Sufi Perempuan: Membongkaryang Marginal
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Gambar oleh: http://3.bp.blogspot.com |
Bicara perempuan adalah bicara
sesuatu yang sangat subtil, rahasia, sensibilitas, dan tentu menarik hingga tak
pernah ada habis-habisnya. Di berbagai kajian tentang literatur tasawuf, baik
yang bersifat akademik maupun sekadar ceramah di masjid-masjid, kampus, dan
pengajian ramai dibicarakan. Berkait kelindan dengan tetekbengek kajian
“perempuan dan tasawuf” sepertinya bagai dua mata pisau yang sekaligus bisa
dikatakan tumpul dan kadang tajam. Tumpul karena perempuan kadang dianggap
lemah, dan tajam karena perempuan kadang dianggap urgen dan menantang.
Selama ini, perempuan tak ubahnya
benda arkeologi yang tersembunyi dengan rapi dan sebagian saja para ahli
arkeolog yang dapat membongkar serpihan-serpihan keindahan perempuan itu,
apalagi dalam kajian literatur tasawuf yang digemari dan diminati oleh para
ahli sufi sejak rentang waktu yang sangat panjang—kira-kira penulis terpelanting
tujuh abad yang silam—saat menjamurnya perhatian dari berbagai kalangan sufisme
terhadap perempuan masih mangkak.
Sayang sekali, di balik kebanggaan
para pemerhati dan kaum sufisme terhadap perempuan terbayar dengan kekecewaan
yang tak sepadan. Bagi mereka, keindahan perempuan adalah keindahan yang mudah
rapuh dan layu. Perempuan layu ketika diseret pada berbagai problematika dunia
yang begitu keras; ia lemah karena sifatnya yang lemah, ia lembut karena
diciptakan untuk menjadi pelengkap laki-laki, ia rapuh karena butuh
perlindungan, dan mungkin ia menarik untuk dilihat dalam dunia tasawuf yang
masih jarang kalangan pemerhati tasawuf menyentuh dengan kajian akademik atau
membicarakan marginalisasi perempuan secara komprehensif.
Berjejak dari fenomena kajian yang
masih perawan, tidak salah kiranya jika perempuan masih dianggap sebagai
sesuatu yang asing dalam dunia tasawuf.
Mungkin, fenomena ini tidak lepas dari wilayah bangunan konstruksi bias
gender yang kerap memposisikan seorang perempuan sebagai mahluk minoritas yang
lemah, mahluk yang dijajah, mahluk yang dihina, mahluk atribut yang butuh
perlindungan dari seorang laki-laki.
Dalam konstelasi sejarah tasawuf,
dari pertama kali tasawuf digenderangkan oleh tokoh sufi sekaliber Hasan
al-Basri (110 H), dengan ditandai lahirnya para tokoh sufi yang lain seperti
Hasyim al-Kufi (w. 150 H), Sufyan as-Sauri (161 H), dan Fudail bin Iyad, hingga
mencapai puncaknya di tangan al-Muhasibi (w. 243 H.), yaris dunia tasawuf tidak
bisa diwarnai dengan adanya seorang tokoh sufi perempuan yang namanya sekaliber
seperti mereka. Mungkin pada waktu itu dunia tasawuf hanya mengenal nama tokoh
sufi perempuan sebelumnya yang dikenal dan disegani dalam kurun waktu yang
sangat jauh merentang dengan loncatan yang tak tentu, ia tidak lain adalah
Rabi’ah al Adawiyah (w.185 H) yang selamanya melahirkan satu langkah raksasa
bangunan epestimologi tasawuf perempuan yang begitu menghentak dan mendebarkan
dunia sepanjang masa hingga tujuh abad sesudahnya.
Semua dapat dibuktikan secara
negasi-kultural, bahwa perempuan sampai detik ini belum mampu meramaikan cerita
besar dari kesejarahan tasawuf di bawa kibaran bendera seorang laki-laki. Tidak
banyak para peneliti dan pemerhati intelektual muslim menulis kiprah seorang
sufi perempuan, hanya ada sebagian kecil menyinggung beberapa tokoh perempuan yang,
anggap saja usang untuk dibicarakan sekarang, apalagi untuk dikatakan sebagai
sufi perempuan, sebut seperti pada masa Rasulullah Saw., termasuk pula
istri-istri Nabi yang diposisikan sebagai para sufi agung, yang menurut
Margaret Smith (1928), itu adalah bentuk dari nyanyian klasik yang tidak masyhur
dikenal sebagai seorang “sufi” meski pada kenyataannya adalah perempuan sufi.
Secara garis sosial, politik, dan
kultur, melejitnya perkembangan tasawuf sudah dimulai sejak Imam al-Hasan
al-Basri murid dari Hudzaifah al-Yamani yang sempat mendirikan pengajian
Tasawuf di Bashra, membangun epistemologi yang bernama “tasawuf”; hingga tiga
ratus tahun selanjutnya berkembang kelompok-kelompok tariqat salah satunya
Thariqat Qadiriyah (470 H.) menjadi bukti kesuburan tasawuf tersebut. Akan
tetapi, begitu disayangkan sejarah tidak pernah mencetak secara gemilang sepak
terjang seorang perempuan menjadi pemimpin dari salah satu thariqah pada waktu
itu.
Walasil, sejarah marginalisasi
selamanya mencederai seorang perempuan hatta menggelinding dalam dunia tasawuf.
Di tengah-tengah suasana domestikasi perempuan dan dominasi patriarki, kalangan
feminis semakin tidak memiliki ruang kerja untuk bergerak bebas dan membuktikan
kreatifitasnya, bahkan untuk sekedar bernafas sangat sesak. Begitu pula untuk
membuktikan kebebasan pribadinya sebagai seorang auliya’. Maka, salah satunya
yang diimpikan dari dunia tasawuf adalah kebebasan (hurriyah). Kebebasa
yang dimaksud sama seperti Mernissi, dengan mengimpikan kebalikan dari sistem
perbudakan. Tidak salah jika menilai tasawuf tidak membebaskan dan mengekang
seorang perempuan, karena faktanya perempuan memang tak pernah menanggalkan
warisan intelektual pada khazanah tasawuf.
Sebab itu, menurut Shimel sejarah
“marginalisasi” sufi perempuan tidak bisa lepas dari kontruksi bias gender
sebagaimana yang sudah disebutkan dimuka. Kita bisa mencontohkan sejarah
perkembangan perempuan pada masa kaum Jahiliah, pra-Islam datang, pada waktu
itu perempuan adalah instrumen pelampiasan nafsu seksual seorang laki-laki,
hatta ada yang mengubur anak perempuan secara hidup-hidup, karena perempuan
dianggab sumber penyebar fitnah yang menambah berbagai masalah dalam kehidupan
keluarga mereka. Problem ini diamini oleh Dr. Mufida, M.Ag. bahwa sejarah silam
sering menampilkan sisi gelap seorang perempuan di berbagai bentuk lini
kehidupan. Disitulah benih “marjinalisasi” atas elan vital perempuan dimulai.
Cerita ini disinyalir dalam al-Qur’an dengan mengutip kisah Hawa saat menggoda
Adam di surga, Hawa menandakan jika perempuan merupakan biang keladi
perpecahan, jelas dalam penafsiran ayat ini perempuan sangat dipojokkan hingga
dikatakan bahwa iblis tak dapat menggoda Adam secara langsung.
Maka, dari fenomena ini akan
memunculkan banyak diskursus mengenai sufi perempuan. Seakan sufi perempuan
hanya sebatas isapan jempol belaka, atau sebatas utopia yang menghilang
diingatan. Sebagaimana yang dipaparkan Dr. Kaukab Siddique, dalam bukunya Menggugat
Tuhan Yang Maskulin, di sana Kaukab menarik berbagai kesalahan bentuk
kemanusiaan yang dilakukan para mufassir tentang rentetan penafsiran ayat
al-Qur’an yang berkenaan dengan perempuan, menurutnya mereka hanya menggunakan
ayat al-Qur’an sebagai cambuk justifikasi atas memarjinalkan perempuan. Itulah salah satu faktor agama selain dari
persoalan politik dan kultur historis yang ada.
Akhirnya, kita bisa membuka ruang
penafsiran yang luas dari berbagai bibliografi dan historiografi yang
tersembunyi dari berbagai literatur yang ada, tak cukup di tasawuf, dan tak
cukup dalam kitab-kitab tafsif ataupun akhlaq, tapi juga filsafat dan sosial.
Mungkin sekarang penulis bisa berfikir bahwa beberapa tokoh sufi perempuan yang
mewarnai dunia tasawuf adalah titik kilas dari cahaya dimana kita ingin
mengatakan konsep feminisme baru telah terkuak secara lebar dalam kesejarahan
tasawuf. Sebagaimana Ibn Arabi memposisikan seorang perempuan tepat sebagai
bentuk manifestasi Tuhan yang paling sempurna di dalamnya.
Berangkat dari sikap skeptis penulis
tentang fenomenologi perempuan, mengundang pembaca untuk menelitinya lebih jauh
lagi dalam tulisan yang lebih panjang. Mengatakan perempuan sebagai makhluk
yang termaginarkan sepanjang sejarah tasawuf barangkali labih menantang dan
sangat fundamentalis, sedang untuk tidak mengatakan perempuan termarginalkan
juga sangat tidak tepat karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Maka
kesimpulannya, tergantung pembaca?
0 Response to "Sufi Perempuan: Membongkaryang Marginal"
Post a Comment
Terimkasih...