Bias Mendidik Anak yang Baik
Saturday, January 27, 2018
Add Comment
Gambar oleh: blogunik.com |
Semasih
kanak-kanak, kira-kira waktu saya menginjak kelas 1 MTs, ibu sering memarahi
saya karena nakal. Tak jarang tiap hari kepala sekolah berang dengan
prilaku-prilaku saya dan ulah teman-teman di kelas, mereka membuat gaduh dan
memukul-mukul bangku saat jam masuk, bolos sekolah, berkelahi, dan mem-bully
para ustadzah yang lagi ngajar, dan masih banyak lagi yang lainya. Akhirnya,
ibu saya dipanggil menghadap kepala sekolah, barangkali dapat teguran dan
perjanjian tertulis dari kepala sekolah, dan itu sangat sering.
Kejadian
ini tidak dapat saya lupakan begitu saja, seakan kesalahan-kesalahan itu
mencokol di kepala. Pada suatu ketika, saat ibu saya begitu saking marahnya,
sempat saya tak diberi makan selama beberapa hari. Ketika membuka polok[1]
di dalamnya terdapat tahi sapi yang dibungkus dengan daun jati. Tak
ada nasi. Ibu marah sekali dan mengusir saya dari rumah, bahkan nyaris saya tak
diakui sebagai anaknya. “Saya tak pernah punya anak sepertimu, pergi..!” Begitulah
kata ibu.
Tanpa
sadar, pipinya basah dengan air mata, ia menangis dan seketika bisa reda
emosinya hanya dalam sekejap. Meski tak sempat memukul saya, ibu juga manusia
yang memiliki hati nurani dan kasih sayang yang tak bisa ditukar dan tak bisa
diukur secara rasionalitas akal manusia. Berbeda dengan ayah, ia akan memukul
jika marah.
“Kenapa
nakal di sekolah?” tanya ibu. Saya diam saja, tak pernah menggubris
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Pingen
terkenal? Pongah dengan kenakalan-kenakalannya?” Tanya ibu kembali. Saya tetap
diam. Diam diam dan diam.
“Kalau
mau terkanal pergi saja ke Makkah dan kencing ke air Zamzam, gak usah nakal di
sekolah, tak ada gunanya,” begitu perintah ibu.
Otomatis
saya masih belum memikirkan tentang perkataan ibu, yang terbesit sebatas kencing
ke air yang sering dibawa oleh orang-orang yang datang dari tanah suci: ya air
zamzam. Sebuah air untuk mensucikan Nabi Muhammad sebelum naik ke alam malakut
yang kelak menerimah perintah shalat dari Allah Swt.
Sekarang,
saya baru memikirkan kejadian tersebut. Kenapa ibu tak menyuruh meminum air
zamzam malah merinta untuk mengencingi air zamzam? Gak usah stalking, ibu saya
belum tentu tau akibat-akibatnya, atau malah sebaliknya; tau terhadap bahaya
dan akibatnya. Untung, dalam sejarah masih tak pernah saya temukan orang yang
berani mengencingi air zamzam.
Sekarang,
ibu tak pernah mengingat kejadian pahit dan kenakalan-kenakalan saya dulu. Mungkin,
ibu paham bahwa do’a dan perkataan seorang ibu sangat istijabah—dikabulkan—oleh
Allah, dan kutukannya kata Bang Haji Roma Irama jadi kenyataan, buktinya
legendaris Malin Kundang si anak durhaka yang dikutuk menjadi batu, adalah
pelajaran implisit paling berharga dan sarat dengan nilai teologis yang bisa
dipetik sebagai hikmah. Berpijak dari cerita di atas, Islam mengajarkan bagaimana
akhlaq seorang anak terhadap ibunya.
Bersambung
dengan cerita seorang ibu yang bijaksana, maka Siti Hajar adalah contohnya. Siti
Hajar ibunda nabi Ismail bersabar menghadapi cobaan, saat ditinggal oleh
Ibrahim di sebuah tempat yang tandus; tanah haram. Siti Hajar harus bertahan
dengan persedian atau bekal yang minim. Setelah kehabisan bekal dan Ismail
anaknya menjerit-jerit karena kehausan. Siti Hajar merintih bercampur bingung,
ia pangling untuk mencari air setelah bolak-balik antara Bukit Safa dan Marwah,
Siti Hajar tak kunjung menemukan air. Berkat kesabaran itulah, Allah kemudian
menyembulkan sumber mata air dari kaki Ismail yang sampai hari ini perigi Nabi
Ismail dikenal dengan air zamzam yang memiliki keutamaan dan bermacam manfaat.
Sebagai
orang tua yang menanggung beban derita baik lahir dan batin Siti Hajar adalah tetap
sebagai contohnya. Meski ia seorang hamba sahaya, ia adalah perempuan terhormat
yang pada gilirannya melahirkan seorang anak yang bernama Ismail seorang utusan
Allah. Dari nabi Ismail-lah air zamzam itu memancar menjadi oase bahkan menjadi
penawar dari berbagai penyakit, sebagaimana Nabi Muhammad mengatakan “...maun
zamzama lima syuriba lahu,” sebuah air suci yang tidak sebatas
menghilangkan dahaga di tengah kehausan kaum jahiliah yang mencekam waktu itu. Akan
tetapi menjadi sebuah perantara dibangunnya Makkah sebagai pusat peradaban ilmu
pengetahuan yang dapat mencerahkan ummat, sebagai tempat suci atau tempat haram.
Andai.
Ibu saya menyuruh untuk meminum air zamzam, laksana air itu dapat menyembuhkan
penyakit, baik yang bersifat psikis atau psikologis. Dengan demikian
kenakalan-kenakalan saya sampai hari ini dapat disembuhkan paling tidak dapat
tersadarkan. Lalu, kenapa ibu memerintah untuk mengencingi? Sangat tidak logis,
dan penuh dengan emosi pada waktu itu. Saya rasa ibu juga salah waktu itu. Mungkin
alasan yang dapat ditolerir saat ini, karena saya dulu masih tidak bisa
bernalar kritis, dan tentu tidak tau maknanya. Kelak, ketika saya dewasa akan
menerima apa alasan ibu menyuruh mengencingi. Jawaban saya: agar ini tidak
pernah terjadi terhadap sejarah hidup saya, agar saya bisa terkenal dengan cara-cara
lain; agar saya bisa mengambil hikmah di balik air zamzam itu. Entah jawaban
ibu yang sebenarnya.
Setelah saya pertimbangkan dengan nalar dan
kemampuan berfikir. Lalu saya menilai bahwa ada alasan apolitis kenapa ibu menampar
dengan sedemikian pernyataan-pernyataan yang cukup nyelekit dan mengancam. Saya
coba untuk mengingatkan kembali bahwa ucapan orang tua benar-benar makbul dan
istijabah, apapun bentuknya, siapapun orang tuanya, tak hanya berlaku kepada ibunda
Malin Kundag begitupun kepada ibu saya, jika ini tidak diluruskan dengan
meminta maaf atas semua kesalahan-kesalahan tentu bukan tidak mungkin itu
terjadi. Dari sini, saya mengingatkan kepada siapapun untuk meminta maaf di
bulan ini, tepatnya di bulan Idul Adha. Wallahua’lam...
0 Response to "Bias Mendidik Anak yang Baik "
Post a Comment
Terimkasih...