Siapa yang Pantas Bicara Cinta (?)
Wednesday, January 17, 2018
Add Comment
Gambar oleh: bentarabudayabali.wordpres |
Dalam
bukunya Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita, pernah mencaplok
perkataan seorang sufi pencerita ulung, Abdul Rahman al-Jami’, yang bombastis
sekaligus menyimpang dari aforisme-aforisme cinta, menerobus bangunan
epestimologi dan pengertian-pengertian cinta yang kaku, bagi Shimel, tak ada
orang yang pantas berbicara cinta. Jika semua orang tak ada yang pantas
membicarakan cinta lalu siapa yang pantas? Mungkinkah Shimel lelah mendengar
bahasa cinta yang dibuat profanitas sekali oleh kalangan pencinta dan kekasih?
Mungkin saja Shimel sudah benci karena ujub-ujub kalangan pencinta dan kekasih.
Sebelum
jauh mengejar perkataan Shimel, penulis ingin menayakan siapakah kisah cinta
yang diagungkan dalam sejarah dunia? Ya, mungkin hanya ada tiga kisah cinta
yang pada gilirannya terus melahirkan benih-benih inspiratif bagi para pecinta
dan kekasih. Pertama, siapa yang tidak kenal kisah agung dalam dunia tasawuf
yang menjadi rujukan penulisan kisah-kisah cinta dunia, ia tidak lain adalah
Lailah dan Majnun. Kedua, di dunia barat yang cenderung rasionalis siapa yang
tidak kenal kisah populer tentang Romeo dan Juliet. Ketiga, dalam al-Qur’an siapa
yang tidak mengenal kisah perjalanan cinta suci Zulaiha dan Yusuf—semua berkait
kelindan—dan sama sekali secara historis belum pernah ada cerita sesudahnya
yang dapat mengungguli apalagi melebihi dari tiga kisah cerita tersebut.
Penulis
merasa memiliki kesempatan untuk sekadar memberikan ruang pemahaman yang lebih
demokrasi, dari dan untuk semua kalangan pecinta dan kekasih agar bisa
memikirkan aspek yang perlu diambil dari cerita tadi. Kalau kalian pernah
memiliki kekasih atau pernah jatuh hati terhadap seseorang yang begitu
mengagumkan dan sulit untuk digambarkan, mari sedikit dirasionalkan dengan
kata-kata, meski sebagian kalangan menyangkal tak ada cinta yang bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Kenapa harus dilogikakan? Karena di zaman
perseteruan cinta yang sering digadaikan dengan idealisme, kemapanan, dan
percobaan, patut kiranya membuktikan bahwa ini bukan lagi zamannya Zulaiha-
Yusuf, Laila-Majnun, atau Romeo-Juliet, kalangan pecinta dan kekasih telah
memilih alasan yang lebih rapuh dengan murasak idealisme, dan kemapanan.
Maka
tidak salah jika perselingkuhan menjadi kalimat paling banter didengar “selingkuh
itu indah,” karena pada tatanan yang lebih sejati, idealisme dan kemapanan
telah ditukar dalam konteks yang lebih bersifat pragmatis, bukan hanya dalam
lini kehidupan yang bersifat sosiologis-interakstif ideologi pragmatisme itu
masuk merebak, akan tetapi dalam urusan percintaan kalangan kekasih dan pecinta
lebih memilih yang pragmatis, sehingga tidak jarang dari mereka mengambil
tindakan yang lebih fleksibel dan pragmatis.
Mungkin
kisah di atas, adalah sebagai jurang pemisah antara kisah-kisah yang terlalu
kaku dan didikte dengan koridor-koridor dan ketentuan-ketentuan agama, dan
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku. Seperti harus setia, harus berkorban,
harus syar’ih, harus Islami, dan harus-harus yang lain.
Maka
tidak jarang dalam penerapannya, kalangan pecinta dan kekasih melepas ritme
cinta yang terlalu kaku dan didikte, mungkin mereka sudah bukan lagi menemukan
makna “cinta” melainkan ber-“cinta” untuk sekadar melampiaskan hasrat cinta
yang mengebu berupa nafsu ammarah. Ya, praktek lain yang dilegalkan adalah
pacaran dengan alasan yang tadi itu, tidak mau didikte dengan hukum-hukum yang
kaku dan membosankan. Sebab itu, mereka beranggapan bahwa cinta tak butuh pengorbanan
jiwa melainkan bersifat materi, bukan perasaan melaikan paksaan. Pasalnya,
praktel yang lebih ekstrem dan dilegalkan adalah “cinta satu malam” menjadi
cinta satu malah oh indahnya.
Akh.
Di bagian ini, mungkin itu alasannya Shimel mengatakan tak ada kalangan yang
pantas mengatakan kalimat cinta, karena bagi Shimel hanya orang yang mengenal
penderitaan mencintai Yusuf sajalah yang berhak berbicara tentang cinta. Para penyair tahu bahwa cinta merobek Zulaiha
dari selubung kesucian, sehingga bagi Jami’ Zulaiha adalah lambang bagi semua
orang yang merasakan penderitaan cinta dan kerinduan yang tak terbatas. Maka,
Zulaiha menjadi pahlawan wanita yang berani dan kuat, yang rela menahan apa
saja demi kekasihnya.
Maka
kesimpulannya tak ada yang pantas mengatakan cinta kecuali ia mau berkorban
jiwanya, mau menahan nafsunya, mau memahami hukum-hukum cinta yang berlaku
dalam ketaatan agama, sehinga apa yang dikatakan Shimel menjadi layak untuk
para pecinta dan kekasih.
0 Response to "Siapa yang Pantas Bicara Cinta (?)"
Post a Comment
Terimkasih...