-->

Menyuarakan Sastra Pesantren




Oleh: Aqin Jejen

            Berbicara dengan jujur salah satu yang harus jadi implikasi seorang (penyair) dalam intuitif bahasa yang mereka kelola, sehingga menghasilkan nilai estetika yang ilmiah, bukan sekedar keindahan bahasa yang tersusun rapi, kelihatan apik, lalu dinamakan dengan karya hasil imajinasi para pujangga yang dikatakan dengan sastra, namun tak pernah kita mengerti dari hakikat subjek yang dibangun, alangkah lebih baiknya seorang penulis sastra harus ‘berbicara jujur’ murni naluri dari hati yang bisa di mengerti pribadi penulis dan khalayak publik.  Sekedar basa-basi, kita perlu melirik terhadap pesantren yang kian hari mulai statis untuk menggairahkan nasionalisme dan menyuarakan patriotisme di tengah kesadaran sosial bangsa indonesia, siapa yang perlu di sadarkan dan siapa  yang harus kita sadarkan, yang perlu di sadar dan disadarkan adalah  orang yang belum sadar.  Lalu, tugas seorang pesantren dalam klise sastra yang sudah pernah perkiprah memajukan kemerdekaan bangsa ini, perlu kiranya kembali menumbuhkan kesadaran untuk melirik peran kaum sarungan dalam menyuarakan idialismenya dalam bentuk karya sastra,--tidak perlu lagi bersembunyi di kekosongan waktu dan memenjarakan sebuah karya sastra karena alasan ambiguitas seorang penyair, itu berarti kita memejamkan mata dan seolah-olah buta terhadap kemaslahatan rakyat jelata.    
         Seiring berkembangnya kesusastraan yang telah jamak diketahui,  sastra lama hingga pada kesusastaraan modern akan tetap melahirkan dimensi komflik, baik dari segi sosial dan budaya, sehingga ini menjadi sebuah alasan yang patut di soroti sebagai pusat perhatian bagi sastra pesantren,  kini nilai-nilai sastra pesantren telah terbawa pada demensi pergolakan sosial yang semakin carut marut di negeri ini. Istilah sasta pesantren tidak hanya berbicara masalah karya-karya klasik yang di hasilkan oleh para ulamak-ulamak islam, seperti halnya syair tentang ketuhanan, agama, serta masalah masalah yang berkenaan dengan ubudiah kita pada tuhan, melainkan sastra pesantren dalam konteks ini telah menorehkan sejarah panjang bagi seluruh ummat, mungkin saja sebagian orang menyangsikan apakah sastra dapat mempengaruhi orang lain, jawabannya adalah “ya” mari kita lihat para penyair dan fakta sosialnya, seperti Kaisar Nero yang diktator telah menangkap dan membunuh penyair-penyair Itali, penduduk belanda sibuk mengejar Multatuli yang banyak melahirkan tulisan-tulisan kritis, Amir Hamzah di bunuh tanpa dosa, Emha Ainun Najib beberapa kali dicekal tak boleh tampil membaca puisi, sampai pada penyair Wiji Thukul di lenyapkan oleh aparat orde baru dan hingga kini tak tahu rimbahnya? Semuanya karena alasan yang sama, para penguasa lalim tak punyak nyali berhadapan langsung dengan sastra.
            Kemaren, saya selalu saja ingin menyempatkan berbicara banyak dengan sastra pesantren setelah bincang-bincang kecil di redaksi Muara, saya menemukan tulisan esai yang membahas tentang perkembangan sasta pesantren dan mengupayakan untuk membangun sastra (santri) yang membangun, dan saya harus bicara jujur melalui kemurnian hati penulis, sebening air yang mampu menawarkan dahaga, pelan-pelan saya berupanya berempati dengan keadaan atas segala nasib orang lain, sebisa mungkin kita untuk peduli pada sesama, walaupun saat ini (sastra) tidak banyak di lirik oleh sebagian bihak, baik di pesantren maupun di luar (pesantren) secara umum, untuk berproses menghasilkan kreatifitas menulis sastra sudah mulai engan, pesantren pun sudah tak banyak memberikan ruang dalam dunia sastra, para penguasa sudah tak ingin dikritiki lagi, demokrasi hanya menjadi seruan hangat saat kita minum kopi selebihya menjadi perdebatan diskusi para kalangan santri yang sekedar basa-basi.
            Saat ini, saya akan memberikan kesimpulan mengenai obrolan singkat tadi, karena tak gampang harapan pupus selagi mampu kita berbuat, dan berbuatlah bagaimana kesadaran yang harus kita mulai dari diri kita sendiri, karena yang pasti mustahil mengharapkan orang lain terlecut untuk lebih maju melalui sastra  yang kita cipta sementara sastra itu sendiri tak berpengaruh apapun bagi diri kita pribadi.    


Muara 1 Oktober 2013

*Penulis adalah pemerhati sastra IKSTIDA, tinggal di www.bilikhij@u.com

0 Response to "Menyuarakan Sastra Pesantren"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel