-->

Perseteruan Dialogis Pemikiran Tasawuf


Judul Buku: Arkeologi Tasawuf
Penulis: Abdul Kadir Riyadi
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Cetakan I, Juli 2016
Jumlah Halaman: 403
Halaman
ISBN: 978-979-433-96-0-2
Peresensi: Jamalul Muttaqin*
Tidak banyak penulis buku tasawuf yang bisa memantik para pembacanya tergirang dengan kecantikan bahasa nan begitu apik, penulis sangat rapi serta halus menuturkan “percaturan” prototipe persinggungan pemikiran tasawuf masa lampau. Salah seorang yang sedikit itu adalah Abdul Kadir Riyadi. Cara menuturkan nalar sejarah pergulatan epistemologi tasawuf dalam bukunya “Arkeologi Tasawuf” telah menyedot banyak perhatian dan ketenangan yang menyeret pada senarai perdebatan jejak pemikiran tasawuf dari al-Muhasibi hingga tasawuf Nusantara. Abdul Kadir membuka tirai pemikiran tasawuf yang terus berkesinambungan dari zaman ke zaman. Tepat sekali jika dalam buku ini dibahasakan dengan miniatur “museum” yang menampilkan beragam metodologi tentang tasawuf.

Bukti keberhasilan buku ini menurut Ebrahim Moosa tidak lain adalah bisa mensimplifikasi peta pemikran dalam dunia tasawuf yang tidak pernah mati, penulis membahasakannya dengan the living tradition, sebuah knowledge yang terus mengalami dinamisasi beriringan dengan gerak laju di tengah alotnya kehidupan masyarakat.  Di sini, pembaca akan diajak berselancar dari wacana ke wacana lain dengan berbagai tokoh dalam satu bungkus diskursus pemikiran tasawuf.

Jika selama ini tidak jarang orang beranggapan tasawuf sebagai perangkat kasar yang sarat dengan peraktek-peraktek ubudiyah semacam tarekat, dalam buku ini alumnus al-Azhar berargumentasi, bahwa tasawuf sebagai bentuk arkeologi pengetahuan, lebih tepatnya sistem pengetahuan yang utuh, terukur, dan paradigmatik; sekumpulan gagasan dan wacana dengan cara mengikat ide ide yang ada untuk membentuk satu epistemologi yang utuh, persisnya adalah tawaran tentang cara bagaimana tasawuf seharusnya digali dan dikembangkan (hlm., 14 ).

Tasawuf ;
Melacak Dialektika Peta “Perlawanan” Epistemologi
Sejarah baru mulai mencatatat lahirnya benih peradaban dunia yang berbasis pada ilmu pengetahuan tapat di masa Khalifah Abbasiyah, ketika sang khalifah menjadikan sentralisasi keilmuan sebagai mega-proyek pembangunan terbesar masa itu, perlahan gelagat ilmu tasawuf mulai mekar dan terdengar lewat tangan Hasan al-Basri (w. 728), walaupun gejolak itu tidak senyaring ilmu fiqh dan kalam.

Pada saat itu fiqih mendominasi keilmuan yang lain, sering menang dalam pertarungan melawan filsafat dan kalam, karena fiqih memiliki kualitas taring dan dimensi rasionalisasi  yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat, disini pula letak persenggolan dengan ilmu tasawuf yang kerap berani membentur dinding syariah yang bersifat formalitas. Sentralisasi fiqih sebagai jangkar pengetahuan pelan tapi pasti bisa digulirkan. Peta pertarungan dan perselisihan epistemologi terus melibatkan ilmu tasawuf yang diwakili oleh Abu Abdullah al-Harits al-Muhasibi (w. 857), dan ilmu fiqh yang diwakili oleh Ahmad b. Hanbal (w. 853) wacana perseteruan keduanya tidak berhenti hingga saat ini.

Pada akhirnya tasawuf mengejawantah seperti gugusan dialogis pemikiran paradigmatik yang  selalu bertabrakan dengan wacana fiqih dan kerap membentur koridor rasionalitas akal manusia. Sebabnya, tasawuf disoroti sebagai corong bid’ah oleh para pakar fiqih, hingga al-Ghazali mampu mengajak kesadaran pembaca tentang posisi Ahmad b. Hambal yang telah melabelkan stigma sesat kepada al-Muhasibi secara gegabah. Walau pembelaan al-Ghazali membuahkan bantahan keras dari Ibn Taimiyah sampai menyeret dua tokoh berkaleber ini pada panggung perseteruan babak baru yang sulit dilupakan oleh generasinya.

Kontroversi pergumulan dunia tasawuf dari masa ke masa menjadi spektrum dinamisasi yang sangat masif dikaji oleh beberapa tokoh, tidak salah jika al-Ghazali dikatakan berhasil membawa langkah raksasa perkembangan tasawuf pada puncak kejayaan yang ilmunya menelorkan berbagai orang hebat seperti Muhyiddin Ibn Arabi (w. 1240), Abdul Qadir al-Jilani (w. 1166), Umar al-Suhrawardi  (w. 1234), dan Hasan al-Syadzili (w. 1262).   

Limat ratus tahun berlalu lewat tangan Hamzah Fansuri (w. 1636) setelah tokoh kontroversial seperti Ibn Arabi, Sadruddin al-Qunawi, Abdul Karim al-Jili, pendapat lemah juga mengatakan Fansuri berhasil memboyong pemikiran Imam al-Ghazali, yang mayoritas diakui sebagai tokoh tasawuf golongan Sunni, Nusantara sudah kenyang mengenal corak berbagai pemikiran tasawuf, yang nyaris mengundang kemelut berdebatan panjang tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi, antara Fansuri dengan Nuruddin al-Raniri (w. 1658). Salah satu tokoh yang paling getol melakukan “perlawanan” epistemologi terhadap Fansuri juga Muhammad Fadh Allah al-Burhanpuri (w. 1620), merekalah yang kelak menjadi motor dengan cara memanfaatkan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) dalam proses pembakaran kitab-kitab Fansuri karena dianggab sesat, bahkan para pengikutnya tidak disisakan; diusir, dihukum mati dengan sangat kejam (hlm., 362).

Dalam buku ini, Abdul Kadir sebagai doktor filsafat dan tasawuf  di University of Cape Town, Afrika Selatan, dengan canggih memaparkan persoalan dialogis perdebatan tasawuf secara umum khususnya yang terjadi di Nusantara, menurut penulis secara keseluruhan perdebatan alot (hanya) mungkin sebatas pada tatanan metodologi berfikir bukan pada tatanan subtansi atau isi. Jadi delik permasalahan yang ditampilkan dalam buku ini selalu pada dua tokoh yang kerap berseberangan.

Secara keseluruhan buku ini menutup dengan gagasan besar seorang tokoh tradisional di Nusantara, yang menggemari pemikiran Ibn Arabi, tidak lain namanya adalah Muhammad Nawawi al-Jawi, yang dikenal sebagai guru dua oraganisasi terbesar di Nusantara, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Al-Jawi lebih moderat menyikapi persoalan perdebatan dalam tasawuf hingga ia dikenal sebagai tokoh yang bisa merangkum keduanya, antara tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaqi.[]

0 Response to "Perseteruan Dialogis Pemikiran Tasawuf"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel