Menyuarakan Sastra Pesantren
Sunday, August 31, 2014
Add Comment
Oleh:
Aqin Jejen
Berbicara dengan jujur salah satu yang harus jadi
implikasi seorang (penyair) dalam intuitif bahasa yang mereka kelola, sehingga
menghasilkan nilai estetika yang ilmiah, bukan sekedar keindahan bahasa yang tersusun
rapi, kelihatan apik, lalu dinamakan dengan karya hasil imajinasi para pujangga
yang dikatakan dengan sastra, namun tak pernah kita mengerti dari hakikat
subjek yang dibangun, alangkah lebih baiknya seorang penulis sastra harus
‘berbicara jujur’ murni naluri dari hati yang bisa di mengerti pribadi penulis
dan khalayak publik. Sekedar basa-basi,
kita perlu melirik terhadap pesantren yang kian hari mulai statis untuk
menggairahkan nasionalisme dan menyuarakan patriotisme di tengah kesadaran
sosial bangsa indonesia, siapa yang perlu di sadarkan dan siapa yang harus kita sadarkan, yang perlu di sadar
dan disadarkan adalah orang yang belum
sadar. Lalu, tugas seorang pesantren
dalam klise sastra yang sudah pernah perkiprah memajukan kemerdekaan bangsa ini,
perlu kiranya kembali menumbuhkan kesadaran untuk melirik peran kaum sarungan
dalam menyuarakan idialismenya dalam bentuk karya sastra,--tidak perlu lagi
bersembunyi di kekosongan waktu dan memenjarakan sebuah karya sastra karena
alasan ambiguitas seorang penyair, itu berarti kita memejamkan mata dan
seolah-olah buta terhadap kemaslahatan rakyat jelata.
Seiring
berkembangnya kesusastraan yang telah jamak diketahui, sastra lama hingga pada kesusastaraan modern
akan tetap melahirkan dimensi komflik, baik dari segi sosial dan budaya,
sehingga ini menjadi sebuah alasan yang patut di soroti sebagai pusat perhatian
bagi sastra pesantren, kini nilai-nilai sastra
pesantren telah terbawa pada demensi pergolakan sosial yang semakin carut marut
di negeri ini. Istilah sasta pesantren tidak hanya berbicara masalah karya-karya
klasik yang di hasilkan oleh para ulamak-ulamak islam, seperti halnya syair
tentang ketuhanan, agama, serta masalah masalah yang berkenaan dengan ubudiah kita
pada tuhan, melainkan sastra pesantren dalam konteks ini telah menorehkan
sejarah panjang bagi seluruh ummat, mungkin saja sebagian orang menyangsikan apakah
sastra dapat mempengaruhi orang lain, jawabannya adalah “ya” mari kita lihat
para penyair dan fakta sosialnya, seperti Kaisar Nero yang diktator telah
menangkap dan membunuh penyair-penyair Itali, penduduk belanda sibuk mengejar
Multatuli yang banyak melahirkan tulisan-tulisan kritis, Amir Hamzah di bunuh
tanpa dosa, Emha Ainun Najib beberapa kali dicekal tak boleh tampil membaca
puisi, sampai pada penyair Wiji Thukul di lenyapkan oleh aparat orde baru dan
hingga kini tak tahu rimbahnya? Semuanya karena alasan yang sama, para penguasa
lalim tak punyak nyali berhadapan langsung dengan sastra.
Kemaren, saya selalu saja ingin
menyempatkan berbicara banyak dengan sastra pesantren setelah bincang-bincang
kecil di redaksi Muara, saya menemukan tulisan esai yang membahas tentang perkembangan
sasta pesantren dan mengupayakan untuk membangun sastra (santri) yang
membangun, dan saya harus bicara jujur melalui kemurnian hati penulis, sebening
air yang mampu menawarkan dahaga, pelan-pelan saya berupanya berempati dengan
keadaan atas segala nasib orang lain, sebisa mungkin kita untuk peduli pada
sesama, walaupun saat ini (sastra) tidak banyak di lirik oleh sebagian bihak,
baik di pesantren maupun di luar (pesantren) secara umum, untuk berproses
menghasilkan kreatifitas menulis sastra sudah mulai engan, pesantren pun sudah
tak banyak memberikan ruang dalam dunia sastra, para penguasa sudah tak ingin
dikritiki lagi, demokrasi hanya menjadi seruan hangat saat kita minum kopi
selebihya menjadi perdebatan diskusi para kalangan santri yang sekedar
basa-basi.
Saat ini, saya akan memberikan
kesimpulan mengenai obrolan singkat tadi, karena tak gampang harapan pupus selagi
mampu kita berbuat, dan berbuatlah bagaimana kesadaran yang harus kita mulai
dari diri kita sendiri, karena yang pasti mustahil mengharapkan orang lain
terlecut untuk lebih maju melalui sastra
yang kita cipta sementara sastra itu sendiri tak berpengaruh apapun bagi
diri kita pribadi.
Muara
1 Oktober 2013
*Penulis
adalah pemerhati sastra IKSTIDA, tinggal di www.bilikhij@u.com
0 Response to "Menyuarakan Sastra Pesantren"
Post a Comment
Terimkasih...