Ikstidaisme: Upaya Menolak Kesektarianan
Sunday, November 9, 2014
Add Comment
Oleh
Aqin Jejen*
Pada
bulan lalu, saat pengurus Ikstida berbincang-bincang mengenai aturan dasar
organisasi otonom, kami punya inisiatif untuk membuat aturan dasar di
organisasi otonom Ikstida (ketua sering menyebutnya ide gila), salah satunya
adalah dengan menambah atau memuat materi tentang ke-Ikstidaan disetiap
organisasi yang melakukan oreintasi anggota baru. Ini upaya untuk mengenalkan
induk organisasi di lembaga otonom Ikstida seperti di Pasra, Iksbat, Iksabad
dan Iksal. Jika tidak sesuai dengan harapan maka akan dilakukan amendemen yang
sekiranya bisa menjawab segala tantangan problem organisasi Ikstida.
Mengimajinasikan
masa depan Ikstida selalu tak lepas dengan menyuarakan idealisme lama, yakni dengan
mendengung-dengunkan akan pentingnya kebersamaan, dan rasa militansi yang tak
kenal poligami dengan organisasi yang lain. Upaya ini tidak lepas dengan fakta
kondisi sosial yang kami lihat di lapangan, memang, hal demikian menjadi
masalah serius meski nampaknya klise, pernyataan ini dirasakan oleh semua
elemen di Ikstida termasuk pengurus dan anggota.
Kalau
penulis boleh membayangkan, Ikstida dimuka publik akan saya gambarkan dengan
sebuah negara Indonesia, yang punya banyak suku dan paham serta idiologi yang
berbeda. Seakan banyak warna yang menghiasi organisasi tersebut menjadi pelangi
yang sangat indah yang di dalamnya ada beraneka ragam penduduk yang sama-sama
mempunyai suara perubahan sesuai keinginan setiap kepala. Ini menjadi kelebihan Ikstida yang dirasa unik
dari pada organisasi lain yang ada di Lubangsa
Saya
jadi teringat esai Lambang Trijono, dosen fisipol Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, saat mengopinikan, Platform Politik Perubahan, di koran
Kompas (08/14/12). Seakan gelombang besar yang dihadapi organisasi Ikstida digambarkan
dengan adanya persaingan wacana politik yang melenakan banyak fakta sosial yang
tidak dihiraukan sampai saat ini. Kalau penulis analogikan, Ikstida adalah
sebuah negara yang punya banyak partai politik (maaf untuk kali ini penulis
menggunakan partai politik) yang menjadi pukulan telak bagi siapapun yang
memimpin Ikstida. Dari sini, setiap partai politik harus mampu mengangkat
kadernya di tatanan kursi parlemen. Barangkali jika dikerucutkan dengan fikiran
nakal saya, liberalisme politik menjadi alasan kuat terjadinya perpecahan suatu
lembaga organisasi, tidak memandang sebelah mata pada organisasi apapun
jika tidak linear menyikapi kurang
sehatnya organisasi, maka setiap orang punya ambisi dan tendensi keperpihakan
di antara partai politik, karena dalam hal ini mereka tidak lagi mementingkan
sebuah cara, melainkan tujuan, cara hanyalah instumental yang bisa menghalalkan
segala sesuatu yang tidak baik dan yang terpenting tujuan yang kita capai, maka
yang pasti lambat laun akan mengarah pada kehancuran Ikstida, di sini dalam
kaca mata politik tidak akan lagi melihat pada Ikstida melainkan kepentingan
partai politik yang mulai picik dan jauh dari kebebasan demokrasi, untuk kali
ini bisa saja disebabkan adanya paham sektarianisme yang mulai mempengaruhi. Kalau
meminjam bahasanya Greg Fealy, dalam bukunya Ijtihat Politik NU, bahwa
dalam berpolitik harus dengan prinsip disuatu organisasi yang berlaku bukan
sama sekali tanpa prinsip yang jelas. Kalau di Ikstida barangkali harus dengan
prinsip kesederhanaan politik pesantren atavisme
Dari
sekian banyak isu politik di publik yang saya angkat kemuka, seharusnya
pemimpin ideal benar-benar dibutuhkan orang yang punya kualitas dan kapasitas
seorang pemimpin pluralis dengan pemikiran corak mengkolaborasi nilai-nilai
ke-Ikstidaan, dan merangkul kembali fakta sejarah silam dibawah satu naungan
Ikstida tercinta yang mulai tersandera. Sejauh ini, saya belum menemukan
pemimpin yang kontradiktif laiknya seorang Gus Dus, yang dikenal dengan sang
bapak pluralisme, yang lebih mementingkan kebersamaan sebuah negara, dan
menghindari terjadinya peperangan antar saudara, jelasnya bisa menyatukan
Ikstida dengan kata “kebersamaan”, tentu jika ini terwujud maka Ikstida akan
dicatat oleh sejarah.
Wacana
Ikstidaisme bagi saya, menjadi sumbangsi kekuatan organisasi yang mulai melapuk,
apalagi jika mendapat respon positif dari semua elemen, pengurus dan anggota.
Bagi seorang pemimpin, untuk mewujudkan perubahan bukan hanya sebatas modus
segar yang justru menimbulkan kontroversi disuatu lembaga atau organisasi.
Sehingga saat ini bermunculan emosi, seakan kita saat-saat mendengar kasus
korupsi gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang diklaim punya motif politik
kedinastiaan, fenomena ini jika terjadi akan merusak benteng (kebersamaan)
Ikstida, damaged organization.
Fenomena
ini merupakan hal unik dan kelebihan organisasi Ikstida yang masih berusia sangat
dini, namun bagi saya, besar pengaruhnya disetiap lini kehidupan bangsa, yang
nantinya organisasi kecil yang dilahirkan di pesantren seperti Ikstida bisa
saja menelorkan para pakar politisi yang handal dan banyak memberikan
kontribusi positif bagi negara Indonesia. Sekali lagi, saya katakan, inilah hal
yang paling unik, sisi lain yang tidak pernah dimiliki oleh organisasi lain
selain Ikstida, namun baru tersentuh, tentu dengan adanya keberagaman yang
sudah saya jelaskan diawal, maka yang terpenting kita tetap mempunyai misi atau
tujuan yang sama. Ikstida: satukan hati wujudkan mimpi, pada selebaran Kami
edisi XXXX telah dijelaskan yang mana prinsip tersebut harus menjadi kometmen
kuat dalam organisasi Ikstida untuk menolak paham sektarianisme
Lubangsa,
20 oktober 2014
*Penulis
adalah mantan Sek-Jen Ikstida 2013-2014, dan sekarang tinggal di http://grujuganaqin.blogspot.com
0 Response to "Ikstidaisme: Upaya Menolak Kesektarianan"
Post a Comment
Terimkasih...