Dari Bilik Hijau Untuk Iksabad
Sunday, November 9, 2014
Add Comment
Oleh: Aqin Jejen*
Sekedar (ingin) berbagi pengalaman dengan sahabat Iksabad dan Persi. Arek-arek
kunco keluarga besar bilik hijau, begitulah nama beken kami. Tentu kalian
tahu banyak bahwa per-bilik di pondok punya khas karakter masing-masing. Hingga
timbullah persaingan secara sehat (bukan persangan bebas). Di sana, sebut saja
ada bilik “Ci-vit-scu-nit”, “Legendaris-Humoris”, “Laskar BNJ”,
“Do-Re-Me”, “Aremania” dan terakhir “Bilik Hijau”. Dengan
begitu mereka mulai mencoba adu kompetisi kamar yang pada akhirnya tercipta
iluminasi keasrian tiap kamar yang dihuni sahabat Ikatan Keluarga Santri
Batang-Batang Dungkek (Iksabad). Tidak hanya itu, secara idealnya mereka juga
butuh persaingan idiologi yang cerdas, dan sehat, salah satunya dengan
membentuk kelompok diskusi, kelompok
belajar, menerbitkan mading, buletin, dsb. Dengan begitu timbullah himma
belajar antar kamar yang sehat.
Pada malam selasa (08/09) kemarin, tampak sahabat-sahabat di ‘Bilik Hijau’ berdiskusi
seputar pesantren dengan meriah, diselai tawa yang bergelegar hingga membuat
suasana begitu ramai dan kompak. Saya lihat lebih dari dua belas orang di sana,
di temani secangkir kopi dan beberapa makanan sneak, wafer cokelat, serta
rokok Apache--menambah keakraban mereka--antar yang satu dan yang lainnya,
sosial connection.
Perubahan ini, berangkat dari inisiatif
kami “Mathawi Community” (gerakan pemuda idialisme) saat melihat
suasana kamar sering gaduh, akibat mereka suka cekcok adu mulut yang tak jelas
arahnya, bersenda gurai, ngobrol ngalur ngidul, eng-gosip, dan yang
lainnya. hingga membuat saya tak tenang dan resah dengan kebisingan
mereka, ditambah lagi banyak santri baru, membuat mereka semakin lugu dan lucu.
Akhirnya, mereka mulai mau diajak diskusi. Lalu, saya buatkan jadwal diskusi,
saya tempelkan di mading Canvas (baca: Mading di blok F-11) secara
berurutan sesuai ketentuan jadwal berikut dengan nama fasilitator, tanggal,
bulan, dan tema diskusi.
Kira-kira malam itu, mereka berdiskusi-an
sih dengan tema “Santri menyikapi arus modernisasi”. Tentu kalian
beranggapan itu tema yang sudah jadul, basi, dan tak bermutu. Jika
meminjam bahasanya A.S. Laksana, semua bahasa memang sudah tak ada yang perawan
lagi. Toh, saya tetap beranggapan bahwa ilmu memang tidak pernah
berubah, hanya saja bagi yang beranggapan itu tema “jadul” mereka sudah tahu,
bagi yang tidak tahu itu merupakan ilmu baru. Sekilas temanya memang
mudah-mudah, saya ambil saja yang banyak disentuh oleh kehidupan mereka
sehari-hari, seperti tema “Long Distance Relationship (LDR)” atau
“Santri dan Kosmitik: menyikapi makna kesederhanaan santri yang mulai hedonis”.
Tema-tema ini sangat dekat dengan realitas keseharian mereka, barang tentu akan
menjadi hal yang sangat mudah sekali untuk memahami tema tersebut, tak
terkecuali pun juga saya.
Dari hasil diskusi tersebut, saya harap mereka tetap berpegang teguh pada prinsip
“Al-muhaafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih, wal-ahzhu bi al-jadid al-ashlah”.
Meskipun tak jarang melihat fenomena santri sekarang mulai bersikap lebay,
alay, gombal, narsis gaya ala sok artis dan
yang lainnya, bahkan mereka teracuni dengan wacana pragmatisme, henonisme,
narsisme, liberalisme, serta isme-isme yang lain. Gampangnya, mereka lebih
mementingkan urusan kesenangan sesaat ketimbang masa depan ummat.
Ditengah-tengah diskusi berlanjut, ada sebagian yang mengutip lirik lagu
Bang Haji Roma Irama, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, sakit-sakit
dahulu bersenang-senang kemudian”. Dengan nada sedikit divokal tanpa rima.
Sebab ada istilah yang mereka singgung, bahwa “Sesuatu yang mudah didapat, juga
akan mudah hilang”. Itu sebabnya (terkadang) kita lupa daratan hingga tenggelamlah
pada yang namanya kesesatan duniawiah. Kendati demikian, apa solusinya. Pertama,
banyaklah belajar pada buku dan lingkungan, jadilah santri yang punya
pengetahuan lahir batin, dalam artian menjadi santri multi talenta. Jika
meminjam bahasanya Abd A’la, dalam bukunya, Pembaruah Pesantren, kita
bisa menghadirkan masa lalu dengan seaktual mungkin sehingga relevan dengan
khazanah zaman. Santri tidak hanya dikenalkan pada kitab-kitab klasik dasar
semisal, Safinah Al-Najah, Sullam Al-Taufiq, dan Syarah Al-Sittin.
Kedua, tidak menghilangkan tradisi lama pesantren, seperti baca kitab
klasik, baca al-Qur’an serta salat tahajjut dan salat dzuha. Ketiga, menghemat
biaya kiriman, jadilah santri yang sederhana; berpenampilan apa adanya.
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, lengkap memaparkan sikap santri
yang layak Anda tiru. Sebagaimana yang saya ingat dalam bukunya, A. Dardiri
Zubairi, Rahasia Perempuan Madura, beliau mengutip salah satu pribahasa
Madura tulen-nya, yakni (seng penting) “Raddin atena, ben begus tengka
kulina”. Jika kalian ingin menjadi santri yang diidamkan banyak orang, bersikaplah
sebagaimana mestinya seorang santri. Karena santri sejati adalah santri yang
menyadari bahwa dirinyalah santri dan berprilaku ala santri. Silahkan berbenah
diri. Good luck!
08
September 2014 M
*Penghuni
Bilik Hijau, tinggal di http://grujuganaqin.blogspot.com
0 Response to "Dari Bilik Hijau Untuk Iksabad"
Post a Comment
Terimkasih...