Perseteruan Dialogis Pemikiran Tasawuf
Thursday, January 25, 2018
Add Comment
Judul Buku: Arkeologi
Tasawuf
Penulis: Abdul Kadir
Riyadi
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Cetakan I, Juli 2016
Jumlah Halaman: 403
Halaman
ISBN: 978-979-433-96-0-2
Peresensi:
Jamalul Muttaqin*
Tidak banyak
penulis buku tasawuf yang bisa memantik para pembacanya tergirang dengan
kecantikan bahasa nan begitu apik, penulis sangat rapi serta halus menuturkan “percaturan”
prototipe persinggungan pemikiran tasawuf masa lampau. Salah seorang yang
sedikit itu adalah Abdul Kadir Riyadi. Cara menuturkan nalar sejarah pergulatan
epistemologi tasawuf dalam bukunya “Arkeologi Tasawuf” telah menyedot banyak perhatian
dan ketenangan yang menyeret pada senarai perdebatan jejak pemikiran tasawuf
dari al-Muhasibi hingga tasawuf Nusantara. Abdul Kadir membuka tirai pemikiran
tasawuf yang terus berkesinambungan dari zaman ke zaman. Tepat sekali jika
dalam buku ini dibahasakan dengan miniatur “museum” yang menampilkan beragam
metodologi tentang tasawuf.
Bukti
keberhasilan buku ini menurut Ebrahim Moosa tidak lain adalah bisa
mensimplifikasi peta pemikran dalam dunia tasawuf yang tidak pernah mati,
penulis membahasakannya dengan the living tradition, sebuah knowledge
yang terus mengalami dinamisasi beriringan dengan gerak laju di tengah
alotnya kehidupan masyarakat. Di sini,
pembaca akan diajak berselancar dari wacana ke wacana lain dengan berbagai
tokoh dalam satu bungkus diskursus pemikiran tasawuf.
Jika selama ini
tidak jarang orang beranggapan tasawuf sebagai perangkat kasar yang sarat
dengan peraktek-peraktek ubudiyah semacam tarekat, dalam buku ini alumnus
al-Azhar berargumentasi, bahwa tasawuf sebagai bentuk arkeologi pengetahuan,
lebih tepatnya sistem pengetahuan yang utuh, terukur, dan paradigmatik;
sekumpulan gagasan dan wacana dengan cara mengikat ide ide yang ada untuk
membentuk satu epistemologi yang utuh, persisnya adalah tawaran tentang cara
bagaimana tasawuf seharusnya digali dan dikembangkan (hlm., 14 ).
Tasawuf ;
Melacak Dialektika
Peta “Perlawanan” Epistemologi
Sejarah baru
mulai mencatatat lahirnya benih peradaban dunia yang berbasis pada ilmu
pengetahuan tapat di masa Khalifah Abbasiyah, ketika sang khalifah menjadikan
sentralisasi keilmuan sebagai mega-proyek pembangunan terbesar masa itu,
perlahan gelagat ilmu tasawuf mulai mekar dan terdengar lewat tangan Hasan
al-Basri (w. 728), walaupun gejolak itu tidak senyaring ilmu fiqh dan kalam.
Pada saat itu
fiqih mendominasi keilmuan yang lain, sering menang dalam pertarungan melawan
filsafat dan kalam, karena fiqih memiliki kualitas taring dan dimensi
rasionalisasi yang dibutuhkan dalam
kehidupan masyarakat, disini pula letak persenggolan dengan ilmu tasawuf yang
kerap berani membentur dinding syariah yang bersifat formalitas. Sentralisasi
fiqih sebagai jangkar pengetahuan pelan tapi pasti bisa digulirkan. Peta pertarungan
dan perselisihan epistemologi terus melibatkan ilmu tasawuf yang diwakili oleh
Abu Abdullah al-Harits al-Muhasibi (w. 857), dan ilmu fiqh yang diwakili oleh
Ahmad b. Hanbal (w. 853) wacana perseteruan keduanya tidak berhenti hingga saat
ini.
Pada akhirnya
tasawuf mengejawantah seperti gugusan dialogis pemikiran paradigmatik yang selalu bertabrakan dengan wacana fiqih dan
kerap membentur koridor rasionalitas akal manusia. Sebabnya, tasawuf disoroti
sebagai corong bid’ah oleh para pakar fiqih, hingga al-Ghazali mampu mengajak
kesadaran pembaca tentang posisi Ahmad b. Hambal yang telah melabelkan stigma
sesat kepada al-Muhasibi secara gegabah. Walau pembelaan al-Ghazali membuahkan
bantahan keras dari Ibn Taimiyah sampai menyeret dua tokoh berkaleber ini pada
panggung perseteruan babak baru yang sulit dilupakan oleh generasinya.
Kontroversi pergumulan
dunia tasawuf dari masa ke masa menjadi spektrum dinamisasi yang sangat masif
dikaji oleh beberapa tokoh, tidak salah jika al-Ghazali dikatakan berhasil
membawa langkah raksasa perkembangan tasawuf pada puncak kejayaan yang ilmunya
menelorkan berbagai orang hebat seperti Muhyiddin Ibn Arabi (w. 1240), Abdul
Qadir al-Jilani (w. 1166), Umar al-Suhrawardi
(w. 1234), dan Hasan al-Syadzili (w. 1262).
Limat ratus
tahun berlalu lewat tangan Hamzah Fansuri (w. 1636) setelah tokoh kontroversial
seperti Ibn Arabi, Sadruddin al-Qunawi, Abdul Karim al-Jili, pendapat lemah
juga mengatakan Fansuri berhasil memboyong pemikiran Imam al-Ghazali, yang
mayoritas diakui sebagai tokoh tasawuf golongan Sunni, Nusantara sudah kenyang mengenal
corak berbagai pemikiran tasawuf, yang nyaris mengundang kemelut berdebatan panjang
tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi, antara Fansuri dengan Nuruddin al-Raniri
(w. 1658). Salah satu tokoh yang paling getol melakukan “perlawanan”
epistemologi terhadap Fansuri juga Muhammad Fadh Allah al-Burhanpuri (w. 1620),
merekalah yang kelak menjadi motor dengan cara memanfaatkan Sultan Iskandar
Tsani (1636-1641 M) dalam proses pembakaran kitab-kitab Fansuri karena dianggab
sesat, bahkan para pengikutnya tidak disisakan; diusir, dihukum mati dengan
sangat kejam (hlm., 362).
Dalam buku ini,
Abdul Kadir sebagai doktor filsafat dan tasawuf
di University of Cape Town, Afrika Selatan, dengan canggih memaparkan
persoalan dialogis perdebatan tasawuf secara umum khususnya yang terjadi di
Nusantara, menurut penulis secara keseluruhan perdebatan alot (hanya) mungkin
sebatas pada tatanan metodologi berfikir bukan pada tatanan subtansi atau isi. Jadi
delik permasalahan yang ditampilkan dalam buku ini selalu pada dua tokoh yang
kerap berseberangan.
Secara
keseluruhan buku ini menutup dengan gagasan besar seorang tokoh tradisional di
Nusantara, yang menggemari pemikiran Ibn Arabi, tidak lain namanya adalah
Muhammad Nawawi al-Jawi, yang dikenal sebagai guru dua oraganisasi terbesar di
Nusantara, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Al-Jawi lebih moderat
menyikapi persoalan perdebatan dalam tasawuf hingga ia dikenal sebagai tokoh
yang bisa merangkum keduanya, antara tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaqi.[]
0 Response to "Perseteruan Dialogis Pemikiran Tasawuf"
Post a Comment
Terimkasih...