. Wallahua’lam...

0 Response to "HAGIA SOPHIA: MENATA POLITIK KEBAHAGIAAN"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel