-->

Fenomena Ustadz Abdul Somad yang Tak Pernah Ditakuti Orang Desa



Fenomena ustadz Abdus Somad atau UAS (yang sering ke-PD-an karena namanya disebut dalam al-Qur’an surat Al-Ikhlas) membuat siapapun fudul dengan mata terbelalak, beliau seperti lahir membawa petromak di tengah kegaduhan semrawutnya negeri ini; di tengah masyarakat yang gandrung mencemooh para ulama’ dan kiai. Ustadz yang satu ini tentu harus menelan air liur atas derita dari berbagai kecaman yang bombastis.  
Namun, apalah arti hinaan itu bagi wali Allah? Justru dalam dunia tasawuf tingkat kewalian itu, ada yang mencoba mengukur dari tingkat orang yang mengkafirkan. Jadi, belum sempurnah jika tak ada yang mengkafirkan. Semakin banyak yang mengkafirkan semakin diakuilah dia sebagai seorang wali.

Sialnya, ketenaran ustadz Abdus Somad (UAS) tak luput dari terpaan problem di atas, mulai cemoohan, cercaan, dan bullying yang terus berdatangan dari netizen menghujani ustadz paling ucul itu. Bahkan beberapa kali mendapat penolakan dari masyarakat karena dianggap anti NKRI plus Pancasila, beliau dikit-dikit dicurigai sebagai antek-antek HTI (kalau dipikir-pikir sih benar). Lihat saja kejadian di Bali pada tanggal 08 Desember 2017, bahkan tak tanggung-taggung juga terjadi penolakan di Hong Kong pada tanggal, 24 Desember 2017 M.

Sudahlah, lupakan masalah itu, saya akan ungkap sisi berbeda tentang sosok ustadz Somad mongku (menurut) orang Sumenep, yang berada di pulau Madura nan di plosok desa. Kecakapan masyarakat pedesaan tentu masih primitif alias budeg, ibarat seorang anak sekolahan, ya barangkali masih TK (Taman Kakek-Kakek).    

Namun sayangnya, ustadz alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, yang satu ini, ceramah-ceramahnya tak ditakuti di desa, malah bagai dangdut yang bergoyang; antusias dan panas. Bahkan, juga digemari karena kecakapannya dalam memaparkan dalil-dalil agama secara blak-blakan (tapi ngak ugal-ugalan) dan super humoris (pasalnya banyak saingan yang rempong). Makanye, saya pikir, UAS adalah sosok ustadz yang dicetak untuk seluruh lapisan horizon masyarakat hingga ke akar rumput sekalian; dari nenek-nenek dan kakek-kakek sampai pada embok-embok pada kepo dengerin ceramah ustadz somad. Ya, terutama (saya selaku orang desa) sudah kejangkit virus Somad yang menggiurkan (virus merah jambu no-PHP).

Biasanya, sehabis shalat jama’ah maghrib saya nyalanan nootbok dan diputarkan ceramah ustad Somat berkisar 60 menit sesuai dengan ukuran yang biasa. Sedang jamaah yang lain, terutama ebok, nenek, dan tante-tante pada dengerin di belakang saya, dan minta disimpulkan jadi kayak moderator di seminar-seminar gitulah.

Nah, kerjaan orang desa kok gitu ya? Tentu kalian sudah stalking bingits kan. Yah, selaku ore`ng dhisa kolot (orang desa katrok: Red) mereka kan nggak ada kerjaan sehabis shalat maghrib dan Isya’, paling-paling makan, habis itu guling-guling tidur. Sedang pengetahuan mereka kan limitet, kagak kritis dan cas-cis-cus kayak mahasiswa. Persoalan kritis, yang notabene masyarakat pedesaan paling cemungudh kepada ustadz wahabi yang ngelarang ziarah kubur dan tahlilal, karena rata-rata orang desa “agama-nya” NU. Jadi, siap-siap dibilang kampret kalau ada ustadz ngelarang ziarah kubur dan tahlilan.

Ada beberapa kategori menurut masyarakat desa tentang sosok ustadz yang so sweet. Pertama, penceramah itu bisa menguasai kondisi sosial masyarakat—terutama untuk masyarakat awam yang kerap berkelindan dengan hukum fiqih antara haram dan halal—sebagai satu landasan menjalankan syariat agama, menurut masyarakat cukup belajar kitab Safinatu al-Najah dan Sullam al-Taufiq. UAS tidak terlalu ekstrim dalam membahas persoalan furu’iyah. Wajar, karena UAS sering mendudukkan dirinya sebagai ustadz super Es-Krim.

Kedua, kerap melahirkan pendangan-pandangan yang bertentangan (resistance  ide) dengan kebanyakan ulama-ulama lain di tanah air. Contoh model ulama nyeleneh yang tersebar di negara koplak ini sebenarnya sangat banyak, bahkan menjamur, mentradisi, dan yang terpenting harus diakui sebagai satu khazanah warisan para ulama terdahulu. Di nusantara bisa dicatut salah satunya; Syekh Siti Jenar atau Raden Abdul Jalil, Lembah Abang (w. 1404), dan KH. Abdurrahman Wahid, Rembang (w. 2009), yang cetar membahana dengan sebutan Gus Dur. Dua ulama ini bagian besar yang mewakili kegilaan ulama yang nyeleneh, sedang sanat keulamaannya tak bisa diragukan lagi. Nah, sekarang banyak ulama yang sok nyeleneh dengan sekedip mata viral di YouTube, pantesan UAS sering berdakwah untuk beli paket 4 GB.

Ketiga, ustadz yang bisa melucu. Biasanya jika ada kegiatan keagamaan (khusus masyarakat desa lho ya), seperti Maulid Nabi, Irsa’ Mi’raj, Nurulul al-Qur’an, dll., panitia mencari-cari informasi penceramah yang bisa me-lucu, semacam KH. Malik Sanusi-lah penceramah dari Bondowoso. Habis pegajian masyarakat pulang yang diceritakan apanya cobak? Bukan isinya, tapi “kiainya lucu nggak?” Ya, habis kalau tak lucu, tamatlah riwayat sang penceramah tadi. Nggak bakalan ada yang ngundang lagi. Apes kan. UAS memiliki tiga kriteria tadi, itu sebab tak pernah ceramahnya didemo (wong nonton di YouTube).

Karena genesari sudah berubah, zaman sudah bergeser, lambat laun masyarakat semakin terkecoh antara membedakan ulama mana Kurama (monster berekor), mana tuntunan mana tontonan. Banyak ulama yang punya model retorika apik sudah dianggap alim padahal maling yang suka motong-motong hadist dan al-Qur’an dengan serampangan. Model surban panjang sudah blagu sok-sok mengharamkan ini-itu yang bertentangan dengan pikirannya sendiri, padahal ada kepentingan. Walah, memang jaman edan. 

 
   

0 Response to "Fenomena Ustadz Abdul Somad yang Tak Pernah Ditakuti Orang Desa"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel