Memungut “Ikhlas” yang Tak Terbatas
Sunday, January 28, 2018
Add Comment
Gambar oleh: www.hmetro.com |
“Jika manusia meninggalkan perbuatan
karena takut dipuji orang, itu sama artinya dengan riya’, dan berbuat karena
ingin dipuji orang itu adalah syirik, sedang ikhlas adalah ketika Tuhan
menyembuhkan dari dua penyakit tersebut,” demikian al-Fudhail menggambarkan
tentang ikhlas yang subtil untuk dilukiskan dalam bentuk proposisi apalagi
untuk didefinisikan secara komprehensif (jami’).
Dalam setiap konteks perbuatan
manusia (dalam hal apapun) acuan utamanya; prinsip dasarnya; aturan hukumnya; sandaran
atau ruh dari segala perbuatan manusia adalah ikhlas—ketulusan hati—yang didasari
pada pernyataan atau niat, bisa disebut komitmen. Seperti Imam Nawawi (631 H),
misalnya dalam kitab Riyadus Shalihin mengumpulkan berbagai Hadits shahih
yang membicarakan dimensi ikhlas dan niat pada bab pertama guna memperoleh
keikhlasan-keikhlasan yang murni atau tulus, ia menaruh berbagai Hadits yang
mengistimewakan niat (pernyataan ikhlas) sebagai sari dari semua perbuatan
manusia.
Sebagai seorang cendikiawan Hadits, tentu
Imam Nawawi tak mempersoalkan secara filosofis tentang batasan (arti) dari term
ikhlas tersebut. Namun, coraknya Imam Nawawi seperti kebanyakan para ulama,
mendefinisikan ikhlas seperti sebuah arketipe-arketipe yang sesuai dengan teks
dan konteks; mencari akar kata dalam rimba literatur dan menimbang dengan dinamika
kehidupan manusia yang lebih konkrit, lebih dirasakan langsung oleh mata.
Ujung-ujungnya, ingin menyadarkan bahwa ikhlas tak dapat didefinisikan, ikhlas
tak terbatas, dan tak dapat diketahui melalui termometer logika manusia, dalam
hal ini ia berbanding lurus dengan Imam al-Qusyairi (376 H) pengarang kitab
babon tasawuf Risalah al-Qusyairiyah. Pada pembahasan ikhlas, Imam
al-Qusyairiyah menyitir salah satu Hadits riwayat Hudzaifah tentang
perkataan Tuhan bahwa ikhlas adalah sirrun min sirri: rahasia dari
rahasia-Ku.
Alasan “rahasia” melahirkan kerangka
berfikir yang dikotomis antara “ada” atau “tiada” (being or no-thing). Kalimat
ikhlas bisa menjadi ada ketika manusia berbuat yang, saya rasa, ketika
mengatasnamakan keikhlasan di atas dasar alasan-alasan yang lebih rendah secara
kualitas dari pada perbuatannya (amalu al-nas), contoh ia berkutat pada
urusan ikhlas antara manusia dengan manusia, antara makhluk dengan makhluk,
seperti pernyataan; “aku mencintaimu karena kamu cantik,” “aku berbaik hati
karena kau pernah berbuat baik kepadaku,” atau yang lebih agak tulus (sepertinya);
“aku mencintaimu tanpa alasan,” dsb. Semua yang dicontohkan tadi menggambarkan
perbuatan (al-amal) yang diberikan alasan untuk menghadirkan
dimensi “keikhlasan” dalam keberada-annya yang sangat rendah (negatif), ia
menjadi tiada atau nihil dengan sendirinya.
Pada atmosfer keikhlasan yang
pertama, saya baca, semua seolah dipikirkan atau semua seolah dibentuk melalui
cara mengandai-andai untuk melahirkan proses perwujudan “ikhlas” yang sejati,
yang kelak imajinasi ini ditentang oleh Junayd dan Dzun Nuun al-Mishry, dalam
kitab Risalah al-Qusyairiyah: “al-Ikhlas la yatimmu illa bissidqi fihi, wassabru
alaihi, wassidqu la yatimmu illa bil ikhlas fihi wa al-madzumatu alaiha,”
demikian Dzun Nuun al-Mishry menyandingkan proses keikhlasan dengan cara-cara riyadah
atau usaha dengan cara-cara kejujuran. Dan sebaliknya, kejujuran tak dapat
diperolah dengan cara-cara yang culas atau bohong, kejujuran hanya dapat
diperoleh dengan cara ikhlas yang tak terbatas yang sirrun atau rahasia.
Sedangkan dalam konteks yang lebih
halus, ikhlas menjadi kata “tiada” ketika term ikhlas masuk dalam rahasia Tuhan
yang tak dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri, ia berupa angin yang mendesir
lalu menelusup ke sela-sela pori kulit menghadirkan ketenangan, ia berada pada
taraf kualitas perbuatan yang lebih tinggi (positif), dan terbatas pada orang
yang ikhlas (mukhlash). Disinilah Qusyairiyah lewat petkataan Sahl
menjawab teka-teki orang ikhlas itu; “la ya’rifu al-riya’ illa mukhlisun,”
menurut Sahl orang yang merasakan ikhlas adalah orang yang berada dalam waktu
yang sama merasakan terpaan keikhlasan dan riya’. Artinya, orang tersebut dapat
membedakan antara keduanya. Sedang orang lain hanya dapat menjangkau pada from
ikhlas yang pertama, pada bentuk yang sangat negatif.
Dua polarisasi ikhlas di atas, ada
berbagai sketsa yang dapat memudahkan manusia untuk memfikirkan ikhlas dengan
sendirinya, itu membuat al-Junayd mampu mensterilkan gambaran ikhlas dengan
sesuatu yang sangat rahasia antara Tuhan dengan hamba-Nya. Bahkan Junayd
mengatakan malaikat pencatat amal (Rakib dan Atit) tidak mengetahui sedikitpun
tentang perbuatan apa yang ingin ditulisnya, hingga setan tak dapat merusaknya,
bahkan nafsu pun tak menyadarinya untuk mempengaruhi apa yang manusia perbuat. Sungguh
pemahaman ikhlas yang mendebarkan sekaligus menghentak. Pemahaman Junayd tak
sampai mengubah arah perbuatan manusia pada bentuk ikhlas yang tak terbatas,
mungkin karena sangat sulit dicerna dan dipahami secara aktualisasi yang
konkrit. Akan tetapi Junayd telah mampu melukiskan keikhlasan dengan
simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan.
***
Sampai di sini, masih banyak orang yang
menyatakan dirinya sebagai yang paling ikhlas, sebagai yang paling mampu
melakukan keikhlasan dengan ukuran yang dipaksakan, yang lantas keikhlasan tersebut
mereinkarnasi bagai fatamorgana; merusak segala kualitas amal sampai
menggugurkan “keikhlasan” yang dimaksud.
Jangan gampang percaya kepada orang
yang mengatakan ikhlas berbuat karena Tuhan. Fenomena ini banyak dijumpai di
berbagai dinamika kehidupan manusia yang terbelenggu pada niat ikhlas untuk
berbuat semata karena Tuhan. Baik itu dalam soal politik, percintaan,
masyarakat, atau bahkan dalam urusan agama sekalipun. Ia lebih bangga berbuat
ikhlas diketahui oleh manusia daripada Tuhan, padahal ikhlas karena Tuhan
adalah tujuan awal yang dicari setiap manusia.
Ikhlas persoalan Tuhan. Sedang
manusia hanya dapat menciptakan perbuatan menjadi murni; terbebas dari campur
tangan manusia, dan terberbas dari “karena-karena” manusia, atau yang
sejenisnya. Ia bukan barang yang dapat dipromosikan lewat aforisme-aforisme di
depan khalayak umum, ia bukan barang antik yang dapat dijual apalagi dipoles bagai
mesin doktrinasi yang dijejalkan kepada orang lain untuk mengakui akan
perbuatan secara mutlak. Namun, ikhlas bagi Dzun Nuun al-Mishry dapat
dijelaskan melalui gelagat atau melalui tanda-tanda. Dari sinilah Dzun Nuun
al-Mishry membuat metodologi kerangka untuk menggapai keikhlasan:
Pertama, manakala orang yang bersangkutan
memandang pujian dan celaan manusia sama saja. Manusia menjadi tuli dan buta,
ia sebatas mendengar dan melihat dengan suara hatinya. Tak jarang penulis
menemukan beberapa ulama yang mendapat kecaman kafir sedang di waktu yang lain
menuai pujian, taruhlah di sini al-Hallaj, Ibn Arabi, Abu Yazid, dan para
ulama-ulama yang arifin dan khuwasul khawas.
Kedua, manakala manusia melupakan amal
ketika beramal. Bagi Rasullah ia adalah orang-orang yang ketika memberi dengan
tangan kanan sedang tangan kiri tak mengetahuinya. Sungguh, perbuatan mulia ini
berbanding terbalik dengan orang-orang yang narsis beramal baik; pamer urusan
ibadah kepada Allah; dan bangga pada dirinya seolah dijamin masuk surga.
Ketiga, manakala manusia lupa akan haknya
untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya. Tingkatan yang ketiga
ini mengingatkan saya kepada Rabiah al-Adawiyah saat berjalan menenteng satu
ember air dan membawa satu sulu yang menyala, Rabiah ditanya, ia akan
memadamkan api neraka dan membakar surga agar manusia tak lagi menyembah Allah
karena alasan-alasan tersebut. Sungguh al-Adawiyah adalah representasi manusia
yang melupakan semua balasan terhadap perbuatan baiknya selama di dunia.
Memang, sejauh perkembangan atmosfer ilmu pengetahuan, sampai detik ini belum ada pembahasan runcing yang, merancang apalagi memberikan konsep utuh mengenai ikhlas, apalagi jalan pintas untuk menempuh keikhlasan yang tak terbatas oleh definisi-definisi; bahasa dan istilah. Akan tetapi 16 abad yang lalu al-Qusyairi telah meruntuhkan ikhlas itu dengan pernyataan yang tak dapat didebatkan lagi: tasfiyatu al-fi’li min mulahati al-makhlukina (Al-Qusyairi, dalam Risalah al-Qusyairiyah). Artinya, ketika ikhlas itu terbebas dari segala bentuk campur tangan manusia. Dan ketika itu juga manusia akan sampai pada kekuatan ikhlas yang tak terbatas pada kondisi ikhlas yang “positif” bukan pada kerangka epistemologi atau teoritik. Wallahu’alam.
0 Response to "Memungut “Ikhlas” yang Tak Terbatas"
Post a Comment
Terimkasih...