Di Balik Kesunyian Imam Nawawi, Motivasi Buat Penulis
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Gambar oleh: www.ilmusunnah.com |
Ketika
saya membaca biografi seorang ulama yang memilih untuk menghabiskan masa-masa
usianya mencari ilmu dan mengajar, saya jadi teringat dengan seorang wanita shalehah
seperti Rabiah al-Adiwiyah yang menghabiskan usianya untuk beribadah kepada
Allah. Andai saja Rabiah ada di zaman melineal ini, tentu sulit menerapkan
hidup zuhud agar tak terdeteksi jaringan internet. Ya, tentu Rabiah akan
banyak terlunta-lunta dikuntit oleh awak media.
Tapi,
terlepas dari itu, semua manusia punya pilihan hidup; entah untuk tidak
berkeluarga, entah ingin berkeluarga tanpa punya bekal ilmu, entah ingin jadi
penulis, entah ingin jadi politisi, ataupun ingin jadi kiai. Semua kan
tergantung pilihan, yang terpenting kan ngak jutek dengan sederet prestasi melangit.
Pembaca
yang budiman, mari kita kembali ke laptop. Tentu penasaran siapa ulama yang
saya maksud tadi?
Namanya
adalah Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawy si pemilik kun-ya
Imam Nawawi. Seorang ulama arifin sekaligus alim dalam bidang hadits ini lahir
tujuh abad yang lalu, tepatnya di pusat kota Golan, Nawa, Damaskus (sekarang
ibu kota Suriah). Kira-kira ia hidup pada masa Umayyah.
Jika
seorang santri yang mengaku Ahlussunna wa al-Jama’ah (Aswaja), tentu
peres jika tak mengenal Imam Nawawi, bagaimana tidak? Sedang tiap
pesantren khusunya di Jawa dan Madura tak jarang mengaji kitab Riyadhush Shalihin dan al-Araba’in
An-Nawawiyah, sebagai salah satu kitab babon dalam merujuk berbagai hadits
yang shahih. Konon, nyaris kehidupan Imam Nawawi hanya diperuntukkan untuk
mencari ilmu.
Ya, dalam mengembangkan karir intelektualnya Imam
Nawawi memilih hidup sendirian alias men-Jomblo, sebuah pilihan yang begitu
tragis memang, meski sedikit beralasan (berbeda dengan generasi now yang
Gaje-ngak jelas gitu), atau mau niru-niru kayak Imam Nawawi agar cetar dan
membahana ya Syahrini-lah jadinya.
Pilihan menyendiri, dan di balik kesunyian yang Imam
Nawawi tempuh bukan urusan sensasional apalagi Sokil Gob—gila dengan cara
totalitas—dalam hal positif. Di balik kesendiriannya itu, ia banyak
menghasilkan karya. Jadi, tak heran kalau Imam Nawawi mendapat julukan orang
yang zuhud, Muhyiddin, faqqih, dan masih banyak yang lainnya. Namun,
karena sifat tawadhu’-nya Imam Nawawi tak pernah mau namanya dipopulerkan menjadi
sekaliber ulama yang sangat alim di masanya.
Dari sinilah seorang ulama yang sering
menghabiskan halaqoh-halaqoh keilmuan di Damaskus itu, memulai berkarya. Bukan
alasan bagi Imam Nawawi untuk memperpanjang deretan pentas para jomblo di muka
bumi. Bisa saja jika ia hidup di zaman now akan menolak hidup men-jomblo
karena Gajebo=Gak Jelas Bo.
Paling tidak alasan itulah yang patut
ditiru bagi para penulis demi mempertahankan idealisme sebagai seorang penulis
untuk tingkat pemula, hitung-hitung demi memfokuskan diri dalam bidang menulis
agar terbebas dari godaan perempuan setan.
Di lain sisi, sebagai penulis memang tak
luput dari stimulus sebagaimana Maslow, ia menjadikan seorang ibu perempuannya
adalah model inspirasi dari menulis dan berkarya di bidang yang lain. Jika stimulus
tersebut berhasil seseorang, kata Maslow akan mendapati dirinya dalam suatu
proses yang transenden; melebur dalam bentuk imaji-imaji tentang sesuatu yang
dicintainya, termasuk dalam urusan menulis mereka akan terlena dengan pahatan-pahatan
bahasa dan tak ingin meranjak dari bahasa ke dalam dunia yang nyata. Bagitu
Maslow menjadikan objek lain sebagai bahan inspirasi menulis untuk menuju kedewasaan
spiritual yang bisa menciptakan sinergi antara kebutuhan (menulis) dengan
kebutuhan yang lain.
Emmm... usulan ini sebatas mencoba
menguatkan para penulis yang memilih memegang komitmen dalam urusan menulis,
dan tak direpotkan dengan urusan berkeluarga (dunia) seperti yang terlibat
dalam kehidupan Imam Nawawi di atas.
Sebenarnya bukan Imam Nawi saja yang bisa jadi
objek sasaran dari stimulus bagi seorang penulis yang memilih hidup sepi dengan
kesunyian yang mengiris-iris hati, bisa saja saya mencantumkan di sini para
tokoh lain seperti, Tan Mala, tokoh dunia lainya ada Ludwig van Beethoven
(1770-1827), Ratu Elizabeth I (1533-1603), dan terakhir Hans Christian Andersen
(1805-1875). Semua yang saya sebut, memiliki goncangan kisah masalalu yang
sangat hebat sehingga bisasaja karena penghianatan cinta, lagi-lagi menjadi
persoalan pilihan hidup men-Jomblo, bukan karena pingen jadi penulis.
Ya, dari pada memperdebatkan soal mau men-Jomblo
atau tidak, mending kan nggak usah berdebat dan ngebahas itu, rasanya ennek
bin pingen muntah. Lebih baik menik mati tahu bulat digoreng dadakan lima
ratusan... wkwkwk...
0 Response to "Di Balik Kesunyian Imam Nawawi, Motivasi Buat Penulis"
Post a Comment
Terimkasih...