Kebobrokan Moralitas dan Cerita “Kiamat” yang Sudah Dekat
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Gambar oleh: http://joyopait4.blogspot.co.id/ |
Mengajari
anak-anak yang masih selisih antara usia 7-10 tahun, atau anak yang masih duduk
di bangku MTs, atau kalau jenjang di Madrasah Diniyah disebut dengan jenjang Ula
(tingkatan pemula), kadang merasa sulit dan gampang, sulit karena ia masih suka
bermain, mudah karena ia tidak pernah berfikir yang macam-macam, seperti
kebanyakan media menyebutnya dengan berpikir liberalisme, radikalisme,
ekstremisme, skularisme, dan brutalisme-an sih.
Ceritanya, kemarin (13/08) saat saya mengajar materi
akhlaq di madrasah diniyah untuk tingkat Ula, kitab yang diajarkan Dzurusi
al-Yaumiyah fi Al-Akhlaq—yang diterjemahkan menjadi pelajaran sehari-hari
dalam akhlaq—kebetulan saya membaca tepat pada fasal tanda-tanda
kemunculan kiamat dan tanda-tanda yang menakutkan pada saat hari kiamat.
Sepintas,
apa hubungannya kiamat dengan akhlaq? Apalagi bicara akhlaq untuk ukuran anak
kecil, bagaimana mereka menangkap sebuah pesan tersirat dari cerita yang jauh melambung
dari tema-tema akhlaq. Sebelumnya, izinkan saya untuk tidak berbicara ngelantur
tentang kiamat dulu.
Baiklah,
pembaca yang budiman, sekarang kita harus mengenal apa itu ahklaq dalam konteks
cerita tadi...
Menurut
dan menurut Husein Attabrosi, dalam kitab al-Adzab Addiniyah, bagi
Husein bicara ahklaq bukan melulu sekadar bicara soal moralitas, atau bicara
tingkah laku, atau hanya soal tradisi dan kebiasaan yang berlaku di sebuah
masyarakat tertentu, seperti di Arab untuk orang Arab, di Jakarta untuk orang
Jakarta, atau di Madura untuk orang Madura, dan atau lebih khusus lagi di
Sumenep untuk orang Sumenep.
Akhlaq
itu sesuatu yang melampaui batas, berbicara sesuatu yang intrisik dalam diri
manusia, berupa kekuatan moralitas yang lebih dalam dan transendentalis; ia
sangat abstrak dan sulit untuk dijelaskan secara sisi logika dan bahasa. Masih
menurut Husein, term akhlaq adalah term lain yang hampir sama dengan akhlaq itu
tadi, yaitu: adab (berbeda dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
hanya memiliki satu arti). Bagi Husein, jika tubuh manusia dibedah; ia akan
menjadi dua dimensi yang berbeda sekaligus. Pertama, dimensi ruh atau nafs,
yang disebut dengan perangkat halus manusia (software), kedua, dimensi jism,
yang disebut dengan perangkat kasar manusia (hardware). Dua kata tersebut
memiliki maudu’ atau tema-tema yang berbeda, sedangkan sofware adalah
perangkat yang meliputi pembicaraan tentang akhlaq, sedangkan hardware adalah
perangkat yang meliputi pembicaraan tentang adab. Jadi, kesimpulannya, Husein
ingin membedakan antara akhlaq dan adab.
Beranjak
dari pembicaraan antara akhlaq dan adab, untuk ukuran siswa yang saya ajar di kelas,
tentu sangat melambung tinggi jika berbicara persoalan-persoalan akhlaq, karena
itu tadi, ya bicara perangkat manusia bagian dalam dan harus mengola
pengetahuan tentang seluk beluk perangkat terhalus manusia, seperti
tingkatan-tingkatan jiwa manusia, ruh manusia, di el el. Maka, saya
berkesimpulan bahwa untuk ukuran siswa saya yang masih petek-petek, lebih pas-nya
adalah tema adab—prilaku atau moralitas, mengajari mereka agar tidak biadab;
agar tidak su’ul adab, baik cara
berprilaku sopan kepada gurunya, atau berprilaku sopan kepada orang tuanya,
kepada yang lebih tua dan yang lebih muda, tentu selain berhubungan dengan
manusia juga membicarakan prilaku yang berhubungan dengan alam atau makhluk
yang lain, tentu dengan berbagai hal dan
pertimbangan yang bisa memancing mereka berhenti melakukan pekerjaan yang
menyimpang dari tema-tema adab (moralitas).
Nah, di sinilah, kitab yang dikarang
oleh Muhsin Amir bin Ilyas bin Syarqawi (sekarang masih hidup), sangat bervariasi
dalam penyampaian tentang masalah akhlaq/adab (untuk menyebut kata “akhlaq”
penulis sebut keduanya menjadi sama, akhlaq/adab). Kitab yang terdiri dari
empat puluh pasal, tidak jarang dalam contoh-contohnya kadang mengambil sesuatu
yang jauh dari kehidupan manusia sehari-hari meski pada intinya contoh yang
disuguhkan sangat dekat sekali dengan kita. Salah satunya yang tadi itu,
tentang cerita kiamat atau tentang tanda-tanda kiamat. Seolah olah masih jauh,
“kiamat sudah jauh,” yang diprediksikan akan jatuh pada tahun 2012 kemarin.
Bagi
saya, Kiai Muhsin adalah kiai yang paling tau persoalan moralitas dan politik, karena
pada tempat yang berbeda ia bisa menjadi seorang politisi dan di waktu yang
lain bisa menjadi seorang kiai. Kenapa politikus? Menyitir lagu Iwan Fals,
politikus tidak memiliki moral yang mencerminkan kedewasaan sosok politikus
tadi. Mujur, sekarang beliau sudah berpaling dari jalan politik yang katanya
penuh intrik. Kiai Muhsin sebenarnya adalah pengarang kitab, seorang akademisi,
yang menilai salah satu kebobrokan moralitas adalah bagian dari tanda-tanda akhir
masa dunia ini, yang merupakan kepanjangan tangan dari isarah-isarah hari
kiamat yang sebenarnya, salah satunya, sebut Muhsin dalam kitabnya, seperti
maraknya fitnah; semisal, golongan A menjatuhkan golongan B, dengan
fitnah-fitnah yang dibuat untuk menyakinkan orang lain demi kemenangan sesaat.
Mirisnya, pada saat itu, manusia akan menjumpai manusia yang hanya membanggakan
dirinya, ia congkak, ia sombong, seolah tak ada yang lebih besar dari dirinya,
sedang mereka terus berlomba-lomba untuk memperindah rumah-rumah, dengan
rumah-rumah yang bertingkat dan mewah. Maka benar, bahwa kelak kita akan
menemukan sebuah masa sedang manusia antar manusia sudah tak saling membutuhkan
karena mereka semua sama-sama kaya raya, kebutuhannya terpenuhi, mereka menjadi
bebal dan congkak.
Para
pembaca yang budiman..
Sembari
menghela nafas panjang, saya sedikit merasa kesulitan untuk menjelaskan secara
kontekstual agar bisa selaras dengan pengetahuan-pengetahuan siswa yang masih diusiah
dini. Setelah saya berlama-lama di kelas, siswa saya ternyata lebih suka
mendengar cerita-cerita tentang tanda-tanda kiamat itu tadi, mereka masih sangat
kurang ajar, dan tidak sopan kepada saya, mereka masih butuh dibina dengan
contoh akhlaq yang sebenarnya bukan lewat cerita-cerita itu tadi, itu sebabnya Tuhan
mengutus Nabi Muhammad dengan kata liutammima makarima al-akhlaq., bukan
dengan memberikan argumentasi-argumentasi yang menurut masyarakat konservatif “asasi-sasi, asasi-sasi”. Jadi lebih
banyak menjual air ‘liur’ dari pada memberi contoh yang konkrit.
0 Response to "Kebobrokan Moralitas dan Cerita “Kiamat” yang Sudah Dekat"
Post a Comment
Terimkasih...