-->

Memungut “Ikhlas” yang Tak Terbatas


Gambar oleh: www.hmetro.com


“Jika manusia meninggalkan perbuatan karena takut dipuji orang, itu sama artinya dengan riya’, dan berbuat karena ingin dipuji orang itu adalah syirik, sedang ikhlas adalah ketika Tuhan menyembuhkan dari dua penyakit tersebut,” demikian al-Fudhail menggambarkan tentang ikhlas yang subtil untuk dilukiskan dalam bentuk proposisi apalagi untuk didefinisikan secara komprehensif (jami’).   
Dalam setiap konteks perbuatan manusia (dalam hal apapun) acuan utamanya; prinsip dasarnya; aturan hukumnya; sandaran atau ruh dari segala perbuatan manusia adalah ikhlas—ketulusan hati—yang didasari pada pernyataan atau niat, bisa disebut komitmen. Seperti Imam Nawawi (631 H), misalnya dalam kitab Riyadus Shalihin mengumpulkan berbagai Hadits shahih yang membicarakan dimensi ikhlas dan niat pada bab pertama guna memperoleh keikhlasan-keikhlasan yang murni atau tulus, ia menaruh berbagai Hadits yang mengistimewakan niat (pernyataan ikhlas) sebagai sari dari semua perbuatan manusia.

Sebagai seorang cendikiawan Hadits, tentu Imam Nawawi tak mempersoalkan secara  filosofis tentang batasan (arti) dari term ikhlas tersebut. Namun, coraknya Imam Nawawi seperti kebanyakan para ulama, mendefinisikan ikhlas seperti sebuah arketipe-arketipe yang sesuai dengan teks dan konteks; mencari akar kata dalam rimba literatur dan menimbang dengan dinamika kehidupan manusia yang lebih konkrit, lebih dirasakan langsung oleh mata. Ujung-ujungnya, ingin menyadarkan bahwa ikhlas tak dapat didefinisikan, ikhlas tak terbatas, dan tak dapat diketahui melalui termometer logika manusia, dalam hal ini ia berbanding lurus dengan Imam al-Qusyairi (376 H) pengarang kitab babon tasawuf Risalah al-Qusyairiyah. Pada pembahasan ikhlas, Imam al-Qusyairiyah menyitir salah satu Hadits riwayat Hudzaifah tentang perkataan Tuhan bahwa ikhlas adalah sirrun min sirri: rahasia dari rahasia-Ku.

Alasan “rahasia” melahirkan kerangka berfikir yang dikotomis antara “ada” atau “tiada” (being or no-thing). Kalimat ikhlas bisa menjadi ada ketika manusia berbuat yang, saya rasa, ketika mengatasnamakan keikhlasan di atas dasar alasan-alasan yang lebih rendah secara kualitas dari pada perbuatannya (amalu al-nas), contoh ia berkutat pada urusan ikhlas antara manusia dengan manusia, antara makhluk dengan makhluk, seperti pernyataan; “aku mencintaimu karena kamu cantik,” “aku berbaik hati karena kau pernah berbuat baik kepadaku,” atau yang lebih agak tulus (sepertinya); “aku mencintaimu tanpa alasan,” dsb. Semua yang dicontohkan tadi menggambarkan perbuatan (al-amal) yang diberikan alasan untuk menghadirkan dimensi “keikhlasan” dalam keberada-annya yang sangat rendah (negatif), ia menjadi tiada atau nihil dengan sendirinya.  

Pada atmosfer keikhlasan yang pertama, saya baca, semua seolah dipikirkan atau semua seolah dibentuk melalui cara mengandai-andai untuk melahirkan proses perwujudan “ikhlas” yang sejati, yang kelak imajinasi ini ditentang oleh Junayd dan Dzun Nuun al-Mishry, dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah: “al-Ikhlas la yatimmu illa bissidqi fihi, wassabru alaihi, wassidqu la yatimmu illa bil ikhlas fihi wa al-madzumatu alaiha,” demikian Dzun Nuun al-Mishry menyandingkan proses keikhlasan dengan cara-cara riyadah atau usaha dengan cara-cara kejujuran. Dan sebaliknya, kejujuran tak dapat diperolah dengan cara-cara yang culas atau bohong, kejujuran hanya dapat diperoleh dengan cara ikhlas yang tak terbatas yang sirrun atau rahasia.   

Sedangkan dalam konteks yang lebih halus, ikhlas menjadi kata “tiada” ketika term ikhlas masuk dalam rahasia Tuhan yang tak dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri, ia berupa angin yang mendesir lalu menelusup ke sela-sela pori kulit menghadirkan ketenangan, ia berada pada taraf kualitas perbuatan yang lebih tinggi (positif), dan terbatas pada orang yang ikhlas (mukhlash). Disinilah Qusyairiyah lewat petkataan Sahl menjawab teka-teki orang ikhlas itu; “la ya’rifu al-riya’ illa mukhlisun,” menurut Sahl orang yang merasakan ikhlas adalah orang yang berada dalam waktu yang sama merasakan terpaan keikhlasan dan riya’. Artinya, orang tersebut dapat membedakan antara keduanya. Sedang orang lain hanya dapat menjangkau pada from ikhlas yang pertama, pada bentuk yang sangat negatif.
Dua polarisasi ikhlas di atas, ada berbagai sketsa yang dapat memudahkan manusia untuk memfikirkan ikhlas dengan sendirinya, itu membuat al-Junayd mampu mensterilkan gambaran ikhlas dengan sesuatu yang sangat rahasia antara Tuhan dengan hamba-Nya. Bahkan Junayd mengatakan malaikat pencatat amal (Rakib dan Atit) tidak mengetahui sedikitpun tentang perbuatan apa yang ingin ditulisnya, hingga setan tak dapat merusaknya, bahkan nafsu pun tak menyadarinya untuk mempengaruhi apa yang manusia perbuat. Sungguh pemahaman ikhlas yang mendebarkan sekaligus menghentak. Pemahaman Junayd tak sampai mengubah arah perbuatan manusia pada bentuk ikhlas yang tak terbatas, mungkin karena sangat sulit dicerna dan dipahami secara aktualisasi yang konkrit. Akan tetapi Junayd telah mampu melukiskan keikhlasan dengan simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan.
***
Sampai di sini, masih banyak orang yang menyatakan dirinya sebagai yang paling ikhlas, sebagai yang paling mampu melakukan keikhlasan dengan ukuran yang dipaksakan, yang lantas keikhlasan tersebut mereinkarnasi bagai fatamorgana; merusak segala kualitas amal sampai menggugurkan “keikhlasan” yang dimaksud.

Jangan gampang percaya kepada orang yang mengatakan ikhlas berbuat karena Tuhan. Fenomena ini banyak dijumpai di berbagai dinamika kehidupan manusia yang terbelenggu pada niat ikhlas untuk berbuat semata karena Tuhan. Baik itu dalam soal politik, percintaan, masyarakat, atau bahkan dalam urusan agama sekalipun. Ia lebih bangga berbuat ikhlas diketahui oleh manusia daripada Tuhan, padahal ikhlas karena Tuhan adalah tujuan awal yang dicari setiap manusia.

Ikhlas persoalan Tuhan. Sedang manusia hanya dapat menciptakan perbuatan menjadi murni; terbebas dari campur tangan manusia, dan terberbas dari “karena-karena” manusia, atau yang sejenisnya. Ia bukan barang yang dapat dipromosikan lewat aforisme-aforisme di depan khalayak umum, ia bukan barang antik yang dapat dijual apalagi dipoles bagai mesin doktrinasi yang dijejalkan kepada orang lain untuk mengakui akan perbuatan secara mutlak. Namun, ikhlas bagi Dzun Nuun al-Mishry dapat dijelaskan melalui gelagat atau melalui tanda-tanda. Dari sinilah Dzun Nuun al-Mishry membuat metodologi kerangka untuk menggapai keikhlasan:

Pertama, manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja. Manusia menjadi tuli dan buta, ia sebatas mendengar dan melihat dengan suara hatinya. Tak jarang penulis menemukan beberapa ulama yang mendapat kecaman kafir sedang di waktu yang lain menuai pujian, taruhlah di sini al-Hallaj, Ibn Arabi, Abu Yazid, dan para ulama-ulama yang arifin dan khuwasul khawas.
Kedua, manakala manusia melupakan amal ketika beramal. Bagi Rasullah ia adalah orang-orang yang ketika memberi dengan tangan kanan sedang tangan kiri tak mengetahuinya. Sungguh, perbuatan mulia ini berbanding terbalik dengan orang-orang yang narsis beramal baik; pamer urusan ibadah kepada Allah; dan bangga pada dirinya seolah dijamin masuk surga.  

Ketiga, manakala manusia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya. Tingkatan yang ketiga ini mengingatkan saya kepada Rabiah al-Adawiyah saat berjalan menenteng satu ember air dan membawa satu sulu yang menyala, Rabiah ditanya, ia akan memadamkan api neraka dan membakar surga agar manusia tak lagi menyembah Allah karena alasan-alasan tersebut. Sungguh al-Adawiyah adalah representasi manusia yang melupakan semua balasan terhadap perbuatan baiknya selama di dunia.
 
Memang, sejauh perkembangan atmosfer ilmu pengetahuan, sampai detik ini belum ada pembahasan runcing yang, merancang apalagi memberikan konsep utuh mengenai ikhlas, apalagi jalan pintas untuk menempuh keikhlasan yang tak terbatas oleh definisi-definisi; bahasa dan istilah. Akan tetapi 16 abad yang lalu al-Qusyairi telah meruntuhkan ikhlas itu dengan pernyataan yang tak dapat didebatkan lagi: tasfiyatu al-fi’li min mulahati al-makhlukina (Al-Qusyairi, dalam Risalah al-Qusyairiyah). Artinya, ketika ikhlas itu terbebas dari segala bentuk campur tangan manusia. Dan ketika itu juga manusia akan sampai pada kekuatan ikhlas yang tak terbatas pada kondisi ikhlas yang “positif” bukan pada kerangka epistemologi atau teoritik. Wallahu’alam.

0 Response to "Memungut “Ikhlas” yang Tak Terbatas"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel