Testimoni:Mengenang 7 Hari Wafatnya Drs. KH. Rahwini, M.Pd.I (Menyelami Samudera Kemuliaan)
Thursday, June 9, 2016
Add Comment
Sejatinya,
linangan air mata adalah bukti kebeningan “rasa kehilangan” atas sosok orang yang kita sayang, tapi
apalah daya semua jiwa akan merasakan mati, sedang kematian menurut Hadist riwayat Anas
dalam kitab Ad-Darimi adalah sebuah
kegembiraan bagi orang-orang yang akan bertemu dengan kekasihnya (Allah Swt),
itu sebabnya Rasulullah melarang meratapi kematian.[1] Saat ini Tuhan benar-benar
telah menjemput saudara kita Drs. KH. Rahwini, M.Pd.I. pada usianya ke-51, setelah
beberapa bulan dirawat di RSI
Surabaya, pada hari Rabu (01/06) beliau menghembuskan nafas terakhirnya di
rumah sakit. Semoga amal kebaikan beliau diterima di sisi-Nya. Amien.
Meski
dilahirkan di tanah Grujugan, nyaris saya tidak pernah
berhubungan secara tatap muka dengan beliau, saya tidak mengetahui keteduhan raut
mukanya yang tenang, kelembutan tutur katanya, sampai pada prilakunya yang
digandrungi banyak masyarakat, hingga hari ini (01/6) ketika ajal kematian sudah
menjemputnya saya hanya bisa mengucapkan belasungkawa, seraya menilik dengan batas
nun jauh dan menguping beberapa nasihat dari mulut ke mulut, serta berbagai
dokumentasi tentang testimoni beliau.
Lelaki yang lahir
pada putaran kalender, 30 Desember 1964 menjeritkan tangis pertama kalinya di
lingkungan desa yang kental dengan peradaban kultur religius, desa Grujugan,
Kec. Gapura. Beliau hidup dengan sangat sederhana sekali, sebab kebesaran hati
(Madura: Raje Ate) dari didikan kedua orang tuanya, Ny. Maryam dan K. Alwan serta
kemandiriannya, mampu menghantarkan beliau mondok ke pesantren Annuqayah
daerah Lubangsa hingga ke jenjang Pendidikan Tinggi (PT). Mungkin saya
menerjemahkan maksud cerita ini, bahwa semua butuh proses, begitulah jalan
terjal yang biasa dilalui
oleh santri angkatan tahun 80-an yang lama menetap di bilik hijau F/11.[2]
Sebab ketekunan
dan kegigihannya dalam belajar hingga
akhirnya berhasil menghantarkan beliau menjadi sosok pribadi yang
disegani para santri di masanya, bahkan sebelum saya dilahirkan ke dunia,
beliau sudah mengawali keistiqomahan belajar di pesantren, terbukti dua preode
beliau menjabat sebagai ketua pengurus Pondok Pesantren Annuqayah daerah
Lubangsa, pada tahun 1993-1995 M. (1993/1994, 1994, 1995).[3] menurut H. A. Pandji Taufiq, Ketua
PC. NU Sumenep, menegaskan bahwa beliau banyak berperan di Tsanawiyah
Annuqayah, “Di pondok kalau tidak salah, beliau lama menjadi staf atau
sekretaris di Tsanawiyah Annuqayah, dulu semasih belum digaji, dulu tidak ada
sertifikasi seperti sekarang,” tutur beliau dengan nada mengenang.[4]
Menurut
sebagian penuturan kerabatnya, meski beberapa tahun songkan (sakit) dalam
keadaan yang begitu parah beliau bisa menahan kesakitan untuk tidak membebani
keluarganya, agar orang yang dekat dengan beliau tidak merasakan beban untuk
ikut menanggung derita kesakitan, bagi pengurus Tanfidziyah PC. NU Sumenep tahun
2015-2020, semua harus diukur
dari dalam diri kita (in my self); kekuatan untuk mengubah orang lain yang dibarengi konsistensi agar kita
tidak larut menyusahkan
orang lain. Menurut ketua IAA itu, orang tidak bisa diukur dari luar (outside)
tapi harus diukur dari dalam (inside) dan biarkan orang lain yang menilai
terhadap kita.[5]
Aktivis Tanpa Pamrih
Sejarah hanya ditulis oleh orang yang memiliki
autentisitas tinggi, dan saya mengamininya, sebab itu untuk menyelami samudera
keteladanan beliau saya “hanya” bisa menuturkan bebera kekaguman masyarakat yang
pernah bersentuhan langsung dengan beliau (tanpa menyebut nama), beliau
mewarisi kemuliaan akhlak yang terus hidup dalam memori kenangan para
santrinya.
Beberapa kali beliau menginginkan “moralitas” dijadikan
baju kokoh bagi para santri, sebab itu beliau dikenal tipikal kiai yang kritis
terhadap para santrinya, bukan tidak mungkin jika beliau menginginkan santri
kritis yang dibarengi nilai etis; (Istilah orang Madura, andep asor, bagus
tengka kulina, ben penter, baik dari segi bahasa dan prilaku).[6]
Secara formal beliau dikenal sebagai seorang pemimpin,
tokoh masyarakat, dan seorang aktivis NU, walau tidak lama
beliau tinggal di NU kira-kira hanya 9 bulan, sejak Agustus 20015 yang lalu
dilantik, bagi Pandji Taufiq, beliau memiliki militansi yang kuat, sangat
nampat sekali perannya di NU, sebagai ketua yang membidani lembaga bathsul
masail, menurut ketua PC. NU Sumenep, Zainal Abidin, M.h.I termasuk orang yang banyak
tau tentang beliau di NU, kebetulan mereka berdua lahir di satu rumpun yang sama,
desa Grujugan Gapura Sumenep.
Sedang partai PKB sebagai kendaraan politik yang kuat
mempertahankan kebenaran dari kompromi pihak lain, beliau konsisten di partai
PKB walau yang lain banyak pindah partai, barangkali disini beliau banyak
melakukan dakwah bil haq, seraya memberikan dedikasi terhadap masyarakat
khususnya daerah Sumenep, hingga pada gilirannya menempatkan beliau menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dapil V
Sumenep, tahun 2004-2009.
Sebagai santri KH. A. Warits Ilyas (1938), beliau
diwarisi kedisiplinannya menjalankan amanah Allah (hablun minallah)
maupun amanah masyarakat (hablun minannas), karena menjadi pemimpin
dituntun mengayomi dan mengemong masyarakat dengan penuh rasa, “menjadi seorang
pemimpin harus pandai merasa, bukan merasa pandai,” statemen beliau itulah yang
sering diingat oleh satu-satunya harapan masa depannya kelak.
Maka setiap performance beliau selalu
mengandung perjuangan “perjuangan itu tak harus berhasil,” begitulah menurut
ayahanda Muhammad Faiz Abqari.
Walau kenyataan telah mengubur jasad beliau ke dalam
tanah, saya tetap menaruh kagum dan kepatuhan—beliau selaksa bunga yang
mengharumkan tanah Banuaju Timur semenjak beliau
berkeluarga di sana;
memberikan sumber oase kemuliaan akhlaq yang tak hengkang oleh waktu dan
tidak akan pernah terkubur oleh tanah.[7] Billahi Fi Sabilil Haq.
Catatan Kaki:
[1] hadist Abu
Daud, No. 2720.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ
[2]Hasil dari
dokumentasi Buku Induk Alumni Ikstida, beliau juga termasuk alumni organisasi
Ikstida.
[3]Dokumentasi
Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa.
[4]Hasil bincang-bincang dengan Pandji Taufiq, ketua
PC. NU Sumenep.
[5]Informasi dari Wakil Ketua PC. NU
Sumenep, K.
Dardiri.
[6]Penuturan
Didik Hariyanto alumni Madrasah Taufiqurrahman.
[7]Sengaja tulisan ini tidak ditulis dengan alur yang
sistematis.
0 Response to "Testimoni:Mengenang 7 Hari Wafatnya Drs. KH. Rahwini, M.Pd.I (Menyelami Samudera Kemuliaan)"
Post a Comment
Terimkasih...