Mimpi Kaum Sarungan
Thursday, January 25, 2018
Add Comment
Sebagai
seorang santri, mewakili barisan kaum sarungan, ia memilih bagian yang terpisahkan
dari dan, yang tak dianggap dalam sejarah kemerkaan Indonesia, namun ia memilih
kemerdekaan Indonesia pada khakikatnya adalah kemerdekaan untuk rakyatnya bukan
untuk dirinya sendiri. Intinya, ia sadar bahwa berjuang untuk kemerdekaan
adalah suatu kewajiban mutlak dalam agama, meski kadang, untuk sekadar
merasakan manisnya kemerdekaan atas negara bekas kolonialisme Belanda, ia harus
menelan ludah dan menyaksikana impian Bapak Proklamator, Ir. Soekarno, belum
selesai dengan kata “merdeka” atau “hidup Indonesia!”. Apa artinya mengatakan
merdeka sedang intstrumen kemerdekaan tumbuh jadi benih-benih neokolonialisme yang
tampil lebih mencekam dan menakutkan. Ia berupa apa saja, dengan wujud yang
sulit dan subtil untuk ditebak. Entahlah, belum saatnya penulis mengatakan
neokolonialisme yang dimaksud itu.
Barangkali, saat bendera saka merah
putih berkibar, dan teks proklamasi dibacakan masyarakat merasa bahwa Indonesia
akan terbebas dari segala gempuran penjajah Belanda atau kekosongan kekuasaan
di tangan pemerintah Jepang, mereka pikir, kehidupan berikutnya menjadi lebih
menyenangkan, bisa hidup sejahterah, tentram, berkecukupan, ekonomi semakin
meningkat, pendidikan tak lagi termarginalkan, bebas berkeliaran, dan lapangan
kerja disediakan? Mungkin, semua menjadi mimpi indah bagi masyarakat Indonesia.
Ya, benar semua memang impian bukan sekadar bagian dari mimpi indah di siang
hari, baik dari kaum bangsawan, atau masyarakat kecil (ada masyarakat besar?)
sebut kaum buruh atau petani, pemuda pengangguran, dan kaum sarungan, tentu dari
beberapa kelompok tersebut memiliki intensi prespektif yang berbeda melihat wajah
baru kemerdekaan yang sudah berusia hampir satu abad ini.
Saat ini, penulis seakan merasakan
betapa mirisnya kaum sarungan jika mereka tidak bisa menikmati euforia kemerdekaan
yang dimaksud, padahal mereka adalah pejuang di garda terdepan—seorang
nasionalis yang menyelamatkan Negara Republik Indonesia (NKRI)—dari penjajahan
yang sesungguhnya. Maka penulis rasa, kaum sarungan adalah satu-satunya elemen dari
barisan masyarakat yang mempunyai semangat cinta tanah air (hubbul wathan
minal iman) itu sendiri, dan keinginan merdeka untuk menentukan nasibnya
sendiri. Meski dalam kurun sejarahnya, semenjak Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sampai saat ini, kaum sarungan tidak serak
dalam lembar-lembar sejarah kemerdekaan. Memang, mereka lebih bahagia memilih sebagai
pejuang Sabilillah yang memang benar-benar mewakili sebagai barisan
tentara Allah atau yang dikenal dengan Laskar Hizbullah. Boleh jadi, kenapa
kaum sarungan jarang (untuk tidak mengatakan musnah) ditampilkan dalam sejarah
kemerdekaan, mungkin seringkali kaum sarungan berselisih paham dengan
pemerintah Soekarno yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan
pasukan Sekutu dan Belanda yang memukul mundur negara pancasila itu.
Kendati demikian, kaum sarungan tetap
menjadi bagian dari kaum yang berani mati demi membela bangsa, lalu sejarah itu
dicatat sebagai bentuk pengusiran kaum sekutu yang bercokol di Surabaya dengan
ditandainya 10 November 1945., yang dikenal dengan “Resolusi Jihad.” Jangan
bayangkan bagaimanya para pasukan Hisbullah, Sabilillah, maupun laskar-laskar
lainnya bertempur melawan penjajah pada waktu itu, yang dapat penulis
banyangkan, sekaligus pikirkan; kemerdekaan Indonesia adalah sejarah berdarah,
sejarah perang dan sejarah perjuangan. Lantas, sekarang masyarakat Indonesia
mau ongkang-ongkang menikmati dengan bebas kemerdekaan yang direbut dengan
susah payah?
Tentu tidak. Di sini, kaum sarungan
memimpikan kamerdekaan yang dimaksud, setelah tujuh puluh dua tahun menghirup
kesegaran udara tanpa mendengar desing peluru dan meriam Belanda menggaung.
Merdeka bagi mereka adalah mimpi masa depan Indonesia yang digenggam oleh sang
pencetus “revolusi mental” tidak lain adalah Joko Widodo, yang dapat membawa
kemerdekaan Indonesia menuju puncak impian. Impian berupa keadilan,
kesejahteraan, kemakmuran, ketentraman, kerukunan antar agama, dan kebebasan
berkarya.
Pak Jokowi, tentu mengenal bahwa kaum
sarungan adalah masyarakat kecil yang dimaksud tadi, ia punya mimpi sekedarnya
saja, tidak melampau batas, tidak berlebihan, karena ia bukan politisi yang
arogan yang tidak mau hidup nyaman sendiri. Sekarang di bulan kemerdekaan
Indonesia, kaum sarungan ingin mengucapkan selamat dirgahayu yang ke-72 tahun,
semoga bapak presiden paham dengan apa memerdekakan masyarakat Indonesia khususnya
kaum sarungan yang termarginalkan.
0 Response to "Mimpi Kaum Sarungan"
Post a Comment
Terimkasih...