-->

BERNOSTALGIA, BERCANDA RIA; “Perisai” Menoreh Rindu yang Tak Pernah Mati



Momen selama empat tahun, bukan waktu sia-sia; bukan waktu yang terbuang percuma. Ia barang berharga yang musti disimpan dengan rapi di buntalan hati masing-masing. Seiring  waktu yang berlalu kita rindu bernostalgia untuk sekadar mengingat apa yang disebut oleh pujangga William Shakespeare dengan “kenangan.” Tapi apalah arti kenangan jika tak dirindukan sama sekali, seperti tak ada jarak, bagi Tere Liye bukan terbilang kenangan jika sesuatu yang hendak kita lupakan masih dirindukan. Cerita yang seharusnya, dirindukan sekaligus dikenang agar tetap menjadi ada.   

Sudah fitrah dan menjadi hukum alam, ada sebuah awal dan sekaligus ada sebuah akhir, yang mana, ada sebuah pertemuan dan ada sebuah perpisahan. Sejak pertama kali kita bertemu dalam ruas kehidupan organisasi pergerakan mahasiswa di Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PK. PMII Guluk-guluk, pada tahun 2013., kita bertukar pikiran dan saling berjabat tangan, ada kehangatan tercipta di sana; timbul tenggelam, seakan lagu “Darah Juang” mendayu dan tergiang di telinga. Darah itu mengalirkan semangat yang tak pernah surut apalagi berhenti pada titik ruang dan waktu yang berbeda. Laksana sebuah ombak yang pasang surut; akan terus berdebur sepanjang masa, akan tetap menerjang batu karang, di manapun kita menginjakkan kaki di situlah kita menjungjung serta membangun harapan dan mimpi, berjuang yang bagi Bung Tomo merdeka atau mati. Itulah yang digambarkan seorang penyair Chairil Anwar, sekali berarti sudah itu mati.
Saat ini, tak terasa waktu yang sangat berarti dengan sebentar sudah kita lepaskan, dengan sebentar telah membuat “kenangan”entah suka entah duka. Dari Mapaba, PKD, hingga pada waktunya kita tumbuh menjadi orang dewasa yang paling dituakan dalam organisasi Komisariat PMII Guluk-guluk (baca: pengurus komisariat) selama satu tahun tampil sebagai orang tua, dan sok-sok mengurusi organisasi berlambang bintang sembilan itu.
Sebagai sahabat, kita berkumpul satu rumpun, kita berselimut kepercayaan dalam satu angkatan Pergerakan Aktivis Revolusioner (Perisai) yang, pada saat itu dipilihlah seorang ketua sahabat Misbahul Munir untuk seumur hidup, dan MiftahussururAji sebagai orang nomer satu di PK. PMII Guluk-guluk, sedang yang lain adalah membantu. Ya, membantu membesarkan, merawat, dan mendidik kader-kader di komisariat.
Setelah satu persatu dari kami menjauh—dalam artian berpisah—untuk melanjutkan perjuangan yang kami maksud “bukan akhir” dari segala apa yang didapat di komisariat Guluk-guluk selama empat tahun. Pada saat itu, kerinduan kembali berloncatan, kerinduan itu berupa bayang-bayang yang setiap saat menerbitkan satu dimensi yang sangat indah. Kami rindu berdiskusi bareng, ngopi bareng, makan bareng, dan sesekali berdebat soal romantisme ke filsafat, dari soal status facebook hingga soal berhubungan dengan masyarakat, dari politik kampus ke politik negara, dari pelbagai hal yang tak pernah kita lupakan begitu saja. Semua akan menerbitkan satu fragmen sejarah, setiap satu fragmen ada potongan-potongan kenangan yang menelusup di hati kami untuk saling tersenyum sendiri. 
Kini. Ketika semua tak ada di sisi kita. Baru apa yang dikatakan oleh Hegel dengan “dialektissangat terasa bertentangan dan melahirkan satu frasa “kehilangan” seorang sahabat yang sebenarnya. Namun, pada kubangan kekhawatiran itu, bukan berarti kehilangan seorang sahabat adalah bentuk kehilangan yang nyata, karena sahabat adalah seorang sahabat, begitu Derrida menyatukan satu frasa dalam keterkaitan meski ada keterputusan dalam ruang, jarak dan waktu yang berbeda. Pada intinya, tak ada ruang dialektis yang bagi Hegel dapat memunculkan satu dekonstruksi persahabat yang telah lama terajut menjadi perpisahan. Gampangnya, sahabat adalah sahabat tak ada mantan seorang sahabat (kecuali mantan pacar sahabat, wkwkwkwk).
  
Tapi bagi persahabatan, hantu yang paling ditakuti adalah sebuah egoisme, perasaan itu menuntut persahabatan kita untuk selalu mawas diri serta berpegangan teguh pada prinsip-prinsip idealisme yang perlu dibangun kembali. Sebagai mahasiswa aktivis PMII, punya cita-cita luhur membangun peradaban masyarakat lebih maju dan didaktis, punya visi-misi yang terstruktur sesuai nilai-nilai dasar pergerakan, dan sesuai dengan Ahlu al-sunnah Wa al-Jama’ah. Tentu, kami sangat paham bagaimana membangun dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar dalam organisasi yang dibentuk oleh Mahbub Djunaidi tempo hari, berpegang pada satu kemaslahatan ummat, adalah salah satu pilar sekaligus ijtihad dari seorang aktivis yang moderat ini.

Barangkali sangat tepat jika hari ini kita mesti memungut kembali janji persahabatan itu, untuk sekadar menjaga-jaga, atau untuk sekadar membuat kometmen; agar organisasi tidaklah tempat kencing atau berberak; merasa telah tuntas berproses selama empat tahun di organisasi tapi tak memikirkan dan melirik bagaimana nasib yang sesungguhnya organisasi kita yang telah pincang sebelah, kadang terjadi konflik di internal kepengurusan, kadang terjadi permusuhan antar kader-kader yang paling disayangi, kadang terjadi kemelut ideologi yang ingin coba-coba menguji kapasitas keilmuan kita, dan kadang lagi membawa masalah pribadi ke dalam organisasi. Sungguh organisasi bagaikan tempat sampah, yang memuat banyak kotoran dari egoisme pribadi.
Maka, janji persahabatan adalah janji bagaimana kita peduli pada hal-hal remeh seperti contoh tadi, dan tentu membuang rasa egoisme. Pasca pengurus komisariat tanggung jawab kita (mungkin) semakin besar, menjaga kometmen persahabatan dan bertarung idealisme dengan pelbagai komisariat lain di skop organisasi PMII yang lebih besar, sebut saja di cabang adalah tantangan terbesar bagi kita. Kini, kita sebentar lagi menjadi bagian dari pengurus PC. PMII Sumenep, sedang tak semua dari bagian kita adalah barisan dari pengurus di cabang. Ya, kita untuk apa membahas cabang, sedang rindu ini masih belum tuntas untuk disampaikan, semacam romantisme masa lalu yang tak lekang di kalbu, kadang sungkan untuk diingat-ingat, kadang manis untuk dicecap. Tapi, hari ini semua telah menjadi sekelebat senyum yang bisa ditatap di layar gadget sambil memperbaiki kondisi hati yang luka. Salam pergerakan!

Lubangsa, 12 November 2017 M.

0 Response to "BERNOSTALGIA, BERCANDA RIA; “Perisai” Menoreh Rindu yang Tak Pernah Mati"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel