-->

Ikstidaisme: Upaya Menolak Kesektarianan




Oleh Aqin Jejen*
            Pada bulan lalu, saat pengurus Ikstida berbincang-bincang mengenai aturan dasar organisasi otonom, kami punya inisiatif untuk membuat aturan dasar di organisasi otonom Ikstida (ketua sering menyebutnya ide gila), salah satunya adalah dengan menambah atau memuat materi tentang ke-Ikstidaan disetiap organisasi yang melakukan oreintasi anggota baru. Ini upaya untuk mengenalkan induk organisasi di lembaga otonom Ikstida seperti di Pasra, Iksbat, Iksabad dan Iksal. Jika tidak sesuai dengan harapan maka akan dilakukan amendemen yang sekiranya bisa menjawab segala tantangan problem organisasi Ikstida.
            Mengimajinasikan masa depan Ikstida selalu tak lepas dengan menyuarakan idealisme lama, yakni dengan mendengung-dengunkan akan pentingnya kebersamaan, dan rasa militansi yang tak kenal poligami dengan organisasi yang lain. Upaya ini tidak lepas dengan fakta kondisi sosial yang kami lihat di lapangan, memang, hal demikian menjadi masalah serius meski nampaknya klise, pernyataan ini dirasakan oleh semua elemen di Ikstida termasuk pengurus dan anggota.
            Kalau penulis boleh membayangkan, Ikstida dimuka publik akan saya gambarkan dengan sebuah negara Indonesia, yang punya banyak suku dan paham serta idiologi yang berbeda. Seakan banyak warna yang menghiasi organisasi tersebut menjadi pelangi yang sangat indah yang di dalamnya ada beraneka ragam penduduk yang sama-sama mempunyai suara perubahan sesuai keinginan setiap kepala. Ini  menjadi kelebihan Ikstida yang dirasa unik dari pada organisasi lain yang ada di Lubangsa
            Saya jadi teringat esai Lambang Trijono, dosen fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat mengopinikan, Platform Politik Perubahan, di koran Kompas (08/14/12). Seakan gelombang besar yang dihadapi organisasi Ikstida digambarkan dengan adanya persaingan wacana politik yang melenakan banyak fakta sosial yang tidak dihiraukan sampai saat ini. Kalau penulis analogikan, Ikstida adalah sebuah negara yang punya banyak partai politik (maaf untuk kali ini penulis menggunakan partai politik) yang menjadi pukulan telak bagi siapapun yang memimpin Ikstida. Dari sini, setiap partai politik harus mampu mengangkat kadernya di tatanan kursi parlemen. Barangkali jika dikerucutkan dengan fikiran nakal saya, liberalisme politik menjadi alasan kuat terjadinya perpecahan suatu lembaga organisasi, tidak memandang sebelah mata pada organisasi apapun jika  tidak linear menyikapi kurang sehatnya organisasi, maka setiap orang punya ambisi dan tendensi keperpihakan di antara partai politik, karena dalam hal ini mereka tidak lagi mementingkan sebuah cara, melainkan tujuan, cara hanyalah instumental yang bisa menghalalkan segala sesuatu yang tidak baik dan yang terpenting tujuan yang kita capai, maka yang pasti lambat laun akan mengarah pada kehancuran Ikstida, di sini dalam kaca mata politik tidak akan lagi melihat pada Ikstida melainkan kepentingan partai politik yang mulai picik dan jauh dari kebebasan demokrasi, untuk kali ini bisa saja disebabkan adanya paham sektarianisme yang mulai mempengaruhi. Kalau meminjam bahasanya Greg Fealy, dalam bukunya Ijtihat Politik NU, bahwa dalam berpolitik harus dengan prinsip disuatu organisasi yang berlaku bukan sama sekali tanpa prinsip yang jelas. Kalau di Ikstida barangkali harus dengan prinsip kesederhanaan politik pesantren atavisme  
            Dari sekian banyak isu politik di publik yang saya angkat kemuka, seharusnya pemimpin ideal benar-benar dibutuhkan orang yang punya kualitas dan kapasitas seorang pemimpin pluralis dengan pemikiran corak mengkolaborasi nilai-nilai ke-Ikstidaan, dan merangkul kembali fakta sejarah silam dibawah satu naungan Ikstida tercinta yang mulai tersandera. Sejauh ini, saya belum menemukan pemimpin yang kontradiktif laiknya seorang Gus Dus, yang dikenal dengan sang bapak pluralisme, yang lebih mementingkan kebersamaan sebuah negara, dan menghindari terjadinya peperangan antar saudara, jelasnya bisa menyatukan Ikstida dengan kata “kebersamaan”, tentu jika ini terwujud maka Ikstida akan dicatat oleh sejarah.
            Wacana Ikstidaisme bagi saya, menjadi sumbangsi kekuatan organisasi yang mulai melapuk, apalagi jika mendapat respon positif dari semua elemen, pengurus dan anggota. Bagi seorang pemimpin, untuk mewujudkan perubahan bukan hanya sebatas modus segar yang justru menimbulkan kontroversi disuatu lembaga atau organisasi. Sehingga saat ini bermunculan emosi, seakan kita saat-saat mendengar kasus korupsi gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang diklaim punya motif politik kedinastiaan, fenomena ini jika terjadi akan merusak benteng (kebersamaan) Ikstida, damaged organization.
            Fenomena ini merupakan hal unik dan kelebihan organisasi Ikstida yang masih berusia sangat dini, namun bagi saya, besar pengaruhnya disetiap lini kehidupan bangsa, yang nantinya organisasi kecil yang dilahirkan di pesantren seperti Ikstida bisa saja menelorkan para pakar politisi yang handal dan banyak memberikan kontribusi positif bagi negara Indonesia. Sekali lagi, saya katakan, inilah hal yang paling unik, sisi lain yang tidak pernah dimiliki oleh organisasi lain selain Ikstida, namun baru tersentuh, tentu dengan adanya keberagaman yang sudah saya jelaskan diawal, maka yang terpenting kita tetap mempunyai misi atau tujuan yang sama. Ikstida: satukan hati wujudkan mimpi, pada selebaran Kami edisi XXXX telah dijelaskan yang mana prinsip tersebut harus menjadi kometmen kuat dalam organisasi Ikstida untuk menolak paham  sektarianisme

                                                            Lubangsa, 20  oktober 2014

*Penulis adalah mantan Sek-Jen Ikstida 2013-2014, dan sekarang tinggal di http://grujuganaqin.blogspot.com
           
        

0 Response to "Ikstidaisme: Upaya Menolak Kesektarianan"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel