-->

Testimoni:Mengenang 7 Hari Wafatnya Drs. KH. Rahwini, M.Pd.I (Menyelami Samudera Kemuliaan)




Sejatinya, linangan air mata adalah bukti kebeningan “rasa kehilangan” atas sosok orang yang kita sayang, tapi apalah daya semua jiwa akan merasakan mati, sedang kematian menurut Hadist riwayat Anas dalam kitab Ad-Darimi adalah sebuah kegembiraan bagi orang-orang yang akan bertemu dengan kekasihnya (Allah Swt), itu sebabnya Rasulullah melarang meratapi kematian.[1] Saat ini Tuhan benar-benar telah menjemput saudara kita Drs. KH. Rahwini, M.Pd.I. pada usianya ke-51, setelah beberapa bulan dirawat di RSI Surabaya, pada hari Rabu (01/06) beliau menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Semoga amal kebaikan beliau diterima di sisi-Nya. Amien.

Meski dilahirkan di tanah Grujugan, nyaris saya tidak pernah berhubungan secara tatap muka dengan beliau, saya tidak mengetahui keteduhan raut mukanya yang tenang, kelembutan tutur katanya, sampai pada prilakunya yang digandrungi banyak masyarakat, hingga hari ini (01/6) ketika ajal kematian sudah menjemputnya saya hanya bisa mengucapkan belasungkawa, seraya menilik dengan batas nun jauh dan menguping beberapa nasihat dari mulut ke mulut, serta berbagai dokumentasi tentang testimoni beliau.

Lelaki yang lahir pada putaran kalender, 30 Desember 1964 menjeritkan tangis pertama kalinya di lingkungan desa yang kental dengan peradaban kultur religius, desa Grujugan, Kec. Gapura. Beliau hidup dengan sangat sederhana sekali, sebab kebesaran hati (Madura: Raje Ate) dari didikan kedua orang tuanya, Ny. Maryam dan K. Alwan serta kemandiriannya, mampu menghantarkan beliau mondok ke pesantren Annuqayah daerah Lubangsa hingga ke jenjang Pendidikan Tinggi (PT). Mungkin saya menerjemahkan maksud cerita ini, bahwa semua butuh proses, begitulah jalan terjal yang biasa dilalui oleh santri angkatan tahun 80-an yang lama menetap di bilik hijau F/11.[2]

Sebab ketekunan dan kegigihannya dalam belajar hingga akhirnya berhasil menghantarkan beliau menjadi sosok pribadi yang disegani para santri di masanya, bahkan sebelum saya dilahirkan ke dunia, beliau sudah mengawali keistiqomahan belajar di pesantren, terbukti dua preode beliau menjabat sebagai ketua pengurus Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, pada tahun 1993-1995 M. (1993/1994, 1994, 1995).[3] menurut H. A. Pandji Taufiq, Ketua PC. NU Sumenep, menegaskan bahwa beliau banyak berperan di Tsanawiyah Annuqayah, “Di pondok kalau tidak salah, beliau lama menjadi staf atau sekretaris di Tsanawiyah Annuqayah, dulu semasih belum digaji, dulu tidak ada sertifikasi seperti sekarang,” tutur beliau dengan nada mengenang.[4]

Menurut sebagian penuturan kerabatnya, meski beberapa tahun songkan (sakit) dalam keadaan yang begitu parah beliau bisa menahan kesakitan untuk tidak membebani keluarganya, agar orang yang dekat dengan beliau tidak merasakan beban untuk ikut menanggung derita kesakitan, bagi pengurus Tanfidziyah PC. NU Sumenep tahun 2015-2020, semua harus diukur dari dalam diri kita (in my self); kekuatan untuk mengubah orang lain yang dibarengi konsistensi agar kita tidak larut menyusahkan orang lain. Menurut ketua IAA itu, orang tidak bisa diukur dari luar (outside) tapi harus diukur dari dalam (inside) dan biarkan orang lain yang menilai terhadap kita.[5]

Aktivis Tanpa Pamrih   
Sejarah hanya ditulis oleh orang yang memiliki autentisitas tinggi, dan saya mengamininya, sebab itu untuk menyelami samudera keteladanan beliau saya “hanya” bisa menuturkan bebera kekaguman masyarakat yang pernah bersentuhan langsung dengan beliau (tanpa menyebut nama), beliau mewarisi kemuliaan akhlak yang terus hidup dalam memori kenangan para santrinya.

Beberapa kali beliau menginginkan “moralitas” dijadikan baju kokoh bagi para santri, sebab itu beliau dikenal tipikal kiai yang kritis terhadap para santrinya, bukan tidak mungkin jika beliau menginginkan santri kritis yang dibarengi nilai etis; (Istilah orang Madura, andep asor, bagus tengka kulina, ben penter, baik dari segi bahasa dan prilaku).[6]

Secara formal beliau dikenal sebagai seorang pemimpin, tokoh masyarakat, dan seorang aktivis NU, walau tidak lama beliau tinggal di NU kira-kira hanya 9 bulan, sejak Agustus 20015 yang lalu dilantik, bagi Pandji Taufiq, beliau memiliki militansi yang kuat, sangat nampat sekali perannya di NU, sebagai ketua yang membidani lembaga bathsul masail, menurut ketua PC. NU Sumenep, Zainal Abidin, M.h.I termasuk orang yang banyak tau tentang beliau di NU, kebetulan mereka berdua lahir di satu rumpun yang sama, desa Grujugan Gapura Sumenep.

Sedang partai PKB sebagai kendaraan politik yang kuat mempertahankan kebenaran dari kompromi pihak lain, beliau konsisten di partai PKB walau yang lain banyak pindah partai, barangkali disini beliau banyak melakukan dakwah bil haq, seraya memberikan dedikasi terhadap masyarakat khususnya daerah Sumenep, hingga pada gilirannya menempatkan beliau menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dapil V Sumenep, tahun 2004-2009.

Sebagai santri KH. A. Warits Ilyas (1938), beliau diwarisi kedisiplinannya menjalankan amanah Allah (hablun minallah) maupun amanah masyarakat (hablun minannas), karena menjadi pemimpin dituntun mengayomi dan mengemong masyarakat dengan penuh rasa, “menjadi seorang pemimpin harus pandai merasa, bukan merasa pandai,” statemen beliau itulah yang sering diingat oleh satu-satunya harapan masa depannya kelak. Maka setiap performance beliau selalu mengandung perjuangan “perjuangan itu tak harus berhasil,” begitulah menurut ayahanda Muhammad Faiz Abqari.

Walau kenyataan telah mengubur jasad beliau ke dalam tanah, saya tetap menaruh kagum dan kepatuhan—beliau selaksa bunga yang mengharumkan tanah Banuaju Timur semenjak beliau berkeluarga di sana; memberikan sumber oase kemuliaan akhlaq yang tak hengkang oleh waktu dan tidak akan pernah terkubur oleh tanah.[7] Billahi Fi Sabilil Haq.





Catatan Kaki:
[1] hadist Abu Daud, No. 2720.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ
[2]Hasil dari dokumentasi Buku Induk Alumni Ikstida, beliau juga termasuk alumni organisasi Ikstida.
[3]Dokumentasi Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa.
[4]Hasil  bincang-bincang dengan Pandji Taufiq, ketua PC. NU Sumenep.
[5]Informasi dari Wakil Ketua PC. NU Sumenep, K.
Dardiri.
[6]Penuturan Didik Hariyanto  alumni Madrasah Taufiqurrahman.
[7]Sengaja tulisan ini tidak ditulis dengan alur yang sistematis.

0 Response to "Testimoni:Mengenang 7 Hari Wafatnya Drs. KH. Rahwini, M.Pd.I (Menyelami Samudera Kemuliaan)"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel