-->

Bias Mendidik Anak yang Baik

Gambar oleh: blogunik.com
Semasih kanak-kanak, kira-kira waktu saya menginjak kelas 1 MTs, ibu sering memarahi saya karena nakal. Tak jarang tiap hari kepala sekolah berang dengan prilaku-prilaku saya dan ulah teman-teman di kelas, mereka membuat gaduh dan memukul-mukul bangku saat jam masuk, bolos sekolah, berkelahi, dan mem-bully para ustadzah yang lagi ngajar, dan masih banyak lagi yang lainya. Akhirnya, ibu saya dipanggil menghadap kepala sekolah, barangkali dapat teguran dan perjanjian tertulis dari kepala sekolah, dan itu sangat sering.
Kejadian ini tidak dapat saya lupakan begitu saja, seakan kesalahan-kesalahan itu mencokol di kepala. Pada suatu ketika, saat ibu saya begitu saking marahnya, sempat saya tak diberi makan selama beberapa hari. Ketika membuka polok[1] di dalamnya terdapat tahi sapi yang dibungkus dengan daun jati. Tak ada nasi. Ibu marah sekali dan mengusir saya dari rumah, bahkan nyaris saya tak diakui sebagai anaknya. “Saya tak pernah punya anak sepertimu, pergi..!” Begitulah kata ibu.

Tanpa sadar, pipinya basah dengan air mata, ia menangis dan seketika bisa reda emosinya hanya dalam sekejap. Meski tak sempat memukul saya, ibu juga manusia yang memiliki hati nurani dan kasih sayang yang tak bisa ditukar dan tak bisa diukur secara rasionalitas akal manusia. Berbeda dengan ayah, ia akan memukul jika marah.   
“Kenapa nakal di sekolah?” tanya ibu. Saya diam saja, tak pernah menggubris pertanyaan-pertanyaan tersebut.

“Pingen terkenal? Pongah dengan kenakalan-kenakalannya?” Tanya ibu kembali. Saya tetap diam. Diam diam dan diam.
“Kalau mau terkanal pergi saja ke Makkah dan kencing ke air Zamzam, gak usah nakal di sekolah, tak ada gunanya,” begitu perintah ibu.
Otomatis saya masih belum memikirkan tentang perkataan ibu, yang terbesit sebatas kencing ke air yang sering dibawa oleh orang-orang yang datang dari tanah suci: ya air zamzam. Sebuah air untuk mensucikan Nabi Muhammad sebelum naik ke alam malakut yang kelak menerimah perintah shalat dari Allah Swt.

Sekarang, saya baru memikirkan kejadian tersebut. Kenapa ibu tak menyuruh meminum air zamzam malah merinta untuk mengencingi air zamzam? Gak usah stalking, ibu saya belum tentu tau akibat-akibatnya, atau malah sebaliknya; tau terhadap bahaya dan akibatnya. Untung, dalam sejarah masih tak pernah saya temukan orang yang berani mengencingi air zamzam.

Sekarang, ibu tak pernah mengingat kejadian pahit dan kenakalan-kenakalan saya dulu. Mungkin, ibu paham bahwa do’a dan perkataan seorang ibu sangat istijabah—dikabulkan—oleh Allah, dan kutukannya kata Bang Haji Roma Irama jadi kenyataan, buktinya legendaris Malin Kundang si anak durhaka yang dikutuk menjadi batu, adalah pelajaran implisit paling berharga dan sarat dengan nilai teologis yang bisa dipetik sebagai hikmah. Berpijak dari cerita di atas, Islam mengajarkan bagaimana akhlaq seorang anak terhadap ibunya.

Bersambung dengan cerita seorang ibu yang bijaksana, maka Siti Hajar adalah contohnya. Siti Hajar ibunda nabi Ismail bersabar menghadapi cobaan, saat ditinggal oleh Ibrahim di sebuah tempat yang tandus; tanah haram. Siti Hajar harus bertahan dengan persedian atau bekal yang minim. Setelah kehabisan bekal dan Ismail anaknya menjerit-jerit karena kehausan. Siti Hajar merintih bercampur bingung, ia pangling untuk mencari air setelah bolak-balik antara Bukit Safa dan Marwah, Siti Hajar tak kunjung menemukan air. Berkat kesabaran itulah, Allah kemudian menyembulkan sumber mata air dari kaki Ismail yang sampai hari ini perigi Nabi Ismail dikenal dengan air zamzam yang memiliki keutamaan dan bermacam manfaat.

Sebagai orang tua yang menanggung beban derita baik lahir dan batin Siti Hajar adalah tetap sebagai contohnya. Meski ia seorang hamba sahaya, ia adalah perempuan terhormat yang pada gilirannya melahirkan seorang anak yang bernama Ismail seorang utusan Allah. Dari nabi Ismail-lah air zamzam itu memancar menjadi oase bahkan menjadi penawar dari berbagai penyakit, sebagaimana Nabi Muhammad mengatakan “...maun zamzama lima syuriba lahu,” sebuah air suci yang tidak sebatas menghilangkan dahaga di tengah kehausan kaum jahiliah yang mencekam waktu itu. Akan tetapi menjadi sebuah perantara dibangunnya Makkah sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan yang dapat mencerahkan ummat, sebagai tempat suci atau tempat haram.

Andai. Ibu saya menyuruh untuk meminum air zamzam, laksana air itu dapat menyembuhkan penyakit, baik yang bersifat psikis atau psikologis. Dengan demikian kenakalan-kenakalan saya sampai hari ini dapat disembuhkan paling tidak dapat tersadarkan. Lalu, kenapa ibu memerintah untuk mengencingi? Sangat tidak logis, dan penuh dengan emosi pada waktu itu. Saya rasa ibu juga salah waktu itu. Mungkin alasan yang dapat ditolerir saat ini, karena saya dulu masih tidak bisa bernalar kritis, dan tentu tidak tau maknanya. Kelak, ketika saya dewasa akan menerima apa alasan ibu menyuruh mengencingi. Jawaban saya: agar ini tidak pernah terjadi terhadap sejarah hidup saya, agar saya bisa terkenal dengan cara-cara lain; agar saya bisa mengambil hikmah di balik air zamzam itu. Entah jawaban ibu yang sebenarnya.
 
Setelah saya pertimbangkan dengan nalar dan kemampuan berfikir. Lalu saya menilai bahwa ada alasan apolitis kenapa ibu menampar dengan sedemikian pernyataan-pernyataan yang cukup nyelekit dan mengancam. Saya coba untuk mengingatkan kembali bahwa ucapan orang tua benar-benar makbul dan istijabah, apapun bentuknya, siapapun orang tuanya, tak hanya berlaku kepada ibunda Malin Kundag begitupun kepada ibu saya, jika ini tidak diluruskan dengan meminta maaf atas semua kesalahan-kesalahan tentu bukan tidak mungkin itu terjadi. Dari sini, saya mengingatkan kepada siapapun untuk meminta maaf di bulan ini, tepatnya di bulan Idul Adha. Wallahua’lam...             


[1]Tempat nanak yang biasa digunakan di desa-desa, biasanya terbuat dari tanah lempung

0 Response to "Bias Mendidik Anak yang Baik "

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel