Orang Sumenep Tak Kenal Perpres dan Permen
Monday, December 4, 2017
Add Comment
Gambar oleh: http://gankersmekti.blogspot.co.id |
Di
tengah hiruk-pikuk buntalan fenomena pro dan kontra tentang diterterbitkannya Perpres
yang katanya akan menggantikan Permen Nomer 23 Tahun 2017, orang Sumenep baru
mengenal nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy. Kenapa penulis mengatakan “tak kenal” sebagai judul
tulisan yang pertama kali muncul di kepala, sebab pendidikan di Sumenep masih
jauh dari tiupan informasi yang cakap, tepat, akurat, dan konsisten lagi.
Bukan mau
meremehkan orang Sumenep. Mungkin kata tak kenal lebih pas-nya untuk kalangan
yang mengenyam pendidikan di desa-desa, tapi masih “mau kenal”, dan mau untuk
berproses untuk kenal lebih jauh dengan berbagai kurikulum pendidikan yang
berubah-ubah. Kalau saja, peraturan Perpes sebagai pengganti dari Permen ini
ditetapkan, tak akan mengganggu orang Sumenep, dan orang Sumenep tak akan
menolak (meski rata-rata orang Sumenep adalah masyarakat Nahdiyyin) yang bagi
Benni Setiawan—terjadi ego sektoral—karena tak bisa bersikap adil sejak dalam pikiran
(Jawa Pos, 25/08). Bahkan orang Sumenep malah akan berterimakasi atas peraturan
Permen Nomer 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah (LHS), karena orang
Sumenep akan berfikir sebaliknya, semakin sedikit waktu untuk mengajar semakin
banyak waktu senggang untuk digunakan sebagai kesempatan bekerja yang lebih
menguntungkan.
Rata-rata,
seorang guru di satuan pendidikan yang ada di Sumenep selain menjadi tenaga guru,
ia juga mempunyai profesi lain untuk memenuhi kebutuhan primer dalam kehidup
sehari-hari. Dulu, penulis tak jarang menemukan guru yang sering telat masuk
kelas, meski dulu tak ada peraturan guru harus tepat waktu, dan harus berdiri
di depan kelas karena alasan telat. Sebab, kepala sekolah dan murid-murid memahami
bahwa selain mengajar, guru juga harus menyabit rumput di tegal, khusus guru
yang pekerjaannya sebagai petani atau mengembala, atau memanjat pohon siwalan
untuk mengambil nira, khusus guru yang pekerjaannya memproduksi gula aren.
Penulis
pikir, kapan mereka harus memantau peserta didiknya, sebagaimana Mendikbud menginginkan
agar kinerja guru sama dengan Aparatur Sipil Negara (PNS), bahkan itu termasuk
tanggung jawab seorang guru untuk memantau peserta didiknya di luar kelas, dan
terus memastikan semua aktivitas yang dikerjakan oleh peserta didiknya. Ya,
kalau peserta didiknya pulang dari sekolah seorang guru harus bisa memastikan
apakah sampai ke rumahnya atau tidak. Mungkin bagi guru yang sudah mendapat
Tunjagan Profesi Guru (TPG) itu tak ada masalah, bagaimana dengan guru honorer
yang kadang untuk memenuhi kebutuhan biduk
rumahtangganya sehari-hari harus ngutang ke tetangga? Banyangkan,
guru-guru honorer tadi, betapa sibuknya, betapa beratnya. Sebab itu, kata Ketua
Umum Persatuan Guru Repulik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, guru honorer
gajinya rata-rata masih tak sampai 500 ribu perbulan (Jawa Pos, 24/08). Terus
keluarganya mau makan apa? Yeah, begitulah..
Dari
fenomena pendidikan yang masih belum merata, bagi Ketum PGRI tak selayaknya
program Permen menjadi tanggung jawab yang semakin memberatkan bagi guru
honorer. Untung, terutama di pelosok desa, masih tegak berdiri sekolah-sekolah
dibawah naungan Kemenag, yang itu ada dispensasi khusus untuk tidak menerapkan program
LHS dan tetap mengacu pada pengembangan pendidikan karakter.
Sepintas,
kalau satuan pendidikan tidak mau patuh terhadap Mendikbud, seperti tempo hari yang
telah ramai-ramai menolak kebijakan Full Day School (FDS), lalu
masyarakat akan patuh pada siapa? Sama presiden? Meski pada kenyataannya secara
diplomatis Presiden Jokowi dengan kebijakan Perpes-nya tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) adalah mengganti peraturan Permen dengan tema yang serupa.
Sepintas mungkin bisa menjadi alternatif, tentu di sini Jokowi bisa ditebak
akan kebijakan-kebijakannya yang sebagian menganggap berpihak.
0 Response to "Orang Sumenep Tak Kenal Perpres dan Permen"
Post a Comment
Terimkasih...