BERNOSTALGIA, BERCANDA RIA; “Perisai” Menoreh Rindu yang Tak Pernah Mati
Thursday, January 25, 2018
Add Comment
Momen
selama empat tahun, bukan waktu sia-sia; bukan waktu yang terbuang percuma. Ia
barang
berharga yang musti
disimpan dengan
rapi di buntalan hati
masing-masing. Seiring waktu yang berlalu kita rindu bernostalgia
untuk sekadar mengingat apa yang disebut oleh pujangga William Shakespeare dengan
“kenangan.” Tapi apalah arti kenangan jika tak dirindukan sama sekali, seperti
tak ada jarak, bagi Tere Liye bukan terbilang kenangan jika sesuatu yang hendak
kita lupakan masih dirindukan. Cerita yang seharusnya, dirindukan sekaligus
dikenang agar tetap menjadi ada.
Sudah fitrah dan menjadi hukum alam, ada sebuah awal dan sekaligus ada sebuah akhir, yang mana, ada sebuah pertemuan dan ada sebuah perpisahan. Sejak pertama kali kita bertemu dalam ruas kehidupan organisasi pergerakan mahasiswa di Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PK. PMII Guluk-guluk, pada tahun 2013., kita bertukar pikiran dan saling berjabat tangan, ada kehangatan tercipta di sana; timbul tenggelam, seakan lagu “Darah Juang” mendayu dan tergiang di telinga. Darah itu mengalirkan semangat yang tak pernah surut apalagi berhenti pada titik ruang dan waktu yang berbeda. Laksana sebuah ombak yang pasang surut; akan terus berdebur sepanjang masa, akan tetap menerjang batu karang, di manapun kita menginjakkan kaki di situlah kita menjungjung serta membangun harapan dan mimpi, berjuang yang bagi Bung Tomo merdeka atau mati. Itulah yang digambarkan seorang penyair Chairil Anwar, sekali berarti sudah itu mati.
Saat ini, tak terasa waktu yang
sangat berarti dengan sebentar sudah kita lepaskan, dengan sebentar telah membuat
“kenangan”entah suka entah duka. Dari Mapaba, PKD, hingga pada waktunya kita tumbuh
menjadi orang dewasa yang paling dituakan dalam organisasi Komisariat PMII
Guluk-guluk (baca: pengurus komisariat) selama satu tahun tampil sebagai orang
tua, dan sok-sok mengurusi organisasi berlambang bintang sembilan itu.
Sebagai
sahabat, kita berkumpul satu rumpun, kita berselimut kepercayaan dalam satu angkatan
Pergerakan Aktivis Revolusioner (Perisai) yang, pada saat itu dipilihlah
seorang ketua sahabat Misbahul Munir untuk seumur hidup, dan MiftahussururAji sebagai
orang nomer satu di PK. PMII Guluk-guluk,
sedang yang lain adalah membantu. Ya, membantu membesarkan, merawat, dan
mendidik kader-kader di komisariat.
Setelah satu persatu dari kami
menjauh—dalam
artian
berpisah—untuk
melanjutkan
perjuangan yang kami maksud “bukan akhir” dari segala apa yang
didapat di komisariat
Guluk-guluk selama empat tahun. Pada saat itu, kerinduan kembali berloncatan,
kerinduan itu berupa bayang-bayang
yang setiap saat menerbitkan satu dimensi yang
sangat indah. Kami rindu berdiskusi bareng, ngopi bareng,
makan bareng, dan sesekali berdebat soal romantisme ke filsafat, dari soal
status facebook hingga soal berhubungan dengan masyarakat, dari politik kampus ke
politik negara, dari pelbagai hal yang tak pernah kita lupakan begitu saja. Semua
akan menerbitkan satu fragmen sejarah, setiap satu fragmen ada potongan-potongan
kenangan yang menelusup di hati kami untuk saling tersenyum sendiri.
Kini. Ketika semua tak ada di sisi kita. Baru apa yang
dikatakan oleh Hegel dengan “dialektis” sangat terasa bertentangan dan
melahirkan satu frasa “kehilangan”
seorang sahabat
yang sebenarnya.
Namun, pada kubangan
kekhawatiran itu, bukan berarti kehilangan seorang sahabat adalah bentuk
kehilangan yang nyata, karena sahabat adalah seorang sahabat, begitu Derrida
menyatukan satu frasa dalam keterkaitan meski ada keterputusan dalam ruang,
jarak dan waktu yang berbeda. Pada intinya, tak ada ruang dialektis yang bagi
Hegel dapat memunculkan satu dekonstruksi persahabat yang telah lama terajut
menjadi perpisahan. Gampangnya, sahabat adalah sahabat tak ada mantan seorang sahabat
(kecuali mantan pacar sahabat, wkwkwkwk).
Tapi
bagi persahabatan, hantu yang paling ditakuti adalah sebuah egoisme, perasaan
itu menuntut persahabatan kita untuk selalu mawas diri serta berpegangan teguh
pada prinsip-prinsip idealisme yang perlu dibangun kembali. Sebagai mahasiswa
aktivis PMII, punya cita-cita luhur membangun peradaban masyarakat lebih maju
dan didaktis, punya visi-misi yang terstruktur sesuai nilai-nilai dasar
pergerakan, dan sesuai dengan Ahlu al-sunnah Wa al-Jama’ah. Tentu, kami
sangat paham bagaimana membangun dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar dalam
organisasi yang dibentuk oleh Mahbub Djunaidi tempo hari, berpegang pada satu
kemaslahatan ummat, adalah salah satu pilar sekaligus ijtihad dari seorang
aktivis yang moderat ini.
Barangkali sangat tepat jika hari ini kita mesti memungut kembali janji persahabatan itu, untuk sekadar menjaga-jaga, atau untuk sekadar membuat kometmen; agar organisasi tidaklah tempat kencing atau berberak; merasa telah tuntas berproses selama empat tahun di organisasi tapi tak memikirkan dan melirik bagaimana nasib yang sesungguhnya organisasi kita yang telah pincang sebelah, kadang terjadi konflik di internal kepengurusan, kadang terjadi permusuhan antar kader-kader yang paling disayangi, kadang terjadi kemelut ideologi yang ingin coba-coba menguji kapasitas keilmuan kita, dan kadang lagi membawa masalah pribadi ke dalam organisasi. Sungguh organisasi bagaikan tempat sampah, yang memuat banyak kotoran dari egoisme pribadi.
Maka,
janji persahabatan adalah janji bagaimana kita peduli pada hal-hal remeh
seperti contoh tadi, dan tentu membuang rasa egoisme. Pasca pengurus komisariat
tanggung jawab kita (mungkin) semakin besar, menjaga kometmen persahabatan dan
bertarung idealisme dengan pelbagai komisariat lain di skop organisasi PMII
yang lebih besar, sebut saja di cabang adalah tantangan terbesar bagi kita. Kini,
kita sebentar lagi menjadi bagian dari pengurus PC. PMII Sumenep, sedang tak
semua dari bagian kita adalah barisan dari pengurus di cabang. Ya, kita untuk
apa membahas cabang, sedang rindu ini masih belum tuntas untuk disampaikan,
semacam romantisme masa lalu yang tak lekang di kalbu, kadang sungkan untuk
diingat-ingat, kadang manis untuk dicecap. Tapi, hari ini semua telah menjadi
sekelebat senyum yang bisa ditatap di layar gadget sambil memperbaiki
kondisi hati yang luka. Salam pergerakan!
0 Response to "BERNOSTALGIA, BERCANDA RIA; “Perisai” Menoreh Rindu yang Tak Pernah Mati"
Post a Comment
Terimkasih...