-->

Di Balik Kesunyian Imam Nawawi, Motivasi Buat Penulis


Gambar oleh: www.ilmusunnah.com

Ketika saya membaca biografi seorang ulama yang memilih untuk menghabiskan masa-masa usianya mencari ilmu dan mengajar, saya jadi teringat dengan seorang wanita shalehah seperti Rabiah al-Adiwiyah yang menghabiskan usianya untuk beribadah kepada Allah. Andai saja Rabiah ada di zaman melineal ini, tentu sulit menerapkan hidup zuhud agar tak terdeteksi jaringan internet. Ya, tentu Rabiah akan banyak terlunta-lunta dikuntit oleh awak media.

Tapi, terlepas dari itu, semua manusia punya pilihan hidup; entah untuk tidak berkeluarga, entah ingin berkeluarga tanpa punya bekal ilmu, entah ingin jadi penulis, entah ingin jadi politisi, ataupun ingin jadi kiai. Semua kan tergantung pilihan, yang terpenting kan ngak jutek dengan sederet prestasi melangit.
Pembaca yang budiman, mari kita kembali ke laptop. Tentu penasaran siapa ulama yang saya maksud tadi?

Namanya adalah Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawy si pemilik kun-ya Imam Nawawi. Seorang ulama arifin sekaligus alim dalam bidang hadits ini lahir tujuh abad yang lalu, tepatnya di pusat kota Golan, Nawa, Damaskus (sekarang ibu kota Suriah). Kira-kira ia hidup pada masa Umayyah.  

Jika seorang santri yang mengaku Ahlussunna wa al-Jama’ah (Aswaja), tentu peres jika tak mengenal Imam Nawawi, bagaimana tidak? Sedang tiap pesantren khusunya di Jawa dan Madura tak jarang mengaji kitab Riyadhush Shalihin dan al-Araba’in An-Nawawiyah, sebagai salah satu kitab babon dalam merujuk berbagai hadits yang shahih. Konon, nyaris kehidupan Imam Nawawi hanya diperuntukkan untuk mencari ilmu.

Ya, dalam mengembangkan karir intelektualnya Imam Nawawi memilih hidup sendirian alias men-Jomblo, sebuah pilihan yang begitu tragis memang, meski sedikit beralasan (berbeda dengan generasi now yang Gaje-ngak jelas gitu), atau mau niru-niru kayak Imam Nawawi agar cetar dan membahana ya Syahrini-lah jadinya.
Pilihan menyendiri, dan di balik kesunyian yang Imam Nawawi tempuh bukan urusan sensasional apalagi Sokil Gob—gila dengan cara totalitas—dalam hal positif. Di balik kesendiriannya itu, ia banyak menghasilkan karya. Jadi, tak heran kalau Imam Nawawi mendapat julukan orang yang zuhud, Muhyiddin, faqqih, dan masih banyak yang lainnya. Namun, karena sifat tawadhu’-nya Imam Nawawi tak pernah mau namanya dipopulerkan menjadi sekaliber ulama yang sangat alim di masanya.

Dari sinilah seorang ulama yang sering menghabiskan halaqoh-halaqoh keilmuan di Damaskus itu, memulai berkarya. Bukan alasan bagi Imam Nawawi untuk memperpanjang deretan pentas para jomblo di muka bumi. Bisa saja jika ia hidup di zaman now akan menolak hidup men-jomblo karena Gajebo=Gak Jelas Bo.

Paling tidak alasan itulah yang patut ditiru bagi para penulis demi mempertahankan idealisme sebagai seorang penulis untuk tingkat pemula, hitung-hitung demi memfokuskan diri dalam bidang menulis agar terbebas dari godaan perempuan setan.
Di lain sisi, sebagai penulis memang tak luput dari stimulus sebagaimana Maslow, ia menjadikan seorang ibu perempuannya adalah model inspirasi dari menulis dan berkarya di bidang yang lain. Jika stimulus tersebut berhasil seseorang, kata Maslow akan mendapati dirinya dalam suatu proses yang transenden; melebur dalam bentuk imaji-imaji tentang sesuatu yang dicintainya, termasuk dalam urusan menulis mereka akan terlena dengan pahatan-pahatan bahasa dan tak ingin meranjak dari bahasa ke dalam dunia yang nyata. Bagitu Maslow menjadikan objek lain sebagai bahan inspirasi menulis untuk menuju kedewasaan spiritual yang bisa menciptakan sinergi antara kebutuhan (menulis) dengan kebutuhan yang lain.

Emmm... usulan ini sebatas mencoba menguatkan para penulis yang memilih memegang komitmen dalam urusan menulis, dan tak direpotkan dengan urusan berkeluarga (dunia) seperti yang terlibat dalam kehidupan Imam Nawawi di atas.
Sebenarnya bukan Imam Nawi saja yang bisa jadi objek sasaran dari stimulus bagi seorang penulis yang memilih hidup sepi dengan kesunyian yang mengiris-iris hati, bisa saja saya mencantumkan di sini para tokoh lain seperti, Tan Mala, tokoh dunia lainya ada Ludwig van Beethoven (1770-1827), Ratu Elizabeth I (1533-1603), dan terakhir Hans Christian Andersen (1805-1875). Semua yang saya sebut, memiliki goncangan kisah masalalu yang sangat hebat sehingga bisasaja karena penghianatan cinta, lagi-lagi menjadi persoalan pilihan hidup men-Jomblo, bukan karena pingen jadi penulis.

Ya, dari pada memperdebatkan soal mau men-Jomblo atau tidak, mending kan nggak usah berdebat dan ngebahas itu, rasanya ennek bin pingen muntah. Lebih baik menik mati tahu bulat digoreng dadakan lima ratusan... wkwkwk...
*Tulisan ini pernah dimuat di voila.id

0 Response to "Di Balik Kesunyian Imam Nawawi, Motivasi Buat Penulis"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel