Membalikkan Sandal Kiai dan Distingsi Barokah
Friday, January 26, 2018
Add Comment
Gambar oleh: kahfi.net |
Saat shalat jum’at di
Mesjid Jamik Annuqayah, beberapa kali—bahkan setiap shalat jum’at—ada seorang
santri yang berebut membalikkan katetean[1]
(untuk selanjutnya ditulis sandal kiai). Ya, pada setiap jum’atan, ada satu
dua orang santri yang nampak selalu menunggu para masyaikh Annuqayah melepaskan
sandal-nya. Setelah kiai berjejak naik ke dalam masjid santri tersebut
dengan langkah berhati-hati mendekati sandal kiai, lalu diambil dan
dibalikkannya sandal kiai tersebut.
Sebenarnya bukan
hanya santri, masyarakat di desa juga kerap melakukan hal yang sama, jika ada
kiai yang disegani, masyarakat akan membalikkan sandalnya dalam artian
menghormati kiai. Sependek pengetahuan saya, cerita ini erat kaitannya dengan cerita-cerita
dalam berbagai kitab klasik tentang proses mendapatkan barakah dari orang-orang
yang dekat dengan Allah Swt., seperti kiai atau ulama’, asal bukan Pak Kae
atau Umara’.
Sebagai santri yang
sedikit skeptis dengan kisah-kisah demikian, saya mencoba menengarai
kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan, tentang sosok santri yang suka
membalikkan sandal, meski cerita-cerita lain yang top-top juga banyak saya
dengar, semisal “mon ngecok jerum e pondok mon mole ka romana ngecok
jheren,” artinya: jika mencuri jarum di pondok maka kelak ketika pulang ke
kampung halamannya ia akan mencuri kuda. Mungkin term “kuda” hanya disesuaikan
dengan term “jarum” agar pengucapannya sesuai dengan ritma. Pasalnya, tidak
semua tempat ada kuda, termasuk di Madura sangat jarang ditemukan kuda, karena
kebanyakan masyarakat mengembala sapi dan kambing. Termasuk orang tua saya yang
juga pengembala sapi dan kambing.
Berkaitan dengan teks
cerita santri yang membalikkan sandal kia, dan juga berkaitan dengan cerita
santri yang mencuri jarum di pesantren, alangkah tepatnya jika dikiaskan pada
bentuk konteks sosial yang tidak seharusnya santri melupakan kisah-kisah yang
penuh dengan makna yang tersirat itu. Pertanyaannya, pada zaman digitalisasi
yang digoncang dengan kapasitas rasionalitas dalam mengukur segala bentuk kebenaran,
mungkinkah santri bertahan, dan percaya pada kisah-kisah etik yang kerap
dikait-kaitkan dengan upaya menadah barakah? Atau malah sebaliknya, mereka
hanya terjebak dalam kamuflase kisah-kisah tersebut, dan mengabaikan akar dan
subtansi dari kisah yang sudah klasik?
Tentu jawabanya,
adalah terletak pada pribadi santri masing-masing, termasuk santri tadi yang
saya kisahkan di awal. Karena konteks barakah adalah berkelindan dengan hal-hal
yang abstrak dan samar, maka barakah bisa berupa apa saja, angsal itu menambah
nilai kebaikan yang terus meloncat dari satu kebaikan menjadi kebaikan-kebaikan
yang lain. Meski sedikit ilmu yang diperoleh jika barakah, ilmu itu akan menjadi
perantara (wasilah) untuk mencapai kebaikan-kebaikan yang lain (ziyadatul
khair), sesuatu itu akan meningkatkan taraf kualitas santri itu sendiri. Itu
sebabnya, jamak ditemukan santri yang ilmunya setinggi langit akan tetapi tak
dapat menambah prilaku dan kebaikan untuk dirinya, apalagi untuk orang lain, dalam
artian ilmu yang dimilikinya tak dapat bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat
yang lebih luas. Pandai berteori kering aplikasi, kaya dengan wacana nihil
maknanya.
Lalu apa kaitanya dengan dua cerita
tadi, yang perlu diambil hikmahnya?
Seakan-akan persoalan
intelektual tidak menjadi prioritas dalam mencari ilmu. Angsal barakah
itu cukup. Mungkin saja jika santri tahu cara mendapatkan barakah tentu santri
tidak akan mencari ilmu, tapi cari barakah. Pikir mereka, buat apa cari ilmu
banyak tapi tak barakah. Kan jadi repot?
Menurut pengamatan saya
pribadi, cerita tersebut perlu direkontruksi dengan contoh-contoh yang sesuai
untuk menggambarkan barakah, sepertinya ada distingsi yang perlu direvitalisasi
dalam cerita ini, karena kebanyakan santri berharap dengan kisah tersebut
langsung ketiban barakah secara sekaligus tanpa proses belajar, dan proses
mengabdi kepada kiai. Seolah nyata. Nyatanya, bentuk usaha selain “membalik
sandal” kiai tak pernah dilakukan. Kendati demikian, saya ingin
merekomendasikan bentuk kisah-kisah yang lain agar dapat dipopulerkan di
kalangan santri, anggap saja kisah ini merupakan autokritik dari kisah-kisah
lama. Bukan bid’ah. Saya takut neraka.
Misal kisah itu
ditambah, dengan prantara-prantara lain yang bisa menghantarkan santri mencapai
pucak barakah, bagaimana dengan teori iluminasi Syuhrawardi, tentang seseorang
yang mencari ilmu tanpa proses belajar—berupa ilmu ladunni—pancaran langsung dari
cahaya Ilahi kedalam diri manusia. Mungkinkah ilmu demikian bisa dikatakan
barakah? Bisa saja menurut penulis ilmu ladunni adalah barakah, dan bisa saja
santri yang sering membalikkan sandal kiai mendapatkan barakah, dan sebaliknya
barangkali, bisa saja santri yang sering mencuri jarum di pondok tidak
mendapatkan barakah meski termasuk santri yang pintar setinggi langit, meski
sampek ke langit yang ke tujuh sekalian.
Wkwk..
Menurut penulis kitab
Isyraqiah, ilmu ladunni bisa digapai dengan cara-cara yang sama dengan
cara-cara memperolah barakah, jalan itu berupa tirakat dengan melalui
tahapan-tahapan, bisa dengan cara menyendiri (zuhud), bisa dengan
mengabdi, bisa dengan usaha-usaha lain seperti puasa, dzikir, dan banyak
menggunakan kesibukannya dengan memperbanyak ibadah kepada Allah Swt. , akan
tetapi yang paling urgen “tunduk” dan “patuh” adalah kunci untuk mendapatkan
barakah, akan tetapi barakah di masa dunia facebook, WA, dan instagram sekarang
ini, untuk mencapai barakah seorang santri harus menambah dengan ketekunan,
giat, dan sungguh-sungguh dalam belajar atau mencari ilmu.
*Tulisan ini dimuat di Koran Madura Jawa Pos Group
[1]Dalam bahasa Madura katetean
adalah kata sinonim dari sandal, ada juga yang menyebutnya dengan tarompah.
Namun, untuk menghormati kiai maka masyarakat menyebutnya dengan katetean.
0 Response to "Membalikkan Sandal Kiai dan Distingsi Barokah"
Post a Comment
Terimkasih...