Ibadah Haji Bukan Simbol Tapi Pengorbanan
Monday, January 29, 2018
Add Comment
Berita
kematian warga yang dikeroyok massa di desa Taman Sare, Dungkek Sumenep,
membuat setiap orang yang menyaksikan merinding bulu kuduknya, ngeri sekaligus
histeris. Kejadiannya sangat tragis sekali, warga tersebut diikat di bawah
pohon dengan tubuh telanjang, dan kepalanya dilempar dengan batu bertubi-tubi,
darah berkucuran di sekujur tubuhnya, kemudian dibakar ramai-ramai, tak ada
polisi yang berani mencegah massa karena takut dikeroyok pula. Parahnya, sebagian
masyarakat bersuka cita, sedang sebagian kecil berduka cita. Tidak lama
kemudian, berita kematian warga yang dikeroyok massa itu, menyebar di media
sosial (medsod). Setelah ditelusuri, ternyata warga tersebut adalah salah satu kepala
suku komplotan pencuri yang paling mbeling. Anehnya, ia baru selesai menunaikan
ibadah haji, menurut selentingan masyarakat, uang yang disetorkan adalah hasil
mencuri. Naudzubillah min dzalik. Tak usah menyebutkan nama.
Di
masyarakat pedesaan, terutama di pelosok desa yang paling endeso sekali, ibadah
haji merupakan impian bahkan kebanggaan. Ada sebagian masyarakat beranggapan
bahwa kekayaan diukur dengan seberapa banyak ia berangkat haji ke baitullah.
Meski ibadah ini bukan menjadi sebuah kewajiban bagi yang tidak mampu, tapi
menjadi sebuah titik keharusan bagi masyarakat dengan cara apapun, agar dikata
dirinya sudah kaya, agar dikata dirinya sudah lengkap imannya, bahkan parahnya
di bebera desa yang saya huni, masyarakat lebih hormat kepada Pak Haji dari
pada ke kiai yang tak haji. Akhirnya, banyak kiai yang belum haji pakek peci
putih biar bergengsi.
Jadi,
itulah alasannya membeberkan kejadian pencuri di atas, sebagai pelajaran sekaligus
hikmah bagi masyarakat yang belum mampu melaksanakan ibadah haji, terutama bagi
masyarakat yang nyolnyolan pingen haji, mereka pikir segampang dalam film “Tukang
Bubur Naik Haji”, kemudian mereka dengan bringasatan cepat-cepat kelar naik
haji dalam kondisi tidak cukup syarat.
Mumpung
bulan ini moment haji, memasuki bulan Dzulhijjah menjadi sangat autentik jika
terlebih dahulu masyarakat mau mengaji arti di balik ibadah haji yang
sesungguhnya. Sebenarnya, dalam bulan Dzulhijjah ini, ada sepuluh keutamaan
amalan ibadah yang utama untuk dikerjakan oleh orang muslim. Meski itu membuat
masyarakat fakir miskin gigit jari karena tidak mampu menunaikan kewajiban
berhaji. Toh, pada kenyataanya mereka bukan mencari pahala sebagaimana yang
Allah janjinkan, diriwayatkan dalam hadits HR. Bukhari: 1683, Muslim: 1349, “.....dan
haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga”.
Tentu
kalimat “mabrur” bagi orang-orang yang benar-benar tersbebas dari dosa, ada
sterilisasi keikhlasan dengan bentuk pengabdian kepada Allah Swt. Sebab itu,
perihal kejadian di muka menjadi contoh paling penting, bahwa harta yang
digunakan berhaji menurut Nabi Muhammad harus terbebas dari sesuatu yang haram,
“Innallah Thayyibun, la yakbalu illah thayyiban,” yang menunjukkan bahwa
Allah baik (mulia) dan tidak menerima kecuali dari yang baik. Alangkah baiknya,
perkataan Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya al-Tamhid, menurutnya haji mabrur,
yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari
harta yang halal. Jika dengan muluk-muluk masyarakat bersikeras tetap ingin
menunaikan ibadah haji dengan harta yang haram, itu sama halnya, dengan membersihkan
najis dengan air kencing, bukan menghilangkan najis malah sebaliknya menambah
najis berlipat-lipat, cerita ini membuat saya teringat dengan kisah Sunan Kali
Jaga yang sering membegal harta para birokrat yang kaya raya, dan
mensadaqahkanya kepada orang faqir miskin, akan tetapi dikemudian hari Sunan
Kali Jaga ditegur oleh gurunya hingga akhirnya bertaubat. Konklusinya, tak ada
sesuatu yang kotor dapat mensucikan yang kotor, maka yang kotor hanya akan
menambah kotoran, hanya sesuatu yang suci yang dapat menghapus kotoran yang
melekat di tubuh manusia, ia berupa kebaikan-kebaikan dari amal ibadah yang
diterima oleh Allah Swt.
Bagi
yang tidak memiliki harta, Allah Swt masih menjanjikan pahala dengan kognisi amalan-amalan
yang lain di bulan Dzulhijjah, barangkali di sinilah, kadang saya berfikir
bahwa Allah Swt tidak pernah membeda-bedakan satu amalan dengan amalan yang
lain selagi dikerjakan dengan penuh keikhlasan, tak ada yang paling
diistimewakan. Allah Swt., hanya mengistimewakan moment dan waktu
pelaksanaannya. Salah satunya, amalan lain di bulan Dzulhijjah adalah berkurban,
karena nabi pernah mengatakan bahwa bulan Dzulhijjah adalah bulan kurban untuk
menghormati kisah pengorbanan nabi Ibrahim dan Ismail sewaktu menguji imannya
dengan perintah yang sangat memberatkan sekali—menyembeli putranya Ismail.
Maka, dalam Islam dikenal dengan Idul Adha atau hari raya kurban, tepat pada
tanggal 10 Dzulhijjah.
Sebab
itu, semua ibadah tidak lain memiliki maksud dan tujuan sebagai bentuk pengorbanan,
begitulah Nabi Ibrahim berkorban demi Allah Swt. Begitupun ibadah haji, tidak
lain mensucikan diri dengan melaksanakan ibadah haji adalah bentuk pengorbanan
dengan meteri atau dengan harta, ia memiliki subtansi yang sama dengan ibadah
kurban, yaitu menyerahkan harta kita kepada Sang Pemiliknya. Sebagaimana Allah
Swt., berfirman dalam QS. Al-Kautsar: 2, “maka dirikanlah shalat karena Rabbmu;
dan berkorbanlah.”
Secara implisit, berkorban adalah bersyukur kepada Allah atas
nikmat-nikmat-Nya, dengan mengalirkan darah hewan qurban termasuk pula
mengalirkan rasa bersyukur dan ketaatan dengan satu bentuk taqarrub yang
khusus. Benar memang jika manusia mengaku cinta kepada Allah Swt., di situlah
ada pengorbanan, cinta adalah berkorban untuk kekasihnya.
Akan
tetapi, bagi manusia yang tidak memiliki harta, hidup sebatang kara, kadang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sangat sulit, tidak usahlah
bersedih. Ya, bersedih karena kemiskinan yang menjerat bukan orang mukmin
namanya, karena orang mukmin akan lebih memilih hidup dengan keadaan serba
kekurangan. Maka, manusia yang tidak memiliki harta, Allah Swt menjanjikan
pahala dengan mengerjakan amalan-amalan yang lain di bulan Dzulhijjah, berupa
puasa, tahlil, takbir, tahmid, dan yang lainnya. Maka pada bulan itu, sesuai
dengan Hadist Nabi Muhammad Saw., menjanjikan, barang siapa yang berpuasa di
hari Arafah, melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.
Sekali lagi saya tegaskan, bahwa di balik ibadah haji ada nilai subtansi
berupa pengorbanan, di balik pengorbanan ada upaya transformasi untuk
mensucikan diri yang berupa amalan-amalan sesuai dengan tingkat kemampuan
manusia untuk menggapainya. Ibadah haji bukan simbol melainkan pengorbanan dan
ketaatan
0 Response to "Ibadah Haji Bukan Simbol Tapi Pengorbanan"
Post a Comment
Terimkasih...