Sebuah Realitas yang Dekat dengan Sastra..
Tuesday, September 2, 2014
Add Comment
`
Aku
lihat wajah-wajah mereka masih adacahaya, bersinar seperti lampion di tengah
gulita malam. Sinar itu berupa harapan yang mereka taruhkan pada sebuah
komonitasnya, mereka membawa sejuta impian yang tak pernah lelah bercahaya di
tengah kegelapan. Mereka membawa beberapa buku antologi yang diapit pada
lengannya, bahkanada yang membawa tas sleper, sembari berjalan dari
pintu gerbang utama blok f ke arah selatan sampai pada tujuan, yaitu di bukit
lancaran.Mereka berkumpul di bukit lancaran, membentuk sebuah lingkaran. Di
sinilah proses mereka (persi) yang penuh dengan sejarah perjuangan serta serumpun
pengalaman yang tak terlupakan. Beralas krikil-krikil yang setiap saat menjadi
bahan kisah dalam membuat puisi, yang selalu setia bungkam saat mereka
ber-imajinasi. Mereka adalah orang-orang yang berteman dengan rerumputan,
bebatuan, dan pepohonan di sekitarnya, dan tiang listrik yang terkadang dipukul
berkali-kali hingga menimbulkan bunyi memantul.Suara itu merupakan sebuah
realitas yang gampang terjangkau untuk di ungkap dalam dunia sastra. Kedekatan
mereka dengan realitas di sekitar adalah bentuk penyatuan puisi dengan dunia
imajinasi yang di bangun oleh fikiran kita sendiri, Goenawan Mohamad, dalam
bukunya Catatan pinggir, seorang Gus Dur juga suka dengan benda-benda
mati yang dihidupkan, begitu pun dengan Habibie, sehingga benda mati jadilah
pesawat terbang, saya yakin pada awalnya semua itu dibentuk oleh imajinasi
kita.Benda mati itulah yang kemudian ditiupkan roh di dalamnya. Bagi mereka,
sesuatu yang sangat berharga adalah sebuah kebersamaan—persaudaraan—hingga
tercipta rasa jalinan sosial yang harmonis di tengah-tengah kehidupan
kontrofersial.
Pemahaman
mereka tentang sastra dalam teori saya sendiri, adalah keintiman berdialog
dengan benda-benda mati. Seperti irama hati yang dijangkau dengan fikiran; perasaan
dengan logika sama-sama dimainkan untuk menghasilkan bunyi, rima bahasa yang
indah.Sebut saja seperti; batu, kerikil, pepohonan, sunyi, keramaian, dsb. menjadi
sesuatu yang seolah bergerak (hidup) ketika disusun melalui penghayatan yang
tinggi. Komonitas Persi menurut saya adalah komunitas yang tak pernah mati.Sebab
ruang dan waktu adalah nyawa berharga bagi mereka selagi menemukan bahasa.Bahasa
yang digunakan untuk berkomunikasi dengan baik, maka ia tidak akan mematikan ekspresif
pemakaian bahasa yang dinamis. Begitupun juga dengan peran sahabat-sahabat Persi
saat ini. Mereka memiliki bahasa yang tak pernah mati—keasyikan
seorang penyair akan tertanam disini.Di sebuah ruang komonitas yang bernama
Persi. Selamat berkarya!
0 Response to "Sebuah Realitas yang Dekat dengan Sastra.."
Post a Comment
Terimkasih...