-->

Membalikkan Sandal Kiai dan Distingsi Barokah


Gambar oleh: kahfi.net

Saat shalat jum’at di Mesjid Jamik Annuqayah, beberapa kali—bahkan setiap shalat jum’at—ada seorang santri yang berebut membalikkan katetean[1] (untuk selanjutnya ditulis sandal kiai). Ya, pada setiap jum’atan, ada satu dua orang santri yang nampak selalu menunggu para masyaikh Annuqayah melepaskan sandal-nya. Setelah kiai berjejak naik ke dalam masjid santri tersebut dengan langkah berhati-hati mendekati sandal kiai, lalu diambil dan dibalikkannya sandal kiai tersebut.

Sebenarnya bukan hanya santri, masyarakat di desa juga kerap melakukan hal yang sama, jika ada kiai yang disegani, masyarakat akan membalikkan sandalnya dalam artian menghormati kiai. Sependek pengetahuan saya, cerita ini erat kaitannya dengan cerita-cerita dalam berbagai kitab klasik tentang proses mendapatkan barakah dari orang-orang yang dekat dengan Allah Swt., seperti kiai atau ulama’, asal bukan Pak Kae atau Umara’.

Sebagai santri yang sedikit skeptis dengan kisah-kisah demikian, saya mencoba menengarai kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan, tentang sosok santri yang suka membalikkan sandal, meski cerita-cerita lain yang top-top juga banyak saya dengar, semisal “mon ngecok jerum e pondok mon mole ka romana ngecok jheren,” artinya: jika mencuri jarum di pondok maka kelak ketika pulang ke kampung halamannya ia akan mencuri kuda. Mungkin term “kuda” hanya disesuaikan dengan term “jarum” agar pengucapannya sesuai dengan ritma. Pasalnya, tidak semua tempat ada kuda, termasuk di Madura sangat jarang ditemukan kuda, karena kebanyakan masyarakat mengembala sapi dan kambing. Termasuk orang tua saya yang juga pengembala sapi dan kambing.

Berkaitan dengan teks cerita santri yang membalikkan sandal kia, dan juga berkaitan dengan cerita santri yang mencuri jarum di pesantren, alangkah tepatnya jika dikiaskan pada bentuk konteks sosial yang tidak seharusnya santri melupakan kisah-kisah yang penuh dengan makna yang tersirat itu. Pertanyaannya, pada zaman digitalisasi yang digoncang dengan kapasitas rasionalitas dalam mengukur segala bentuk kebenaran, mungkinkah santri bertahan, dan percaya pada kisah-kisah etik yang kerap dikait-kaitkan dengan upaya menadah barakah? Atau malah sebaliknya, mereka hanya terjebak dalam kamuflase kisah-kisah tersebut, dan mengabaikan akar dan subtansi dari kisah yang sudah klasik?

Tentu jawabanya, adalah terletak pada pribadi santri masing-masing, termasuk santri tadi yang saya kisahkan di awal. Karena konteks barakah adalah berkelindan dengan hal-hal yang abstrak dan samar, maka barakah bisa berupa apa saja, angsal itu menambah nilai kebaikan yang terus meloncat dari satu kebaikan menjadi kebaikan-kebaikan yang lain. Meski sedikit ilmu yang diperoleh jika barakah, ilmu itu akan menjadi perantara (wasilah) untuk mencapai kebaikan-kebaikan yang lain (ziyadatul khair), sesuatu itu akan meningkatkan taraf kualitas santri itu sendiri. Itu sebabnya, jamak ditemukan santri yang ilmunya setinggi langit akan tetapi tak dapat menambah prilaku dan kebaikan untuk dirinya, apalagi untuk orang lain, dalam artian ilmu yang dimilikinya tak dapat bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat yang lebih luas. Pandai berteori kering aplikasi, kaya dengan wacana nihil maknanya.

Lalu apa kaitanya dengan dua cerita tadi, yang perlu diambil hikmahnya?

Seakan-akan persoalan intelektual tidak menjadi prioritas dalam mencari ilmu. Angsal barakah itu cukup. Mungkin saja jika santri tahu cara mendapatkan barakah tentu santri tidak akan mencari ilmu, tapi cari barakah. Pikir mereka, buat apa cari ilmu banyak tapi tak barakah. Kan jadi repot?

Menurut pengamatan saya pribadi, cerita tersebut perlu direkontruksi dengan contoh-contoh yang sesuai untuk menggambarkan barakah, sepertinya ada distingsi yang perlu direvitalisasi dalam cerita ini, karena kebanyakan santri berharap dengan kisah tersebut langsung ketiban barakah secara sekaligus tanpa proses belajar, dan proses mengabdi kepada kiai. Seolah nyata. Nyatanya, bentuk usaha selain “membalik sandal” kiai tak pernah dilakukan. Kendati demikian, saya ingin merekomendasikan bentuk kisah-kisah yang lain agar dapat dipopulerkan di kalangan santri, anggap saja kisah ini merupakan autokritik dari kisah-kisah lama. Bukan bid’ah. Saya takut neraka.

Misal kisah itu ditambah, dengan prantara-prantara lain yang bisa menghantarkan santri mencapai pucak barakah, bagaimana dengan teori iluminasi Syuhrawardi, tentang seseorang yang mencari ilmu tanpa proses belajar—berupa ilmu ladunni—pancaran langsung dari cahaya Ilahi kedalam diri manusia. Mungkinkah ilmu demikian bisa dikatakan barakah? Bisa saja menurut penulis ilmu ladunni adalah barakah, dan bisa saja santri yang sering membalikkan sandal kiai mendapatkan barakah, dan sebaliknya barangkali, bisa saja santri yang sering mencuri jarum di pondok tidak mendapatkan barakah meski termasuk santri yang pintar setinggi langit, meski sampek ke langit  yang ke tujuh sekalian. Wkwk..

Menurut penulis kitab Isyraqiah, ilmu ladunni bisa digapai dengan cara-cara yang sama dengan cara-cara memperolah barakah, jalan itu berupa tirakat dengan melalui tahapan-tahapan, bisa dengan cara menyendiri (zuhud), bisa dengan mengabdi, bisa dengan usaha-usaha lain seperti puasa, dzikir, dan banyak menggunakan kesibukannya dengan memperbanyak ibadah kepada Allah Swt. , akan tetapi yang paling urgen “tunduk” dan “patuh” adalah kunci untuk mendapatkan barakah, akan tetapi barakah di masa dunia facebook, WA, dan instagram sekarang ini, untuk mencapai barakah seorang santri harus menambah dengan ketekunan, giat, dan sungguh-sungguh dalam belajar atau mencari ilmu.

*Tulisan ini dimuat di Koran Madura Jawa Pos Group

[1]Dalam bahasa Madura katetean adalah kata sinonim dari sandal, ada juga yang menyebutnya dengan tarompah. Namun, untuk menghormati kiai maka masyarakat menyebutnya dengan katetean.  

0 Response to "Membalikkan Sandal Kiai dan Distingsi Barokah"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel