-->

RUMAH SAKIT; Apa dan Bagaimana?

RS. Sumenep 

Senang rasanya diminta tulisan oleh kru Fajar Instika meski teman-teman sedulur belum tau kalau saya sudah malas menulis akibat terlena dengan dunia yang nyaman di Jogja, eh masih jomblo ya, live to relaxs yo!.

Yes!, tema Fajar kali ini sebenarnya bukan expertise dari keahlian saya, bayangkan masalah “Pelayanan Kesehatan Kabupaten Sumenep”, sedang saya sarjana ushuluddin, Lur. Catat Ushuluddin. Eh, gak nyambung banget kan. Tapi, mari kita bahas jagan grusa-grusu? Apa dan bagaimana masalahnya? (pas banget kan sambil ngopi).

Kesehatan itu barang yang sangat mahal bagi siapapun, tidak bisa ditolerir, dan tidak bisa ditoleransi, mau masyarakat kelas borjuis, priayi, apalagi masyarakat grassroots kalipun, apalagiii kemiskinan sudah bagai gurita yang menjerat kehidupan masyarakat khususnya di pedesaan.
Jika saya boleh berkomentar, jauh di lubuk hati terdalam masyarakat—yang sangat dalam sekali—melihat dari balik rumahnya yang kumuh bahwa, kemegahan gedung rumah sakit, puskesmas, dan dinas kesehatan hanya sebatas memamerkan kepedulian, mereka sebatas memamerkan kenyenyakan yang seolah-olah. Nyesek sih, ketika melihat masyarakat miskin kesusahan untuk berobat karena alasan tidak punya uang, lapangan pekerjaan gak ada, pemuda banyak yang ngangur (gak lagi nyindir siapa-siapa).  

Perlu kalian tau, Guys! Kita tidak lagi membicarakan sebuah opini diskriminasi antara kaum miskin dengan kaum kaya seperti pribahasa yang mengatakan “orang miskin dilarang sakit dan kalau mau sakit jadi orang kaya.” Oalah! pemberian pelayanan kesehatan kepada rakyat miskin dengan adanya Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pengganti dari Surat Pernyataan Miskin (SPM) masih jauh dari pelaksanaan yang benar-benar bersimpati kepada rakyat.

Coba deh, kalau mau jujur berapa banyak rakyat miskin yang bahkan menahan diri untuk tidak pergi ke rumah sakit karena dibenturkan dengan ruwetnya administrasi dan mikanisme yang panjang (Pusing pala Barbie), membuat rakyat mengelus dada dan menelan air ludah. Pantas saja mereka memilih tidak menggunakan fasilitas gratis yang disediakan oleh pemerintah. Apa tidak PHP, Guys.  
Masalahnya, kalau ada masyarakat petatangpeteteng yang datang ke rumah sakit dengan status ekonomi yang menengah ke atas mereka akan di tempatkan di rumah sakit kelas 1 dan kelas 2, diperlakukan dengan sangat ramah. Bayangkan! Bayangkan ya, ketika masyarakat miskin yang datang, mereka bahkan dicuekin dengan kata “bodohamet”, bahkan, di tempatkan di rumah sakit yang kurang layak; fasilitas yang mereka dapatkan pun sangat terbatas. Ampun dehkk. Belum lagi pelayan kesehatan yang diberikan kepada mereka sering kali terlambat dan tidak diprioritaskan, tidak mengherankan jika seringkali mendengar mereka ditelantarkan di rumah sakit, pas banget nih sama namanya.

Mau tidak mau, adanya kelas-kelas rumah sakit sebenarnya menciptakan sebuah ruang disparitas dan diskriminasi bagi pasien. Untuk apa kemudian masyarakat mendapatkan keringan membayar obat kesehatan kalau pelayanannya membuat masyarakat justru sakit hati dan tertekan secara psikologis atau bahkan menambah penyakit secara non-formal. Bukannya, World Health Organization (WHO) mendefinisikan rumah sakit sebagai suatu lembaga sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna, menyembuhkan penyakit, dan pencegahan penyakit pada masyarakat. Lho, ini nambah penyakit baru piye toh? Ya, wes ben!  Kita gak usah ungkit-ungkit masalah itu deh, terus kalau lu bikin masalah duluan gimana? Masyarakat yang sabar ya, Ndan! Luar Biasa.
Maka penerapan tiga kartu sakti pemerintah ya sifatnya politis, sudah sejak awal terjadi kongkalingkong bahkan saat dinilai kurang bermanfaat, itu tidak lepas dari kelalaian karena pemerintah kurang endorse di pelbagai media, mikir gak sih kalau masyarakat kurang menyerap informasi apa lagi yang masih gagap teknologi (mereka kan bukan emak-emak pendukung Bang Sandi yo, Guys). Ya monmaap nih, kalau saya dibilang nyinyirin, tapi ingat bahwa masyarakat berhak mendapatkan perlakuan yang baik, sudah berapa cobak anggaran yang digelontorkan untuk menyokong dan mensosialisasikan program ini, bagaimana pelaksanaanya di lapangan? Kalau Bang Anies ada program Rumah DP Nol persen rupiah masih mending dari pada ada kinerja yang nol persen di lapangan. Jadi mewek! Hiks.

Nah, sekarang mengingat kesehatan adalah kebutuhan masyarakat khusunya di Sumenep, mau tidak mau impian masyatakat adalah menjadikan rumah sakit sebagai tempat terakhir untuk menolong, baik rumah sakit yang ada di kecamatan rumah sakit swasta atau pemerintah, dan lebih-lebih di rumah sakit umum Kabupaten Sumenep.

Rumah sakit di Sumenep seharusnya bisa merepresentasikan akan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Ada dua hal yang pelu saya coletehkan terkait rumah sakit secara umum (khusunya di Sumenep), karena kita sebatas menilai apa yang kita tau berdasarkan pengalaman, maka tidak terlalu berlebihan kan jika disini saya katakan sekali lagi mau menilai. Ogah ya, Jal, mendengar penilaian saya. Biarin!
Menurut saya, rumah sakit itu bisa dilihat dari dua sisi, pertama, secara formal dan kedua non-formal. Terutama yang perlu diperhatikan adalah secara formal itu sendiri, dari bentuk sistem yang ada di rumah sakit, terutama pemerintah bisa mengontrol seberapa persen berjalannya pengunaan kartu jaminan kesehatan bagi masyarakat.

Ada seorang teman saya yang bercerita dengan kondisi yang begitu mengibakan sekali, ia lumayan kaya, tapi karena penyakitnya agak kronis nyaris uangnya sudah dihabiskan untuk berobat dan melakukan kontrol. Teman saya, mulai berpikir bagaimana kalau menggunakan katru jaminan kesehatan, setelah semuanya diurus oleh istrinya, teman saya mulai melakukan periksa ke rumah sakit terdekat yang ada di Kabupaten, namun di sana ia diberi surat rujukan ke rumah sakit provinsi. Ya, dia tak bisa menolak karena begitulah prosedur dan birokrasi menggunakan BPJS. Belum lagi antrian yang sangat lama sekali bisa hampir setegah/seharian.

Masalah sekecil apapun jika tidak ada kontrol yang dibangun secara sistem formal baik antara pemerintah dengan rumah sakit yang dikelolah oleh pemerintah maka di situ menjadi semacam pagar makan tanaman.

Kedua, non-formal tadi, ada banyak contoh yang harus saya paparkan tapi sulit untuk dibahasakan secara tulisan (gua juga masih mikir nih) mungkinkah ini ada di setiap rumah sakit atau tidak?
Namun, beberapa kali, di lapangan saya menemukan pasien yang dijadikan bahan coba-coba, kami pasien BPJS (yang sebagian besar hanya bisa berobat ke rumah sakit milik pemerintah) diperlakukan seperti pasien kelas kere yang hanya diperiksa atau ditangani oleh dokter-dokter praktik yang, celakanya, juga tak bisa mengambil keputusan apa-apa karena tak punya otoritas. Sampai-sampai ada yang mengeluh, jangan-jangan pasien BPJS hanya dijadikan “kelinci percobaan” para mahasiswa dokter spesialis.

Saya bahkan paling benci ketika melihat pasien periksa dokter praktik malah cengingisan sama teman-temannya saling melongo “ini penyakit apa, harus dikasik obat apa?” Gua pikir ini merusak integritas seorang dokter yang seharusnya memberikan solusi malah memberikan image yang negatife. Ya, cerita di rumah sakit memang memilukan tapi lebih memilukan bagi orang miskin yang ditelantarkan karena menggunakan kartu jaminan kesehatan.

Saya belum memiliki banyak pengalaman di rumah sakit, karena itu bagian dari do’a saya agar tidak sering-sering dirujuk ke rumah sakit mending di rumah teman atau rumah mantan (eh, rumah mapan ya). Hi. Ya, mau bagaimana lagi jika penyakit sebagai keniscayaan yang hakiki dan harus diterima, tidak bisa ditolak dan tidak bisa dilawan dengan logika manusia. Semuga saja masyarakat miskin selalu disehatkan oleh yang Mahakuasa. Wallahua’lam..
  
Yogyakarata, 2018 M.

0 Response to "RUMAH SAKIT; Apa dan Bagaimana?"

Post a Comment

Terimkasih...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel