Kemunafikan; Reinkarnasi Manusia yang Bertopeng
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Gambar oleh: http://blog-senirupa.tumblr.com |
Diceritakan dalam sebuah al-Qur’an, tentang
seseorang yang tidak bisa memfungsikan semua organ tubuhnya, telinganya tuli,
matanya buta, mulutnya bisu. Ia tidak bisa menangkap cahaya kebenaran, ia tidak
bisa mendengar sepatah katapun dari orang-orang di dekatnya, ia tidak bisa
berbicara kebenaran untuk orang-orang yang membutuhkannya, tak ada potensi
untuk bisa menerima keimanan walau hanya sececap. Saat ada gemuruh halilintar ia
menyumbat kuping-kupingnya dengan seluruh jari-jarinya, seakan-akan ia hampir
disambar dengan kilatan-likatan petir. Seorang tadi tidak lain adalah
orang-orang yang sangat berbahaya kepada siapa saja. Ia seorang yang bebal dan
sangat bodoh sekali (dalam surat al-Baqarah: 17-23).
Cerita tadi menjadi pengantar hangar
saat ajian tafsir al-Qur’an yang diampuh kiai Muhammad Shalahuddin, M. Hum,
berlangsung, sejenak penulis mulai merenung dan menggambarkan bagaimana miniatur
yang tepat untuk mereka. Ya, mereka adalah al-munafikun, golongan
orang-orang yang munafik, adalah golongan orang-orang yang sulit sekali ditebak
karena ia (baca: orang munafik) bermain di atas dunia hitam dan putih, sekali
ia bisa menjadi hitam (setan) sekali ia bisa menjadi putih (malaikat). “Mereka itu,
adalah orang yang bahkan tidak percaya terhadap dirinya sendiri, ia tidak
percaya terhadap apa yang diucapkan oleh dirinya,” kata Ra Mamak, sapaan calon
doktor muda di UGM itu.
Jika digambarkan, orang munafik itu ibarat
sebuah rumah yang tidak ada lampu penerangnya, sebab lampu penerang itu dicabut
oleh sang empunya rumah. Sang empu sadar bahwa lampu itu bukan rusak, memang
sengaja tak diberi lampu penerang, lampu adalah sebuah tamsil keimanan, sedang
rumah adalah sebuah wujud dari manusia itu sendiri. Sebab itu, bagi Ra Mamak
tak mungkin untuk dihidupkan atau disembuhkan akan keimanan itu kecuali atas
izin Allah. Sebab, hati mereka sudah dijangkit penyakit yang sedimikian parah.
Ma hua syifa’? Lalu, apa penangannanya perihal hati
yang sakit itu? Maka, lanjut Ra Mamak, tidak lain adalah dengan cara
mengembalikan keimanan, yaitu dengan keimanan yang sejati dan dengan
keimanan yang benar-benar tulus, al-iman
al-hakiki assodiq. Sebuah kegelapan rumah tadi, memang kerena ketiadaan
cahaya maka untuk menerangi sebuah rumah yang gelap gulita adalah dengan
menghidupkan kembali lampu yang telah mati. Sebab kegelapan itu pada
kenyataannya memang tidak ada, kegelapan adalah ketiadaan cahaya sebagaimana
Syuhrawardi mengatakan, bahwa semua
penciptaan di dunia adalah dengan cahaya-Nya. Pada kenyataannya kegelapan itu
tidak ada. Bagi orang menafik ketiadaan cahaya artinya ketiadaan iman, tak ada
ruang dalam hatinya untuk menerima secercah keimanan yang dimaksud dalam al-Qur’an tadi.
Di sinilah, penulis berfikir tentang
bagiamana orang-orang munafik tadi terjerumus dalam kubangan kegelapan, kendati
demikian, kadang kebenaran yang ia katakan akhirnya menjadi sebuah fragmen fiktif
atau kebohongan-kebohongan untuk menutupi dari kebohongan-kebohongan yang
mereka buat sendiri, “mereka berkata benar hanya untuk menutupi dari kebohongan
tadi,”. Maka, semakin ia berbohong semakin bertambah pula penyakitnya, sehingga
otomatis ia sangat lemah untuk menerima keimanan, sebab semakin bertumpuknya
kebohongan.
Cerita di atas tadi, berbeda dengan
kekufuran, orang yang kafir memang tidak percaya terhadap Allah, sedang orang
munafik tidak percaya kepada siapapun, bahkan kepada dirinya sendiri ia tidak
percaya apalagi kepada Allah. Entahlah, itu sangat mengerikan sekali, parahnya
kemunafikan bisa hinggap kepada siapa saja, karena sifatnya yang lunak dan
fleksibel, ia bisa hinggap kepada orang mukmin dan kepada orang kafir, ia bisa mengancam
kepada siapa saja, karena pada ruas-ruas tertentu “kemunafikan” bisa
mendatangkan kenikmatan dan sekaligus bisa mendatangkan penderitaan, pasalnya,
Allah menempatkan mereka di dasar neraka yang paling dalam (fi asfali
al-annar).
Logikanya: kemunafikan bisa menyergap
atau menyerang dengan wajah-wajah yang berbeda, penulis sering menjumpai
orang-orang yang demikian, bisa mereka berwajah sebagai seorang kekasih yang
pura-pura tulus mencintai; padahal sebatas harapan palsu penuh alibi, bisa ia
berupa seorang sahabat dan menjadi lawan karena persoalan politik dan beda
ideologi, bisa saja ia menjadi guru kita yang kadang-kadang ia ingin
mendapatkan kehormatan atas jasa dan dedikasi yang diberikan dengan rupiah dan
materi. Norak sekali. Maka berbanding terbalik dengan orang kafir yang
secara objektif mereka adalah orang-orang kesatria yang tidak menerima
keimanan, begitupun dengan orang mukmin yang pada hakikatnya mereka menerima
keimanan itu sendiri.
Dalam konteks yang lebih fokus lagi,
bicara soal orang munafik adalah bicara manusia yang bertopeng. Tak jarang
penulis terperangkap dengan kehidupan-kehidupan orang munafik tadi, paling
banter mereka mengobral janji yang pura-pura dipoles dengan ketulusan, memang sudah
tak kepalang saat terserang kasmaran, penulis sangat susah move one, misalnya:
“aku janji setia kepadamu, aku janji akan mendapingimu, aku janji akan menjaga
hubungan kita, aku janji-janji,” wkwk... Janji seorang kekasih bisa sepadan
dengan janji sorang politisi saat kampanye pemilihan, seakan nyata padahal
dusta, seakan cinta padahal murka.
Maka setidaknya, dimensi kemunafikan
itu dapat dirasakan dengan sikap yang ditunjukkan tadi. Kalau ia mau membuka
topengnya, kalau saja ia tidak mau sebaliknya ia sulit untuk ditebak, kesulitan
kesulitan itu dicecar oleh Rasulullah karena tiga tipologi sifat orang munafik.
Tipologi tersebut sangat membahayakan, pertama, ketika berbicara ia selalu
bohong, picik, dan berdusta. Kedua, jika melakukan perjanjian selalu
melanggar, selalu tak tepat waktu, selalu ada alasan untuk melanggar
perjanjian, taruhlah contoh di sini kasus Muawiyah dengan Ali bin Abi Thalib,
karena Muawiyah melanggar arbitrase perdamaian maka kalahlah Ali. Ketiga, jika
dipercaya ia khianat, ia tidak bisa diberi tanggung jawab, apalagi tanggung
jawab untuk memimpin sebuah negeri, bisa hancur negara ini.
0 Response to "Kemunafikan; Reinkarnasi Manusia yang Bertopeng"
Post a Comment
Terimkasih...