RUMAH SAKIT; Apa dan Bagaimana?
Sunday, April 14, 2019
Add Comment
RS. Sumenep |
Senang
rasanya diminta tulisan oleh kru Fajar Instika meski teman-teman sedulur belum
tau kalau saya sudah malas menulis akibat terlena dengan dunia yang nyaman di
Jogja, eh masih jomblo ya, live to relaxs yo!.
Yes!, tema Fajar kali ini sebenarnya bukan expertise dari
keahlian saya, bayangkan masalah “Pelayanan Kesehatan Kabupaten Sumenep”,
sedang saya sarjana ushuluddin, Lur. Catat Ushuluddin. Eh, gak
nyambung banget kan. Tapi, mari kita bahas jagan grusa-grusu?
Apa dan bagaimana masalahnya? (pas banget kan sambil ngopi).
Kesehatan
itu barang yang sangat mahal bagi siapapun, tidak bisa ditolerir, dan tidak
bisa ditoleransi, mau masyarakat kelas borjuis, priayi, apalagi masyarakat grassroots
kalipun, apalagiii kemiskinan sudah bagai gurita yang
menjerat kehidupan masyarakat khususnya di pedesaan.
Jika
saya boleh berkomentar, jauh di lubuk hati terdalam masyarakat—yang sangat
dalam sekali—melihat dari balik rumahnya yang kumuh bahwa, kemegahan gedung
rumah sakit, puskesmas, dan dinas kesehatan hanya sebatas memamerkan kepedulian,
mereka sebatas memamerkan kenyenyakan yang seolah-olah. Nyesek sih, ketika melihat masyarakat miskin kesusahan untuk berobat
karena alasan tidak punya uang, lapangan pekerjaan gak ada, pemuda banyak yang
ngangur (gak lagi nyindir siapa-siapa).
Perlu kalian tau, Guys!
Kita tidak lagi membicarakan sebuah opini diskriminasi antara kaum miskin
dengan kaum kaya seperti pribahasa yang mengatakan “orang miskin dilarang sakit
dan kalau mau sakit jadi orang kaya.” Oalah! pemberian pelayanan
kesehatan kepada rakyat miskin dengan adanya Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pengganti dari Surat Pernyataan
Miskin (SPM) masih jauh dari pelaksanaan yang benar-benar bersimpati kepada
rakyat.
Coba deh,
kalau mau jujur berapa banyak rakyat miskin yang bahkan menahan diri untuk
tidak pergi ke rumah sakit karena dibenturkan dengan ruwetnya administrasi dan
mikanisme yang panjang (Pusing pala Barbie), membuat rakyat mengelus dada dan menelan
air ludah. Pantas saja mereka memilih tidak menggunakan fasilitas gratis yang
disediakan oleh pemerintah. Apa tidak PHP, Guys.
Masalahnya, kalau
ada masyarakat petatangpeteteng yang datang ke rumah sakit dengan status
ekonomi yang menengah ke atas mereka akan di tempatkan di rumah sakit kelas 1
dan kelas 2, diperlakukan dengan sangat ramah. Bayangkan! Bayangkan ya, ketika masyarakat
miskin yang datang, mereka bahkan dicuekin dengan kata “bodohamet”, bahkan,
di tempatkan di rumah sakit yang kurang layak; fasilitas yang mereka dapatkan
pun sangat terbatas. Ampun dehkk. Belum lagi pelayan kesehatan yang diberikan
kepada mereka sering kali terlambat dan tidak diprioritaskan, tidak
mengherankan jika seringkali mendengar mereka ditelantarkan di rumah sakit, pas
banget nih sama namanya.
Mau tidak mau,
adanya kelas-kelas rumah sakit sebenarnya menciptakan sebuah ruang disparitas
dan diskriminasi bagi pasien. Untuk apa kemudian masyarakat mendapatkan keringan
membayar obat kesehatan kalau pelayanannya membuat masyarakat justru sakit hati
dan tertekan secara psikologis atau bahkan menambah penyakit secara non-formal.
Bukannya, World Health Organization (WHO) mendefinisikan rumah sakit sebagai
suatu lembaga sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna,
menyembuhkan penyakit, dan pencegahan penyakit pada masyarakat. Lho, ini
nambah penyakit baru piye toh? Ya, wes ben! Kita gak usah ungkit-ungkit masalah itu deh,
terus kalau lu bikin masalah duluan gimana? Masyarakat yang sabar ya, Ndan!
Luar Biasa.
Maka penerapan
tiga kartu sakti pemerintah ya sifatnya politis, sudah sejak awal terjadi
kongkalingkong bahkan saat dinilai kurang bermanfaat, itu tidak lepas dari
kelalaian karena pemerintah kurang endorse di pelbagai media, mikir gak
sih kalau masyarakat kurang menyerap informasi apa lagi yang masih gagap
teknologi (mereka kan bukan emak-emak pendukung Bang Sandi yo, Guys). Ya monmaap nih, kalau saya dibilang nyinyirin, tapi ingat
bahwa masyarakat berhak mendapatkan perlakuan yang baik, sudah berapa cobak anggaran
yang digelontorkan untuk menyokong dan mensosialisasikan program ini, bagaimana
pelaksanaanya di lapangan? Kalau Bang Anies ada program Rumah DP Nol persen
rupiah masih mending dari pada ada kinerja yang nol persen di lapangan. Jadi mewek!
Hiks.
Nah, sekarang mengingat
kesehatan adalah kebutuhan masyarakat khusunya di Sumenep, mau tidak mau impian
masyatakat adalah menjadikan rumah sakit sebagai tempat terakhir untuk
menolong, baik rumah sakit yang ada di kecamatan rumah sakit swasta atau pemerintah,
dan lebih-lebih di rumah sakit umum Kabupaten Sumenep.
Rumah sakit di
Sumenep seharusnya bisa merepresentasikan akan kebutuhan masyarakat itu
sendiri. Ada dua hal yang pelu saya coletehkan terkait rumah sakit secara umum
(khusunya di Sumenep), karena kita sebatas menilai apa yang kita tau
berdasarkan pengalaman, maka tidak terlalu berlebihan kan jika disini saya
katakan sekali lagi mau menilai. Ogah ya, Jal, mendengar penilaian saya.
Biarin!
Menurut saya,
rumah sakit itu bisa dilihat dari dua sisi, pertama, secara formal dan kedua
non-formal. Terutama yang perlu diperhatikan adalah secara formal itu sendiri,
dari bentuk sistem yang ada di rumah sakit, terutama pemerintah bisa mengontrol
seberapa persen berjalannya pengunaan kartu jaminan kesehatan bagi masyarakat.
Ada seorang teman
saya yang bercerita dengan kondisi yang begitu mengibakan sekali, ia lumayan
kaya, tapi karena penyakitnya agak kronis nyaris uangnya sudah dihabiskan untuk
berobat dan melakukan kontrol. Teman saya, mulai berpikir bagaimana kalau
menggunakan katru jaminan kesehatan, setelah semuanya diurus oleh istrinya,
teman saya mulai melakukan periksa ke rumah sakit terdekat yang ada di
Kabupaten, namun di sana ia diberi surat rujukan ke rumah sakit provinsi. Ya,
dia tak bisa menolak karena begitulah prosedur dan birokrasi menggunakan BPJS.
Belum lagi antrian yang sangat lama sekali bisa hampir setegah/seharian.
Masalah sekecil
apapun jika tidak ada kontrol yang dibangun secara sistem formal baik antara
pemerintah dengan rumah sakit yang dikelolah oleh pemerintah maka di situ
menjadi semacam pagar makan tanaman.
Kedua,
non-formal tadi, ada banyak contoh yang harus saya paparkan tapi sulit untuk
dibahasakan secara tulisan (gua juga masih mikir nih) mungkinkah ini ada
di setiap rumah sakit atau tidak?
Namun, beberapa kali,
di lapangan saya menemukan pasien yang dijadikan bahan coba-coba, kami pasien
BPJS (yang sebagian besar hanya bisa berobat ke rumah sakit milik pemerintah)
diperlakukan seperti pasien kelas kere yang hanya diperiksa atau ditangani oleh
dokter-dokter praktik yang, celakanya, juga tak bisa mengambil keputusan
apa-apa karena tak punya otoritas. Sampai-sampai ada yang mengeluh,
jangan-jangan pasien BPJS hanya dijadikan “kelinci percobaan” para mahasiswa
dokter spesialis.
Saya bahkan paling
benci ketika melihat pasien periksa dokter praktik malah cengingisan sama
teman-temannya saling melongo “ini penyakit apa, harus dikasik obat apa?” Gua
pikir ini merusak integritas seorang dokter yang seharusnya memberikan solusi
malah memberikan image yang negatife. Ya, cerita di rumah sakit memang
memilukan tapi lebih memilukan bagi orang miskin yang ditelantarkan karena
menggunakan kartu jaminan kesehatan.
Saya belum
memiliki banyak pengalaman di rumah sakit, karena itu bagian dari do’a saya
agar tidak sering-sering dirujuk ke rumah sakit mending di rumah teman atau
rumah mantan (eh, rumah mapan ya). Hi. Ya, mau bagaimana lagi jika penyakit
sebagai keniscayaan yang hakiki dan harus diterima, tidak bisa ditolak dan
tidak bisa dilawan dengan logika manusia. Semuga saja masyarakat miskin selalu
disehatkan oleh yang Mahakuasa. Wallahua’lam..
Yogyakarata, 2018
M.
0 Response to "RUMAH SAKIT; Apa dan Bagaimana?"
Post a Comment
Terimkasih...