-->

Dari Bilik Hijau Untuk Iksabad





Oleh: Aqin Jejen*
           
                Sekedar (ingin) berbagi pengalaman dengan sahabat Iksabad dan Persi. Arek-arek kunco keluarga besar bilik hijau, begitulah nama beken kami. Tentu kalian tahu banyak bahwa per-bilik di pondok punya khas karakter masing-masing. Hingga timbullah persaingan secara sehat (bukan persangan bebas). Di sana, sebut saja ada bilik “Ci-vit-scu-nit”, “Legendaris-Humoris”, “Laskar BNJ”, “Do-Re-Me”, “Aremania” dan terakhir “Bilik Hijau”. Dengan begitu mereka mulai mencoba adu kompetisi kamar yang pada akhirnya tercipta iluminasi keasrian tiap kamar yang dihuni sahabat Ikatan Keluarga Santri Batang-Batang Dungkek (Iksabad). Tidak hanya itu, secara idealnya mereka juga butuh persaingan idiologi yang cerdas, dan sehat, salah satunya dengan membentuk  kelompok diskusi, kelompok belajar, menerbitkan mading, buletin, dsb. Dengan begitu timbullah himma belajar antar kamar yang sehat.
Pada malam selasa (08/09) kemarin, tampak sahabat-sahabat di ‘Bilik Hijau’ berdiskusi seputar pesantren dengan meriah, diselai tawa yang bergelegar hingga membuat suasana begitu ramai dan kompak. Saya lihat lebih dari dua belas orang di sana, di temani secangkir kopi dan beberapa makanan sneak, wafer cokelat, serta rokok Apache--menambah keakraban mereka--antar yang satu dan yang lainnya, sosial connection.
Perubahan ini, berangkat dari inisiatif  kami “Mathawi Community” (gerakan pemuda idialisme) saat melihat suasana kamar sering gaduh, akibat mereka suka cekcok adu mulut yang tak jelas arahnya, bersenda gurai, ngobrol ngalur ngidul, eng-gosip, dan yang lainnya. hingga membuat saya tak tenang dan resah dengan kebisingan mereka, ditambah lagi banyak santri baru, membuat mereka semakin lugu dan lucu. Akhirnya, mereka mulai mau diajak diskusi. Lalu, saya buatkan jadwal diskusi, saya tempelkan di mading Canvas (baca: Mading di blok F-11) secara berurutan sesuai ketentuan jadwal berikut dengan nama fasilitator, tanggal, bulan, dan tema diskusi.
 Kira-kira malam itu, mereka berdiskusi-an sih dengan tema “Santri menyikapi arus modernisasi”. Tentu kalian beranggapan itu tema yang sudah jadul, basi, dan tak bermutu. Jika meminjam bahasanya A.S. Laksana, semua bahasa memang sudah tak ada yang perawan lagi. Toh, saya tetap beranggapan bahwa ilmu memang tidak pernah berubah, hanya saja bagi yang beranggapan itu tema “jadul” mereka sudah tahu, bagi yang tidak tahu itu merupakan ilmu baru. Sekilas temanya memang mudah-mudah, saya ambil saja yang banyak disentuh oleh kehidupan mereka sehari-hari, seperti tema “Long Distance Relationship (LDR)” atau “Santri dan Kosmitik: menyikapi makna kesederhanaan santri yang mulai hedonis”. Tema-tema ini sangat dekat dengan realitas keseharian mereka, barang tentu akan menjadi hal yang sangat mudah sekali untuk memahami tema tersebut, tak terkecuali pun juga saya.   
Dari hasil diskusi tersebut, saya harap mereka tetap berpegang teguh pada prinsip “Al-muhaafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih, wal-ahzhu bi al-jadid al-ashlah”. Meskipun tak jarang melihat fenomena santri sekarang mulai bersikap lebay, alay, gombal, narsis gaya ala sok artis dan yang lainnya, bahkan mereka teracuni dengan wacana pragmatisme, henonisme, narsisme, liberalisme, serta isme-isme yang lain. Gampangnya, mereka lebih mementingkan urusan kesenangan sesaat ketimbang masa depan ummat.
Ditengah-tengah diskusi berlanjut, ada sebagian yang mengutip lirik lagu Bang Haji Roma Irama, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Dengan nada sedikit divokal tanpa rima. Sebab ada istilah yang mereka singgung, bahwa “Sesuatu yang mudah didapat, juga akan mudah hilang”. Itu sebabnya (terkadang) kita lupa daratan hingga tenggelamlah pada yang namanya kesesatan duniawiah. Kendati demikian, apa solusinya. Pertama, banyaklah belajar pada buku dan lingkungan, jadilah santri yang punya pengetahuan lahir batin, dalam artian menjadi santri multi talenta. Jika meminjam bahasanya Abd A’la, dalam bukunya, Pembaruah Pesantren, kita bisa menghadirkan masa lalu dengan seaktual mungkin sehingga relevan dengan khazanah zaman. Santri tidak hanya dikenalkan pada kitab-kitab klasik dasar semisal, Safinah Al-Najah, Sullam Al-Taufiq, dan Syarah Al-Sittin. Kedua, tidak menghilangkan tradisi lama pesantren, seperti baca kitab klasik, baca al-Qur’an serta salat tahajjut dan salat dzuha. Ketiga, menghemat biaya kiriman, jadilah santri yang sederhana; berpenampilan apa adanya. Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, lengkap memaparkan sikap santri yang layak Anda tiru. Sebagaimana yang saya ingat dalam bukunya, A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura, beliau mengutip salah satu pribahasa Madura tulen-nya, yakni (seng penting) “Raddin atena, ben begus tengka kulina”. Jika kalian ingin menjadi santri yang diidamkan banyak orang, bersikaplah sebagaimana mestinya seorang santri. Karena santri sejati adalah santri yang menyadari bahwa dirinyalah santri dan berprilaku ala santri. Silahkan berbenah diri. Good luck!
                                                                                                                08 September 2014 M

                        *Penghuni Bilik Hijau, tinggal di http://grujuganaqin.blogspot.com

0 Response to "Dari Bilik Hijau Untuk Iksabad"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel